Share

Bab 6

Pembantu itu menjawab dengan nada menyesal, "Maaf, Tuan Daniel. Kami nggak diizinkan memegang ponsel selama jam kerja."

"Kalau laptop ada? Aku mau main laptop," tanya Harry lagi.

Pembantu itu mengangguk dan menyahut, "Baik, Tuan Daniel. Silakan tunggu sebentar, saya akan segera ambilkan."

Tak lama, pembantu itu kembali dengan sebuah laptop mahal. Harry membawanya ke kamar dan menyalakannya. Jari-jarinya mulai mengetik dengan lancar di keyboard.

....

Eleanor baru saja selesai makan bersama Daniel ketika ponselnya berdering. Hari ini benar-benar panjang.

Panggilan itu dari rumah sakit. Seorang pasien membutuhkan penanganan darurat darinya. Eleanor merasa heran. Pasien itu baik-baik saja saat diperiksa siang tadi. Mengapa kondisinya tiba-tiba kritis?

Ketika sedang memikirkan hal ini, wajah muram dan menyeramkan Jeremy tiba-tiba terbayang di benak Eleanor. Jantungnya sontak berdebar.

Entah mengapa, Eleanor merasa gelisah. Hanya saja, dia tidak mungkin meninggalkan pasien yang membutuhkannya.

Lagi pula, Eleanor mengenakan masker saat bertemu Jeremy tadi. Mereka sudah lima tahun tidak bertemu, jadi seharusnya pria itu tidak mungkin langsung mengenalinya.

"Harry, Mama mau keluar sebentar. Kamu tunggu di rumah, ya. Kalau ada orang asing yang mengetuk pintu, jangan buka. Mengerti?" pesan Eleanor.

Daniel menatap Eleanor dan bertanya, "Mama mau ke mana?"

"Mama harus menangani pasien di rumah sakit. Kalau bosan, kamu boleh main laptop sebentar," ucap Eleanor. Dia mengeluarkan laptop dan memberikannya pada bocah kecil itu.

"Oke," sahut Daniel.

Eleanor berkata dengan manis, "Harry memang yang terbaik. Mama pergi dulu, ya."

Eleanor sudah pergi. Daniel duduk di sofa dan memikirkan kejadian hari ini. Dia bertanya-tanya apakah Jeremy akan mengkhawatirkan dan mencarinya setelah dirinya pergi begitu lama.

Ketika Daniel tengah memikirkan hal ini, laptop di depannya tiba-tiba terus berbunyi. Dia menyalakan laptop sambil mengernyit, lalu wajah yang persis seperti miliknya tiba-tiba muncul di layar.

Kedua bocah kecil itu saling bertatapan. Meski sudah saling mengetahui keberadaan satu sama lain, keduanya tetap tertegun karena tiba-tiba bertemu.

Harry-lah yang pertama bereaksi. Dia berucap, "Kamu putra Mama yang lain, 'kan? Namaku Harry, siapa namamu?"

Setelah rasa kagetnya reda, Daniel mengangguk dan menjawab singkat, "Daniel."

Harry mengerjap. Kakaknya ini sepertinya tipe yang dingin. Dia berkata lagi, "Mama membawamu pulang, mengira kamu adalah aku."

Daniel mengamati sekeliling Harry dan segera mengerti apa yang terjadi. "Sepertinya papaku juga salah kira dan membawamu pulang," ucapnya.

"Ya, kita bisa bahas ini nanti. Mama bilang, kamu lebih tua dariku, jadi kamu kakakku. Kak, Mama mana?" tanya Harry.

Daniel menyahut, "Mama pergi ke rumah sakit. Sepertinya ada urusan mendesak."

"Gawat," ucap Harry, sadar bahwa dirinya sudah terlambat selangkah.

"Ada apa?" tanya Daniel.

"Ceritanya panjang. Intinya, Papa tahu soal Mama. Dia marah besar, aku takut dia akan menyakiti Mama," jelas Harry.

Wajah mungil Daniel terlihat serius. Yoana sering sengaja mengungkit tentang hubungan ayah dan ibunya yang buruk, jadi dia tahu akan hal itu. Setelah mendengar kata-kata Harry, Daniel juga sedikit gugup.

"Kak, aku pinjam identitasmu sebentar," ucap Harry.

"Pakai saja. Hati-hati sama Yoana, dia jahat banget!" balas Daniel.

Harry berkata, "Oke. Waktunya mepet, kita ngobrol lagi nanti."

"Ya," sahut Daniel.

....

Eleanor baru tiba di rumah sakit dan hendak mencari tempat parkir. Alhasil, sekelompok pria berbaju hitam mendadak mendekat dan mengepung mobilnya.

Sambil memaki dalam hati, Eleanor bereaksi cepat dan mencoba memundurkan mobil. Hanya saja, sebuah mobil hitam langsung menghalangi jalannya.

Eleanor terpaksa menginjak rem. Tak lama, jendela mobilnya diketuk dari luar dan seseorang berkata padanya, "Nona Eleanor, tolong keluar."

Ekspresi Eleanor berubah muram, tetapi dia tidak bergerak. Beberapa detik kemudian, ketukan di jendela kembali terdengar.

Eleanor mendengar suara dingin Andy, asistennya Jeremy. Pria itu mengulangi ucapannya dengan tidak sabar, "Nona Eleanor, tolong turun dari mobil."

Kepala Eleanor berdenyut-denyut. Jeremy sinting itu akhirnya menemukannya. Dia ingin sekali kabur, tetapi orang-orang ini tidak memberinya kesempatan.

Eleanor memarkir mobil dan melepas sabuk pengamannya. Dia mengernyit melihat orang-orang yang mengepungnya ini. Jadi, mereka memang sudah menunggunya sejak awal?

Pria itu berdiri sejauh beberapa meter di depan. Meski berjarak, Eleanor bisa merasakan jelas aura dingin yang terpancar darinya.

Kedua tangan Eleanor tiba-tiba terkepal erat. Nalurinya memberitahunya untuk segera kabur, tetapi dia sama sekali tidak bisa bergerak di bawah tatapan tajam Jeremy.

Eleanor memaksakan dirinya untuk tenang. Sesuai kebiasaan, dia selalu memakai masker ke rumah sakit. Namun, mata pria itu seolah-olah bisa menembus masker tipis yang dipakainya sekarang dan melihatnya dengan jelas.

"Eleanor!" ucap Jeremy dengan penuh penekanan.

Darah di sekujur tubuh Eleanor serasa bergejolak. Dia begitu gugup hingga jantungnya seolah-olah hendak melompat keluar. "Apa kita saling kenal?" tanyanya dengan suara dingin.

Jeremy hanya tersenyum dingin sebagai tanggapan.

"Aku tidak mengenalmu, biarkan aku pergi," ucap Eleanor lagi sambil berbalik pergi menuju rumah sakit.

Jeremy tidak menghentikannya. Namun, tak lama Eleanor diseret kembali oleh dua pengawal kekar.

"Lepaskan aku! Apa hak kalian melarangku pergi?" seru Eleanor.

Duk! Eleanor dilempar ke hadapan Jeremy. Sebelum dia bisa berdiri, jari-jari dingin pria itu bergerak melepas maskernya, mengekspos wajahnya yang anggun dan cantik.

Melihat wajah Eleanor yang masih sama seperti lima tahun lalu, ekspresi Jeremy bertambah suram. Dia mencengkeram dagu wanita itu. Matanya menyorot dingin dan bibirnya menyunggingkan senyum menyeramkan saat dia berkata, "Mau pura-pura nggak mengenalku, hm?"

Eleanor mengernyit. Sepasang mata cerahnya membalas tatapan Jeremy. Pria itu tertegun sejenak saat melihat kilat dingin dan berjarak di matanya.

"Sudah beberapa tahun nggak berjumpa, apa nggak ada yang ingin kamu katakan padaku?" tanya Jeremy.

Eleanor membalas dengan dingin, "Maaf, aku nggak tahu harus ngomong apa sama binatang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status