Kriiiingg ....
Tanganku reflek mengambil ponsel, lalu mengangkatnya begitu melihat nama si pengirim.
"Ya?"
"Aku menganggumu?"
"Aku baru bangun tidur, kenapa? Maksudku, aku ketiduran."
"Aku butuh beberapa perlengkapan pribadi dan perlengkapan untuk mengajar. Kamu bisa mengantarku?"
"Memangnya perusahaan tidak menyediakannya?"
"Aku rasa lebih baik aku mencari barang bersamamu saja."
Sontak aku menghela napas, Haruka memang agak banyak mau kalau soal seperti ini.
"Hmm ... Kapan? Kalau untuk alat tulis aku tidak yakin karena tokonya pasti sebentar lagi akan tutup"
"Kamu kapan bisa pergi?"
Aku menatap jam di ponselku. "Aku siap-siap dulu, mungkin setengah jam kemudian aku akan menjemputmu."
"Baiklah."
:)
Aku memandangi Haruka yang tengah mendorong kereta belanja. Pandanganku berganti-ganti dengan rak yang memajang produk-produk untuk makanan luar negeri seperti Korea dan Jepang. Sesuatu menarik perhatian, membuatku berdiri di depan produk itu dan memandanginya erat-erat.
“Eee … “ Badanku tertarik ke samping karena seseorang menarik tasku.
“Aku selalu bilang, jangan tiba-tiba menghilang.”
Aku menggumam kesal dan hanya berjalan di sebelah kereta belanja. Tatapanku tanpa sadar menyorot isi keranjang belanja Haruka.
“Kamu mau masak masakan Korea atau Jepang?”
"Aku belum tahu, tapi aku akan belanja persediaan untuk keduanya.” Aku mengangguk.
Kami berhenti di sebuah rak.
“Fay, bisakah kamu mengambil saos di bawah?”
Aku segera berjongkok ke tempat yang dimaksud. Beberapa botol saos dan kecap berjejer dengan rapi.
“Yang mana … ?”
Otakku tiba-tiba berhenti berpikir ketika tanpa sengaja mataku menatap mata Haruka. Aku buru-buru menoleh ke arah lain.
“Kedua dari arah kiri.”
Aku mengambil barang yang dimaksud lalu memberikannya kepada Haruka.
Otakku beberapa saat kembali ngeblank. Tanpa sadar aku menutup mulutku dengan tangan.
“Fay. Sudah.”
Aku lalu bangkit dan berjalan mendahului Haruka.
“Kamu mau kemana?”
Aku menoleh, “Memangnya kamu mau kemana?”
“Aku sudah selesai, kamu ada barang yang ingin dibeli atau dilihat?”
Aku menggeleng, “Tidak ada.”
“Ya sudah, ayo kita pergi ke kasir.”
Aku dan Haruka pergi ke kasir. Antrian tidak terlalu panjang, tapi beberapa orang di depanku belanja dengan cukup banyak. Mau tidak mau aku berdiri di sebelah Haruka.
“Kamu kenapa tadi langsung pulang sehabis rapat?”
“Eh?” aku menoleh. “Aku ingin istirahat, jadi buru-buru pulang. Memangnya kenapa?”
“Aku niatnya mau mengajakmu belanja, tapi kamu malah kabur.”
“Aku gak kabur … “ Haruka memberikan isyarat untuk bersuara lebih pelan. “Kamu kan selama rapat nempel terus sama Yuanita. Terus kamu juga berangkat bareng sama yang lain di mobilnya kang Ujang. Ya sudah, lebih baik aku pulang duluan.”
Memang hanya aku yang naik motor saat rapat kerja sama di kampus tempat kami akan menggelar pelatihan.
“Kamu marah?”
Aku mengerutkan dahi, “Untuk apa aku marah? Aku kan tidak merasa ngantuk sampai membuatku ingin marah, paling lapar aja sih.”
“Ya sudah, nanti kita makan.”
Lalu giliran Haruka untuk membayar tiba. Aku tidak memperhatikannya sampai sebuah tangan menyodorkan sesuatu.
“Nih, minum. Kamu tunggu di kursi sana ya.”
Aku menatap Haruka ketika melihat susu pisang di depan mataku, “Heh, buat aku?”
“Iya, ini aku belikan untukmu. Kamu tunggu di sana, jangan kemana-mana.”
Aku menerima susu tersebut dan berjalan menuju kursi di depan supermarket. Sembari menunggu, aku memeriksa apakah hari ini ada pembeli yang ingin bertanya, rupanya belum ada.
Aku memeriksa kembali apakah kira-kira uang yang aku pegang sekarang cukup untuk membeli stok isi tokoku sekarang.
“Fay?”
Daripada harus pegal menoleh ke atas, aku memilih untuk cepat-cepat bangkit, “Kenapa?”
“Kamu mau ke mana sekarang? Apa ingin makan sesuatu?”
Aku terdiam sejenak, tiba-tiba sesuatu terlintas di benakku.
“Aku ingin ke balkon di dekat food court, pemandangannya indah,” kataku dengan nada mengambang karena teringat sesuatu. “Tapi sepertinya suasananya cukup ramai sekarang.”
“Kamu mau ke sana?”
Aku menatap ke arah Haruka, “Seingatku ada bagian balkon yang sepi, tapi kita tidak bisa makan di sana. Sebenarnya lebih enak balkon yang di dekat foodcourt, tapi aku tidak yakin ada tempat kosong … “
“Ya sudah kita coba cek dua-duanya saja.”
Aku menatap Haruka ragu, “Tidak apa-apa?”
“Tidak masalah, kalau memang itu maumu.”
Aku hendak membantu Haruka membawakan sebagian barang belanjanya tapi dia menolak. Kami berdua akhirnya berjalan menuju balkon yang berada di lantai paling atas pusat perbelanjaan ini.
“Buat ku pemandangannya cukup indah di malam hari,” kataku ketika kami berada di balkon, “Tapi aku tidak yakin kamu berpikir hal yang sama atau sebaliknya.”
Haruka hanya memandangi pemandangan mobil yang lalu lalang, di sertai dengan kerlap-kerlip bangunan.
“Fay, apakah kamu tahu bagaimana caranya untuk menikmati pemandangan seperti ini?”
Aku menggeleng lalu buru-buru menjawab, "Aku tidak tahu."@
“Menikmatinya dalam keheningan.”
“He … he …” Aku hanya nyengir mendengar jawaban Haruka.
Kami berdua lalu memandangi pemandangan tersebut tanpa sepatah kata. Hanya ditemani dengan suara lalu-lalang mobil.
Kriiiinggg ... kriingg ...
Aku menoleh ketika ponsel Haruka berbunyi dengan kencang. Tumben sekali ponselnya berfungsi dengan normal. Haruka lalu mengangkatnya dan menjauh dariku. Aku sendiri kembali asik dengan pemandangan di bawah.
"Fay ... "
Aku menoleh, "Kenapa?"
Haruka menunjukkan sebuah chat, "Kamu tahu tempat ini?"
Aku melihat tempat itu dan mengerutkan dahi, "Coba cari di aplikasi peta."
Haruka memandangiku dengan dahi mengerut, "Aku tidak paham cara memakai aplikasi peta."
Kali ini mulutku yang manyun karena kegaptekkan Haruka yang membuat aku terlunta-lunta saat menjemputnya kembali kambuh.
"Mana ponselmu? Coba nyalakan."
Haruka menyalakan ponselnya. Rupanya ponselnya masih dalam mode bahasa Korea. Berarti aku harus mencoba memakai aplikasi peta buatan Korea Selatan.
"Begini Tuan Shin Haru ..."
"Kenapa tiba-tiba kamu menyebut nama Korea-ku?"
"Ponselmu dalam bahasa Korea."
"Ah baik, nanti aku akan mengubahnya dalam bahasa Jepang. Setelah kita bicara dalam bahasa Jepang, oke?"
Aku hanya memasang tampang ngeselin.
Haruka akhirnya paham cara menggunakan aplikasi peta, dan kami berdua mengetahui letak tempat itu.
"Ah, ini dekat mall arah rumahku. Aku baru tahu ada bar di sekitar sini. Kenapa?"
"Aku harus menjemput Hiroki hyung, dia mabuk berat."
Aku memgerutkan dahi, "Sejak kapan Seo sensei dipanggil hyung?"
:)
"Lebih baik kamu langsung pulang, sudah malam."
Haruka baru saja keluar dari tempat bar dimana Seo sensei berada.
"Seo sensei tidak apa-apa? Perlu ku order transportasi online?"
"Tidak perlu. Aku akan menghubungi Ujang."
Aku mengernyit, "Lebih baik kamu telepon dulu. Belanjaanmu juga jangan lupa dibawa, masih ada di motorku."
Haruka akhirnya melakukan apa yang aku suruh. Tak lama terdengar suara dari seberang, "Iya sensei?"
“Aku butuh bantuanmu, Seo sensei mabuk dan tidak sadarkan diri,bisakah kau menjemput kami berdua?”
“Ah bisa sensei, bisakah sensei menyebutkan lokasinya di mana?”
Haruka menatapku, reflek aku berbicara kepada Kang Ujang.
“Karaoke Luxury Kang, yang satu komplek sama Mall Sawargi.”
“Loh, Teh Faihah ikutan?”
“Tidak Kang, tadi aku nganter Yuichi sensei aja barusan.”
“Oh oke deh. Ini aku langsung jalan ya Teh.”
“Oke Kang.” Percakapan lalu terputus.
“Ayo Fay, kita ambil belanjaan milikku.”
Kalau kalian menemukan hole plot di sini … Itu karena cerita ini sebenarnya berbentuk seri. Tapi entah kenapa aku mengeluarkan seri terakhir. Sebenarnya karena aku belum kuat mengeluarkan seri sebelumnya sih hehe. Karena latar cerita berada di luar negeri. Tempat pertama kali Haruka dan Faihah bertemu. Doakan semoga aku punya kesempatan untuk merasakan pahit-manis kehidupan di luar negeri. Ngomong-ngomong aku baru sadar kalau aku senang sekali menggunakan adegan ponsel sebagai awalan hehe.
“Mbak yang perwakilan dari pelatihan pengajar bahasa Jepang PT Naruyama?” Aku yang tengah berada di kantor subag akademik menoleh, seorang pria paruh baya menghampiriku.“Iya Pak, ada apa?”“Ini tadi kata Pak Dekan suruh ambilin meja di gudang buat depan kelas. Saya kira yang ke sini laki-laki, tahu-tahu perempuan. Sebentar ya Mbak.”Aku hanya mengangguk dan membiarkan bapak tersebut pergi. Beberapa menit kemudian aku menganga melihat meja yang diangkut.Meja mahasiswa yang cukup untuk meja dua orang.Aku buru-buru membantu bapak tersebut dan seorang janitor yang agak kesulitan membawa meja tersebut.“Udah mbak, gak usah.”Aku awalnya bingung untuk apa meja tersebut, kemudian aku menemukan jawabannya. ========= Aku ingin menghela napas menghadapi tumpukan berkas. Hari ini adalah hari pertama pelatihan dengan agenda tes penempatan kemampuan mengajar dan bahasa Jepang. Tentu saja ada berkas yang harus dikumpulkan. Aku menatap seorang ibu yang kutaksir usianya sekitar 30-an. Aku sebena
“Nasi padaangg … yash … “ aku dengan antusias membuka bungkusan tersebut. Aku membeli nasi padang dengan menu rendang. Aku sudah lama ingin makan nasi padang, tapi karena alasan umur aku sudah mengurangi konsumsinya sejak lama. “Halo, boleh bergabung?” Aku dan Kang Ujang serentak menoleh, “Silahkan sensei!” Kawata sensei lalu duduk di sebelahku. “Faihah, kenapa menumu berbeda?” “Aku hanya diberi uang makan sensei, karena aku hanya bagian dari proyek ini,” jawabku. “Oh, tapi aku ingin makanan seperti milikmu. Aku rindu makanan Indonesia.” Kawata sensei pernah tingal di Indonesia selama lima tahun untuk belajar bahasa Indonesia, dan sering mendapat murid bahasa Jepang dari Indonesia. “Yuichi sensei sedang bersama Yuanita, Sensei?” “Iya, Yuanita bilang ada beberapa hal yang ingin ditanyakan mengenai materi dan jadwal pengajaran, karena kedepannya kelas akan diadakan di sore hari. Aku tidak mau pusing-pusing karena sudah tua, jadi biarkan saja Haru yang masih muda untuk me
“Fay, ayo ikut.” Aku yang tengah merapihkan berkas menoleh, “Seo sensei? Ikut ke mana?” “Makan bersama,” jawab Seo sensei. Tidak lama Kawata sensei keluar, diikuti dengan Haruka dan Yuanita dari ruangan sebelah. Seo sensei menoleh ke arah Yuanita, “Yuanita, saya sudah mengecek tempat kuliner yang kamu rekomendasikan, sepertinya enak. Hari ini saya ingin mengajak kalian dan para sensei ke sana.” Yuanita mengangguk dengan antusias, “Ayo sensei!” Tanpa sadar aku menatap Yuanita dan merasa penasaran, tempat apa yang dimaksud oleh Yuanita? === Aku merapatkan bibir melihat sebuah durian yang sudah terbelah menjadi tiga. Diam-diam aku ingin menghela napas panjang. Aku tidak bisa makan durian. “Kamu tidak makan, Fay?” Aku menoleh, “Saya tidak bisa makan durian, Sensei.” Seo sensei mengerutkan dahi, “Tahu begitu, kamu pilih saja buah yang lain.” Aku bengong ketika Seo sensei mengeluarkan sebuah kartu, “Pakai kartu ini untuk membayarnya.” Aku menerimanya dengan agak canggung dan bang
Aku mengehela napas di atas motor. Ini sudah rumah ketiga yang aku dan Haruka datangi. Tidak ada lagi rumah yang akan dikontrakan di dalam lingkungan rumah. Haruka lalu menghampiriku. Haruka menghampiriku dan mengerutkan dahi, “Kamu kenapa?” “Sekarang kamu mau ke mana lagi?” Haruka terdiam sejenak, “Kamu lelah?” Aku hanya mengangguk, “Aku ingin rebahan dan istirahat. Sudah malam juga." Haruka tiba-tiba tertawa, “Jangan terlalu sering rebahan, punggungmu bisa keropos nanti.” Suasana hening sejenak. “Kamu mau makan dulu sebelum antar aku pulang?” Aku mengerutkan dahi, “Tadi belum cukup?” “Kamu pikir itu makan sore? Kita hanya makan buah.” Aku hanya bisa mengangguk, “Benar sih.” “Ayo kamu makan di mana? Aku yang traktir.” Aku tersenyum lebar mendengar perkataan Haruka. === Tek! Dua piring nasi dengan lauk makanan laut tersaji di atas meja. "Kamu yakin bisa menghabiskannya?" "Aku yakin kamu bisa membantuku menghabiskannya, Fay." "Ish!" aku melotot sedangkan Haruka terkeke
“Faihah sensei.”Aku sontak menoleh ke arah suara dan mengangguk, “Eh iya Bu.”Aku lalu menoleh dengan canggung ke sekeliling akibat disapa secara tidak terduga oleh beberapa peserta pelatihan. Aku lalu menghampiri tukang minuman untuk membeli segelas teh hangat.“Bu saya duluan ya.”“Iya sensei.”Sebenarnya orang-orang yang aku panggil ibu kebanyakan dari mereka usianya sepantar atau hanya berbeda beberapa tahun saja. Bedanya mereka semua sudah menikah, dan aku rasa kebanyakan dari sudah punya anak, karena aku sering tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.Cuma entah kenapa aku jadi merasa canggung ketika mengobrol dengan mereka walaupun hanya sekedar percakapan ringan. Rasanya seperti berinteraksi dengan orang dari berbeda dunia. Mungkin karena aku adalah orang yang aneh.“Sensei?”Kawata sensei yang sepertinya baru sampai dikelas menoleh, “Oh Fay, masuk!”Aku mengambil kursi meja dan duduk di depan Kawata sensei.“Kamu sendirian? Kemana yang lain?”“Mungkin belum sampai, sensei.”
“Sensei, di sini kosong?” Aku yang tengah makan siang yang terlambat sontak menoleh, dua perempuan yang aku kenali sebagai peserta kelas pengajar bahasa Jepang berdiri di depan meja yang aku tempati. “Eh … silahkan Teh!” keduanya lalu duduk di depanku. "Kok jam segini udah datang, Teh?" Jadwal kelas memang akan dimulai satu jam lagi alias pukul 3 sore. "Iya sensei, kebetulan saya sama Sarah gak ada jadwal ngajar habis zuhur, jadi mending nunggu di sini aja." Aku hanya mengangguk mendengar jawaban salah satu dari mereka. “Sensei namanya siapa?” tanya perempuan yang menggunakan hijab panjang sepertiku. “Faihah, teteh? Eh ngomong-ngomong aku panitia loh, bukan pengajar!” “Oh iya-iya Teh, hehe. Aku Siti.” “Aku Nurul.” “Oh iya Teh Siti, Teh Nurul. Salam kenal. Ngajar di sekolah mana?” Tanpa diduga percakapan kami mengalir cukup lancar, sampai sebuah suara menginterupsi kami. “Di sini kosong?” Kedua orang di depanku menoleh ke belakang punggungku, “Gak kang, akang gak boleh ja
“Fay, kamu lagi ada di rumah kosan?” “Iya, kenapa?” “Aku berada di depan rumah kosan. Tolong ke depan.” Aku buru-buru keluar sembari memegang mukena. Benar saja, Haruka tengah berdiri di depan pagar. “Kenapa?” Haruka menoleh, “Sini.” Aku berjalan menghampirinya hingga kami hanya terpisahkan oleh pagar. “Aku butuh bantuanmu, temani aku belanja.” Aku mengerutkan dahi, “Kamu mau masak?” Haruka mengangguk, “Aku ingin mengundang kalian dan para peserta pelatihan untuk makan di rumahku.” Aku mengerutkan dahi, “Kamu serius?” Haruka tidak langsung menjawab, “Aku belum begitu yakin, menurutmu bagaimana?” “Tujuh belas orang, belum termasuk aku dan kamu. Itu jumlah yang lumayan banyak. Kamu sanggup masak sendirian? Kalau pesan makanan jadi juga mengeluarkan biaya yang lumayan. Lagipula kenapa kamu ingin mengundang orang-orang makan di rumahmu? Ini tidak seperti dirimu yang biasanya.” Haruka menghela napas, “Hiroki hyung yang kerap memberiku saran seperti itu.” “Kamu tidak harus mengi
Aku reflek berjalan ke dapur untuk mengambil beberapa alat makan. Benar saja, Haruka berada di dapur. “Di mana alat makannya?” Aku meletakkan barang-barang yang aku dan Seo sensei beli di atas meja dapur.“Kamu membeli apa?” Tanpa diduga Haruka berdiri di sebelahku dan membuka bungkus yang aku beli. “Bungkusan dari Seo sensei untukmu.”Haruka tiba-tiba tertawa, “Ini kamu yang memilihnya?”Aku tidak langsung menjawab dan menatap Haruka.Wajah Haruka seketika mendadak kembali datar, “Kamu kenapa?” Aku kembali memandangi plastik lalu menggeleng, “Tidak apa-apa. Aku membantu Seo sensei memilih barangnya. Dimana alat makannya?”“Sensei!” Reflek aku menoleh, rupanya Yuanita muncul di balik tembok.“Ayo makan, semuanya sudah siap.”Haru reflek menghampiri Yuanita, “Nasinya sudah? Alat makan?”Aku berjalan mengikuti Haruka, rupanya semuanya sudah siap di atas meja makan. Lengkap termasuk dengan buah-buahan yang sepertinya dibeli oleh Kawata sensei. Aku duduk di antara Kawata sensei dan Uja
"Teteh, ada yang ingin ibu bicarakan ke kamu."Badanku mendadak merinding mendengar perkataan ibuku. Sore ini aku memang mampir ke rumah ibuku sebelum kembali ke rumah kosan. Aku menyebutnya rumah kosan karena itu adalah rumah keluargaku yang dijadikan kosan.Aku yang duduk di kursi meja makan hanya memandang ibu, "Kenapa Bu?"Ibu yang baru saja pulang dari sekolah menghempaskan badan di kursi depanku. "Tadi pengacara keluarga Shireen ke kelas ibu."Deg! Kini aku tahu kemana pembicaraan ini mengarah. "Sebelumnya maafin ibu Teh, ibu gak tahu kalau kamu juga korban di kampus itu ... maafin ibu Teh."Aku paling benci momen seperti ini, karena otomatis ada air mata yang akan keluar. Mendadak aku bangkit dan membawa tas ku keluar dari rumah. "Teteh, mau kemana??"Aku tidak menjawab, hanya memundurkan motor dengan kasar. Tiba-tiba aku kehilangan kendali. Brak!Motor ku terjatuh begitu saja. Aku hanya memandangi motorku dengan tatapan kosong. Aku lalu jongkok dan meletakkan kepala di ba
“Teteh, kata Yuanita kamu lagi dekat dengan yang dulu mengajar Mumtaz di sekolah?” Aku yang tengah menggulir sosial media dalam ponsel menoleh, “Gurunya Mumtaz peserta pelatihan, Bu.” “Kang Rian lebih muda dibanding Teteh tahu bu.” Mumtaz tiba-tiba menyela. “Ya teruuus,” alih-alih malah aku yang menyahut. “Teteh pacaran sama Pak Rian?” “Teteh hanya kenal biasa. Gak usah ngadi-ngadi (mengada-ada) deh.” Malam itu aku sedang menginap di rumah ibuku. Mumtaz sedang memijat pundak ibu. “Tapi Kang Rian orangnya baik kan Taz? Ibadahnya bagus?” “Baik sih Bu, salatnya gak pernah ketinggalan sih … kayaknya mah …” “Kalau kamu sama dia, ibu dukung aja sih Teh ...” Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di balik perkataan ibuku. “Ibu sudah pasrahkan segalanya kepada Allah, kamu juga sudah dewasa hampir 30 tahun, ibu juga serahkan apapun pilihan jodohmu. Tapi ibu harap setidaknya jodohmu harus yang satu iman.” Aku lagi-lagi tidak menjawab. “Apa kamu masih belum bisa memaafka
Pagi ini aku mengantar adikku yang sedang pulang kampung dari kampusnya ke pameran kampus yang diadakan di SMA tempat aku belajar dulu. “Teh Faihah?”Aku seketika menoleh dan menyipit melihat seseorang yang rasanya tidak asing.“Oh A Rian?”A Rian menghampiriku dengan motornya, “Habis antar Mumtaz Teh?”Aku mengangguk, “Iya, A Rian?”“Habis antar ponakan Teh, dia katanya mau lihat-lihat kampus.”Aku mengangguk-angguk. Tiba-tiba sesuatu melintas dalam benakku, tapi aku ragu untuk mengatakannya.“Teh Faihah mau langsung balik?”Aku menggeleng, “A, mau lihat-lihat dalam juga gak? Saya penasaran soalnya mau lihat sekarang pamerannya seperti apa.”“Oh boleh. Parkir di luar aja Teh, di dalam sekolah biasanya susah buat keluar.”“Oke A.”Suasana sekolah ramai dengan anak-anak menggunakan baju bebas dan membawa tas. Di bagian lapangan terdapat beberapa kedai makanan sementara yang padat oleh pengunjung. Aku memandangi kelas-kelas yang ditempel oleh label kampus. “Teh Faihah pernah ke sini
“Miss Ningsih!” Aku sontak menoleh mendengar suara yang tidak asing.Hari ini sekolah tempat ibuku mengajar mengadakan sebuah open house untuk semua unit sekolah dari TK sampai SMA. Aku sedang membantu temanku semasa SMA menjaga stand makanan di open house tersebut. “Ooh, Kak Yuanita. Gak bareng sama Kak Sherin?”Aku nyaris saja mengumpat dan buru-buru duduk di belakang Tari, temanku sekaligus pemilik stand makanan, agar tidak terlihat. Padahal jelas-jelas dia lebih pendek dariku.Tari seketika menoleh, “Lu ngapain deh?” Aku tidak langsung menjawab. “Teteh? Faihah?”“Tuh, Mak lu manggil!”“Ini gue berkata kasar bisa gak sih.”Mau tidak mau aku bangkit dan keluar dari stand lalu menghampiri kedua orang itu.“Teh Faihah?”Aku tidak tahu harus menyapa seperti apa, syukurlah ibuku menyelanya.“Kamu kenal sama Yuanita, Teh?”“Iya Miss, aku sama Teh Faihah lagi bareng satu proyek.”“Oh, yang program pengajar bahasa Jepang itu?”“Iya Miss.”“Ya sudah kak, Miss tinggal dulu ya. Nanti kalau k
“Menurutmu bagaimana performa mengajar Pak Nandang?”Tanganku memegang kemudi dengan erat karena berpapasan dengan truk yang lumayan besar, membuatku tidak bisa langsung menjawab pertanyaan Kawata sensei. “Jika saya berada di posisi sebagai murid, penyampaiannya sudah cukup baik, sensei.”"Ah begitu." Suasana hening sejenak. "Aku dengar Nandang-san termasuk populer. Semua orang membicarakan tentangnya.""Saya tidak begitu tahu, Sensei. Namun, dari berkasnya saya rasa bukan orang yang main-main. Hanya beliau yang punya sertifikat JLPT N2, Sensei.""Benarkah? Tidak heran dia bisa masuk kelas Haruka. Dia awalnya akan dimasukkan ke dalam kelasku, tapi karena kemampuan bahasa Jepang dia sudah tinggi, kami putuskan dia akan masuk ke kelas Haruka."Aku berusaha keras mendengarkan perkataan Kawata sensei sembari menyetir. Ini bukan jalanan yang biasa aku lewati, dan banyak sawah di pinggir jalan kanan dan kiri. "Tapi sensei akan mempertimbangkan hasil wawancara dia tadi?""Hmmm ... aku belu
“Bu Faihah?”Lamunanku buyar. Padahal aku berharap yang memanggilku janitor, rupanya tidak sesuai harapan. Aku kembali menatap para guru di depanku.“Untuk apa yang terjadi di masa lalu itu adalah urusan Yuichi sensei.” Akhirnya aku mulai angkat bicara, “Yuichi sensei tidak akan menjadi pengajar jika tidak berkompeten, baik itu dari kinerja atau dari cara dia dalam mengelola emosi. Perusahaan cukup ketat dalam menyeleksi, apalagi ini menyangkut nama baik perusahaan juga.”Aku terdiam, bingung ingin melanjutkan dengan apa. “Mengenai keterangan Kang Ujang, memang benar saya mengenal Yuichi sensei sebelum proyek ini berlangsung. Yuichi sensei sebenarnya tidak semenakutkan yang ibu atau bapak pikirkan.” Tiba-tiba aku menatap Pak Peter, “Seperti Pak Peter lah, kelihatannya garang padahal hatinya hello kitty.”Pak Peter tiba-tiba tersipu dan menatap ke arah Pak Salim, “Pak Haji! Benarkan kata Teh Faihah, Saya itu badannya saja yang sangar, aslinya saya nih …” tangan Pak Peter mendadak berge
Aku memandangi empat orang yang duduk membentuk formasi lingkaran. Selepas dari kantor dinas, kami kembali ke kampus. Seo sensei mengumpulkan semua pengajar dan panitia setelah kegiatan belajar selesai. “Tadi aku rapat bersama dengan pihak kampus, tadi ada juga pihak dari dinas.” Seo sensei mulai berbicara, “Untuk penilaian bulanan, aku memutuskan satu pengajar akan bertugas menilai di satu sekolah didampingi oleh satu asisten.” Aku kaget ketika Seo sensei mendadak memandangku, “Kawata sensei akan didampingi oleh Faihah, sedangkan Yuichi sensei akan didampingi oleh Yuanita. Kontak masing-masing penanggung jawab sekolah sudah ku serahkan kepada Faihah, sudah kamu kontak, Fay?” “Beberapa sensei, tapi kebanyakan dari mereka belum mengirim jadwal mengajar guru.” “Baik, tidak apa-apa.” Seo sensei melanjutkan, “Yuichi sensei dan Yuanita akan menilai murid-murid kelas Kawata sensei, Kawata sensei dan Faihah akan menilai murid kelas Yuichi sensei.” “Sesuai pengaturan, Faihah akan menjadi
“Mbak mau kemana?”Aku menoleh, seorang petugas keamanan hotel mendadak berdiri di belakangku.Tanganku teracung begitu saja ke pusat perbelanjaan yang tepat berada di samping hotel, “Ke sana gak bisa ya, Pak?”“Ya gak bisa Mbak, Kan ini buat parkir hotel.”Aku mengangguk dengan canggung, “Oh begitu ya Pak. Saya mau ke lobi hotel Pak, harus jemput bos saya.”Aku merasa kikuk ketika petugas itu memandangiku dengan tatapan menyelidik, “Benar nih, Mbak?”Aku buru-buru menunjukkan chat Seo sensei kepada petugas itu. Aku tidak tahu harus bereaksi apa ketika petugas itu kebingungan membaca chat Seo sensei yang seluruhnya menggunakan bahasa Jepang. “Ya sudah Mbak. Tapi bener ya?”“Iya Pak.” Saya lalu buru-buru berjalan seribu langkah sebelum urusan menjadi rumit. Seo sensei pagi ini mendadak menghubungiku karena Kang Ujang mendadak sakit. Jadi mau tidak mau aku harus menjemputnya di hotel. Aku tidak tahu kenapa harus menjemputnya di hotel, alih-alih di apartemennya.Aku celingak-celinguk me
Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan Kawata sensei lalu menggeleng, “Tidak sensei.”Mendadak aku merasa gugup ketika menyadari semua pandangan tertuju kepadaku, “Dari pengamatanku belum menunjukkan perilaku yang aneh.”“Semoga saja tidak.” Aku hanya menggangguk dan mengiyakan perkataan Kawata sensei.Sepanjang pembicaraan mereka aku terhanyut dengan pikiranku sendiri. Sebenarnya aku merasa aneh, kelas Haruka bisa dibilang ditujukan untuk para guru yang kemampuan bahasa Jepangnya sudah sangat baik. “Fay?”Sontak aku menoleh, “Kenapa sensei?”“Aku ingin pulang, kamu mau ikut? Atau tetap di sini?”Aku reflek membereskan perlengkapanku, “Saya ikut sensei.”Kawata sensei dan aku lalu bangkit dan pamit kepada orang-orang di ruangan.“Kamu tidak pulang Hiroki?” Kawata sensei bertanya.Seo sensei menggeleng, “Saya sepertinya ingin di sini lebih lama, sensei.”“Baiklah, aku dan Faihah pamit duluan ya.”“Baik sensei.”===== Aku membuka pagar ketika melihat sesosok tinggi yang berdiri di