Reza tidur di sofa dengan gelisah, pandangan menerawang ke langit-langit, pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana. Sejak tadi, detak jantungnya terus berpacu lebih cepat dari biasanya. Pikirannya kembali pada makan malam dengan Nadia beberapa hari lalu, dan kini ia dihantui pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawabannya. Bagaimana Via bisa tahu?Reza tahu dirinya tak bersalah. Ia dan Nadia memang makan malam bersama, tetapi itu tidak seperti yang dipikirkan oleh Via. Kekhawatiran Reza kian bertambah. Bukan hanya soal Via yang mengetahui makan malam itu, tetapi juga rasa takut kalau-kalau istrinya mendengar percakapannya dengan Nadia.Apa yang sebenarnya Via dengar? Pikirannya terus berputar-putar. Apakah Via mendengar pembicaraan tentang lamaran yang direncanakan oleh eyang Wiryo, atau lebih dari itu, apakah ia mendengar hal-hal pribadi yang mungkin disalahartikan?Reza menghela napas panjang. Malam sudah larut, dan rasa penasarannya semakin menekan. Ia tidak mungkin terus sepert
Suasana di kantin mall pagi itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang menguar dari setiap sudut. Reza duduk di pojok ruangan, di sebuah meja kecil dengan dua kursi berhadapan. Matanya tertuju pada jam tangannya, sesekali menghela napas, seperti menunggu momen yang sudah lama diantisipasi namun juga dihindarinya. Tidak lama kemudian, Nadia tiba dengan anggun, mengenakan blus putih dan jeans hitam yang sederhana namun elegan. Mereka saling tersenyum singkat, seperti dua orang yang saling mengenal cukup lama. Namun, masih menyimpan banyak pertanyaan."Terima kasih sudah mau bertemu," ucap Nadia sambil duduk dan meluruskan rambutnya yang tertiup angin."Ya, aku tahu kita harus membicarakan ini," jawab Reza, agak canggung, meski suaranya tetap terdengar tenang.Mereka memesan masing-masing segelas kopi tanpa banyak bicara lagi. Saat pelayan datang membawa kopi mereka, Nadia memecah keheningan."Aku hanya ingin memastikan, Reza. Tentang rencana lamaran yang diusulkan oleh Eyang Wiryo kemari
"Pagi tadi, aku bertemu dengan Reza. Kami membicarakan banyak hal, dan aku ingin kamu tahu bahwa antara aku dan Reza benar-benar tidak ada hubungan yang spesial. Semua ini hanya urusan pekerjaan," kata Nadia dengan tegas.Via menatap Nadia tajam, tak langsung menjawab. Namun, Nadia tahu dia harus melanjutkan."Aku dijodohkan oleh keluargaku dan jujur saja, aku tidak menginginkan perjodohan itu. Jadi, aku meminta tolong pada Reza untuk berpura-pura di depan orang tuaku. Ini hanya sementara, aku janji, dan aku minta maaf karena tidak berbicara denganmu lebih dulu. Aku tidak bermaksud melibatkan kalian dalam situasi ini tanpa izin," Nadia mengakhiri penjelasannya dengan suara yang mulai terdengar penuh penyesalan.Via, yang sedari tadi mendengarkan dengan seksama, merasa dadanya mulai panas. "Kamu minta maaf sekarang? Seharusnya kamu dan Reza membicarakan ini denganku dulu, Nadia. Bagaimanapun, aku dan Reza sudah menikah. Ada batasan-batasan yang harus dijaga. Ini bukan sekadar masalah p
Sementara itu, di sisi lain kota, Reza tengah dalam perjalanan menjemput Via di klinik kecantikan tempatnya bekerja. Sore itu seharusnya mereka bertemu untuk berbicara, setidaknya, itulah niat Reza. Dia ingin memperbaiki keadaan, atau setidaknya mencoba menjelaskan semuanya dari awal.Saat melewati jalan yang biasa Via lalui untuk pulang, Reza tak sengaja melihat sebuah mobil hitam yang mencurigakan berhenti di dekat trotoar. Matanya menyipit saat melihat gerakan di dalam bayang-bayang, dan seketika hatinya berdegup kencang. Itu Via! Namun, semuanya terjadi begitu cepat. Penculik itu sudah mendorong Via ke dalam mobil sebelum Reza bisa melakukan apa pun.“Via!” Reza berteriak, tapi suaranya tertelan oleh deru mesin yang tiba-tiba meraung kencang. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan debu yang beterbangan di belakangnya. Tanpa pikir panjang, Reza segera berbalik arah, mengejar mobil itu dengan mobilnya sendiri. Kakinya menekan pedal gas dengan sekuat tenaga, otaknya b
Di dalam rumah, kedua penculik langsung bereaksi. Penculik yang sedang menelepon langsung menghentikan percakapannya, sementara yang lain bangkit dari kursi dengan ekspresi bingung. "Apa itu?" salah satu dari mereka bertanya, tampak waspada. Tanpa menunggu jawaban, mereka segera menuju pintu depan, membuka pintu dan keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi.Begitu mereka berdua menghilang dari pandangan, Reza segera berlari mendekati pintu yang setengah terbuka. Jantungnya berdegup kencang, tapi kepalanya tetap dingin. Dengan langkah cepat tapi hati-hati, Reza masuk ke rumah itu. Di sana, dia melihat Via yang masih terikat di bangku kayu. Matanya terbuka setengah, tapi kesadarannya belum sepenuhnya pulih.Reza bergegas mendekat dan dengan cepat mulai membuka ikatan di pergelangan tangan dan kaki Via. Saat simpul terakhir terlepas, Via mengerang pelan, kesadarannya mulai kembali. "Reza…," bisiknya lemah."Shh, aku di sini," jawab Reza dengan tenang. "Aku akan membawamu keluar dari
Setelah kejadian mendebarkan itu, Reza dan Via pulang ke rumah. Meskipun tubuh mereka lelah, hati mereka terasa lebih ringan. Via bersandar pada bahu Reza di sofa ruang tamu, menikmati kehangatan yang baru ia temukan dalam hubungan mereka. Perlahan, Via mulai tertidur, merasakan ketenangan yang sudah lama hilang. Reza hanya tersenyum lembut, memeluknya erat-erat, seolah-olah ia berjanji tak akan pernah membiarkan apa pun menyakiti Via lagi.Mereka tak menyadari bahwa di sudut lain ruangan, Lisa perawat pribadi ibunya Via memandangi mereka dengan pandangan penuh iri. Sudah beberapa minggu Lisa bekerja di rumah itu, dan selama itu pula dia memperhatikan Reza dengan tatapan berbeda. Bukan hanya karena dia tampan dan perhatian, tapi karena selama ini Lisa menyimpan perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan.Tatapannya terpaku pada Reza yang dengan penuh kasih sayang mengusap lembut rambut Via. Lisa menghela napas dalam-dalam. Sebenarnya, dia tidak pernah berniat untuk menyimpan perasaan ini,
Siang itu, ketika Reza dan Via sedang berbincang di ruang keluarga, tiba-tiba Bu Diana muncul dari kamarnya. Wajahnya kusut dan matanya tajam memandang Via, seperti seorang gadis remaja yang cemburu. Tanpa memperdulikan suasana, Bu Diana langsung mendekat, berdiri di antara Reza dan Via, lalu menatap Via dengan pandangan penuh kecurigaan."Kenapa kamu selalu duduk dekat-dekat dengan Reza?" tanya Bu Diana dengan nada keras, seolah-olah Via adalah seorang pesaing, bukan putrinya sendiri. "Dia itu suami aku!"Via terkejut, tak menyangka akan diserang seperti itu oleh ibunya. "Bu, Reza itu menantu Ibu. Dia suami aku," jawab Via lembut, berusaha menenangkan ibunya.Namun, Bu Diana tidak peduli. Matanya menyipit, dan dia menarik Reza mendekat, seakan mencoba menjauhkan suaminya dari Via. "Tidak! Reza milikku! Dia suamiku! Kamu jangan ganggu kami!" Suara Bu Diana semakin tinggi dan histeris, membuat suasana di ruangan itu tegang.Reza mencoba meredakan s
Di dalam kamar yang remang-remang, Reza duduk di tepi ranjang dengan wajah mengantuk tapi penuh harap. Sejak pernikahan mereka, Via dan Reza belum pernah benar-benar tidur bersama dalam satu ranjang karena berbagai alasan, terutama rasa canggung di antara mereka. Malam ini, Reza berharap bisa melepas semua kecanggungan itu, namun Via masih duduk di meja kecilnya, sibuk dengan pekerjaan. Tangannya mengetik di laptop, seolah-olah lupa bahwa suaminya menunggu di belakangnya.Reza mulai menguap lebar. Dia memalingkan wajah ke arah Via yang masih fokus pada layarnya. "Via... udah malam, kamu nggak capek?" tanyanya dengan nada berharap, mencoba memancing agar Via segera menyusulnya ke ranjang.Via yang sebenarnya sudah melihat Reza menunggu, hanya menjawab dengan suara datar tanpa menoleh, "Sebentar lagi. Kamu tidur duluan aja."Reza menghela napas, mencoba bersabar, tapi rasa kantuk sudah menyerangnya habis-habisan. "Sebentar lagi" sudah diulang Via berkali-kal
Di ruang kerja yang tenang, Reza duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Dani, asistennya, berdiri di dekat meja dengan secangkir kopi untuk Reza. Ekspresi penasaran terlihat jelas di wajah Dani."Pak, Anda kelihatan sangat lelah. Ada masalah?" tanya Dani sambil menyerahkan kopi.Reza mendesah panjang, menatap Dani sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Ini soal Via. Sejak hamil, tingkah lakunya semakin manja. Kadang saya tidak tahu harus tertawa atau menangis."Dani menahan senyum. "Apa yang dilakukan Bu Via, Pak? Hingga membuat Anda seperti ini."Reza menyandarkan tubuhnya ke sofa, seolah mencari dukungan. "Tengah malam, Dani. Dia membangunkan saya karena ingin martabak rasa pandan. Jam dua dini hari, bayangkan itu. Saya harus keliling kota mencari penjual martabak yang masih buka."Dani mengerutkan alis, mencoba serius, tapi sudut bibirnya hampir terangkat. "Dan Bapak menemukannya?""Setelah hampir satu jam berkeliling, akhirnya ketemu. Tapi begitu saya pulang dan menyerahkannya, ta
Via, yang awalnya tampak bingung dengan kedatangan Raysa dan kedua orang tuanya, berusaha tetap tenang. Diana, yang berdiri di sampingnya, hanya melirik Raysa dengan dingin. Bagaimanapun, Diana masih merasa tidak nyaman dengan sikap Raysa sebelumnya."Ada apa kalian datang ke sini?" tanya Via lembut, meski hatinya sedikit gelisah. Ia tak ingin memicu masalah baru setelah semua yang terjadi.Raysa menunduk sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap Via dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku ingin meminta maaf, Via. Atas semua yang telah aku lakukan padamu dan Reza."Via tampak terkejut. Ia menatap ayah dan ibu Raysa yang mengangguk, mendukung langkah putri mereka.Diana, meskipun terlihat enggan, akhirnya berbicara, "Apa kamu benar-benar tulus meminta maaf, Raysa? Atau ini hanya taktik baru?"Raysa menelan ludah, menyadari bahwa ia memang harus membuktikan niatnya. "Aku tulus, Bu Diana. Aku sadar kesalahanku. Aku ingin memperbaiki hubungan ini. Aku tidak ingin lagi hidup dengan dendam
Sembab masih terlihat di wajah Raysa. Dia mengaduk jus jeruk di hadapan dengan hampa, pikirannya masih berkelana pada langkah-langkah yang mungkin bisa dia tempuh untuk membalas perlakuan Reza dan Via. Sakit hatinya belum reda, dia belum bisa menerima. Itu bukanlah akhir yang dia inginkan. Dua jam yang lalu, dia memutuskan untuk keluar dari rumah, setelah beberapa hari tak bersentuhan dengan udara di luar. Dia ingin mencari inspirasi, bukan untuk memulihkan usaha, tetapi untuk membalas luka yang ada. Penyakit hati memang susah sembuhnya. Kafe yang biasa didatangi oleh kebanyakan anak muda itu, terlihat tenang, dan ramai seperti biasanya. Dari luar, terlihat sangat menarik karena desainnya yang nyentrik tapi tidak norak. Ala-ala tahun sembilan puluhan, yang jadinya terlihat unik dan elegan. Bima yang kebetulan melintas di sana pun ikut tertarik. Dia memutuskan untuk singgah karena memang merasa haus setelah cukup lama berkendara. Aru Malaca dan Harua memiliki jarak yang lumayan. Apa
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi
Senja mulai menampakkan diri, tanda bahwa aktivitas kantor akan segera berakhir. Beberapa karyawan bahkan sudah ada yang pulang karena memang sudah waktunya.“Terima kasih untuk hari ini, Dani. Kamu melakukannya dengan sangat baik,” ucap Reza sebelum dirinya memutuskan untuk pulang. “Sama-sama, Tuan. Saya hanya melakukan bagian saya. Selebihnya, itu karena memang, Tuan sendiri yang sangat kompeten.” Reza menepuk pundak Dani, “Terima kasih sekali lagi. Sekarang pulanglah.” Dani mengangguk, kemudian pamit. Reza sendiri langsung menuju area parkir dan bergegas. “Aku pulang!” Reza membuka pintu rumah dan mengabarkan kepulangannya dengan gembira. Matanya berbinar, penuh kepuasan.Tanpa menunggu sambutan, Reza masuk dan mencari Via untuk berbagi kebahagiaan. Namun, alih-alih Via, dia juga menemukan Eyang Wiryo dan Candra. Mereka sedang duduk di ruang tamu, sambil mengobrol. “Kapan kalian tiba?” tanya Reza. Setelah menyalami tangan neneknya dan duduk di sebelah Via. “Belum lama. Bagaim
Raysa benar-benar dibuat mati kutu. Penolakan terang-terangan yang dilakukan Reza, berhasil merobohkan harga dirinya. “Kalian berdua memang tidak berguna sejak awal. Pasangan serasi, penghancur!” teriak Raysa dengan tawa sumbang. Menatap tajam Reza dan Via secara bergantian, kemudian keluar dari rumah itu dengan segala rasa kesal dan juga penyesalan yang mendalam. “Dasar bodoh, Raysa bodoh!” katanya tak henti merutuki diri sendiri. Bahkan setelah sampai di mobil pun, dia masih melakukannya sambil menangis. Sementara itu, Reza dan Via terjebak dalam hening yang janggal. Keduanya masih larut dalam perasaan mengganjal di hati masing-masing. “Via, maaf jika aku terlalu kasar pada Raysa,” ucap Reza, memulai kembali pembicaraan. “Tak perlu minta maaf. Karena nyatanya itu adalah apa yang kamu rasakan terhadap dia. Aku tidak tahu apa saja yang sudah dia lakukan padamu, tetapi itu pasti cukup menyakitkan. Tak apa, semoga itu membuatnya sadar.”Meski sedikit terkejut dengan apa yang dikatak
Beberapa hari berlalu. Randi masih setia datang ke klinik untuk melaksanakan tugasnya sebagai manager. Selama itu pula, sejak pertengkaran dengan Reza, dia tak pernah mendapat atau mengirim pesan pada Via. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Randi kembali mengecek ponsel. Berharap ada pesan dari Via. Tak apa jika pesan itu berisi kemarahan atau luapan kekecewaan, Randi akan menerima. Daripada terus tanpa kabar, bahkan di klinik pun dia tak bisa bertemu karena Via belum masuk. Sejak saat itu, hari demi hari dijalani Randi dengan rasa penyesalan. Dia bahkan sampai memblokir nomor Raysa dan memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita itu. Dia juga telah memiliki rencana untuk mengundurkan diri dan pergi dari Harua. Demi apa pun, dia tak sanggup harus berhadapan dengan Via. Namun, tak ingin disebut pengecut karena pergi begitu saja. Setidaknya ada satu kali pertemuan, sebelum semua benar-benar berakhir. Di sisi lain, Raysa semakin merasa kesal. Dia benar-benar sendiri sekar
“Ada apa denganmu?” tanya Raysa. Keningnya mengkerut dan tatapannya serius memperhatikan Randi yang baru saja datang. Mereka jadi bertemu di kafe yang tak jauh dari klinik. Awalnya Randi menolak karena masih merasa marah dan tak ingin bertemu siapa pun. Namun, karena Raysa sudah sampai dan merengek akhirnya dia menuruti wanita itu. “Dari awal seharusnya aku tidak ikut campur dalam ide gilamu itu,” ketus Randi seraya membuang napas kasar. “Apa terjadi sesuatu?” “Menurutmu?” Randi membulatkan mata, menatap tajam Raysa. Sementara telunjuk kanannya menunjuk tepat pada luka di wajah. “Kamu tidak melihat ini?” “I-itu–” “Reza sudah tahu semuanya. Tak ada harapan, kacau!” Mata Raysa membesar, membulat sempurna. Rasa tenang yang di bawa sebelumnya, langsung lenyap tanpa sisa. Untuk beberapa saat, Raysa hanya bisa terdiam. “Saat kita bicara lewat telepon tadi, Reza ada di belakangku.” Raysa mengembus napas kasar, jemari menyentuh kening, dan sedikit menekannya. Dia seketika men