Tanpa memedulikan Reza, Via langsung menghampiri Bella. Dia memegang pergelangan tangan temannya tersebut dan membawanya ke area kamar mandi. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Via menuntut penjelasan. “Hal yang sama ingin kutanyakan padamu,” balas Bella. Beberapa saat, keduanya hanya saling menatap. Sama-sama menuntut penjelasan tentang keberadaan masing-masing. “Aku yang pertama kali memberi pertanyaan. Jadi, jawab saja dulu,” tegas Via. Bella mengembus napas pasrah. “Kamu tidak melihat seragam yang aku kenakan?” “Kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu sudah lupa dengan apa yang dilakukan Raysa terhadap kita dulu? Dia hampir membuatmu dipenjara.” Bella menarik napas dalam. Melirik seseorang yang tengah mencuci tangan di wastafel. Seragam mereka sama. “Kamu tahu, dari awal membelamu itu menjadi sebuah kesalahan untukku. Lagipula, jika diingat aku dapat masalah saat itu karena dirimu bukan? Jadi, jelas bukan Raysa yang jadi penj
Via tiba-tiba menarik tangan Reza, saat tubuh laki-laki itu hendak memasuki sebuah toko perabotan rumah tangga. Via menariknya menjauh dari pintu, kemudian tangannya mengisyaratkan agar Reza membaca nama tokonya.Reza yang tak paham malah menggerak-gerakkan alisnya, membuat Via langsung menarik Reza agar mendekat. "Kamu tahu berapa harga barang-barang di dalam sana? Jadi mendingan kita cari toko yang biasa aja, banyak kok," bisi Via."Aku mau yang di sini." Reza kembali berniat melangkah, saat kakinya bergerak, Via kembali menariknya lagi."Uang kita gak akan cukup Za, atau kita mau cari-cari aja buat referensi terus kita beli di toko lain. Sepakat?" ujar Via lagi.Reza mengangguk saja dan tangannya langsung menggenggam Via, membawanya masuk ke store perabotan yang dikenal dengan harga yang lumayan. Ada harga ada kualitas, itu memang timeline yang tepat untuk semua barang mewah.Via hanya celingukan, dia sesekali membuka tag di barang-bar
Reza tersenyum sembari menggerak-gerakkan alisnya, mengejek Raysa kalau memang dia mampu membeli semua barang mahal itu. Raysa menghentakkan kakinya, lantas pergi dari sana. Dia kesal karena tak berhasil mempermalukan Via dan Reza."Kamu gila ya, ini 300 juta loh, kita bisa membeli yang harganya jauh lebih murah!" protes Via sembari menarik tangan Reza."Gak apa-apa, sekali-kali 'kan gak ada salahnya," balas Reza yang terdengar meremehkan nominal yang baru saja mereka hamburkan."Iya, tapi kalau kamu beli yang harganya mahal juga kita bisa bangkrut. Gimana kalau uangnya habis gitu aja?" Reza tersenyum pada kedua pelayan toko yang masih berdiri di sana, menunggu keputusan mereka untuk membayar semua barang itu. "Ini kayu jati, kita bisa menjualnya lagi nanti. Tenang aja, semakin lama harganya semakin mahal, jadi nanti kita bakalan untung," bisik Reza.Via menahan dirinya, dia melihat pelayan toko yang masih menatap mereka berdua membuat Via akhirnya setuju. Dia juga malu kalau harus m
Perawat hanya mengizinkan Pak Abas saja yang masuk, kemudian Pak Abas mengangguk kepada putri dan istrinya, meyakinkan mereka kalau dia akan mencaritahu semuanya. "Kalian di sini aja, Papa bakalan cari tau semuanya."Pak Abas pun masuk dan langsung menemui Diana, istri yang sudah dia tinggalkan. Kondisi Diana masih sama, dia masih banyak diam dan tak mengenali banyak orang. Diana mengabaikan kedatangan Pak Abas yang datang sembari marah-marah."Di mana kamu simpan sertifikat itu, Diana?" tanya Pak Abas.Pak Abas mondar-mandir, bahkan dia membuka lemari pakaian dan juga laci-laci di setiap lemari yang ada di kamar Diana. Dia terus bertanya soal keberadaan sertifikat rumah."Jawab dong, selain gila kamu juga bisu, hah?!" teriaknya seraya mencengkram wajah Diana."Aku ada di posisi ini karena kamu Diana, andai kamu gak gila aku gak bakalan jadi kayak gini!" teriaknya lagi.Abas kembali mengobrak-abrik tempat itu, sementara di luar sana Via kembali ke panti jompo dan bertemu dengan Raysa
“Sebaiknya kita segera pindah,” ajak Reza dan tanpa berlama-lama Via langsung menyetujuinya karena merasa panti sudah tidak begitu aman untuk ibunya. Maka, saat itu juga Via langsung mengemas barang-barang ibunya. Kemudian dia mengurus semua administrasi dan izin keluar dari panti. Sesampainya di rumah yang akan mereka tinggali untuk ke depannya, Reza meminta Via dan ibunya duduk sejenak sekadar beristirahat sebelum membereskan barang bawaan. Via terpesona untuk beberapa saat melihat rumah yang isinya kini sudah tertata rapi. Gadis itu membatin merasa tak percaya sekaligus beruntung. Sementara itu, Reza bergegas ke dapur untuk menyiapkan minum. Dia membuat dua gelas jus jeruk dan langsung menyajikannya untuk Via juga ibunya setelah selesai. “Minumlah dulu,” ucap Reza sambil ikut duduk bersama dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya. “Kamu hanya membuat dua?” tanya Via. “Aku sudah menghabiskan satu gelas di dapur tadi,” jawab Reza bohong. Dia terlalu haus, tetapi demi mengha
Suasana di meja makan terlihat begitu harmonis dan tenang. Masing-masing menikmati makanan dengan nyaman tanpa tekanan. Bima, Eyang Wiryo, Reza, dan Candra benar-benar tampak seperti keluarga bahagia. Perselisihan dan perdebatan yang selama ini mewarnai seakan lenyap tanpa jejak saat itu. Di tengah kegiatan tersebut, seorang gadis datang. Menyapa dengan lembut diiringi senyuman kemudian mengisi satu kursi kosong setelah dipersilakan oleh sang empunya. “Buat dirimu nyaman,” ucap Eyang Wiryo dan gadis itu mengangguk. “Nadia?” Kening Reza mengkerut. Dia merasa cukup terkejut karena sebelumnya tak ada pemberitahuan tentang kedatangan gadis itu. Bahkan Candra dan Bima juga merasakan hal serupa. “Eyang meminta Nadia datang malam ini. Selain untuk ikut makan malam, eyang juga ingin membahas pertunangan kalian,” jelas Eyang Wiryo seraya melirik Nadia dan Reza secara bergantian. “Apa ini semacam acara perjodohan?” tanya Bima menyela. Beberapa saat berlalu dan tak ada yang menyahut. “Memang
Kesibukan membuat Reza dan Via jarang bertemu. Bahkan dalam satu minggu, terhitung hanya satu kali Reza datang ke Harua untuk menengok. Selebihnya, mereka berkabar lewat aplikasi pesan. Itu pun tidak selalu. Seperti yang Rivia harapkan, pernikahan ini hanyalah sebuah status. Namun, itu semua tidak menjadi masalah yang cukup penting untuk dibahas atau diperdebatkan oleh keduanya. Ikatan di antara mereka selama ini tak lebih hanya dari sekadar status, tak ada yang lebih jauh dari itu. Jadi, ketidakadaannya kabar bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Apalagi saat ini Via tengah sibuk mempersiapkan pembukaan kliniknya. Bangunan itu sudah memasuki tahap finishing dan tidak sampai satu minggu lagi akan selesai. Banyak hal yang harus dipersiapkan. Di sisi lain, dia belum siap untuk tampil dan memperkenalkan diri sebagai pemilik karena merasa masih banyak hal yang harus dipelajari. Oleh karena itu, dia meminta bantuan seseorang. “Randi, apa aku bisa minta tolong?” tanya Via pada pria y
Waktu yang disepakati oleh Randi dan Via tiba. Masing-masing langsung menuju restoran yang telah disetujui dari tempat kerja. Tadinya, Randi ingin menjemput, tetapi Via menolak dan memilih untuk pergi sendiri karena jalan yang akan dilalui Randi cukup berputar jika harus menjemput dirinya terlebih dahulu. Rupanya, Randi sampai lebih dulu. Dia memanggil Via yang baru saja datang sambil melambai di parkiran. “Aku sudah memesan satu meja untuk kita,” ucapnya. Via mengangguk dan tersenyum. Namun, sebuah kerutan tiba-tiba muncul di dahinya saat melihat penampilan Randi yang di mata Via tidak seperti biasanya. “Apa kamu baru saja menghadiri sebuah acara?” tanya Via penasaran. “Tidak. Kenapa?” “Pakaianmu sangat rapi. Aku pikir kamu habis menghadiri acara pertunangan atau pernikahan seseorang.” Randi tersenyum canggung kemudian memperhatikan setelan jas yang dipakainya saat ini. Dalam hati pria itu merutuk karena jika diperhatikan jas yang dia pakai memang terlalu formal. Namun, tak ada
Sembab masih terlihat di wajah Raysa. Dia mengaduk jus jeruk di hadapan dengan hampa, pikirannya masih berkelana pada langkah-langkah yang mungkin bisa dia tempuh untuk membalas perlakuan Reza dan Via. Sakit hatinya belum reda, dia belum bisa menerima. Itu bukanlah akhir yang dia inginkan. Dua jam yang lalu, dia memutuskan untuk keluar dari rumah, setelah beberapa hari tak bersentuhan dengan udara di luar. Dia ingin mencari inspirasi, bukan untuk memulihkan usaha, tetapi untuk membalas luka yang ada. Penyakit hati memang susah sembuhnya. Kafe yang biasa didatangi oleh kebanyakan anak muda itu, terlihat tenang, dan ramai seperti biasanya. Dari luar, terlihat sangat menarik karena desainnya yang nyentrik tapi tidak norak. Ala-ala tahun sembilan puluhan, yang jadinya terlihat unik dan elegan. Bima yang kebetulan melintas di sana pun ikut tertarik. Dia memutuskan untuk singgah karena memang merasa haus setelah cukup lama berkendara. Aru Malaca dan Harua memiliki jarak yang lumayan. Apa
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi
Senja mulai menampakkan diri, tanda bahwa aktivitas kantor akan segera berakhir. Beberapa karyawan bahkan sudah ada yang pulang karena memang sudah waktunya.“Terima kasih untuk hari ini, Dani. Kamu melakukannya dengan sangat baik,” ucap Reza sebelum dirinya memutuskan untuk pulang. “Sama-sama, Tuan. Saya hanya melakukan bagian saya. Selebihnya, itu karena memang, Tuan sendiri yang sangat kompeten.” Reza menepuk pundak Dani, “Terima kasih sekali lagi. Sekarang pulanglah.” Dani mengangguk, kemudian pamit. Reza sendiri langsung menuju area parkir dan bergegas. “Aku pulang!” Reza membuka pintu rumah dan mengabarkan kepulangannya dengan gembira. Matanya berbinar, penuh kepuasan.Tanpa menunggu sambutan, Reza masuk dan mencari Via untuk berbagi kebahagiaan. Namun, alih-alih Via, dia juga menemukan Eyang Wiryo dan Candra. Mereka sedang duduk di ruang tamu, sambil mengobrol. “Kapan kalian tiba?” tanya Reza. Setelah menyalami tangan neneknya dan duduk di sebelah Via. “Belum lama. Bagaim
Raysa benar-benar dibuat mati kutu. Penolakan terang-terangan yang dilakukan Reza, berhasil merobohkan harga dirinya. “Kalian berdua memang tidak berguna sejak awal. Pasangan serasi, penghancur!” teriak Raysa dengan tawa sumbang. Menatap tajam Reza dan Via secara bergantian, kemudian keluar dari rumah itu dengan segala rasa kesal dan juga penyesalan yang mendalam. “Dasar bodoh, Raysa bodoh!” katanya tak henti merutuki diri sendiri. Bahkan setelah sampai di mobil pun, dia masih melakukannya sambil menangis. Sementara itu, Reza dan Via terjebak dalam hening yang janggal. Keduanya masih larut dalam perasaan mengganjal di hati masing-masing. “Via, maaf jika aku terlalu kasar pada Raysa,” ucap Reza, memulai kembali pembicaraan. “Tak perlu minta maaf. Karena nyatanya itu adalah apa yang kamu rasakan terhadap dia. Aku tidak tahu apa saja yang sudah dia lakukan padamu, tetapi itu pasti cukup menyakitkan. Tak apa, semoga itu membuatnya sadar.”Meski sedikit terkejut dengan apa yang dikatak
Beberapa hari berlalu. Randi masih setia datang ke klinik untuk melaksanakan tugasnya sebagai manager. Selama itu pula, sejak pertengkaran dengan Reza, dia tak pernah mendapat atau mengirim pesan pada Via. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Randi kembali mengecek ponsel. Berharap ada pesan dari Via. Tak apa jika pesan itu berisi kemarahan atau luapan kekecewaan, Randi akan menerima. Daripada terus tanpa kabar, bahkan di klinik pun dia tak bisa bertemu karena Via belum masuk. Sejak saat itu, hari demi hari dijalani Randi dengan rasa penyesalan. Dia bahkan sampai memblokir nomor Raysa dan memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita itu. Dia juga telah memiliki rencana untuk mengundurkan diri dan pergi dari Harua. Demi apa pun, dia tak sanggup harus berhadapan dengan Via. Namun, tak ingin disebut pengecut karena pergi begitu saja. Setidaknya ada satu kali pertemuan, sebelum semua benar-benar berakhir. Di sisi lain, Raysa semakin merasa kesal. Dia benar-benar sendiri sekar
“Ada apa denganmu?” tanya Raysa. Keningnya mengkerut dan tatapannya serius memperhatikan Randi yang baru saja datang. Mereka jadi bertemu di kafe yang tak jauh dari klinik. Awalnya Randi menolak karena masih merasa marah dan tak ingin bertemu siapa pun. Namun, karena Raysa sudah sampai dan merengek akhirnya dia menuruti wanita itu. “Dari awal seharusnya aku tidak ikut campur dalam ide gilamu itu,” ketus Randi seraya membuang napas kasar. “Apa terjadi sesuatu?” “Menurutmu?” Randi membulatkan mata, menatap tajam Raysa. Sementara telunjuk kanannya menunjuk tepat pada luka di wajah. “Kamu tidak melihat ini?” “I-itu–” “Reza sudah tahu semuanya. Tak ada harapan, kacau!” Mata Raysa membesar, membulat sempurna. Rasa tenang yang di bawa sebelumnya, langsung lenyap tanpa sisa. Untuk beberapa saat, Raysa hanya bisa terdiam. “Saat kita bicara lewat telepon tadi, Reza ada di belakangku.” Raysa mengembus napas kasar, jemari menyentuh kening, dan sedikit menekannya. Dia seketika men
Tanpa berlama-lama, Reza menuruti keinginan Via. Satu botol air mineral berukuran sedang, yang tutupnya sudah dibuka, dengan segera dia berikan pada sang istri. Setelahnya barulah Reza bergegas keluar untuk memanggil perawat. Tak perlu waktu lama, Reza sudah kembali bersama dua orang perawat. Mereka menyapa Via dengan ramah, kemudian memeriksa keadaannya. “Untuk trimester awal, memang normal terjadi seperti ini. Untuk kedepannya, mungkin bisa lebih diperhatikan soal makanan apa saja yang memang tidak bisa masuk, kemudian bisa diganti dengan makanan lain,” jelas salah satu perawat. “Tapi, ini tidak berbahaya bukan?” Dua perawat itu tersenyum, “Tidak, ini normal dan biasanya berhenti sendiri ketika usia kandungan memasuki trimester dua. Untuk membantu asupan nutrisi, Ibu mungkin bisa mulai mengkonsumsi susu khusus untuk ibu hamil.” “Baik. Terima kasih, sus,” ucap Reza. Kedua perawat itu mengangguk, kemudian pamit karena Via sudah baik-baik saja sekarang. Mualnya juga sudah hilang.
Randi melepaskan tubuhnya dari pegangan dua orang karyawan yang tadi menahannya. “Ngapain masih di sini, Kerja!” bentaknya dengan tatapan tajam, menyiratkan ketidaksukaan. Beberapa karyawan yang semula berkerumun untuk membantu atau hanya sekadar ingin tahu, otomatis membubarkan diri. Memilih untuk tahu diri, daripada kehilangan pekerjaan. Pura-pura untuk tidak tahu dan tak membahas kejadian sebelumnya. Setidaknya, tidak di hadapan Randi. Setelah memberikan perintah, Randi bergegas ke ruang kerjanya. Di sana, dia mengaktifkan kamera ponsel untuk memeriksa keadaan wajah. Ada lebam yang cukup kentara di pipi kiri, sudut bibir juga sobek sehingga memperlihatkan cairan berwarna merah yang sedikit menggumpal di sana. Randi menyeka bagian itu dengan kasar. Kemudian, dia berteriak seraya menggenggam ponselnya. Beruntung tidak sampai hancur. Keadaannya benar-benar kacau sekarang. Bukan hanya penampilan, tetapi juga pikiran. Dia mulai merasa takut dan gelisah tentang respon Via. Apalagi se