"Lah, katanya mau cerai? Kok mau dihamili?" seloroh Mas Agus, saat kukabarkan tentang kehamilanku. "Ish, opo sih? Ini buatnya sebelum dia ketahuan selingkuh Mas!" ketusku, kakakku itu agak sulit diajak bicara serius. "Iyo, iyo, ngono ae nesu. Terus sekarang gimana? Nggak mungkin kamu cerai, to? Orang lagi hamil.""Ya makanya itu, aku nelfon Mas Agus. Belum ngomong sama ibu to? Tentang rencanaku kemarin?" Jujur aku jadi ragu untuk bercerai dengan Mas Elman. Ada benihnya di rahimku, dia yang akan menjadi korban bila orang tuanya bercerai. "Yo belum, wong Bapak masih sakit. Kan kemarin kamu ngomong nunggu bapak sehat, to?" sahut Mas Agus dengan logat medoknya. "Syukur kalau begitu. Jangan bilang ibu kalau aku juga dirawat ya? Nanti Ibu tambah kepiran." "Iyo," sahut Mas Agus cepat."Mas, kayaknya cerainya dipending dulu," ucapku pelan, takut tiba-tiba Mas Elman masuk dan mendengar obrolanku."Yo harus, kalau perlu nggak usah cerai. Kasihan anakmu, nanti Elman biar aku tatar, biar ng
Pov ElmanKepalaku rasanya mau pecah, mendapat kenyataan bahwa Dita hamil. Gila perempuan itu, bagaimana mungkin dia membiarkan dirinya hamil? Bukankah selama ini kita main rapi? Pasti dia sengaja menjebakku agar punya alasan untuk memaksaku menikahinya. Sialan memang. "Kamu nggak lagi subur kan, Ta?" Dia menggeleng sambil menyunggingkan senyum menggoda. Itu yang selalu ku tanyakan sebelum kami bercinta. "Memang kalau aku lagi subur kenapa? Kamu takut aku hamil ya?" bisiknya manja. "Aku hanya kasihan anaknya, kalau harus lahir dari hubungan terlarang," ucapku jujur. Aku tak mau melibatkan anak dalam upaya balas dendamku. Dita justru terkekeh mendengar jawabanku. "Kamu kayak ABG labil aja, takut banget kalau pacarnya hamil.""Kamu jangan bercanda, Ta. Aku punya istri.""Tenang aja, aman kok." Itu terakhir kali aku menyentuhnya, dan sekarang dia mengaku hamil? Wajar kan kalau aku tidak percaya, bahwa janin Dita itu anakku. Sebejat-bejatnya aku, aku tak kan tega menelantarkan darah d
Pov Elman"Mau apa dia kesini?" Tanya Nira dingin. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Edan Dita, kenapa dia nekat datang ke sini? Bisa ngamuk Nira nanti, kalau hanya ngamuk, kalau langsung kabur gimana? "Mau bicara sama Bu Nira," jelas Suster Sari, yang masih berdiri di depan pintu. "Bicara sama aku?" "Bilang sama dia! Bu Nira tidak bisa diganggu," potongku cepat. "Iya Pak." Suster Sari berlalu dari hadapanku sambil menggandeng Zila. Aku menoleh ke arah Nira yang sudah bersiap turun dari tempat tidur. Segera aku menghampiri dan mencegahnya. "Eh jangan turun! Kamu lupa apa kata dokter kemarin? Kamu harus bed rest." Mendengar perintahku, Nira segera mengurungkan niatnya. Untung saja ada alasan aku mencegah dia keluar, bisa kacau balau kalau itu terjadi. "Aku menemui Mbak Dita, Mas." "Buat apa sih? Nggak penting.""Kok nggak penting? Mbak Dita bela-belain ke sini pasti ada yang penting. Atau jangan-jangan kalian masih --- " Belum sempat Dita menyelesaikan ucapannya, aku suda
Pov AuthorDita menatap nanar Elman yang duduk di seberangnya, entah punya dendam apa Elman padanya, hingga tega menghancurkan dia tanpa ampun. Setelah penolakan terhadap janin yang ada di perutnya, kini dia harus menerima kenyataan bahwa perusahaannya kalah tender. Bagaimana bisa? Semua persyaratan sudah dipenuhi, kredibilitas perusahaannya pun sudah teruji, perusahaan milik ayahnya itu bukan perusahaan kaleng-kaleng. Dan satu lagi, Elman adalah konsultannya, bagaimana mungkin bisa kalah tender? Banyak jiwa yang bergantung pada perusahaannya, staf dan karyawan, biaya pengobatan ayahnya yang tidak murah, jangan lupakan biaya pendidikan spesialis Dito yang harus dia tanggung. Uang dari mana kalau perusahaannya harus kolaps? Dunia seakan runtuh menimpanya, ujian berat menerpanya bertubi-tubi. Dia hampir depresi saat mendapatkan kenyataan dirinya hamil, dan Elman menolak mengakui. Kini harus dihadapan kenyataan perusahaan yang dia kelola terancam bangkrut. Tiba-tiba semua gelap, Dita
Pov AuthorSetelah mendengar cerita Dito, bahu Hardiono terguncang hebat, air matanya mengalir deras. Seumur hidupnya baru kali ini dia menangis, meratap menyesali kesalahannya di masa lalu. Apa penyesalan itu berguna? Tentu saja tidak, semua sudah terlanjur terjadi. Bayangan peristiwa kelam itu kembali, seperti film yang diputar. Semua terlihat jelas, wajah ketakutan dan frustasi terus terbayang semua tampak nyata, meski puluhan tahun sudah berlalu. "Aku mohon, lepaskan aku .... " Rintihan Mirna bukannya membuat Hardiono iba, justru membuat laki-laki semakin bergairah menjamah tubuh lemah yang berada dalam kungkungannya."Jangan! Aku mohon jangan sentuh aku! Mira, tolong aku Mira! Kita saudara Mira!" Harapan Mirna saudara sepupunya itu mau menolong.Mirna berjongkok, membuat Hardiono menyingkir sejenak, memberi tempat pada Mira. Gadis itu menatap tubuh lemah Mirna dengan tatapan mengejek. "Saudara? Aku bahkan menyesal punya saudara seperti kamu!" sinis Mira, entah dimana hati nura
Pov AuthorBugh! "Mama!" pekik Dito dan Hardiono bersamaan. Sigap Dito menghampiri tubuh Mira yang tergeletak di lantai, dan mengangkatnya ke ranjang. Dito memeriksa denyut nadi Mira, memastikan mamanya masih bernafas. "Sepertinya Mamamu mendengar obrolan kita, To," lirih Hardiono dengan nafas terengah-engah. Berjalan beberapa langkah saja dia sudah kepayahan, apalagi harus turun gunung lagi, menyelesaikan masalah yang menimpa anak dan perusahaannya. "Semoga Mama hanya kaget Pa, tapi kita tetap harus membawanya ke rumah sakit," ujar Dito khawatir. "Biaya dari mana? Ini Singapore, surat keterangan miskin tak berlaku di sini." Hardiono berkata dengan senyum getir. Begitu mendengar perusahaan kolaps, Hardiono segera menghentikan proses pengobatan yang sedang berjalan untuk istri dan dirinya. Bahkan dia keluar rumah sakit dengan status pulang paksa, alasan biaya tentu saja. Dia tidak mau menjadi beban anaknya."Tapi Mama butuh penanganan, Pa."Hardiono mendesah. "Apa kamu belum tahu
Sejak tahun aku hamil, Mas Elman jadi over protective. Kadar sayangnya naik berkali-kali lipat, aku rasa itu bukan perasaanku saja, Mas Elman memang makin sayang dan perhatian padaku. Tiap jam makan siang, dia selalu menyempatkan diri untuk pulang. Memastikan aku sudah makan dan istirahat yang cukup. Kalau pun tak bisa, dia akan menelfon. Cerewet sekali suamiku itu. Apa aku jatuh cinta lagi padanya? Mungkin. Aku tipe wanita yang suka diperlakukan romantis, jadi aku mudah baper kalau Mas Elman bersikap manis begini. Salah nggak sih, kalau hatiku meleleh dengan perlakuan Mas Elman? "Papa pulang!" Suara ceria itu menyapa kami tiap dia datang. Zila yang sedang duduk di sampingku, langsung berlari menyongsong sang ayah. "Hore .... Papa pulang!" pekiknya girang, dan langsung melompat ke dalam pelukan Mas Elman. Aku hanya bisa tersenyum melihat interaksi ayah dan anak itu, romantis. "Lihat apa yang papa bawa!" Mas Elman mengangkat plastik putih yang dia bawa."Bawa apalagi sih, Mas? Tad
Pov Elman "Nira! Dengar Nira! Aku hamil anak Elman!" teriak Dita dari balik pintu. Membuat Aku dan Nira saling pandang. "Mas?" lirih Nira. Tatapan matanya menuntut penjelasan dariku. "Itu nggak bener, Ra. Itu fitnah, kamu tahu sendiri dari dulu Dita terobsesi padaku." Aku berusaha meraih tangan Nira, tapi buru-buru ditepisnya. "Dita pernah tinggal di luar negeri, kamu tahu sendiri kehidupan di sana seperti apa. Dita penganut faham free se*, dia bisa melakukan dengan siapa saja tanpa ikatan, bahkan tanpa cinta. Bisa saja anak yang dikandungnya itu bukan anakku." Sebisanya aku mencoba berkilah, jujur aku tak mau kehilangan Nira. "Apapun itu, harusnya kamu bersikap jantan mempertanggung jawabkan perbuatanmu, Mas. Bukan sibuk menghindar mencari alasan pembenaran." Bulir bening yang tadinya mengembun itu, kini deras mengalir. Membuat aku semakin didera rasa bersalah. "Ra, dengarkan penjelasanku dulu." Nira menggeleng pelan. "Penjelasan apa lagi, Mas?" Nira terisak, tangisnya semakin m
Pov Elman. 15 tahun kemudian. "Pa, Zila berangkat kuliah dulu ya." Zila mencium takzim punggung tanganku, kemudian berlalu, meninggalkanku sendiri di atas kursi roda ini. Kutatap punggung anak gadisku hingga menghilang di balik pintu. Tak terasa lima belas tahun berlalu, gadis kecil yang dulu rambutnya selalu dikepang dua itu, kini telah dewasa. Dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan mandiri, pantang menyerah dan lebih dewasa dari umurnya. Dialah yang selama ini menjadi penyemangatku, menjadi penghiburku dan menjadi sumber kebahagiaanku. Entah apa yang terjadi, andai tak ada Zila? Zila juga yang memaksaku bangkit, dari keterpurukan. Memaksaku menghadapi kenyataan, bahwa hidup bukan hanya untuk diratapi tapi dijalani. "Papa nggak kasihan Zila? Kalau Papa gini terus, nanti sekolah Zila gimana?" ucap Zila yang kala itu baru berusia delapan tahun. Tepatnya tiga tahun pasca tragedi kecelakaan, yang merenggut semua mimpi dan harapankan. Saat itu adalah titik terendah dalam hidupku,
Aku buru-buru lari ke IGD begitu selesai bicara dengan petugas rumah sakit, sementara Mas Bagus mengurus administrasi, bertindak sebagai wakil keluarga. Mas Elman hanya punya saudara satu ayah, itupun tinggal di Kalimantan sana. Sementara keluarga yang di sini hanya sepupu jauh, dan hubungan mereka tidak terlalu dekat. Apalagi ini sudah malam, kalau menunggu mereka datang akan kelamaan. Terpaksalah aku dan Mas Bagus yang mengurus semuanya. "Bundaa .... !" Zila langsung menghambur ke pelukanku begitu aku berada di dekatnya. "Zila takut, hu .... " Tangisnya kembali pecah, begitu kusandarkan kepalanya di sela leherku. "Cup, cup, nggak pa-pa sayang, ada Bunda di sini," ucapku sambil mengelus lembut punggungnya. Malam ini seharusnya menjadi malam pertamaku dengan Mas Bagus, tapi kabar dari rumah sakit yang menyampaikan kalau mobil yang ditumpangi Mas Elman mengalahkan kecelakaan, membuat kami menunda malam indah kami. Aku dan Mas Bagus yang baru selesai bersih-bersih badan, akhirnya la
Pov Elman"Hai ....!" pekik kedua perempuan itu lalu saling cium pipi kanan kiri, kemudian berpelukan. Padahal selama saling mengenal, Dita dan Nira tidak pernah akur. Jangankan berpelukan, bicara saja seperlunya. Kenapa sekarang mereka seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu? "Ya Allah .... Kamu cantik banget, Ra. Selamat ya, semoga kalian berbahagia sampai kakek nenek," ucap Dita masih memeluk tubuh ramping Nira. "Makasih, Mbak. Mbak Dita juga cantik banget, aura bumil memang beda," Nira membalas pujian Dita. Basa-basi yang membosankan, saling puji padahal aslinya ingin memuji diri sendiri. Dasar perempuan. "Masa sih? Kamu bisa aja." Tuh kan? Pada dasarnya perempuan memang gila pujian. "Terimakasih lho, Mbak Dita mau datang kesini. Padahal jauh, mana lagi hamil lagi. Berapa bulan ini, Mbak?" Nira mengelus lembut perut buncit Dita. "Tujuh bulan, Ra. Kamu cepet isi ya?""Iya, Mbak. Langsung gas pokoknya." Aku tersenyum kecut mendengar kelakar Nira. Sok akrab b
Pov ElmanAku menatap nanar surat undangan, yang baru saja diserahkan oleh asisten rumah tanggaku. Alhamdulillah, akhirnya Nira berjodoh dengan dokter ganteng itu. Aku turut bahagia, semoga Bagus bisa menjadi suami yang baik dan setia untuk Nira. Tidak sepertiku, lelaki tak tahu diri yang hanya bisa menyakiti. Sejak bercerai, aku dan Nira putus komunikasi, tak ada yang mengikat kami, jadi tak ada alasan untukku bicara apapun. Tapi dengan Zila, dia masih telfonan. Pernah suatu hari Zila merengek memintaku mengantar ke rumah orang tua Nira, tapi aku menolak keras. Aku sudah tak punya muka untuk bertemu mereka, rasanya nggak nyaman saja, sudah bercerai tapi masih merepotkan. Sedangkan Zila bukan darah dagingnya. Lagipula aku ingin Zila terbiasa tanpa Nira. "Ini surat undangan dari siapa, Pa?" pertanyaan Zila yang datang tiba-tiba membuatku terlonjak kaget. "Eh, anak papa bikin kaget aja."Zila mengambil undangan yang masih berada di tanganku, dilihatnya dengan seksama kertas berwarna
Pov Elman. "Resign?" Aku menatap lembar kertas yang baru saja diserahkan oleh Edwin, sekretaris pribadiku. "Ada masalah apa?" tanyaku seraya meletakkan kertas itu di atas meja. "Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Saya hanya ingin mencari pengalaman di luar?" jawab Edwin diplomatis. "Apa gaji yang diberikan kantor kurang?" tanyaku to the point. Posisi Edwin ini cukup strategis, dia bisa mendapat promosi kenaikan jabatan karena prestasi kerjanya. Gajinya juga tidak kecil, kenapa dia tiba-tiba ingin resign? "Tidak Pak, hanya ingin ganti suasana saja," jawabnya tanpa menjelaskan secara detail alasannya mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak bisa menahan karyawan yang ingin berhenti kerja, tapi Edwin ini spesial. Dia bisa diandalkan, saat aku sedang bermasalah dulu, dia yang meng-handle pekerjaanku. Kalau sekarang dia resign, siapa lagi yang bisa ku andalkan? Orang baru belum tentu bisa seperti Edwin, butuh pelatihan yang memakan waktu. Dan aku merasa aneh, tidak ada tanda apa-apa tiba
"Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den
"Ra, jangan ngambek gitu dong ...." dokter Bagus berusaha mengejar langkahku yang tergesa-gesa. Aku makin mempercepat langkahku, bosen aku sama kelakuannya. Entah ini kali keberapa dia mengingkari janjinya padaku. Pernah suatu kali kami janji nonton berdua, aku sudah dandan cantik siap pergi. Eh dua jam aku menunggu, dia tidak nongol juga. Pernah juga janji makan malam, udah nunggu sampai ketiduran dia baru muncul, mana sudah jam sebelas lagi, mau kemana selarut itu? Bisa-bisa dikira Mbak Kunti, karena keluar tengah malam. Kalau kemarin-kemarin aku bisa menerima dan memaafkan, karena posisi di rumah. Mau ngapa-ngapain juga nyaman-nyaman aja, lha sekarang? Aku lagi ditempat kursus, dari tadi dikerubutin laler gara-gara nungguin dia, gimana nggak emosi coba?Ah ya, aku terpaksa ambil kursus akuntansi, karena calon suamiku ini memaksa agar membantu di klinik milik ayahnya itu. Maka aku harus tahu tentang pembukaan, karena aku pegang bagian keuangan. Padahal aku buta sama sekali, aku ka
Pov Author. Dita terlonjak kaget ketika pintu kamarnya terbuka, dan mendapati sosok Elman tengah berdiri menatapnya. "Mau apa kamu kesini?" ketus Dita, sakit hati yang dia rasakan masih begitu terasa, apalagi kepergian mamanya masih menyisakan duka. Dan tiba-tiba Elman muncul di kamarnya, jelas ini bukan pertanda baik. Itu yang terlintas di kepala Dita. "Aku mau menawarkan kesepakatan," jawab Elman datar, dia melangkah ke arah Dita yang tengah duduk di depan meja rias. "Jangan mendekat!" Dita mengangkat telapak tangannya ke depan, kode agar Elman menghentikan langkahnya. "Kesepakatan apalagi? Kamu belum puas melihat kehancuran keluargaku?" sinis Dita. "Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin kita berdamai, demi anak kita." Nada suara Elman mulai melunak, tak lagi terdengar dingin dan datar. "Huh! Kamu pikir aku nggak punya hati? Seenaknya kamu sakiti, dan sekarang kamu tawarkan perdamaian? Perdamaian macam apa? Palingan kamu hanya mau memanfaatkan aku lagi, setelah mendap
Pov Author Dita lari seperti orang kesetanan, begitu keluar dari mobil. Bahkan high heels yang dipakai, dia lepas begitu saja. Tujuannya adalah kamar orang tuanya, dimana sang Mama tengah terbaring. Matanya nanar menatap pemandangan menyedihkan di depannya. Pembantu setianya tengah memegang tangan kanan Mira, dengan kepala menunduk dekat telinga, seraya menyebut asma Allah berulang-ulang. "Mama .... !" Dita menghambur ke tubuh mamanya. "Non, jangan nangis! Ayo tuntun Ibu menyebut nama Allah!" bisik Bi Arum pelan.Suasana sangat mencekam, Mira tengah berhadapan dengan malaikat maut. Bukan tangis yang dia butuhkan, tapi tuntutan agar tetap mengingat Sang Pencipta di akhir usianya. Dita mengambil alih tangan mamanya dari Bi Arum, kini dia menuntun Mira melafazkan asma Allah. Dito yang baru saja masuk tak kalah kagetnya, mendapati mamanya sudah dalam keadaan tidak sadar. Tatapan ke atas dengan nafas tersengal-sengal. Sadar Mira sedang dijemput malaikat Izrail, Dito pun melakukan ha