Siang itu, ketika Reza dan Via sedang berbincang di ruang keluarga, tiba-tiba Bu Diana muncul dari kamarnya. Wajahnya kusut dan matanya tajam memandang Via, seperti seorang gadis remaja yang cemburu. Tanpa memperdulikan suasana, Bu Diana langsung mendekat, berdiri di antara Reza dan Via, lalu menatap Via dengan pandangan penuh kecurigaan.
"Kenapa kamu selalu duduk dekat-dekat dengan Reza?" tanya Bu Diana dengan nada keras, seolah-olah Via adalah seorang pesaing, bukan putrinya sendiri. "Dia itu suami aku!"Via terkejut, tak menyangka akan diserang seperti itu oleh ibunya. "Bu, Reza itu menantu Ibu. Dia suami aku," jawab Via lembut, berusaha menenangkan ibunya.Namun, Bu Diana tidak peduli. Matanya menyipit, dan dia menarik Reza mendekat, seakan mencoba menjauhkan suaminya dari Via. "Tidak! Reza milikku! Dia suamiku! Kamu jangan ganggu kami!" Suara Bu Diana semakin tinggi dan histeris, membuat suasana di ruangan itu tegang.Reza mencoba meredakan sDi dalam kamar yang remang-remang, Reza duduk di tepi ranjang dengan wajah mengantuk tapi penuh harap. Sejak pernikahan mereka, Via dan Reza belum pernah benar-benar tidur bersama dalam satu ranjang karena berbagai alasan, terutama rasa canggung di antara mereka. Malam ini, Reza berharap bisa melepas semua kecanggungan itu, namun Via masih duduk di meja kecilnya, sibuk dengan pekerjaan. Tangannya mengetik di laptop, seolah-olah lupa bahwa suaminya menunggu di belakangnya.Reza mulai menguap lebar. Dia memalingkan wajah ke arah Via yang masih fokus pada layarnya. "Via... udah malam, kamu nggak capek?" tanyanya dengan nada berharap, mencoba memancing agar Via segera menyusulnya ke ranjang.Via yang sebenarnya sudah melihat Reza menunggu, hanya menjawab dengan suara datar tanpa menoleh, "Sebentar lagi. Kamu tidur duluan aja."Reza menghela napas, mencoba bersabar, tapi rasa kantuk sudah menyerangnya habis-habisan. "Sebentar lagi" sudah diulang Via berkali-kal
Via tersenyum dalam pelukan Reza, merasa hangat dan nyaman. Kata-kata Reza yang penuh cinta tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuat hatinya berdebar. "Aku juga, Reza," bisik Via, suaranya penuh emosi. Matanya berkaca-kaca saat dia menatap suaminya, merasakan cinta yang mendalam dan tulus. "Aku juga mencintaimu."Reza tersenyum lega, lalu menariknya lebih dekat, seolah takut melepaskan momen itu. Mereka berdua terdiam dalam keheningan yang nyaman, menikmati kehangatan satu sama lain. Sepertinya, malam ini akan menjadi malam yang sempurna.Namun, di tengah keheningan, Reza tampak tiba-tiba teringat sesuatu. Senyum di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi ragu. Dia menatap Via dengan sedikit canggung, tetapi tetap memutuskan untuk bertanya."Via... aku sebenarnya ada yang mau ditanyain," ujar Reza hati-hati. "Kemarin, aku lihat Randi nganter kamu pulang... dan—" Dia terdiam sejenak, mencari kata yang tepat. "Aku kayaknya lihat dia nyiu
Reza memandang keluar jendela, menatap bulan yang berkilau di langit malam. Di dalam rumah Candra, suasana ramai karena persiapan pertunangan dengan Nadia sudah hampir selesai. Namun, kepala Reza penuh dengan pikiran yang berkecamuk. Hatinya tak tenang. Bagaimana mungkin dia berada di sini, mempersiapkan pertunangan, sementara hatinya tertinggal di rumah bersama Via, istrinya yang belum tahu apa-apa.Baru saja beberapa jam yang lalu, Via melepaskannya dengan wajah manja, meski tampak jelas dia enggan berpisah. Reza berpura-pura akan kembali ke Aru Malaca, tempatnya bekerja, namun kenyataannya dia berada di sini untuk menjalani rencana yang tak pernah benar-benar diinginkannya. Semuanya terasa salah, tapi Reza tak tahu harus berbuat apa.Suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Eyang Wiryo, nenek Reza yang penuh kasih sayang, masuk ke dalam kamar dengan senyum hangat. "ElReza, kamu kelihatan melamun dari tadi. Apa yang kamu pikirkan, Nak?" tanyanya lembut, duduk
Setelah pertunangan selesai, Reza merasa lega, meski beban di pundaknya belum sepenuhnya hilang. Namun, keesokan harinya, situasi menjadi lebih rumit. Nadia mengadakan jumpa wartawan untuk mengumumkan pertunangannya. Dalam konferensi pers tersebut, Nadia dengan senang hati memberitahu seluruh dunia bahwa dia sudah bertunangan—tanpa menyebutkan siapa pria yang menjadi tunangannya. Wajah Reza sengaja ditutupi dalam foto-foto yang ditampilkan kepada wartawan, menambah misteri di balik sosok pria yang dikabarkan akan menikahi Nadia. Desas-desus segera menyebar di Harua, Warga mulai membicarakan siapa gerangan pria kaya yang berhasil memenangkan hati Nadia. Nama Reza memang belum terungkap, tetapi spekulasi sudah mulai muncul di kalangan masyarakat. Banyak yang bertanya-tanya, siapa pria beruntung yang akan menjadi suami dari Nadia, pewaris perusahaan besar itu? Di rumah, Via mendengar berita tersebut dan mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Kenapa Reza tidak memberi tahu tentang pertunan
Setelah pulang ke Aru Malaca, Reza langsung disambut dengan suasana yang penuh ketegangan. Pamannya, Bima, menatapnya dengan dingin, sudah terlihat jelas bahwa ada masalah yang menunggu. Mereka duduk di ruang kerja, dan suasana pun semakin memanas ketika Bima mulai berbicara dengan nada yang penuh kritik. "Kamu pikir, ElReza, semua ini bisa kamu lewati begitu saja? Tugas-tugas yang sudah diberikan ke Candra, sekarang harus kamu ambil alih? Kamu mau hancurin hubungan keluarga lagi?" Bima menyelidik, nada suaranya tajam. Reza mencoba tetap tenang, meskipun jantungnya berdegup kencang. "Paman, aku nggak pernah berniat merusak apa pun. Aku cuma menjalankan tugas sesuai perintah perusahaan. Ini keputusan bersama." Bima mengerutkan dahi. "Jangan beralasan, Reza. Kamu tahu Candra kecewa berat dengan keputusan ini. Dan sekarang, kamu malah harus mengurus perusahaan di Harua. Apa kamu pikir semua ini akan selesai dengan mudah?" Reza terdiam. Ia tahu situasinya sulit, tapi tak ada piliha
Raysa datang ke rumah Candra dengan senyum tipis di wajahnya, meskipun hatinya berdebar kencang. Dia tahu kedatangannya kali ini akan penuh tantangan, terutama karena hubungannya dengan Candra masih jauh dari kata baik. Namun, ketika pintu dibuka oleh Eyang Wiryo, segala rencana yang ada di pikirannya berubah. Raysa tidak menyangka akan bertemu dengan Eyang Wiryo, nenek Candra yang selama ini membuatnya merasa canggung."Oh, Eyang Wiryo! Saya, Raysa. Apa Eyang ingat saya?" tanya Raysa sambil memaksakan senyum manis.Eyang Wiryo menatapnya dengan tatapan penuh penasaran sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya, iya. Raysa. Yang dulu sempat dekat dengan Candra, ya? Tumben kamu datang ke sini."Raysa tertawa kecil, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Eyang. Saya cuma mau... ya, kangen sama Candra dan Eyang juga. Saya pikir, kenapa nggak masak makan malam untuk Eyang?"Eyang Wiryo tampak terkejut dan tersenyum lebar. "Wah, gadis seperti kamu jarang-jarang mau repot-repot masak. Ya
Setelah melihat Eyang Wiryo masuk ke kamarnya untuk beristirahat, Chandra langsung mendekat ke Raysa dengan tatapan tajam. Dia tidak berkata sepatah kata pun sampai mereka tiba di depan pintu keluar. Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, Chandra meraih lengan Raysa dan menyeretnya ke luar rumah. Raysa terkejut, tapi dia tetap mengikuti meski ada rasa sakit di pergelangan tangannya.Begitu mereka berada di halaman depan, Chandra melepaskan cengkeramannya dan menatap Raysa penuh amarah. "Apa yang kamu lakukan di sini, Raysa? Datang tanpa izin dan lancang masuk ke rumahku?"Raysa menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. "Aku cuma mau mendekatkan diri sama keluargamu, Chandra. Nggak ada maksud buruk.""Jangan pura-pura sok baik!" Chandra membentak, menatap Raysa dengan kemarahan yang meletup-letup. "Jangan terlalu berharap lebih, Raysa. Kita sudah selesai, sudah jelas dari awal. Semua ini hanya permainan, bukan hubungan serius!"Mata Raysa menyipit, ti
Reza berjalan menuju kamar Eyang Wiryo setelah pertengkaran dengan Chandra di luar. Pikirannya berkecamuk, tidak hanya soal Chandra, tetapi juga mengenai perusahaan yang semakin hari semakin rumit. Reza mengetuk pintu kamar Eyang dengan lembut, lalu masuk setelah mendengar suara lembut mempersilakannya masuk.Eyang Wiryo duduk di kursi dekat jendela, membaca buku tua yang sudah lusuh. Tatapannya segera beralih kepada Reza, yang tampak kelelahan. "Masuk, Reza," ujar Eyang dengan senyum ramah. "Kamu kelihatan kusut sekali. Ada apa?"Reza menghela napas panjang, lalu duduk di depan Eyang. Dia menatap neneknya sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Eyang, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Semua semakin rumit. Perusahaan yang sebelumnya sudah kuberikan kepada Chandra... aku harus mengambil alih lagi.”Eyang Wiryo mendengarkan dengan seksama, ekspresinya tenang. "Apa yang terjadi, Nak?"Reza mengusap wajahnya, mencoba meredam rasa frustrasi. "Seper
Eyang Wiryo terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, dan oksigen di hidungnya membuat semua orang yang hadir semakin khawatir. Suasana ruang perawatan terasa begitu tegang.Di sekelilingnya, berkumpul seluruh anggota keluarga yang selama ini terlibat dalam konflik warisan. Ada Reza, Via, Randi, Johan, Chandra, dan Bima, sang dalang dari semua kekacauan ini.Dengan suara bergetar, Eyang Wiryo berbicara, memecah kesunyian, "Aku tidak pernah membayangkan keluargaku akan berantakan seperti ini... Apa yang kalian semua cari? Harta? Kekuasaan? Apa semua itu lebih berharga dari keluarga kita?"Tak ada yang menjawab. Mereka hanya menunduk, entah karena merasa bersalah atau masih menyimpan amarah masing-masing.Eyang Wiryo menghela napas panjang. "Aku akan mengatakan sesuatu yang harus kalian dengar baik-baik. Reza adalah pemilik sah dari perusahaan keluarga kita. Semua harta yang kalian perebutkan berasal dari suamiku yang pertama, dan Bima... kamu bukan anak dari suami pertama
Chandra melangkah dengan cepat menuju kediaman ayahnya, Bima. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang berputar tanpa henti. Fakta bahwa Randi adalah saudara tirinya, dan Johan juga bagian dari skema besar ayahnya, membuatnya tidak bisa diam saja.Saat ia memasuki ruang kerja Bima, pria itu tampak tenang, duduk di balik meja besar dengan segelas teh di tangannya. Seakan tidak ada yang terjadi."Chandra," sapa Bima tanpa ekspresi. "Kau datang dengan wajah penuh amarah. Apa yang kau inginkan?"Chandra mengepalkan tangannya. "Aku ingin jawaban. Aku ingin tahu kenapa kau menyembunyikan fakta bahwa Randi adalah saudaraku! Kenapa kau memalsukan hasil DNA-nya?!"Bima meletakkan gelasnya dengan tenang, lalu menatap Chandra dalam-dalam. "Karena aku tidak pernah berniat mengakui Randi sebagai bagian dari keluarga ini."Chandra terhenyak. "Apa maksudmu?! Dia anakmu!"Bima mendengus kecil. "Dan itu adalah kesalahan yang seharusnya tidak pernah terjadi."Chandra semakin geram. "Bagaimana dengan Joh
Setelah Johan berhasil ditangkap, Reza bersama Randi dan Via kembali ke tempat persembunyian mereka. Namun, meski Johan kini berada di tangan pihak berwenang, Reza masih merasa ada sesuatu yang belum selesai. Di tengah malam yang sunyi, Reza duduk di ruang kerja kecilnya, membaca kembali dokumen-dokumen yang mereka sita dari Johan. Namun, semakin ia membaca, semakin ia menyadari bahwa ada sosok lain yang lebih besar di balik ini semua. Nama Bima, pamannya sendiri, terus muncul dalam berbagai transaksi dan laporan rahasia. Reza menggertakkan giginya, tangannya mengepal. "Jadi selama ini… Paman Bima yang mengatur semuanya?" Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuatnya tersadar. Randi masuk dengan wajah penuh kebingungan. "Ada apa, Reza? Kau terlihat tegang," tanya Randi. Reza mengangkat salah satu dokumen dan melemparkannya ke meja. "Lihat ini. Nama Paman Bima ada di setiap transaksi ilegal Johan. Dia bukan hanya mengetahui semua ini, dia adalah dalangnya!" Randi membaca do
Pagi itu, Reza menerima pesan dari Bayu. Isinya singkat, tetapi cukup membuat adrenalin Reza meningkat."Johan mulai bergerak. Dia tahu tentang dokumen itu. Hati-hati."Reza duduk di kursi, menatap papan penuh strategi di depannya. Ia tahu bahwa Johan tidak akan tinggal diam setelah mengetahui dokumen itu ada di tangan yang aman. Kini, semua yang telah ia persiapkan harus berjalan sempurna, atau semuanya akan sia-sia.Via muncul dari dapur, membawa secangkir teh untuk Reza. Ia menatap wajah Reza yang terlihat semakin lelah namun tetap penuh keyakinan.“Kamu yakin bisa mengatasi ini, Reza?” tanya Via pelan, duduk di depannya.Reza menatap Via dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku harus yakin, Via. Kalau aku nggak bergerak sekarang, Johan akan terus menghancurkan segalanya. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”Via terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Reza. “Kalau kamu butuh bantuan, aku di sini. Jangan terlalu memaksakan diri, Reza.”Reza tersenyum kecil. Sentuhan Via mem
Malam itu, Reza duduk di ruang tamu yang remang. Di depannya terdapat tumpukan dokumen penting yang baru saja ia dapatkan dari salah satu informannya. Wajahnya serius, penuh konsentrasi, membaca setiap detail yang bisa menjadi kelemahan Johan.“Reza, apa ini cukup untuk melawan dia?” tanya Randi sambil mendekati meja, pandangannya menyapu dokumen tersebut.“Ini lebih dari cukup,” jawab Reza, menutup map dengan tegas. “Dokumen ini adalah bukti nyata bahwa Johan terlibat dalam penyelundupan besar. Kalau kita bisa menyerahkannya ke pihak yang tepat, itu akan menghancurkan dia.”Via yang duduk di sofa terlihat gelisah. “Tapi Johan nggak akan tinggal diam. Dia pasti sudah tahu bahwa kita sedang bergerak melawannya.”Reza menatap Via dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku tahu itu, Via. Tapi aku nggak akan biarkan dia menang. Ini tentang keadilan, bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua orang yang sudah dia rugikan.”Pagi harinya, Reza mengumpulkan Randi dan Via di sebuah kafe kecil yang jau
Keesokan paginya, Reza kembali ke apartemen dengan penampilan yang terlihat lelah, namun tatapannya masih penuh keyakinan. Via yang tengah duduk di ruang tamu langsung berdiri begitu melihat Reza masuk.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Via, mendekat dengan nada penuh kekhawatiran.“Aku baik,” jawab Reza singkat. “Dokumen itu sudah aman. Sekarang kita hanya perlu menunggu langkah Johan berikutnya.”Randi, yang sejak tadi mengamati dengan cemas, akhirnya bersuara. “Reza, aku nggak ngerti kenapa kamu nggak membiarkan aku ikut tadi malam. Kalau mereka menyerang kamu di tengah jalan, gimana?”Reza menatap Randi dengan serius. “Karena aku butuh kamu di sini. Tugasmu menjaga Via, memastikan dia aman. Kalau aku gagal, setidaknya masih ada kamu di sini untuk melindungi dia.”Via yang mendengar ucapan itu merasa hatinya bergetar. Meskipun Reza tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung, tindakan dan ucapannya selalu menunjukkan betapa ia peduli.Sore itu, ketika suasana sedikit tenang, p
Reza dan Via mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, mengikuti lokasi yang dikirimkan Randi. Jalanan malam yang sepi memberikan suasana mencekam. Via terus memperhatikan ponsel, memastikan mereka tidak kehilangan jejak.“Dia ada di jalan dekat gudang tua di pelabuhan,” ujar Via sambil menunjuk layar ponselnya.Reza mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Jika Johan sudah mempersiapkan jebakan, tempat seperti itu ideal untuk menyergap.”Ketika mereka hampir sampai, Reza memperlambat mobilnya. Dari kejauhan, ia melihat sosok Randi berlari sambil membawa map dokumen. Dua pria mengejarnya dengan senjata di tangan.“Pegang erat,” ujar Reza singkat pada Via.Tanpa ragu, Reza menginjak pedal gas dan meluncur ke arah para pengejar. Kedua pria itu terkejut dan melompat menghindar saat mobil Reza mendekat.Randi segera naik ke dalam mobil, napasnya tersengal. “Mereka nggak akan berhenti. Mereka tahu dokumen ini terlalu penting untuk dilepaskan.”Reza hanya mengangguk. Ia berbalik, menatap Via
Reza mengintip dari jendela dan melihat dua mobil hitam berhenti di depan rumah. Beberapa pria keluar dengan ekspresi serius."Johan," gumam Reza, menyadari siapa yang mengirim mereka.Randi mulai panik. "Apa yang harus kita lakukan? Mereka pasti sudah tahu kita di sini."Reza menatap Randi dengan tajam. "Kita tidak akan lari. Kali ini, kita lawan."Pria-pria itu mulai mendekati pintu, mengetuknya keras. "Buka pintunya, Reza! Kami tahu kamu ada di dalam!"Reza mengambil napas dalam-dalam. "Randi, siapkan dokumen-dokumen itu. Kalau aku gagal, kamu harus pergi dari sini dan serahkan semuanya ke Pak Hendra.""Reza, kamu serius? Kamu mau melawan mereka sendirian?""Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil apa yang sudah kita perjuangkan," kata Reza dengan mantap.Ia membuka pintu perlahan, berdiri di hadapan para pria itu dengan tatapan dingin."Kalian mencari aku?" tanya Reza sambil tersenyum tipis.Tanpa basa-basi, salah satu pria mencoba menyerang Reza. Namun, Reza dengan sigap mengh
Di apartemennya, Randi termenung dengan pikiran yang berkecamuk. Fakta bahwa Johan adalah kakaknya tidak mudah ia cerna. Ia duduk di kursi, memandangi meja yang penuh dengan dokumen yang diberikan Johan sebelumnya, termasuk hasil tes DNA palsu."Kalau aku percaya Johan, apa yang akan terjadi dengan Via? Dengan Reza?" gumam Randi, suaranya berat.Namun, di tengah kebimbangannya, ponselnya berdering. Nama Johan muncul di layar. Dengan enggan, Randi mengangkat panggilan itu."Randi," suara Johan terdengar tajam, "aku butuh jawabanmu sekarang. Kamu di pihakku atau tidak?"Randi terdiam. "Johan, kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu harus membuat semua ini rumit?""Karena aku tidak akan diam sementara Reza mengambil semua yang seharusnya milik kita!" bentak Johan. "Dia hanya pura-pura baik, Randi. Dia memanfaatkan kamu dan Via!""Via nggak ada hubungannya dengan ini!" balas Randi, mulai kehilangan kesabaran."Oh, tentu saja ada," Johan tertawa sinis. "Kamu pikir dia benar-benar peduli pad