Hampir semalam suntuk aku tidak bisa memejamkan mata usai bertemu dengan Bella dipernikahan Mela. Rasanya seperti mimpi buruk karena selama hampir dua tahun ini aku berusaha keras menghapusnya dari ingatanku. Dia memang wanita cantik, tapi buruk hatinya.Ah, sudahlah. Seharusnya aku tidak terlalu menyalahkannya karena pada dasarnya aku sendiripun juga salah telah dengan sengaja menduakan Namira dengan wanita seperti itu. Sekarang aku sadar jika Namira memang tidak pantas disamakan dengan wanita manapun, dan sedihnya sekarang semua sudah terlambat.Pagi ini aku bersiap-siap hendak ke rumah Namira. Rasa rinduku pada anak-anak sudah tak terbendung lagi. Ibuku pun juga, aku sangat merindukannya.Em ... Sebenarnya dengan Namira juga, tapi aku sudah tidak memiliki kuasa atas hal itu. Lebih baik aku memendam perasaan ini sendiri saja.Kemeja biru sudah bertengger di badanku. Gku mematut diri di depan kaca. Wajahku masih tampan, tubuhku masih kekar, tapi entah kenapa hatiku justru sangat rap
'Bugh'Sebuah pukulan mendarat dengan sempurna di pipi kiriku. Tak tanggung-tanggung, Hendra memukuliku lagi hingga empat kali. Dan hal itu sukses membuat sudut bibirku berdarah."Ada apa ini?" tuturku tak paham dengan mengusap sudut bibir yang sudah basah dengan darah.Wajah Hendra merah, sorot matanya pun tajam. Raut wajahnya benar-benar mengisyaratkan sebuah amarah dalam dirinya. Namun kenapa?Bahkan sampai sekarang aku masih belum paham dengan pesannya pagi tadi. Aku, mengganggu istrinya? Apa aku salah baca? Bahkan aku saja sudah muak dengannya."Jangan banyak bicara! Kamu memang pantas mendapatkan ini!" teriaknya lantang di depan rumahku dengan hendak memukulku lagi.Namun kali ini aku berhasil menangkisnya. Tangan Hendra kupegangi hingga tak bisa mengenai pipiku lagi."Hentikan. Ada apa ini!" Kuputar pergelangan tangannya hingga ia berbalik kesakitan.Awalnya aku tak tahu akan diserang, oleh sebab itu aku bisa berdarah seperti ini. Aku dan Hendra sama-sama duda. Bahkan ketika m
Dua tahun berpisah, dan Namira sudah siap mengarungi bahtera rumah tangga baru? Aku kira dia akan lama mendapatkan gantiku, nyatanya tidak.Aku pikir berpisah dariku akan meninggalkan bekas yang dalam hingga akan lama membuka lembaran baru. Bukankah biasanya wanita akan seperti itu? Terlebih Namira pasti sibuk mengurusi kedua anak kami dan ibuku.Bagaimana bisa, dia justru sudah akan menikah? Dasar, ternyata dia sama saja.[Kamu akan menikah?]Kukirimkan pesan balasan dengan santun meski sebenarnya hatiku terbakar. Entah, ini perasaan apa. Perasaan cemburu, atau tak terima.Sekitar lima menit pesanku tak mendapatkan balasan. Mungkin dia pun sedang sibuk membalas atau mengirimkan pesan pada yang lain.Kuteguk minuman dingin di hadapanku, lalu kusandarkan tubuhku di kursi. Semenjak berpisah dengan Namira ataupun Bella, kini aku tinggal disebuah kontrakan di salah satu perumahan.Semua uang gajiku sudah berhasil masuk kembali ke rekening setelah aku membuat rekening baru setelah sebelumn
Ahmad masih tertegun dengan keterkejutannya. Dia tak berkedip dan tak berkomentar saat aku menjelaskan soal masalaluku dengan Bella.Memang selama ini Ahmad adalah orang yang tahu banyak soal hidupku, tapi dia tak tahu soal Bella. Aku sengaja menutupi jati diri wanita keduaku karena tak ingin oranglain nantinya akan mengolokku.Namun ternyata rencana Tuhan jauh lebih dari yang aku bayangkan. Mau sejauh apapun aku berlari, jika masalah itu hendak datang kepadaku, maka memang akan datang dengan sendirinya."Hei, biasa aja natapnya, nanti suka loh sama aku," ucapku meledek dengan gaya kemayu.Ahmad lantas mengangkat kedua bahunya bergidik, lalu memalingkan wajahnya. Sedangkan aku hanya terkekeh pelan. Aku tahu jika apa yang kukatakan ini benar-benar mengejutkannya."Gil* kamu, Bro.""Ya, aku memang gil*. Gil* wanita dan gil* nafs*. Namun sekarang aku sadar jika semua itu justru membuatku pada kemalangan. Andai dulu aku tak bernafs* memiliki dua istri, mungkin semua tak akan jadi seperti
Lagi-lagi aku pulang dengan gontai setelah mendapat penolakan dari Namira. Bagaimana tidak, dia dan anak-anak terlihat sangat bahagia sekarang. Sepertinya kehadiranku pun tak terlalu berpengaruh baginya.Semakin kesini aku semakin sadar jika dia memang sudah tidak dapat lagi ku gapai. Namiraku yang dulu tak akan pernah kembali lagi padaku.CkkiiittttAku menginjak pedal rem kuat ketika ada sesuatu yang tiba-tiba saja melintas di depanku. Rasanya aku seperti menabrak sesuatu, tapi apa?Tanpa pikir panjang aku pun lantas turun dan melihat apa yang sekiranya tadi ku tabrak. Dan syukurlah, memang tak ada sesuatu pun yang kutabrak. Mungkin tadi hanya halusinasiku saja."Gara-gara Namira aku bisa sampai nggak fokus gini, " gerutuku sembari masuk lagi ke dalam mobil.Saat sampai di mobil aku sengaja mengecek ponselku, barangkali ada pesan yang masuk saat aku fokus menyetir tadi. Dan benar saja, memang ada pesan masuk dari Hendra.[Bagaimana? Apa kamu sudah jera? Kalau belum, aku bisa melakuk
"Mau apa kamu datang kemari?" tanya Hendra ketika aku mengunjungi kediamannya. Aku hanya tersenyum tipis, lalu duduk di sebelahnya tanpa perintah darinya. Biar saja, semua ini memang harus segera kuselesaikan. Dari awal kedatanganku, aku tak melihat keberadaan Bella. Entah dimana ia sekarang, yang pasti kedatanganku kemari hanya ingin meluruskan yang seharusnya saja. "Slow saja, kawan. Bukankah kemarin kita itu sahabat baik?" Aku sengaja mengingatkan soal persahabatan kami dulu. Sebelum Bella merusak semuanya tentunya. Hendra hanya tersenyum miring, lalu mengalihkan pandangan dariku. "Iya itu dulu, sebelum kamu menggoda istriku. Aku tahu kamu itu duda dan sudah pasti kesepian. Tapi bukan berarti kamu bisa menggoda istriku sesuka hatiku seperti ini. Aku jadi nyesel udah bawa istriku keacara malam itu," tuturnya membuatku kembali tercengang. Bagaimana tidak. Kami yang dulunya sangat akrab sekarang harus melewati hal seperti ini. Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah ini semua h
Aku masih tertegun setalah membaca pesan dari Ahmad. Memang benar Namira akan segera menikah lagi, tapi rasanya hatiku masih enggan untuk mengakuinya jika sekarang dia sudah berhasil bangkit dan menemukan kehidupannya lagi. [Iya, benar]Singkat, tapi balasanku itu membuatku sangat sakit. [Apa kamu baik-baik saja]Aku sengaja tak membalas pesannya kali ini. Gegas aku lantas menginjak pedal gas dan, berlalu pulang ke rumah. Rasanya aku sangat butuh istirahat sekarang. Tak hanya ragaku saja, tapi jiwaku juga benar-benar butuh istirahat. Masalah demi masalah selalu datang, bahkan sebelum aku berhasil menyelesaikan masalah sebelumnya. Mungkin ini balasan dari Tuhan atas semua yang sudah kulakukan selama ini. Namun begitu aku masih bisa bersyukur karena nyatanya aku masih diberikan kesempatan untuk hidup dan bernafas sampai hari ini dan itu artinya aku masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaiki semua kesalahanku dimasalalu. Pengkhianatanku pada Namira, anak-anak dan Ibu adala
"Eh, maaf, Pak. Saya tidak sengaja," tutur seorang perempuan yang baru saja menabrakku. Aku hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk, "tak apa. Lain kali hati-hati," jawabku singkat lalu melanjutkan langkahku. Hari ini semua pekerja memang terlihat terburu-buru karena memang akan ada acara besar di kantor. Ya, hari ini ada acara ulangtahun kantor yang ke dua puluh lima tahun dan semua karyawan dilibatkan dalam acaranya. Tak terkecuali aku, saat ini aku ditugaskan untuk menyambut beberapa relasi yang sengaja diundang untuk memeriahkan acara. Bukan tanpa alasan, aku merupakan salah satu karyawan yang berpengaruh di kantor ini sehingga tak heran jika aku didaulat untuk menyambut tamu penting. Perempuan yang baru bertabrakan denganku itu masih intens menatapku. Dia tersenyum dengan sangat manis sampai-sampai aku sendiripun tak sadar masih memandanginya. Sepertinya itu karyawan baru, karena wajahnya masih asing bagiku. Wajar saja, aku bekerja sudah cukup lama di tempat ini jadi sudah
"Kamu sudah siap?" bisik Leo di telingaku. Aku hanya mengangguk singkat, lalu berjalan pelan ke arah wanita yang sudah menungguku di depan sana. Jantungku berdegup kencang, tak kalah ketika menikah dengan Namira dulu. Di belakangku ada setidaknya sepuluh orang yang menemaniku termasuk Ahmad, Namira dan Hendra. Aku tak membawa banyak orang karena memang tempatnya tak dekat dengan tempat tinggal kami. Aku hanya membawa teman-teman dekatku saja. Clara terlihat sangat cantik hari ini. Senyum manisnya mengembang di sudut bibirnya. Kulihat kedua orangtuanya juga sangat bahagia hari ini. Sebetulnya aku sedikit berkecil hati karena takut jika orangtuanya akan menolakku. Bagaimana tidak, Clara itu masih gadis sedangkan aku adalah seorang duda beranak dua yang mana aku sangat wajib menafkahi kedua anakku meski sudah tak bersama ibunya. "Sebenarnya, kedatangan saya kemari adalah ingin mempersunting Clara, Pak, Bu." Ingatanku kembali pada sebulan yang lalu saat aku pertama kali datang kemari
Aku tidak ingin berlama-lama, semua langsung kubicarakan diintinya saja. Biarlah, aku memang ingin semua segera cepat selesai dan mendapatkan jawaban atas semua yang kurasakan. "Maksud Anda?""Jangan memanggilku seperti itu. Ini kan sudah diluar pekerjaan, sekarang yang ada adalah Rey dan Clara."Kulihat ia menghela nafas lagi, "baiklah. Maaf jika kemarin aku lancang mengirimkan surat itu padamu. Sebenarnya.... ""Justru karena itu aku datang kemari ingin berterimakasih padamu karena berkat surat itu sekarang aku bisa membuka mata lebar-lebar bahwa memang sudah saatnya aku memikirkan soal perasaanku dan aku memang sudah bangkit. Clara, tujuanku datang kemari adalah ingin benar-benar serius dengan seluruh perkataanmu itu. Bisakah aku memulai semuanya dan singgah di hatimu? Jika kamu berkata iya, aku siap kapanpun kamu bersedia kunikahi," kataku tanpa ragu sedikitpun karena aku memang sudah yakin dengan apa yang kurasakan ini. Clara terlihat sedikit terkejut, lalu menggeleng. "Tapi ak
Jantungku berdegup kencang saat pesawat yang membawaku sudah hampir sampai. Ini kali pertama aku pergi jauh sendirian dan tanpa alamat yang pasti. Bisa saja alamat yang diberikan oleh Clara saat itu pada Ahmad tak nyata, tapi konyolnya aku tetap terbang dan mencarinya. Dan ini juga merupakan kali pertama aku menginjakkan kaki di pulau Sumatera. Bahkan aku sama sekali tidak mengenal siapapun disini. Semoga saja perjalananku kali ini lancar hingga aku bisa bertemu dengan Clara. Setelah memantapkan hati selama seminggu ini aku akhirnya benar-benar terbang ke Sumatera. Awalnya aku ragu dengan perasaanku sendiri. Clara, karyawan baru yang mengaku menyukaiku. Aku mengira jika dia tak benar-benar serius dengan perkataannya, bahkan aku hanya menganggapnya lelucon. Terlebih saat Ahmad selalu menjodohkanku dengannya. Aku pikir memang Ahmad ingin aku bangkit dan melupakan masalaluku. Namun ternyata dia sendiri justru memendam perasaan pada wanita itu.Entah aku ini bisa disebut sebagai teman
Aku masih tertegun dengan semua penjelasan Ahmad mengenai semua perasaannya selama ini pada Clara. Sedikitpun aku tak menyangka bahwa justru dia yang memiliki perasaan pada wanita itu. "Em, aku tak tahu harus bicara apa," kataku seraya menatapnya yang baru jujur kepadaku. "Bro, setidaknya aku pun sudah lega sekarang. Meskipun dia tak bisa kuraih tapi aku sudah cukup dengan berkata jujur padamu, dan sekarang aku mau kamu mengejarnya. Aku yakin hatimu pun tak sedingin itu, kan?" tanyanya sontak membuatku terkejut lagi."Maksud kamu?""Hahaha, sudahlah. Kita ini sama-sama sudah dewasa. Aku tahu maksudmu dan kamu pun pasti tahu apa yang kumaksud," katanya lagi. Aku mengalihkan pandangan darinya, jujur saja aku masih benar-benar terkejut dengan semua penuturannya. Kedatanganku yang awalnya hanya ingin mencari tahu perihal foto yang ia kirim nyatanya justru mengejutkanku seperti ini. Sebetulnya aku pun merasa bersalah pada Ahmad karena sebagai seorang sahabat aku justru tidak tahu menge
Tiga hari sudah kepergian Ibu. Semakin kesini aku tak semakin terbiasa tapi justru semakin terbayang-bayang. Bagaimana tidak, ia adalah wanita yang sudah melahirkanku ke dunia. Dari kecil aku selalu dimanja dan semua keinginanku dituruti olehnya.Sedikitpun tak ada perlakuan kasar darinya meski aku sudah menyakiti hatinya. Kesalahanku pada Namira, adalah salah satu dosa yang sampai saat ini mungkin tak bisa terhapus.Aku begitu tega menyakiti hati ibuku dengan menduakan Namira. Namira adalah menantu kesayangan Ibu sampai-sampai ketika kami berpisah Ibu justru memilih tinggal bersama mantan istriku itu.Jangan tanya seberapa besar penyesalanku. Sungguh, mungkin jika diukur tak akan pernah ada habisnya.Seharusnya aku bisa membahagiakan Ibu, tapi nyatanya sampai akhir hayatnya aku justru tak ada di sampingnya. Jika aku masih diberi kesempatan mungkin aku akan memperbaiki semua yang sudah pernah kulakukan dulu.Kuusap air mata yang menggenang di pelupuk mata, lalu bangkit setelah mencium
Pikiranku sudah melayang. Aku tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Di dalam sana Ibu tengah berjuang sendiri, dan itulah yang membuatku merasa tidak berguna menjadi seorang anak. "Tolong selamatkan Ibu saya, Pak. Saya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Ibu," tuturku sendu, dan memang itulah yang terjadi. Dokter itu hanya mengangguk dan terlihat memberikan senyuman dari balik masker yang ia kenakan. Meski aku merasa jika dokter itu hanya ingin membuatku tenang, tapi nyatanya aku memang sedikit tenang usai dokter menjawab iya atas semua perkataanku. "Banyak-banyak doa saja ya, Pak. Saya akan usahakan yang terbaik," ucapnya sebelum pada akhirnya meninggalkanku, Namira dan Leo. Namira masih menangis di pelukan suaminya, sedang aku lantas duduk di kursi panjang sembari menahan air mataku agar tak jatuh. Bukan perkara apa, aku hanya tidak ingin jika air mataku justru akan membebani Ibu di dalam sana. Apapun yang nantinya terjadi, aku akan ikhlas dan memang harus ikhlas. Buk
"Mas Ibu pingsan, aku sama Mas Leo sudah membawanya ke Rumah Sakit Sehat Sentosa. Kamu bisa kesini nggak?" ucap Namira panik dari seberang sana. Aku yang semula masih fokus ke layar komputer lantas mengalihkan pandangan. Memang tak biasanya Namira menghubungiku tengah hari begini. Dan benar saja, dia membawa berita buruk. "Pingsan?""Iya, sekarang masih ada IGD," ujarnya lagi dengan sedikit kebisingan di belakang sana. "Ba-baik aku akan segera kesana."Tanpa banyak bicara aku lantas bergegas setelah mendapatkan ijin pada Bos. Beruntung, aku bekerja di tempat yang tepat sehingga saat-saat genting seperti ini aku bisa langsung mendapatkan ijin dengan mudah. Pertanyaan yang dilontarkan beberapa teman kantor tak kuhiraukan karena pikiranku sangat kalut. Mereka bertanya mengenaiku yang terlihat sangat terburu-buru. Wajar, biasanya aku ini orangnya sangat tenang, tak seperti hari ini. "Hei, kamu mau kemana? Buru-buru banget," teriak Ahmad yang melihatku berjalan setengah berlari ketika
Seminggu berlalu dan pada akhirnya Clara sudah bisa kembali masuk kerja. Seperti biasa, ahmad selalu meledekku soal Clara. Padahal aku sendiri belum memikirkan apapun. Jangankan untuk membuka hati lagi, berbincang dengan wanita dengan intens saja rasanya masih enggan. "Kamu udah nengokin Clara? Dia udah masuk tuh," ledek Ahmad ketika sampai di ruanganku. Aku hanya meliriknya sekilas, lalu menggeleng. "Ih parah banget. Aku kira kamu bakal lebih perduli, dulu aja pas baru pingsan kamu sampai bela-belain ke rumah sakit."Kutarik nafasku dalam, lalu kuletakkan bolpoinku. "Ya itu karena kemanusiaan, lagipula waktu itu aku udah nengokin jadi sekarang nggak lagi," jawabku sekenanya, malas berdebat dengan Ahmad. "Yaudah kalau gitu, aku mau keruangan dia dulu."Ahmad berlalu setelah aku tak terlalu menanggapi perkataannya. Biarkan saja, pasti dia nanti akan kembali ke ruangan ini lagi. Tiba-tiba aku teringat soal perkataan Clara tempo hari waktu di rumah sakit. Katanya dia mau resign, tapi
"Selamat, ya. Semoga bahagia," ucapku seraya menyunggingkan senyum kecut. Namira dan suaminya tersenyum dan menyambut uluran tanganku. Kedua anakku pun terlihat sangat bahagia di kursinya. Mereka duduk dengan neneknya alias ibuku. Tak kalah dengan kedua anakku, ibu juga terlihat bahagia. Apa hanya aku saja yang saat ini terlihat sedih? Sebenarnya aku juga tak terlalu memperlihatkan kesedihanku karena rasanya tak etis jika aku masih bersedih ketika mantan istriku menikah lagi. Terlebih semua ini terjadi juga karena ulahku sendiri. Aku menarik nafasku dalam, lalu kuhembuskan. Namira dan Leo tidak boleh tahu jika sebetulnya aku ini masih sedikit tak rela atas pernikahan mereka. "Terimakasih, terimakasih juga sudah berkenan hadir," jawab Namira singkat. "Em, aku mohon ijin untuk ikut serta merawat dan membesarkan anakmu." Kali ini Leo berkomentar, dan lagi-lagi aku hanya tersenyum kecut. Andaikan saat itu aku tak gegabah, pasti saat ini semua masih menjadi milikku. Dan tentu saja an