Setelah melihat Eyang Wiryo masuk ke kamarnya untuk beristirahat, Chandra langsung mendekat ke Raysa dengan tatapan tajam. Dia tidak berkata sepatah kata pun sampai mereka tiba di depan pintu keluar. Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, Chandra meraih lengan Raysa dan menyeretnya ke luar rumah. Raysa terkejut, tapi dia tetap mengikuti meski ada rasa sakit di pergelangan tangannya.
Begitu mereka berada di halaman depan, Chandra melepaskan cengkeramannya dan menatap Raysa penuh amarah. "Apa yang kamu lakukan di sini, Raysa? Datang tanpa izin dan lancang masuk ke rumahku?"Raysa menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. "Aku cuma mau mendekatkan diri sama keluargamu, Chandra. Nggak ada maksud buruk.""Jangan pura-pura sok baik!" Chandra membentak, menatap Raysa dengan kemarahan yang meletup-letup. "Jangan terlalu berharap lebih, Raysa. Kita sudah selesai, sudah jelas dari awal. Semua ini hanya permainan, bukan hubungan serius!"Mata Raysa menyipit, tiReza berjalan menuju kamar Eyang Wiryo setelah pertengkaran dengan Chandra di luar. Pikirannya berkecamuk, tidak hanya soal Chandra, tetapi juga mengenai perusahaan yang semakin hari semakin rumit. Reza mengetuk pintu kamar Eyang dengan lembut, lalu masuk setelah mendengar suara lembut mempersilakannya masuk.Eyang Wiryo duduk di kursi dekat jendela, membaca buku tua yang sudah lusuh. Tatapannya segera beralih kepada Reza, yang tampak kelelahan. "Masuk, Reza," ujar Eyang dengan senyum ramah. "Kamu kelihatan kusut sekali. Ada apa?"Reza menghela napas panjang, lalu duduk di depan Eyang. Dia menatap neneknya sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Eyang, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Semua semakin rumit. Perusahaan yang sebelumnya sudah kuberikan kepada Chandra... aku harus mengambil alih lagi.”Eyang Wiryo mendengarkan dengan seksama, ekspresinya tenang. "Apa yang terjadi, Nak?"Reza mengusap wajahnya, mencoba meredam rasa frustrasi. "Seper
Via sedang berada di pusat perbelanjaan mewah milik Nadia, mengadakan promosi produk barunya. Mall itu penuh dengan pengunjung, suasana ramai, dan semuanya tampak berjalan dengan lancar. Namun, tiba-tiba langkah Via terhenti saat dia melihat seseorang yang tak disangkanya akan ditemui di sana—Bella, mantan sahabatnya. Jantung Via berdegup sedikit lebih cepat. Ada perasaan tak nyaman yang muncul seketika.Dalam hati, Via masih menyimpan rasa kecewa. Baginya, Bella adalah pengkhianat yang merusak persahabatan mereka. Sejak Bella memilih menjalin hubungan dengan Rasya, persahabatan mereka hancur begitu saja. Meski waktu sudah lama berlalu, luka itu masih terasa.Bella tampak biasa saja saat melihat Via, tersenyum seolah tidak ada yang terjadi. "Via, lama nggak ketemu!" sapa Bella dengan nada ceria.Via hanya tersenyum tipis, merasa ada ketegangan yang tidak terlihat. "Iya, sudah lama," jawabnya singkat. Tidak ada kehangatan dalam suaranya, hanya kesan formali
Setibanya di rumah, Via langsung menuju dapur dengan wajah cemberut, masih kesal memikirkan pertemuannya dengan Nadia. Sambil memotong sayuran dan mengaduk kuah, Via mulai menggerutu sendiri.“Apa sih maunya si Nadia, nyindir-nyindir kayak gitu! Emang dia pikir aku nggak tahu maksudnya?” Via berbicara dengan dirinya sendiri, sembari mencampur bumbu ke dalam panci. “Ya ampun, kenapa sih selalu ada aja masalah? Aku udah capek, masih aja diganggu sama orang-orang nyebelin!”Lisa, yang kebetulan sedang merawat Bu Diana di ruang sebelah, mendengar jelas gerutuan Via. Matanya melirik tajam ke arah dapur, senyum tipis muncul di bibirnya. Mendengar keluhan Via membuatnya berpikir untuk menambah kekacauan. Rasa iri dan dendam yang terus dipendam mulai naik ke permukaan.Via, yang sudah selesai memasak, segera meninggalkan dapur untuk ke kamar sebentar. Lisa memanfaatkan momen itu, segera menuju meja makan. Dengan sigap, dia mengambil garam dan menaburkannya dengan
Reza kembali fokus pada pekerjaannya di kantor, setelah semalam dia hampir saja ketahuan tentang hubungannya dengan Nadia. Di depan meja, ia mempelajari laporan keuangan terkait pembelian bahan baku untuk RB Skincare. Sesuatu terasa janggal dalam catatan tersebut. Jumlah bahan baku yang tercantum melebihi apa yang dibutuhkan untuk produksi, dan harganya pun tidak wajar. Reza mengerutkan keningnya, menahan rasa marah yang mulai muncul. “Ini tidak mungkin hanya kesalahan kecil,” gumamnya pelan, menyadari bahwa ada masalah serius yang dapat merugikan perusahaan. Dani, asistennya yang selalu teliti, masuk ke ruangan dengan membawa berkas tambahan. “Bos, ini dokumen yang kamu minta. Kita sudah menelusuri transaksi beberapa bulan terakhir, dan kelihatan jelas ada pembelian yang mencurigakan,” ujar Dani sambil meletakkan berkas di depan Reza. Reza menatap berkas itu dalam diam sebelum membukanya. Setelah melihat detail transaksinya, ia semakin yakin bahwa ada seseorang yang bermain di
Reza mengusap wajahnya, masih merasakan panas di dadanya usai perdebatan dengan Chandra. Ia tahu konfrontasi itu tidak akan menyelesaikan masalah sepenuhnya. Chandra terlalu licik, dan situasi ini butuh lebih dari sekadar adu mulut. Reza kemudian memutuskan untuk bergerak secara lebih cerdik.Ia memanggil Dani, orang kepercayaannya, dan meminta pria itu untuk menjalankan misi penting."Dani, aku perlu kamu untuk menyamar dan masuk ke lingkaran orang-orang Raysa," ucap Reza dengan nada serius. "Jangan pernah sebut namaku di depan dia. Kamu harus bertindak seolah-olah bukan bagian dari aku. Aku butuh kamu untuk menyelidiki semua transaksi yang berkaitan dengan bahan baku itu, dan cari tahu siapa yang benar-benar di balik kerugian besar ini."Dani mengangguk, memahami beratnya tugas yang diberikan kepadanya. "Baik, bos. Saya akan urus ini. Tapi, apa Raysa tidak akan curiga?""Dia mungkin curiga, tapi selama kamu tidak melakukan kesalahan besar, dia tidak akan bisa menghubungkanmu dengank
Bella—yang sudah mengetahui identitas asli Dani—hanya mengawasinya dari kejauhan. Setiap kali mereka berpapasan, Bella tersenyum, sementara Dani merasa canggung karena tak tahu apakah Bella akan membuka rahasianya di depan Raysa.Pada suatu kesempatan, ketika mereka sedang di pantry kantor, Dani tak sengaja menjatuhkan beberapa dokumen penting. Bella melihatnya dan segera menghampiri. "Lho, kok ceroboh gitu sih? Gimana mau jadi karyawan teladan?" katanya sambil tersenyum jahil.Dani tergagap, mencoba menyusun kata-kata sambil membereskan dokumen. "Eh, iya… maaf, nggak sengaja."Bella menahan tawa. "Tenang aja, rahasiamu aman kok. Aku nggak bakal kasih tahu siapa-siapa."Dani lega, namun tetap waspada. "Terima kasih, Bella. Tapi tolong, jangan terlalu sering deket-deket. Nanti ketahuan aku bukan orang sembarangan."Bella tertawa kecil, mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Dani. "Yakin mau jauh-jauh dari aku? Bukannya malah ketahuan kalau kamu nggak deketin aku?" Bella melontarkan kalim
Di dalam restoran, suasana antara Via dan Randi terasa santai meskipun Via masih merasakan getaran canggung dari kejadian sebelumnya. Randi memesan makanan untuk mereka berdua dengan luwes, dan Via hanya bisa tersenyum sambil memikirkan cara untuk mengalihkan perhatian dari rasa malunya."Jadi, apa kabar pekerjaan kamu hari ini? Masih sama sibuknya?" Randi bertanya sambil memeriksa ponselnya."Ya, sibuk sekali. Belum lama ini ada promosi besar-besaran. Dan kamu tahu sendiri, pelanggan itu... bikin stress," jawab Via sambil tertawa kecil, berusaha menghilangkan rasa canggung.Randi ikut tertawa, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kalau kamu butuh bantuan, bilang saja, ya. Aku bisa bantu dengan cara yang menyenangkan. Mungkin bisa jadi promosi untukmu!""Menyenangkan seperti apa?" tanya Via, sedikit curiga."Ya, misalnya kita bisa membuat video lucu tentang produkmu. Mungkin dengan skenario komedi? Bisa jadi viral!" jawab Randi, mengangkat alisnya dengan semangat.Via tertawa, mem
Randi merasa situasi semakin tidak nyaman, tiba-tiba mendapatkan ide. "Bagaimana kalau kita bertiga pergi bersama? Kita bisa membuat ini lebih menyenangkan!"Via terkejut, "Eh, maksudmu?"Randi melanjutkan, "Ya! Kita bisa menjadi rekan bisnis yang hebat. Raysa, bagaimana kalau kamu bergabung dengan kami? Kita bisa brainstorming bersama."Raysa merasa terkejut sekaligus bingung. Di satu sisi, dia ingin menolak ajakan itu, tetapi di sisi lain, dia tidak ingin terlihat pengecut di depan Randi. "Oh, itu terdengar menarik, tetapi aku tidak yakin seberapa banyak bisa membantu.""Ah, kamu pasti bisa membantu!" Randi meyakinkan sambil tersenyum. "Setiap orang punya keahliannya masing-masing."Via melihat ke arah Randi dengan harapan. Mungkin, dengan kehadiran Raysa, mereka bisa menjadikan situasi ini lebih baik.Namun, Raysa hanya tersenyum, mencoba berpura-pura tidak peduli. "Baiklah, aku akan ikut. Tapi ingat, aku hanya ingin yang terbaik untuk semua orang di sini, terutama untuk diri sendi
Reza dan Dani segera keluar dari rumah, masuk ke mobil, dan mulai menyusuri jalanan perumahan. Reza mengemudi dengan wajah tegang, sementara Dani mencoba mencairkan suasana.“Pak, apa Ibu Via pernah cerita tempat favoritnya kalau lagi ingin sendiri?” tanya Dani, mencoba membantu.Reza berpikir sejenak. “Dia suka pergi ke taman kota, tempat dia sering jalan-jalan waktu masih kecil. Tapi...” Reza melirik jam di dashboard. “Jam segini? Aku enggak yakin.”Dani mengangguk. “Kita coba saja, Pak. Siapa tahu benar.”Mereka menuju taman kota. Saat tiba, suasana cukup sepi. Lampu taman redup menerangi jalan setapak, tetapi tidak ada tanda-tanda Via. Reza turun dari mobil, berjalan cepat memeriksa setiap sudut taman. Dani mengikutinya dengan senter di tangan.“Via!” panggil Reza beberapa kali, suaranya menggema di tengah malam.Tiba-tiba, Dani menunjuk ke arah bangku taman di dekat danau kecil. “Pak, itu... seperti ada seseorang.”Reza langsung berlari mendekat, dan benar saja, Via duduk di sana
Di ruang kerja yang tenang, Reza duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Dani, asistennya, berdiri di dekat meja dengan secangkir kopi untuk Reza. Ekspresi penasaran terlihat jelas di wajah Dani."Pak, Anda kelihatan sangat lelah. Ada masalah?" tanya Dani sambil menyerahkan kopi.Reza mendesah panjang, menatap Dani sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Ini soal Via. Sejak hamil, tingkah lakunya semakin manja. Kadang saya tidak tahu harus tertawa atau menangis."Dani menahan senyum. "Apa yang dilakukan Bu Via, Pak? Hingga membuat Anda seperti ini."Reza menyandarkan tubuhnya ke sofa, seolah mencari dukungan. "Tengah malam, Dani. Dia membangunkan saya karena ingin martabak rasa pandan. Jam dua dini hari, bayangkan itu. Saya harus keliling kota mencari penjual martabak yang masih buka."Dani mengerutkan alis, mencoba serius, tapi sudut bibirnya hampir terangkat. "Dan Bapak menemukannya?""Setelah hampir satu jam berkeliling, akhirnya ketemu. Tapi begitu saya pulang dan menyerahkannya, ta
Via, yang awalnya tampak bingung dengan kedatangan Raysa dan kedua orang tuanya, berusaha tetap tenang. Diana, yang berdiri di sampingnya, hanya melirik Raysa dengan dingin. Bagaimanapun, Diana masih merasa tidak nyaman dengan sikap Raysa sebelumnya."Ada apa kalian datang ke sini?" tanya Via lembut, meski hatinya sedikit gelisah. Ia tak ingin memicu masalah baru setelah semua yang terjadi.Raysa menunduk sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap Via dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku ingin meminta maaf, Via. Atas semua yang telah aku lakukan padamu dan Reza."Via tampak terkejut. Ia menatap ayah dan ibu Raysa yang mengangguk, mendukung langkah putri mereka.Diana, meskipun terlihat enggan, akhirnya berbicara, "Apa kamu benar-benar tulus meminta maaf, Raysa? Atau ini hanya taktik baru?"Raysa menelan ludah, menyadari bahwa ia memang harus membuktikan niatnya. "Aku tulus, Bu Diana. Aku sadar kesalahanku. Aku ingin memperbaiki hubungan ini. Aku tidak ingin lagi hidup dengan dendam
Sembab masih terlihat di wajah Raysa. Dia mengaduk jus jeruk di hadapan dengan hampa, pikirannya masih berkelana pada langkah-langkah yang mungkin bisa dia tempuh untuk membalas perlakuan Reza dan Via. Sakit hatinya belum reda, dia belum bisa menerima. Itu bukanlah akhir yang dia inginkan. Dua jam yang lalu, dia memutuskan untuk keluar dari rumah, setelah beberapa hari tak bersentuhan dengan udara di luar. Dia ingin mencari inspirasi, bukan untuk memulihkan usaha, tetapi untuk membalas luka yang ada. Penyakit hati memang susah sembuhnya. Kafe yang biasa didatangi oleh kebanyakan anak muda itu, terlihat tenang, dan ramai seperti biasanya. Dari luar, terlihat sangat menarik karena desainnya yang nyentrik tapi tidak norak. Ala-ala tahun sembilan puluhan, yang jadinya terlihat unik dan elegan. Bima yang kebetulan melintas di sana pun ikut tertarik. Dia memutuskan untuk singgah karena memang merasa haus setelah cukup lama berkendara. Aru Malaca dan Harua memiliki jarak yang lumayan. Apa
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi
Senja mulai menampakkan diri, tanda bahwa aktivitas kantor akan segera berakhir. Beberapa karyawan bahkan sudah ada yang pulang karena memang sudah waktunya.“Terima kasih untuk hari ini, Dani. Kamu melakukannya dengan sangat baik,” ucap Reza sebelum dirinya memutuskan untuk pulang. “Sama-sama, Tuan. Saya hanya melakukan bagian saya. Selebihnya, itu karena memang, Tuan sendiri yang sangat kompeten.” Reza menepuk pundak Dani, “Terima kasih sekali lagi. Sekarang pulanglah.” Dani mengangguk, kemudian pamit. Reza sendiri langsung menuju area parkir dan bergegas. “Aku pulang!” Reza membuka pintu rumah dan mengabarkan kepulangannya dengan gembira. Matanya berbinar, penuh kepuasan.Tanpa menunggu sambutan, Reza masuk dan mencari Via untuk berbagi kebahagiaan. Namun, alih-alih Via, dia juga menemukan Eyang Wiryo dan Candra. Mereka sedang duduk di ruang tamu, sambil mengobrol. “Kapan kalian tiba?” tanya Reza. Setelah menyalami tangan neneknya dan duduk di sebelah Via. “Belum lama. Bagaim
Raysa benar-benar dibuat mati kutu. Penolakan terang-terangan yang dilakukan Reza, berhasil merobohkan harga dirinya. “Kalian berdua memang tidak berguna sejak awal. Pasangan serasi, penghancur!” teriak Raysa dengan tawa sumbang. Menatap tajam Reza dan Via secara bergantian, kemudian keluar dari rumah itu dengan segala rasa kesal dan juga penyesalan yang mendalam. “Dasar bodoh, Raysa bodoh!” katanya tak henti merutuki diri sendiri. Bahkan setelah sampai di mobil pun, dia masih melakukannya sambil menangis. Sementara itu, Reza dan Via terjebak dalam hening yang janggal. Keduanya masih larut dalam perasaan mengganjal di hati masing-masing. “Via, maaf jika aku terlalu kasar pada Raysa,” ucap Reza, memulai kembali pembicaraan. “Tak perlu minta maaf. Karena nyatanya itu adalah apa yang kamu rasakan terhadap dia. Aku tidak tahu apa saja yang sudah dia lakukan padamu, tetapi itu pasti cukup menyakitkan. Tak apa, semoga itu membuatnya sadar.”Meski sedikit terkejut dengan apa yang dikatak
Beberapa hari berlalu. Randi masih setia datang ke klinik untuk melaksanakan tugasnya sebagai manager. Selama itu pula, sejak pertengkaran dengan Reza, dia tak pernah mendapat atau mengirim pesan pada Via. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Randi kembali mengecek ponsel. Berharap ada pesan dari Via. Tak apa jika pesan itu berisi kemarahan atau luapan kekecewaan, Randi akan menerima. Daripada terus tanpa kabar, bahkan di klinik pun dia tak bisa bertemu karena Via belum masuk. Sejak saat itu, hari demi hari dijalani Randi dengan rasa penyesalan. Dia bahkan sampai memblokir nomor Raysa dan memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita itu. Dia juga telah memiliki rencana untuk mengundurkan diri dan pergi dari Harua. Demi apa pun, dia tak sanggup harus berhadapan dengan Via. Namun, tak ingin disebut pengecut karena pergi begitu saja. Setidaknya ada satu kali pertemuan, sebelum semua benar-benar berakhir. Di sisi lain, Raysa semakin merasa kesal. Dia benar-benar sendiri sekar