Di dalam kamar yang remang-remang, Reza duduk di tepi ranjang dengan wajah mengantuk tapi penuh harap. Sejak pernikahan mereka, Via dan Reza belum pernah benar-benar tidur bersama dalam satu ranjang karena berbagai alasan, terutama rasa canggung di antara mereka. Malam ini, Reza berharap bisa melepas semua kecanggungan itu, namun Via masih duduk di meja kecilnya, sibuk dengan pekerjaan. Tangannya mengetik di laptop, seolah-olah lupa bahwa suaminya menunggu di belakangnya.
Reza mulai menguap lebar. Dia memalingkan wajah ke arah Via yang masih fokus pada layarnya. "Via... udah malam, kamu nggak capek?" tanyanya dengan nada berharap, mencoba memancing agar Via segera menyusulnya ke ranjang.Via yang sebenarnya sudah melihat Reza menunggu, hanya menjawab dengan suara datar tanpa menoleh, "Sebentar lagi. Kamu tidur duluan aja."Reza menghela napas, mencoba bersabar, tapi rasa kantuk sudah menyerangnya habis-habisan. "Sebentar lagi" sudah diulang Via berkali-kalVia tersenyum dalam pelukan Reza, merasa hangat dan nyaman. Kata-kata Reza yang penuh cinta tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuat hatinya berdebar. "Aku juga, Reza," bisik Via, suaranya penuh emosi. Matanya berkaca-kaca saat dia menatap suaminya, merasakan cinta yang mendalam dan tulus. "Aku juga mencintaimu."Reza tersenyum lega, lalu menariknya lebih dekat, seolah takut melepaskan momen itu. Mereka berdua terdiam dalam keheningan yang nyaman, menikmati kehangatan satu sama lain. Sepertinya, malam ini akan menjadi malam yang sempurna.Namun, di tengah keheningan, Reza tampak tiba-tiba teringat sesuatu. Senyum di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi ragu. Dia menatap Via dengan sedikit canggung, tetapi tetap memutuskan untuk bertanya."Via... aku sebenarnya ada yang mau ditanyain," ujar Reza hati-hati. "Kemarin, aku lihat Randi nganter kamu pulang... dan—" Dia terdiam sejenak, mencari kata yang tepat. "Aku kayaknya lihat dia nyiu
Reza memandang keluar jendela, menatap bulan yang berkilau di langit malam. Di dalam rumah Candra, suasana ramai karena persiapan pertunangan dengan Nadia sudah hampir selesai. Namun, kepala Reza penuh dengan pikiran yang berkecamuk. Hatinya tak tenang. Bagaimana mungkin dia berada di sini, mempersiapkan pertunangan, sementara hatinya tertinggal di rumah bersama Via, istrinya yang belum tahu apa-apa.Baru saja beberapa jam yang lalu, Via melepaskannya dengan wajah manja, meski tampak jelas dia enggan berpisah. Reza berpura-pura akan kembali ke Aru Malaca, tempatnya bekerja, namun kenyataannya dia berada di sini untuk menjalani rencana yang tak pernah benar-benar diinginkannya. Semuanya terasa salah, tapi Reza tak tahu harus berbuat apa.Suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Eyang Wiryo, nenek Reza yang penuh kasih sayang, masuk ke dalam kamar dengan senyum hangat. "ElReza, kamu kelihatan melamun dari tadi. Apa yang kamu pikirkan, Nak?" tanyanya lembut, duduk
Setelah pertunangan selesai, Reza merasa lega, meski beban di pundaknya belum sepenuhnya hilang. Namun, keesokan harinya, situasi menjadi lebih rumit. Nadia mengadakan jumpa wartawan untuk mengumumkan pertunangannya. Dalam konferensi pers tersebut, Nadia dengan senang hati memberitahu seluruh dunia bahwa dia sudah bertunangan—tanpa menyebutkan siapa pria yang menjadi tunangannya. Wajah Reza sengaja ditutupi dalam foto-foto yang ditampilkan kepada wartawan, menambah misteri di balik sosok pria yang dikabarkan akan menikahi Nadia. Desas-desus segera menyebar di Harua, Warga mulai membicarakan siapa gerangan pria kaya yang berhasil memenangkan hati Nadia. Nama Reza memang belum terungkap, tetapi spekulasi sudah mulai muncul di kalangan masyarakat. Banyak yang bertanya-tanya, siapa pria beruntung yang akan menjadi suami dari Nadia, pewaris perusahaan besar itu? Di rumah, Via mendengar berita tersebut dan mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Kenapa Reza tidak memberi tahu tentang pertunan
Setelah pulang ke Aru Malaca, Reza langsung disambut dengan suasana yang penuh ketegangan. Pamannya, Bima, menatapnya dengan dingin, sudah terlihat jelas bahwa ada masalah yang menunggu. Mereka duduk di ruang kerja, dan suasana pun semakin memanas ketika Bima mulai berbicara dengan nada yang penuh kritik. "Kamu pikir, ElReza, semua ini bisa kamu lewati begitu saja? Tugas-tugas yang sudah diberikan ke Candra, sekarang harus kamu ambil alih? Kamu mau hancurin hubungan keluarga lagi?" Bima menyelidik, nada suaranya tajam. Reza mencoba tetap tenang, meskipun jantungnya berdegup kencang. "Paman, aku nggak pernah berniat merusak apa pun. Aku cuma menjalankan tugas sesuai perintah perusahaan. Ini keputusan bersama." Bima mengerutkan dahi. "Jangan beralasan, Reza. Kamu tahu Candra kecewa berat dengan keputusan ini. Dan sekarang, kamu malah harus mengurus perusahaan di Harua. Apa kamu pikir semua ini akan selesai dengan mudah?" Reza terdiam. Ia tahu situasinya sulit, tapi tak ada piliha
Raysa datang ke rumah Candra dengan senyum tipis di wajahnya, meskipun hatinya berdebar kencang. Dia tahu kedatangannya kali ini akan penuh tantangan, terutama karena hubungannya dengan Candra masih jauh dari kata baik. Namun, ketika pintu dibuka oleh Eyang Wiryo, segala rencana yang ada di pikirannya berubah. Raysa tidak menyangka akan bertemu dengan Eyang Wiryo, nenek Candra yang selama ini membuatnya merasa canggung."Oh, Eyang Wiryo! Saya, Raysa. Apa Eyang ingat saya?" tanya Raysa sambil memaksakan senyum manis.Eyang Wiryo menatapnya dengan tatapan penuh penasaran sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya, iya. Raysa. Yang dulu sempat dekat dengan Candra, ya? Tumben kamu datang ke sini."Raysa tertawa kecil, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Eyang. Saya cuma mau... ya, kangen sama Candra dan Eyang juga. Saya pikir, kenapa nggak masak makan malam untuk Eyang?"Eyang Wiryo tampak terkejut dan tersenyum lebar. "Wah, gadis seperti kamu jarang-jarang mau repot-repot masak. Ya
Setelah melihat Eyang Wiryo masuk ke kamarnya untuk beristirahat, Chandra langsung mendekat ke Raysa dengan tatapan tajam. Dia tidak berkata sepatah kata pun sampai mereka tiba di depan pintu keluar. Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, Chandra meraih lengan Raysa dan menyeretnya ke luar rumah. Raysa terkejut, tapi dia tetap mengikuti meski ada rasa sakit di pergelangan tangannya.Begitu mereka berada di halaman depan, Chandra melepaskan cengkeramannya dan menatap Raysa penuh amarah. "Apa yang kamu lakukan di sini, Raysa? Datang tanpa izin dan lancang masuk ke rumahku?"Raysa menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. "Aku cuma mau mendekatkan diri sama keluargamu, Chandra. Nggak ada maksud buruk.""Jangan pura-pura sok baik!" Chandra membentak, menatap Raysa dengan kemarahan yang meletup-letup. "Jangan terlalu berharap lebih, Raysa. Kita sudah selesai, sudah jelas dari awal. Semua ini hanya permainan, bukan hubungan serius!"Mata Raysa menyipit, ti
Reza berjalan menuju kamar Eyang Wiryo setelah pertengkaran dengan Chandra di luar. Pikirannya berkecamuk, tidak hanya soal Chandra, tetapi juga mengenai perusahaan yang semakin hari semakin rumit. Reza mengetuk pintu kamar Eyang dengan lembut, lalu masuk setelah mendengar suara lembut mempersilakannya masuk.Eyang Wiryo duduk di kursi dekat jendela, membaca buku tua yang sudah lusuh. Tatapannya segera beralih kepada Reza, yang tampak kelelahan. "Masuk, Reza," ujar Eyang dengan senyum ramah. "Kamu kelihatan kusut sekali. Ada apa?"Reza menghela napas panjang, lalu duduk di depan Eyang. Dia menatap neneknya sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Eyang, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Semua semakin rumit. Perusahaan yang sebelumnya sudah kuberikan kepada Chandra... aku harus mengambil alih lagi.”Eyang Wiryo mendengarkan dengan seksama, ekspresinya tenang. "Apa yang terjadi, Nak?"Reza mengusap wajahnya, mencoba meredam rasa frustrasi. "Seper
Via sedang berada di pusat perbelanjaan mewah milik Nadia, mengadakan promosi produk barunya. Mall itu penuh dengan pengunjung, suasana ramai, dan semuanya tampak berjalan dengan lancar. Namun, tiba-tiba langkah Via terhenti saat dia melihat seseorang yang tak disangkanya akan ditemui di sana—Bella, mantan sahabatnya. Jantung Via berdegup sedikit lebih cepat. Ada perasaan tak nyaman yang muncul seketika.Dalam hati, Via masih menyimpan rasa kecewa. Baginya, Bella adalah pengkhianat yang merusak persahabatan mereka. Sejak Bella memilih menjalin hubungan dengan Rasya, persahabatan mereka hancur begitu saja. Meski waktu sudah lama berlalu, luka itu masih terasa.Bella tampak biasa saja saat melihat Via, tersenyum seolah tidak ada yang terjadi. "Via, lama nggak ketemu!" sapa Bella dengan nada ceria.Via hanya tersenyum tipis, merasa ada ketegangan yang tidak terlihat. "Iya, sudah lama," jawabnya singkat. Tidak ada kehangatan dalam suaranya, hanya kesan formali