"Para penumpang sekalian, pesawat telah mendarat sepenuhnya di Bandara Internasional Ibu Kota. Terima kasih telah terbang bersama kami. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya!"Begitu mendengar pengumuman pramugari, Eleanor membuka mata dan menepikan selimutnya. Kemudian, dia perlahan memandang ke luar jendela. Setelah lima tahun berlalu, akhirnya dia kembali.Eleanor muncul di terminal kedatangan dengan berbalut mantel cokelat tua, rambut hitam panjang tergerai, dan sepasang sepatu hak tinggi hitam di kakinya.Satu tangan Eleanor menarik koper dan satunya lagi dimasukkan ke saku mantel. Dia melangkah dengan begitu percaya diri. Aura anggun dan berkelasnya menarik perhatian banyak orang di sekitar.Vivi yang telah lama menunggu pun melepas kacamata hitamnya, lalu menghampiri Eleanor sambil tersenyum manis. Keduanya tersenyum pada satu sama lain, lalu saling memeluk dengan hangat."Eleanor, selamat datang kembali," ucap Vivi."Kangen aku, nggak?" tanya Eleanor."Kangen, dong. Sayang bang
Tak lama kemudian, mobil Eleanor tiba di depan Kediaman Adrian. Dia segera turun dan menarik napas dalam-dalam. Biarpun tahu apa yang akan dihadapinya, dia tetap melangkah masuk.Pembantu yang membuka pintu tertegun kaget dan bergumam, "Nyo ... Nyonya?"Pembantu ini adalah pegawai lama Keluarga Adrian. Dia sudah bekerja saat Eleanor masih menjadi Nyonya Adrian. Jadi, dia tentu mengenal wanita itu."Nyo ... Nyonya masih hidup?" tanya pembantu itu. Mengapa Eleanor bisa hidup kembali?Eleanor berucap dengan nada dingin, "Aku dan Jeremy sudah bercerai, jadi kamu nggak perlu memanggilku nyonya lagi. Mana Jeremy?""Tuan baru saja pulang. Sekarang Tuan sedang di ruang kerja," sahut si pembantu.Eleanor langsung melangkah masuk, membuat pembantu itu terkejut."Nyo ... Nona Eleanor ...." Pembantu itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi ketika merasakan aura mengintimidasi Eleanor, dia terpaksa menelan kembali kata-katanya.Eleanor sangat familier dengan setiap sudut rumah ini. Dia menaiki tangga
Keduanya saling bertatapan dengan marah. Tepat ketika Jeremy selesai bicara, ponsel Eleanor tiba-tiba berdering.Eleanor mengatupkan bibir dan mengambil ponselnya. Kemudian, dia menatap Jeremy dengan alis berkerut dan beringsut ke samping untuk menjawab telepon.Suara manis Harry terdengar dari seberang telepon, "Maaf, Ma. Jam tanganku nggak ada baterai tadi. Sekarang aku baru cas di kamar. Kenapa, Ma?""Harry, kamu di mana sekarang?" tanya Eleanor dengan cemas."Di rumah Paman Charlie. Harry anak pintar, tentu saja nggak ke mana-mana," sahut Harry."Cepat jelaskan pada mamamu, jangan sampai dia mengira aku menjualmu," timpal Charlie dengan iseng dari seberang telepon.Eleanor mendongak dan menatap Jeremy dengan raut terkejut. Kemudian, dia memalingkan pandangan dan bertanya dengan suara rendah, "Harry, kamu masih di Leroria?"Harry tidak mengerti mengapa ibunya bertanya begitu. Dia anak yang patuh, mana mungkin dia pergi tanpa izin dan menambah masalah ibunya?"Iya, Ma. Harry masih di
Yoana baru tiba di depan ruang kerja dengan membawa sepiring buah ketika percakapan Jeremy dan Andy terdengar di telinganya. Tes DNA? Yoana meremas piring di tangannya.Jeremy ingin melakukan tes DNA dengan Daniel? Apa dia menyadari sesuatu? Apa dia mendengar omongan seseorang yang mendorongnya untuk melakukan tes DNA?Yoana menahan seorang pembantu yang kebetulan lewat dan bertanya dengan cemas, "Apa ada yang datang barusan?""Iya, Nona Eleanor baru saja pergi," sahut pembantu itu.Yoana menggertakkan giginya. Sudah diduga, ternyata wanita jalang itu! Begitu kembali dari luar negeri, Eleanor langsung menuju Kediaman Adrian. Apakah dia belum menyerah dan masih ingin merayu Jeremy?Yoana memaki kesal! Sesuai dugaan, Eleanor masih saja berulah. Dia menggertakkan gigi, lalu menyerahkan piring buah pada pembantu tadi dan mengejar Eleanor.Pada saat yang sama, di ruang kerja.Setelah memberi perintah pada Andy, Jeremy mengambil ponsel dan menelepon seseorang."Kak Jeremy, tumben banget tele
Eleanor memeriksa arlojinya. Hari memang sudah larut. Dia berkata, "Maaf sudah membuatmu tunggu lama. Ayo makan, aku yang traktir.""Karena kamu yang bilang sendiri, aku nggak akan sungkan. Pas banget, aku sudah pesan meja di Le Imperial. Ayo pergi," sahut Vivi.....Yoana mengetuk pintu ruang kerja, lalu mendorongnya dan masuk. Dia melangkah anggun menghampiri Jeremy dan memanggil pria itu dengan ekspresi lembut."Ya," sahut Jeremy pendek. Saat ini kepalanya sangat sakit. Begitu mencium parfum Yoana, dia sontak mengernyit.Yoana mencondongkan tubuhnya mendekati Jeremy dan berkata, "Remy, aku mau pergi makan di Le Imperial sama Tiara. Apa kamu bisa jemput aku nanti?"Jeremy melirik arlojinya, tetapi dia tetap menyanggupi, "Oke."Yoana tersenyum kian lebar, binar licik melintas sekilas di matanya. "Terima kasih, Remy," ucapnya.....Le Imperial adalah restoran top di ibu kota yang terkenal dengan masakan tradisionalnya. Dekorasi interiornya juga klasik dan elegan. Banyak orang dari kala
Eleanor bahkan sama sekali tidak melirik undangan itu. Tujuan Yoana hanyalah ingin pamer.Vivi mengamati undangan itu sambil tersenyum. Dia berkata, "Wah! Undangan pertunangan saja sebagus ini."Yoana tersenyum bangga. Namun, Vivi kembali melanjutkan dengan alis terangkat, "Sayang banget kalau undangan sebagus ini dibuang ke tong sampah."Kemudian, Vivi langsung melempar undangan itu ke tong sampah. Setelah itu, dia juga menyeka tangannya dengan tisu basah.Eleanor mengangkat alisnya dan tersenyum. Di sisi lain, Yoana mengernyit dalam dan matanya tiba-tiba berkilat dingin.Tiara mengambil undangan itu dari tong sampah, lalu membantingnya ke depan Eleanor sambil membentak, "Apa maksud kalian? Kak Yoana sudah berbaik hati mengundang kalian, tapi kalian malah nggak tahu terima kasih.""Eleanor, kamu cium sesuatu nggak?" tanya Vivi."Cium apa?" tanya Eleanor."Bau banget," ucap Vivi dengan nada sinis sambil mengipasi udara dengan tangannya."Vivi!" geram Tiara sambil menggertakkan gigi."A
Pelayan restoran menatap Eleanor dan Vivi dengan bimbang. Para tamu di sini biasanya adalah orang-orang kaya dan berpengaruh. Belum pernah ada kejadian orang yang kabur tanpa membayar.Mereka mengamati pakaian Eleanor dan Vivi, lalu beralih menatap Yoana dan Tiara. Yoana adalah pelanggan tetap di sini, para pelayan juga mengenalinya.Namun, ini pertama kalinya Eleanor makan di sini. Ditambah dengan pakaiannya yang yang sederhana, para pelayan secara naluriah memihak Yoana dan Tiara."Nona, tolong bayar tagihannya dulu. Kami nggak menerima utang di sini," ucap salah seorang pelayan, seolah-olah sudah yakin bahwa Eleanor dan Vivi tidak akan sanggup membayar.Vivi hendak memaki dengan marah. Namun, Eleanor menghentikannya.Tiara mencibir, "Kalian punya uang, 'kan? Ayo cepat bayar. Eleanor, mengingat kamu adalah kakakku, aku akan membantumu bayar. Nggak baik menghabiskan seluruh uangmu hanya untuk satu kali makan."Tepat setelah kata-kata itu terlontar, seorang pria berpakaian rapi buru-bu
Semua orang menoleh ke sumber suara. Entah sejak kapan, Jeremy telah berdiri di sana dengan setelan formalnya. Raut wajah tampannya terlihat sangat muram."Remy," panggil Yoana dengan suara lembut.Jeremy mendekat dengan tatapan dingin tertuju pada Eleanor. Matanya berkilat sinis dan penuh kebencian. Eleanor hanya menyeringai sinis sebagai tanggapan."Remy, sakit banget ...," ucap Yoana.Jeremy segera membungkuk dan membantu Yoana berdiri. Dia bertanya dengan perhatian, "Kamu nggak apa-apa, 'kan?"Yoana menggigit bibirnya dan menggeleng dengan ekspresi pilu. Air matanya mulai menetes.Jeremy melirik Tiara yang berusaha bangun sendiri, lalu bertanya dengan nada dingin, "Apa yang terjadi?"Tiara menunjuk Eleanor dan Vivi, menuduh dengan suara lantang, "Mereka yang duluan ....""Tolol, ada kamera CCTV," sela Vivi sambil memutar bola matanya. Siapa yang terlebih dahulu memulai pertengkaran terekam jelas di kamera.Tiara menggigit bibirnya, lalu melanjutkan, "Mereka yang duluan menindas Kak