Via bergegas ke kamar Reza untuk memastikan uang 10 Milyar yang sebelumnya dibicarakan. Beberapa waktu lalu, dia berjelajah di situs jual beli tempat dan menemukan lokasi yang cocok untuk memulai usahanya. Bahkan dia pun langsung memastikannya kepada Randi dan mendapat lampu hijau dari pria tersebut. Sesampainya di depan kamar Reza, Via langsung masuk karena memang pintu kamar itu tidak tertutup sepenuhnya. Namun, begitu menginjakan kaki di area dalam, Via terkejut saat melihat Dani. Akan tetapi, yang lebih membuatnya terkejut adalah posisi duduk Reza yang di matanya terlihat tidak sopan. Dia duduk dengan posisi tumpang kaki, punggung menyandar di sofa, satu tangan berada di dagu persis seperti orang yang sedang berpikir, dan satu tangan lagi mengetuk-ngetuk permukaan sofa. “Astaga.” Via menggeleng tak percaya melihat kelakuan Reza. Dia pun kemudian menyapa Dani dengan sopan dan memberikan Reza tatapan super tajam. Via memukul lengan atas Reza yang semula mengetuk permukaan sofa d
Via tersenyum lebar. Setelah berhasil menguasai perasaan dia pun menghubungi Randi untuk menanyakan perihal tempat yang sebelumnya mereka bicarakan lewat telepon. Reza sempat bertanya mengapa harus Randi, tetapi Via menjawab jika pria itu cukup bisa diandalkan perihal jual beli tanah. Waktu berlalu, setelah mendapat tanah yang diincar Via langsung memulai pembangunan klinik. Dia turun langsung untuk memastikan semuanya karena tidak mau ada dana yang keluar tanpa kejelasan. Meski dia memakai sistem borongan kepada tukang, tetapi dia tetap ingin memastikan karena uang yang dipakai bukan uang pribadi miliknya. Selain mempersiapkan klinik, Via juga mulai berbelanja kebutuhan lain yang salah satunya tentu saja bahan untuk skincare. Namun, karena kesibukannya ini, Via jadi jarang mengunjungi sang ibu. Bahkan terhitung sejak membangun klinik, dia belum sama sekali ke panti jompo. Karena itulah, Via pada akhirnya meminta Reza untuk menemui ibunya di panti terlebih dulu dan akan menyusul
Via dan Reza masih berada di dalam keheningan, setelah sedikit menceritakan kisah hidupnya, bibir via pun bergetar sembari berkata, “Maafkan aku,” ucap Via ketika tak bisa lagi menahan air mata yang akhirnya mengalir dan membasahi pipi. Segera dia membersihkannya sambil membuang muka karena tak ingin Reza melihat. Sementara, Reza hanya mengangguk paham. Tak mudah memang menceritakan perihal keadaan keluarga pada orang lain. Terlebih tentang kisah menyedihkan macam itu. “Jangan minta maaf. Kamu tidak salah apa pun.” Tangan kanan Reza menyentuh pundak Via dan menepuknya pelan. Pria itu mencoba untuk memberikan rasa nyaman. Via kembali menarik napas dan menembusnya dengan sangat pelan kali ini. “Raysa ingin menikah dengan anak orang kaya dan dia ingin memperbaiki statusnya di dokumen kenegaraan. Kamu tahu, ibunya Raysa tidak punya buku nikah resmi,” katanya sambil menyeka sisa air mata. Reza mengangguk paham. Pikiran sempat tertuju pada Candra begitu Via menyebut soal Raysa yang aka
Tanpa memedulikan Reza, Via langsung menghampiri Bella. Dia memegang pergelangan tangan temannya tersebut dan membawanya ke area kamar mandi. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Via menuntut penjelasan. “Hal yang sama ingin kutanyakan padamu,” balas Bella. Beberapa saat, keduanya hanya saling menatap. Sama-sama menuntut penjelasan tentang keberadaan masing-masing. “Aku yang pertama kali memberi pertanyaan. Jadi, jawab saja dulu,” tegas Via. Bella mengembus napas pasrah. “Kamu tidak melihat seragam yang aku kenakan?” “Kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu sudah lupa dengan apa yang dilakukan Raysa terhadap kita dulu? Dia hampir membuatmu dipenjara.” Bella menarik napas dalam. Melirik seseorang yang tengah mencuci tangan di wastafel. Seragam mereka sama. “Kamu tahu, dari awal membelamu itu menjadi sebuah kesalahan untukku. Lagipula, jika diingat aku dapat masalah saat itu karena dirimu bukan? Jadi, jelas bukan Raysa yang jadi penj
Via tiba-tiba menarik tangan Reza, saat tubuh laki-laki itu hendak memasuki sebuah toko perabotan rumah tangga. Via menariknya menjauh dari pintu, kemudian tangannya mengisyaratkan agar Reza membaca nama tokonya.Reza yang tak paham malah menggerak-gerakkan alisnya, membuat Via langsung menarik Reza agar mendekat. "Kamu tahu berapa harga barang-barang di dalam sana? Jadi mendingan kita cari toko yang biasa aja, banyak kok," bisi Via."Aku mau yang di sini." Reza kembali berniat melangkah, saat kakinya bergerak, Via kembali menariknya lagi."Uang kita gak akan cukup Za, atau kita mau cari-cari aja buat referensi terus kita beli di toko lain. Sepakat?" ujar Via lagi.Reza mengangguk saja dan tangannya langsung menggenggam Via, membawanya masuk ke store perabotan yang dikenal dengan harga yang lumayan. Ada harga ada kualitas, itu memang timeline yang tepat untuk semua barang mewah.Via hanya celingukan, dia sesekali membuka tag di barang-bar
Reza tersenyum sembari menggerak-gerakkan alisnya, mengejek Raysa kalau memang dia mampu membeli semua barang mahal itu. Raysa menghentakkan kakinya, lantas pergi dari sana. Dia kesal karena tak berhasil mempermalukan Via dan Reza."Kamu gila ya, ini 300 juta loh, kita bisa membeli yang harganya jauh lebih murah!" protes Via sembari menarik tangan Reza."Gak apa-apa, sekali-kali 'kan gak ada salahnya," balas Reza yang terdengar meremehkan nominal yang baru saja mereka hamburkan."Iya, tapi kalau kamu beli yang harganya mahal juga kita bisa bangkrut. Gimana kalau uangnya habis gitu aja?" Reza tersenyum pada kedua pelayan toko yang masih berdiri di sana, menunggu keputusan mereka untuk membayar semua barang itu. "Ini kayu jati, kita bisa menjualnya lagi nanti. Tenang aja, semakin lama harganya semakin mahal, jadi nanti kita bakalan untung," bisik Reza.Via menahan dirinya, dia melihat pelayan toko yang masih menatap mereka berdua membuat Via akhirnya setuju. Dia juga malu kalau harus m
Perawat hanya mengizinkan Pak Abas saja yang masuk, kemudian Pak Abas mengangguk kepada putri dan istrinya, meyakinkan mereka kalau dia akan mencaritahu semuanya. "Kalian di sini aja, Papa bakalan cari tau semuanya."Pak Abas pun masuk dan langsung menemui Diana, istri yang sudah dia tinggalkan. Kondisi Diana masih sama, dia masih banyak diam dan tak mengenali banyak orang. Diana mengabaikan kedatangan Pak Abas yang datang sembari marah-marah."Di mana kamu simpan sertifikat itu, Diana?" tanya Pak Abas.Pak Abas mondar-mandir, bahkan dia membuka lemari pakaian dan juga laci-laci di setiap lemari yang ada di kamar Diana. Dia terus bertanya soal keberadaan sertifikat rumah."Jawab dong, selain gila kamu juga bisu, hah?!" teriaknya seraya mencengkram wajah Diana."Aku ada di posisi ini karena kamu Diana, andai kamu gak gila aku gak bakalan jadi kayak gini!" teriaknya lagi.Abas kembali mengobrak-abrik tempat itu, sementara di luar sana Via kembali ke panti jompo dan bertemu dengan Raysa
“Sebaiknya kita segera pindah,” ajak Reza dan tanpa berlama-lama Via langsung menyetujuinya karena merasa panti sudah tidak begitu aman untuk ibunya. Maka, saat itu juga Via langsung mengemas barang-barang ibunya. Kemudian dia mengurus semua administrasi dan izin keluar dari panti. Sesampainya di rumah yang akan mereka tinggali untuk ke depannya, Reza meminta Via dan ibunya duduk sejenak sekadar beristirahat sebelum membereskan barang bawaan. Via terpesona untuk beberapa saat melihat rumah yang isinya kini sudah tertata rapi. Gadis itu membatin merasa tak percaya sekaligus beruntung. Sementara itu, Reza bergegas ke dapur untuk menyiapkan minum. Dia membuat dua gelas jus jeruk dan langsung menyajikannya untuk Via juga ibunya setelah selesai. “Minumlah dulu,” ucap Reza sambil ikut duduk bersama dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya. “Kamu hanya membuat dua?” tanya Via. “Aku sudah menghabiskan satu gelas di dapur tadi,” jawab Reza bohong. Dia terlalu haus, tetapi demi mengha
Di apartemennya, Randi termenung dengan pikiran yang berkecamuk. Fakta bahwa Johan adalah kakaknya tidak mudah ia cerna. Ia duduk di kursi, memandangi meja yang penuh dengan dokumen yang diberikan Johan sebelumnya, termasuk hasil tes DNA palsu."Kalau aku percaya Johan, apa yang akan terjadi dengan Via? Dengan Reza?" gumam Randi, suaranya berat.Namun, di tengah kebimbangannya, ponselnya berdering. Nama Johan muncul di layar. Dengan enggan, Randi mengangkat panggilan itu."Randi," suara Johan terdengar tajam, "aku butuh jawabanmu sekarang. Kamu di pihakku atau tidak?"Randi terdiam. "Johan, kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu harus membuat semua ini rumit?""Karena aku tidak akan diam sementara Reza mengambil semua yang seharusnya milik kita!" bentak Johan. "Dia hanya pura-pura baik, Randi. Dia memanfaatkan kamu dan Via!""Via nggak ada hubungannya dengan ini!" balas Randi, mulai kehilangan kesabaran."Oh, tentu saja ada," Johan tertawa sinis. "Kamu pikir dia benar-benar peduli pad
Malam itu, Randi berjalan sendirian di taman dekat apartemen. Ia mencoba mencerna semua yang terjadi—hubungan barunya dengan keluarga Reza, ancaman Johan, dan masa lalunya yang mulai kembali menghantuinya.Tiba-tiba, seseorang muncul dari bayangan. Itu Johan, dengan senyuman licik di wajahnya.“Randi,” panggil Johan dengan nada dingin.Randi terkejut. “Johan? Apa yang kamu lakukan di sini?”Johan mendekat, matanya memancarkan aura intimidasi. “Aku hanya ingin mengingatkan kamu sesuatu. Jangan terlalu percaya pada Reza. Dia hanya menggunakanmu.”Randi menatap Johan dengan bingung. “Maksudmu apa?”Johan tersenyum kecil. “Reza bukan pahlawan seperti yang kamu pikirkan. Dia hanya peduli pada keluarganya, bukan kamu. Kamu hanyalah alat baginya.”Randi terdiam, kata-kata Johan mulai memengaruhi pikirannya.“Aku bisa membantumu,” lanjut Johan. “Kita adalah keluarga, Randi. Aku adalah kakakmu, darah dagingmu. Kamu bisa memilih, tetap menjadi bayangan Reza, atau bergabung denganku dan mengambi
Malam itu, di tengah situasi yang semakin memanas, Reza memutuskan bahwa ia harus mengambil kendali. Tidak hanya demi keluarganya, tetapi juga untuk melindungi Via dari segala bahaya yang mungkin mendatanginya.Di ruang kerja kecil di apartemen Randi, Reza berdiri dengan tatapan serius di depan papan yang dipenuhi peta dan catatan strategi. Tangannya menggenggam spidol, mencoret-coret skema rencana yang rumit namun brilian.“Kita nggak bisa terus bertahan seperti ini,” ucap Reza dengan suara tegas. “Johan sudah melangkah terlalu jauh. Sekarang giliran kita yang memukul balik.”Randi dan Via memperhatikan dengan saksama. Bahkan Randi, yang biasanya penuh ide, memilih untuk mendengarkan. Ada sesuatu dalam nada suara Reza—keyakinan yang kuat, dan kepercayaan diri seorang pemimpin.“Langkah pertama, kita harus memastikan dokumen ini tetap aman,” lanjut Reza, menunjuk pada map yang berisi bukti transaksi ilegal Johan. “Aku akan menyerahkan salinannya ke pengacara keluarga kita besok pagi.
Kecurigaan BaruVia dan Randi mulai menyusun rencana untuk menyelidiki Johan. Meski awalnya ragu untuk bekerja sama lagi, Via menyadari bahwa pengalaman mereka sebelumnya bisa menjadi keunggulan. Randi, di sisi lain, merasa kesempatan ini adalah cara untuk melindungi Via dan membuktikan dirinya bukan ancaman bagi keluarga Wiryo.Malam itu, di sebuah apartemen kecil yang disewa Randi, mereka membahas dokumen dan informasi yang telah dikumpulkan Randi selama ini.“Johan ini lebih berbahaya dari yang kita kira,” ujar Randi sambil menunjukkan dokumen dengan tanda tangan palsu yang sempat ditemukan Chandra. “Dia memalsukan dokumen keuangan perusahaan keluarga kamu untuk mengalihkan dana ke rekening pribadinya. Tapi itu bukan yang paling parah.”Via mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”“Johan juga bekerja sama dengan beberapa pihak eksternal untuk mengambil alih aset keluarga kamu. Kalau rencananya berhasil, dia nggak cuma mencuri uang, tapi juga kendali penuh atas perusahaan.”Via menggigit
Sementara itu, di sudut kota yang jauh dari hiruk-pikuk rumah Eyang Wiryo, Johan duduk di ruang kantor kecilnya, mengamati dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja. Ia memegang salah satu dokumen utama yang berkaitan dengan aset keluarga Wiryo, khususnya properti yang baru saja dibeli oleh perusahaan mereka.“Jadi, keluarga besar itu memang punya banyak rahasia,” gumam Johan dengan senyum licik. “Aku cuma perlu satu langkah lagi untuk membuat semuanya berantakan.”Seorang pria dengan tubuh kekar masuk ke dalam ruangan. “Pak Johan, tim sudah siap. Tinggal tunggu perintah Bapak.”Johan mengangguk. “Bagus. Pastikan semua berjalan mulus. Kita harus buat mereka tertekan. Kalau keluarga itu mulai goyah, aku akan masuk dan mengambil apa yang seharusnya jadi milikku.”Pria itu mengangguk sebelum keluar meninggalkan Johan dengan rencana jahatnya.Via duduk di ruang tamu, termenung memikirkan kepergian Randi. Meski ia tahu keputusan itu yang terbaik, ada rasa bersalah yang masih mengganjal.
Johan tertawa. “Kalian pikir bisa menghentikanku? Semua ini sudah berjalan terlalu jauh. Keluarga kalian akan kehilangan segalanya, dan aku akan menikmati setiap detiknya.”Namun, sebelum Johan bisa melanjutkan, Via dengan tenang mengeluarkan rekaman suara dari ponselnya.“Kita sudah merekam semua pengakuanmu,” kata Via sambil menekan tombol putar.Johan langsung panik. “Kalian nggak punya bukti cukup untuk menjatuhkanku!”“Tunggu saja,” jawab Reza dingin. “Kami punya lebih dari yang kamu bayangkan.”Dengan bukti rekaman dan dokumen, keluarga Wiryo akhirnya memiliki dasar kuat untuk melaporkan Johan ke pihak berwajib. Namun, mereka tahu bahwa perjuangan belum selesai.Di tengah semua kekacauan itu, hubungan antara Via dan Randi semakin rumit. Randi, yang masih menyimpan perasaan untuk Via, mulai merasa sulit menyembunyikan emosinya.“Aku nggak tahu apa aku bisa tetap di sini setelah semua ini selesai,” kata Randi pada Via suatu malam.Via menatapnya dengan penuh pengertian. “Kenapa ka
Malam itu, Reza memutuskan untuk menghubungi seorang teman lamanya yang bekerja di kepolisian untuk meminta bantuan. Temannya, Pak Anton, menyarankan agar mereka mengatur pertemuan rahasia untuk mendiskusikan langkah selanjutnya.Di sisi lain, Randi merasa bersalah karena semua ini terjadi akibat masa lalu ibunya. Ia mendekati Via yang sedang duduk di teras rumah.“Via, aku nggak tahu apakah semua ini layak diperjuangkan. Kalau aku tahu ibuku memang salah, aku nggak akan terus mencari,” katanya dengan suara rendah.Via menatapnya dengan penuh empati. “Randi, kamu nggak bisa menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi di masa lalu. Yang penting sekarang adalah mencari kebenaran. Kalau kamu menyerah sekarang, itu artinya kamu membiarkan mereka menang.”Randi tersenyum tipis, meski rasa cemas masih menyelimuti hatinya. “Kamu benar. Aku nggak akan mundur. Terima kasih, Via.”Namun, di balik percakapan itu, Reza memperhatikan mereka dari kejauhan. Ada perasaan tak nyaman di hatinya seti
Randi berdiri termenung di depan rumah Bu Diana, memandangi surat yang baru saja diberikan Chandra. Perasaan campur aduk menghantuinya. Ia tahu ia harus menemukan kebenaran, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk membersihkan nama ibunya.Di sisi lain, Via merasa tidak tenang setelah berbicara dengan Randi. Ia melihat ketulusan di mata pria itu, namun situasi yang rumit membuatnya tak bisa berbuat banyak.“Via, aku nggak tahu siapa lagi yang bisa aku percaya,” kata Randi ketika Via kembali menghampirinya. “Aku cuma punya satu orang di pikiranku yang mungkin bisa bantu menjelaskan semuanya. Tapi aku butuh bantuanmu.”Via mengernyit. “Siapa?”“Pak Surya, mantan rekan kerja ibuku. Dia yang tahu banyak tentang masa lalu keluarga kami,” jawab Randi. “Tapi aku nggak tahu di mana dia sekarang. Kalau kamu bisa bantu aku menemukannya, aku janji ini nggak akan lama.”Via ragu, tapi ia tahu bahwa Randi memang membutuhkan bantuan. “Oke. Aku akan coba cari informasi tentang Pak Surya.”Semen
Suasana di rumah Bu Diana kembali memanas. Randi datang untuk berbicara dengan Reza dan keluarganya. Kehadirannya langsung menciptakan ketegangan. Chandra, yang sejak awal menaruh curiga pada Randi, memutuskan untuk tidak ikut berkumpul, tetapi memantau dari jauh.Bu Diana duduk di sofa dengan Via di sampingnya. Wajahnya tegang, tetapi ia mencoba untuk menjaga sikap. Reza berdiri di depan Randi, ekspresinya sulit ditebak.“Aku tahu kalian masih sulit menerima aku,” Randi membuka pembicaraan. Suaranya tenang, tetapi penuh ketegangan. “Tapi aku nggak punya niat jahat. Aku hanya ingin menemukan tempatku di sini, keluarga yang selama ini aku cari.”Bu Diana menghela napas panjang. “Randi, aku paham kalau kamu merasa begitu. Tapi yang kamu harus tahu, keluarga ini punya luka yang masih sulit sembuh. Kehadiranmu… membawa banyak kenangan buruk.”Randi menunduk sejenak, lalu menatap Bu Diana. “Aku nggak berniat membuka luka itu lagi, Tante. Tapi aku punya hak untuk tahu siapa aku sebenarnya.