Via masih terus memohon kepada papanya agar mau menikahkan dirinya dengan Reza. Jika tidak maka Via akan masuk jeruji besi. "Papa gak bisa Via, Papa gak mungkin menikahkan kamu dengan laki-laki pengangguran seperti Reza. Dulu saja dia benar-benar membuat papa pusing," tolak Pak Abas dengan tegas.Via memegang tangan papanya, menatap dengan sorot memohon. Mungkin pernikahannya dengan Reza hanya sebuah tragedi, tetapi dia butuh ayahnya sebagai wali yang sah untuk menikahkannya."Apa gak ada laki-laki lain Via, kamu bisa memilih siapa pun asalkan jangan Reza!""Bagaimana bisa memilih, mereka 'kan udah tidur bareng, sampai digerebek warga lagi," celetuk Raysa yang sontak membuat Pak Abas melirik Via.Kalimat Raysa juga membuat mata Via terbelalak, kenapa bisa Raysa tahu dengan semua ini. Ucapan Raysa akan memperkeruh keadaan dan benar saja, begitu Via melirik papanya, Pak Abas sudah menatapnya dengan tajam. Emosi Pak Abas kembali tersulut dengan ucapan Raysa.Belum sempat Via membela dir
“Bisa izinkan saya bicara sebentar dengan Reza?” tanya Via pada petugas kelurahan yang sejak awal menangani kasusnya dan Reza. Petugas itu menatap Via untuk beberapa saat. Kemudian, memintanya untuk bicara di ruangan sebelah karena Reza sedang berada di sana. Selain takut mereka akan kabur, petugas tersebut juga mengambil jalur aman karena ruangan itu masih bisa dia awasi lewat kaca penyekat. “Jangan berpikir untuk melakukan hal macam-macam,” ucapnya. Via berdecak, gadis itu memutar bola mata pertanda bahwa dia sudah lelah dengan semua tuduhan yang mengarah pada dirinya itu. “Sampai kapan kalian akan terus termakan salah paham dan larut dalam praduga sendiri?” tanya Via yang kemudian langsung pergi menemui Reza di ruangan yang disebutkan oleh petugas kelurahan tadi. Petugas itu tampak membuka mulut. Hendak menyahuti perkataan Via. Namun, gadis itu sudah terlebih dahulu masuk dan tak lagi mempedulikan.“Kamu sudah kembali?” tanya Reza begitu melihat Via datang. Via mengangguk. “Ada
“Via, aku pun sama sepertimu yang tidak menginginkan pernikahan seperti ini. Andai memang kita harus menikah, aku ingin semuanya berjalan seperti seharusnya, ada cinta dan cerita yang mendebarkan di dalamnya,” ucap Reza sambil bangkit dan kembali berdiri di hadapan Via. Dia menyunggingkan sebuah senyum tulus. Untuk beberapa saat, Via merasakan jantungnya berhenti berdetak. Dia merasa bahwa Reza seperti sedang menyatakan cinta. Namun, tentu saja rasa itu segera ditepis karena Via berpikir hal itu tidak mungkin terjadi. Lagipula andai perasaan itu benar, Via juga tak berniat untuk menerima. Alasannya tentu saja sudah jelas. Bukan karena status duda, tetapi status Reza yang sebelumnya merupakan suami Raysa. “Itu artinya kamu sepakat kita tidak harus menikah sekarang bukan?” tanya Via dan Reza mengangguk. “Tapi… kamu sudah membatalkan niat untuk membawa masalah ini ke polisi bukan?” “Kenapa kamu begitu ketakutan?” Alih-alih menjawab, Via malah berbalik memberi pertanyaan karena di mat
“Mereka sudah keterlaluan,” ujar Reza yang tersenyum hambar menatap rekaman itu. “Apa kita harus tindak lanjuti semuanya?” tanya Dani yang mana sedari tadi dia ingin bergerak, tetapi menunggu persetujuan dari Reza lebih dulu. Reza menepuk pundak Dani sembari tersenyum hampa. Menurutnya tidak harus, karma akan datang dan tak pernah salah alamat. Mereka hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja, untuk membalas semuanya. Setidaknya Reza jadi tahu siapa dalang di balik kejadian ini. “Mendingan kamu pergi deh, daripada buat malu. Ulah kamu itu bikin nama baik kos ini jelek, gimana kalau nanti semua orang anggap semua penghuni kos di sini murahan juga kayak kamu, hah?!” teriak seseorang yang membuat Reza dan Dani langsung mengalihkan perhatian. Reza melirik ke dalam kos, di mana dia melihat Santi tengah memarahi Via. Ini pasti ulah Raysa lagi, pasti mantan istrinya itu yang menyuruh Sa
“Usia kalian tidak lagi muda begitu pula dengan eyang yang semakin hari kian menua. Sebelum cahaya terakhir untuk eyang tiba, eyang ingin kalian segera menikah agar jika nanti harus pergi pun eyang merasa tenang.”Wanita paruh baya bernama Wiryo itu menatap kedua cucunya yang duduk berseberangan. Dia sengaja memanggil mereka untuk membahas pernikahan yang ingin dia saksikan sebelum ajal menjemput. Entah kapan, tetapi sebelum itu dirinya ingin melihat Reza dan Candra memiliki pendamping.“Kata-kata apa itu, Eyang? Eyang belum setua itu,” ucap Reza. Eyang Wiryo tersenyum. “Mungkin benar, tetapi namanya ajal, siapa yang tahu. Jadi, Eyang harap kalian segera menikah. Selain itu, eyang ingin memastikan sesuatu pada kalian. Tentang saham dan semua hal yang kita punya saat ini, tolong jangan bertengkar hanya karena harta. “ Reza dan Candra saling bertukar pandangan. Namun, dengan perasaan berbeda. Jika Reza mengiyakan keinginan eyang Wiryo, maka Candra
Keadaan sudah kembali tenang. Waktu makan malam pun tiba dan semua makanan sudah terhidang di meja. Untuk mengurangi ketegangan dan menyambung kembali komunikasi yang harmonis, eyang Wiryo mengajak kedua cucunya untuk duduk bersama di meja makan. Usai menyantap makanan, eyang Wiryo memulai pembicaraan. Kali ini, bukan tentang perusahaan, tetapi kembali pada topik awal. Yaitu tentang pernikahan. Beliau bertanya tentang rencana pernikahan Reza dan Nadia. “Sudah sampai mana persiapan kalian?” tanyanya. Namun, Reza tak memberi jawaban pasti karena dia sudah menikah dengan Via. Rasanya mustahil untuk bisa segera mengurus pernikahan dengan Nadia yang dia sendiri tidak yakin itu akan terjadi. Akan tetapi, dia juga belum bisa berterus terang pada semua orang tentang dirinya saat ini. "Tadi Nadia telpon Eyang. Katanya kamu akan mengumumkan pertunangan kalian?" tanya Eyang yang tak dijawab oleh Reza"El, jangan menggantungkan Nadia. Nadia benar
Rasa penasaran Via menuntunnya untuk melihat lebih dekat. Perlahan dia membuntuti Nadia dan menyaksikan sendiri bagaimana Reza menyambutnya. Mereka kemudian terlibat obrolan dan tak lama masuk bersama ke kamar. “Apa yang mereka bicarakan?” Mendadak keingintahuan Via meningkat beberapa kali lipat. Pikiran buruk menyerang, membuat curiga beranak pinak memunculkan beberapa praduga. Karena penasaran yang tak bisa diabaikan, Via mendekat dan coba mendengar percakapan Nadia dengan Reza dari balik pintu. Sedemikian rupa dia mengatur posisi agar mendapat apa yang diinginkan. Sementara di dalam, Reza tengah melakukan pembahasan serius dengan Nadia. Perihal rencana pernikahan mereka. “Jadi, kapan kamu akan mengumumkan pertunangan kita dan menetapkan tanggal pernikahan? Aku sudah tidak tahan dan ingin semua ini cepat berakhir,” ucap Nadia. “Aku tahu apa yang menjadi kekhawatiranmu, tapi untuk saat ini aku belum bisa melakukannya.” Reza membuang napas kasar pertand
Via menunggu dengan tidak sabar tentang apa yang ingin segera dia dengar. Matanya menatap Reza dengan gelisah dan penuh tuntutan. “Kenapa kamu membawa masuk wanita itu ke kamarmu? Setelah tidak bisa bicara denganku kamu langsung mencari wanita lain dengan mudah?” tanya Via pada akhirnya. Gadis itu meledak karena tidak tahan dengan semua pertanyaan yang terus berputar di kepala. Reza yang belum mengerti arah pembicaraan Via hanya bisa mengerutkan kening. “Wanita siapa maksudmu?” “Sudahlah. Jangan pura-pura tidak tahu dan bingung seperti itu. Kejadiannya belum lama, bahkan belum ada satu hari. Mustahil rasanya untuk lupa.” Via membuang muka. “Sungguh, aku sama sekali tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.” “Sebentar. Apa mungkin kamu menjadi seorang pria panggilan? Astaga jika itu benar, maka aku sungguh tidak bisa hidup denganmu.” “Bisa kamu perjelas ke mana arah pembicaraan ini? Kenapa tiba-tiba menurutku begitu? Memang apa yang sudah aku lakukan?” “Kamu membawa seorang w
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi
Senja mulai menampakkan diri, tanda bahwa aktivitas kantor akan segera berakhir. Beberapa karyawan bahkan sudah ada yang pulang karena memang sudah waktunya.“Terima kasih untuk hari ini, Dani. Kamu melakukannya dengan sangat baik,” ucap Reza sebelum dirinya memutuskan untuk pulang. “Sama-sama, Tuan. Saya hanya melakukan bagian saya. Selebihnya, itu karena memang, Tuan sendiri yang sangat kompeten.” Reza menepuk pundak Dani, “Terima kasih sekali lagi. Sekarang pulanglah.” Dani mengangguk, kemudian pamit. Reza sendiri langsung menuju area parkir dan bergegas. “Aku pulang!” Reza membuka pintu rumah dan mengabarkan kepulangannya dengan gembira. Matanya berbinar, penuh kepuasan.Tanpa menunggu sambutan, Reza masuk dan mencari Via untuk berbagi kebahagiaan. Namun, alih-alih Via, dia juga menemukan Eyang Wiryo dan Candra. Mereka sedang duduk di ruang tamu, sambil mengobrol. “Kapan kalian tiba?” tanya Reza. Setelah menyalami tangan neneknya dan duduk di sebelah Via. “Belum lama. Bagaim
Raysa benar-benar dibuat mati kutu. Penolakan terang-terangan yang dilakukan Reza, berhasil merobohkan harga dirinya. “Kalian berdua memang tidak berguna sejak awal. Pasangan serasi, penghancur!” teriak Raysa dengan tawa sumbang. Menatap tajam Reza dan Via secara bergantian, kemudian keluar dari rumah itu dengan segala rasa kesal dan juga penyesalan yang mendalam. “Dasar bodoh, Raysa bodoh!” katanya tak henti merutuki diri sendiri. Bahkan setelah sampai di mobil pun, dia masih melakukannya sambil menangis. Sementara itu, Reza dan Via terjebak dalam hening yang janggal. Keduanya masih larut dalam perasaan mengganjal di hati masing-masing. “Via, maaf jika aku terlalu kasar pada Raysa,” ucap Reza, memulai kembali pembicaraan. “Tak perlu minta maaf. Karena nyatanya itu adalah apa yang kamu rasakan terhadap dia. Aku tidak tahu apa saja yang sudah dia lakukan padamu, tetapi itu pasti cukup menyakitkan. Tak apa, semoga itu membuatnya sadar.”Meski sedikit terkejut dengan apa yang dikatak
Beberapa hari berlalu. Randi masih setia datang ke klinik untuk melaksanakan tugasnya sebagai manager. Selama itu pula, sejak pertengkaran dengan Reza, dia tak pernah mendapat atau mengirim pesan pada Via. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Randi kembali mengecek ponsel. Berharap ada pesan dari Via. Tak apa jika pesan itu berisi kemarahan atau luapan kekecewaan, Randi akan menerima. Daripada terus tanpa kabar, bahkan di klinik pun dia tak bisa bertemu karena Via belum masuk. Sejak saat itu, hari demi hari dijalani Randi dengan rasa penyesalan. Dia bahkan sampai memblokir nomor Raysa dan memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita itu. Dia juga telah memiliki rencana untuk mengundurkan diri dan pergi dari Harua. Demi apa pun, dia tak sanggup harus berhadapan dengan Via. Namun, tak ingin disebut pengecut karena pergi begitu saja. Setidaknya ada satu kali pertemuan, sebelum semua benar-benar berakhir. Di sisi lain, Raysa semakin merasa kesal. Dia benar-benar sendiri sekar
“Ada apa denganmu?” tanya Raysa. Keningnya mengkerut dan tatapannya serius memperhatikan Randi yang baru saja datang. Mereka jadi bertemu di kafe yang tak jauh dari klinik. Awalnya Randi menolak karena masih merasa marah dan tak ingin bertemu siapa pun. Namun, karena Raysa sudah sampai dan merengek akhirnya dia menuruti wanita itu. “Dari awal seharusnya aku tidak ikut campur dalam ide gilamu itu,” ketus Randi seraya membuang napas kasar. “Apa terjadi sesuatu?” “Menurutmu?” Randi membulatkan mata, menatap tajam Raysa. Sementara telunjuk kanannya menunjuk tepat pada luka di wajah. “Kamu tidak melihat ini?” “I-itu–” “Reza sudah tahu semuanya. Tak ada harapan, kacau!” Mata Raysa membesar, membulat sempurna. Rasa tenang yang di bawa sebelumnya, langsung lenyap tanpa sisa. Untuk beberapa saat, Raysa hanya bisa terdiam. “Saat kita bicara lewat telepon tadi, Reza ada di belakangku.” Raysa mengembus napas kasar, jemari menyentuh kening, dan sedikit menekannya. Dia seketika men
Tanpa berlama-lama, Reza menuruti keinginan Via. Satu botol air mineral berukuran sedang, yang tutupnya sudah dibuka, dengan segera dia berikan pada sang istri. Setelahnya barulah Reza bergegas keluar untuk memanggil perawat. Tak perlu waktu lama, Reza sudah kembali bersama dua orang perawat. Mereka menyapa Via dengan ramah, kemudian memeriksa keadaannya. “Untuk trimester awal, memang normal terjadi seperti ini. Untuk kedepannya, mungkin bisa lebih diperhatikan soal makanan apa saja yang memang tidak bisa masuk, kemudian bisa diganti dengan makanan lain,” jelas salah satu perawat. “Tapi, ini tidak berbahaya bukan?” Dua perawat itu tersenyum, “Tidak, ini normal dan biasanya berhenti sendiri ketika usia kandungan memasuki trimester dua. Untuk membantu asupan nutrisi, Ibu mungkin bisa mulai mengkonsumsi susu khusus untuk ibu hamil.” “Baik. Terima kasih, sus,” ucap Reza. Kedua perawat itu mengangguk, kemudian pamit karena Via sudah baik-baik saja sekarang. Mualnya juga sudah hilang.
Randi melepaskan tubuhnya dari pegangan dua orang karyawan yang tadi menahannya. “Ngapain masih di sini, Kerja!” bentaknya dengan tatapan tajam, menyiratkan ketidaksukaan. Beberapa karyawan yang semula berkerumun untuk membantu atau hanya sekadar ingin tahu, otomatis membubarkan diri. Memilih untuk tahu diri, daripada kehilangan pekerjaan. Pura-pura untuk tidak tahu dan tak membahas kejadian sebelumnya. Setidaknya, tidak di hadapan Randi. Setelah memberikan perintah, Randi bergegas ke ruang kerjanya. Di sana, dia mengaktifkan kamera ponsel untuk memeriksa keadaan wajah. Ada lebam yang cukup kentara di pipi kiri, sudut bibir juga sobek sehingga memperlihatkan cairan berwarna merah yang sedikit menggumpal di sana. Randi menyeka bagian itu dengan kasar. Kemudian, dia berteriak seraya menggenggam ponselnya. Beruntung tidak sampai hancur. Keadaannya benar-benar kacau sekarang. Bukan hanya penampilan, tetapi juga pikiran. Dia mulai merasa takut dan gelisah tentang respon Via. Apalagi se
“Sebenarnya apa saja yang kamu yang kerjakan?” Raysa langsung membentak Randi begitu panggilan teleponnya terjawab. “Pekerjaan apa?” Randi yang tidak tahu menahu soal kekesalan Raysa tentu saja merasa bingung dan terkejut. Raysa mengambil napas dalam, karena sebenarnya Randi tak tahu menahu tentang apa yang dia bicarakan dengan Reza semalam. Gengsi terlalu kuat, Raysa belum mau mengakui kekalahan. Setidaknya untuk sekarang. “Kamu sudah mengirim fotoku dengan Reza semalam? Sudah membuat Via cemburu?” Randi sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya me jawab pertanyaan Raysa. “Aku sudah melakukannya. Namun, belum ada balasan dari Via. Pesannya juga baru dilihat pagi ini dan dia belum datang. Ada apa, kenapa kamu terdengar sangat kesal?” Helaan napas kasar terdengar di telinga Randi. Pertanda bahwa lawan bicaranya memang sedang dalam kondisi yang tidak baik. “Rencanaku soal Reza tidak berjalan mulus. Bahkan dia mulai curiga kalau kecelakaan itu hanya sebuah sandiwara. Bagian dari renca