Jeremy dengan tenang membuka kancing mantel Eleanor, memperlihatkan kemeja yang dia kenakan di dalam. "Periksa dia," katanya sambil bangkit."Baik, baik." Dokter itu mengangguk, mengenakan stetoskop, lalu memulai pemeriksaan. Namun, ketika melihat hanya sebagian kecil kemeja yang terbuka, dia sedikit tertegun tetapi tetap melanjutkan.Saat pemeriksaan sedang berlangsung, ponsel Jeremy berdering. Dia melihat sekilas dan menjawab panggilan itu."Kak Jeremy, di mana kamu? Keluar sebentar ....""Di rumah sakit, nggak ada waktu," Jeremy memotong ucapan Bastian tanpa ragu."Rumah sakit?" Nada Bastian berubah serius. "Kamu sakit?""Bukan aku.""Lalu siapa? Daniel?""Eleanor.""Hah? Bukannya kalian lagi ...." Bastian hampir menyebutkan "perang dingin" dalam hubungan mereka, tetapi kalimat itu terpotong karena ponselnya direbut oleh Danuar.Danuar menutup mulut Bastian dan bertanya dengan wajah tersenyum, "Kak Jeremy, penyakit Kakak Ipar parah nggak? Dia di rumah sakit mana? Perlu kami datang?"
"Kak Jeremy, mau ke mana?" tanya Bastian."Kantor polisi."Melihat punggung Jeremy yang pergi dengan langkah besar, Danuar dan Bastian saling menatap sejenak. Mereka bertanya-tanya, apakah Jeremy pergi untuk menghabisi orang yang mencelakakan Eleanor?Saat Eleanor membuka mata, di sekitarnya tercium bau antiseptik yang pekat."Sudah bangun?""Danuar? Bastian? Di mana aku sekarang?" Eleanor memutar matanya sejenak. Dia baru saja tersadar, sehingga reaksinya lebih lambat. Setelah beradaptasi dengan cahaya di dalam ruangan, dia mulai bertanya pada kedua orang itu.Danuar menjawab, "Rumah sakit. Kamu pingsan karena demam."Ingatan Eleanor mulai kembali perlahan-lahan. Dia teringat bahwa Charlie yang mengantarkannya pulang. Mereka bertemu dengan Jeremy, lalu kepalanya terasa pusing dan akhirnya jatuh pingsan.Tidak heran jika tubuhnya terasa tidak nyaman. Ternyata dia sedang demam tinggi. Berhubung Danuar dan Bastian ada di sini, berarti orang yang mengantarkannya ke rumah sakit adalah Jere
"Aku belum nanya kenapa kamu ada di sini," ujar Jeremy dengan nada datar.Yoana memaksakan senyuman dan berkata, "Tiara mengalami sedikit masalah, tentang insiden di hotel itu .... Dia temanku, jadi aku khawatir dia ketakutan sendirian, makanya aku ikut ke sini. Bagaimana denganmu, Jeremy? Kenapa kamu di sini?""Sama sepertimu, tentang masalah di hotel," jawab Jeremy dengan suara tenang.Nada bicaranya terdengar seperti biasanya, tetapi Yoana dapat merasakan adanya aura berbahaya di balik kata-kata itu.Yoana mencengkeram jemarinya erat-erat, bahkan hingga kulitnya terluka tanpa dia sadari. Dia mencurigai bahwa Jeremy telah mengetahui sesuatu. Kalau tidak, mengapa dia sampai datang langsung ke sini?Tidak lama kemudian, Robert dan Felicia datang dengan tergesa-gesa. Setelah mendengar tentang kejadian itu, Felicia tampak sangat panik. Begitu melihat Yoana, dia langsung bertanya, "Yoana, apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi?""Paman, Bibi, jangan panik dulu. Aku juga lagi cari t
Suara yang dingin dan penuh bahaya tiba-tiba terdengar, membuat punggung Tiara menegang seketika. Ketika dia berbalik, matanya membelalak melihat Jeremy yang entah sejak kapan sudah duduk di sana dan menatapnya dengan tatapan tajam.Wajah Yoana seketika berubah, ekspresinya semakin gelap. Dia memandang Tiara dengan tatapan seperti sedang melihat seorang idiot.Tiara yang awalnya penuh emosi, sekarang menjadi pucat pasi. "Pak Jeremy?"Dia berusaha keras untuk mengendalikan ketakutannya dan mencengkeram telapak tangannya sendiri hingga meninggalkan bekas merah."Ceritakan dengan jelas kejadian malam ini dari awal sampai akhir," pungkas Jeremy.Tiara menggigil ketakutan. Aura agresifnya yang tadi digunakan untuk mengadu kepada Robert dan Felicia kini menghilang sepenuhnya.Kenapa Jeremy ada di sini? Kemudian, dia melirik ke arah Yoana untuk mencari jawaban.Meskipun hatinya ikut berdebar, Yoana berusaha keras menjaga ekspresi tenangnya. Dengan senyuman tipis, dia berbicara kepada Tiara, "
"Tiara, kamu benar-benar gegabah. Kenapa kamu berbuat begini?" Yoana berpura-pura marah.Namun, Jeremy bahkan tidak mendengarkan kata-kata Yoana hingga selesai. Dia berdiri, memberi tatapan singkat kepada polisi di sampingnya dan berkata, "Orang seperti ini ... perlakukan sesuai prosedur."Setelah berkata demikian, dia langsung berbalik dan pergi. Kebenaran dari situasi ini sudah jelas di benaknya dan dia tidak punya waktu atau minat untuk terus mendengarkan kebohongan mereka.Mendengar keputusan Jeremy, wajah keluarga Robert langsung menjadi muram.Tiara yang ketakutan buru-buru melangkah maju dan mencengkeram tangan Yoana dengan erat. Dengan suara rendah yang penuh kebencian, dia berkata, "Kamu harus bantu aku. Ini semua idemu. Kalau aku kena masalah, aku juga nggak akan biarkan kamu lolos."Namun, Yoana menatap Tiara dengan wajah dingin dan melepaskan tangannya dengan kasar. Dengan nada dingin, dia hanya berkata, "Aku mengerti."Setelah itu, Yoana bergegas mengejar Jeremy keluar dar
"Kalau nggak?" Jeremy menjawab dengan ekspresi wajar, membuat Danuar hampir mati kesal."Kak Jeremy, ini nggak adil," Bastian juga menunjukkan ketidakpuasannya.Jeremy tetap tenang dan berkata singkat, "Pilih saja apa pun dari rak anggur di rumahku."Danuar langsung berhenti sejenak, memikirkannya, lalu mengangguk. "Baiklah, kalau begitu." Dia mengambil barang-barangnya, lalu menarik Bastian keluar. "Kak Jeremy, Kak Eleanor, sampai jumpa."Swush!Keduanya langsung menghilang tanpa jejak. Eleanor hanya bisa terdiam.Dengan santai, Jeremy duduk di kursi di sebelah tempat tidurnya. Pandangannya tenang ketika dia menatap Eleanor. Ruangan itu dipenuhi keheningan. Keduanya saling menatap tanpa ada yang bicara terlebih dahulu.Di sisi lain, Eleanor merasa tidak nyaman setiap melihat Jeremy. Dia langsung teringat insiden malam ketika Jeremy mabuk. Bahkan sampai sekarang, bekas merah di lehernya belum sepenuhnya hilang. Dia refleks menyentuh lehernya dan merasa seluruh tubuhnya menegang.Jerem
Jeremy melempar pisau buah kembali ke dalam keranjang, lalu menyodorkan apel yang sudah dia kupas dengan rapi kepada Eleanor. Eleanor menatap apel itu dengan terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka Jeremy akan melakukan sesuatu seperti ini.Melihat Eleanor tidak segera mengambilnya, Jeremy menggerakkan tangannya sedikit, membuat apel itu bergoyang di depannya. Awalnya dia ingin mengatakan bahwa mengonsumsi buah bagus untuk kesehatan, tapi yang keluar dari mulutnya malah menjadi perintah, "Makan."Eleanor terdiam.Baiklah, dia memutuskan untuk tidak melawan pria ini.Eleanor mengulurkan tangan, jari-jarinya bersentuhan singkat dengan tangan Jeremy yang dingin. "Terima kasih," katanya sambil menundukkan kepala dan menggigit apel itu.Jeremy meliriknya sekilas, lalu mengambil dua lembar tisu untuk mengelap tangannya dengan teliti. Tingkat kehati-hatiannya menunjukkan bahwa dia hampir tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya.Tak lama kemudian, seorang dokter masuk untuk memerik
Setelah hening selama dua detik, Patrick menahan amarahnya dan mencoba mengganti nada bicaranya menjadi lebih tenang. "Kenapa? Apa Grup Pratama melakukan kesalahan?""Nggak," jawab Jeremy dengan suara dalam dan dingin.Mendengar jawaban Jeremy yang dingin, Patrick hampir bisa menebak bahwa Jeremy mungkin marah karena suatu hal tertentu. Namun, dia berusaha menahan emosinya."Kalau begitu, kenapa?" tanya Patrick."Karena aku nggak suka kalian," jawab Jeremy singkat dan langsung membuat Patrick kehilangan kata-kata. Jeremy langsung menutup telepon tanpa basa-basi.Di sisi lain, Patrick begitu marah hingga membanting ponselnya ke meja. "Kurang ajar!""Astaga, pagi-pagi begini kenapa kamu sudah marah-marah?" Saat turun dari lantai atas, Alicia kebingungan melihat Patrick marah besar.Dengan wajah yang masih muram, Patrick menunjuk ke atas. "Pergi, panggilkan Yoana sekarang!"Melihat bahwa Patrick bahkan memanggil Yoana dengan nama lengkapnya, Alicia menyadari bahwa ini adalah masalah seriu
Eleanor berpikir sejenak, lalu mengangguk. Jika dia sudah koma selama lebih dari dua bulan, itu artinya kondisinya pasti sangat buruk di awal. Masuk akal jika Charlie mengirim kedua anaknya ke Keluarga Adrian."Minum obat ini." Arnav datang dengan membawa semangkuk obat.Eleanor mencoba duduk dan Charlie segera membantunya. Dia menerima mangkuk itu. Aroma khas obat herbal langsung menyeruak. Eleanor mengendus perlahan dan segera mengenali komposisinya. Dia agak terkejut. "Ini ramuan penawar racun?""Ya, dua bulan yang lalu kamu diracuni. Obat ini bisa membantu membersihkan sisa racunnya," jelas Arnav."Kamu bilang aku diracuni?""Racunnya sangat bahaya. Tapi, untungnya Charlie ...." Arnav tiba-tiba berhenti bicara karena dia bisa merasakan tatapan Charlie yang langsung mengarah padanya. Dia segera berdeham dan mengganti ucapannya, "Untung saja ilmu medisku luar biasa, jadi aku berhasil menyelamatkanmu."Dengan cerdik, Arnav membanggakan dirinya sendiri dan menelan kata-kata yang hampir
Selena mengerutkan alisnya, menatap ke lantai dua. Simon yang berdiri di lantai atas mengangguk, memberi isyarat agar dia pergi. Dia yang akan menyelesaikannya.Selena langsung pergi. Pelayan yang berdiri di tempat terkejut selama beberapa detik. Dia tahu Jeremy terus mencari Eleanor. Ketika dia hendak mengejar, Simon memanggilnya ke ruang kerja.Saat Selena keluar, Jeremy baru saja kembali dari luar. Dari dalam mobil, Jeremy melihat ke luar. Dia merasa dirinya melihat sosok yang sangat familier. Hatinya sontak bergetar.Namun, sosok itu segera menghilang dalam kegelapan. Jeremy menarik kembali pandangannya dan tersenyum sinis.Sejak Eleanor pergi, dia merasa semua orang terlihat seperti Eleanor. Sebenarnya wanita itu ada di mana? Siapa orang yang ada dalam video itu?Jika itu bukan Eleanor, bagaimana mungkin dia bisa terlihat persis dengan Eleanor? Kenapa harus menuduh Eleanor?Jeremy memijat pelipisnya. Semakin dipikirkan, semua terasa semakin rumit.....Musim dingin berlalu, musim
Wanita itu menatap Simon selama beberapa detik, lalu berlutut dengan hormat di bawah tatapan terkejut dari Simon. "Kakek."Simon terkejut karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Kamu? Eleanor, apa yang kamu lakukan? Tunggu dulu ...."Simon segera bangkit dari kursinya sampai lupa mengambil tongkatnya, lalu berjalan mendekati wanita itu sambil bertumpu pada meja. Dia mengernyitkan alis dan mengamati wajah yang mirip dengan Eleanor itu dengan cermat. Bukan hanya wajah, bahkan suara dan ekspresi wanita ini juga mirip dengan Eleanor. Namun, Eleanor tidak mungkin memanggilnya kakek, apalagi berlutut seperti ini."Kamu bukan Eleanor. Siapa kamu?" tanya Simon.Wanita itu mengangkat kepalanya untuk menatap Simon, lalu memperlihatkan bekas luka yang samar di lengannya. "Kakek, aku ini Selena."Tubuh Simon langsung menjadi kaku dan tatapannya terlihat sangat terkejut saat menatap bekas luka yang familier itu. Setelah menatap Selena cukup lama, suaranya akhirnya kembali lagi. "Kamu ...
Saat suara itu perlahan-lahan menghilang, Jeremy mengernyitkan alisnya."Bos?" panggil Andy."Pergi periksa apa Eleanor punya saudara kembar," kata Jeremy.Andy langsung maju dan menjawab, "Bos, Nona Eleanor nggak punya saudara kembar."Dia sudah sering menyelidiki semua tentang Eleanor, sehingga dia bisa memastikan Eleanor tidak memiliki saudara kembar. Meskipun ada, saudara kembar Eleanor itu pun tidak memiliki alasan menyamar menjadi Eleanor untuk mencelakai anak Yoana dan menjebak Eleanor."Bos, Nona Eleanor memang punya adik tiri dari ibu yang berbeda, namanya Tiara. Tapi, wajah mereka nggak mirip sama sekali," lanjut Andy, yang berarti orang di dalam video itu tidak mungkin adalah Tiara.Jeremy berdiri dan berjalan ke depan jendela besar, lalu menatap pemandangan di luar sambil mengernyitkan alisnya. Dia yakin masih celah yang terlewatkan dalam penyelidikannya, sehingga dia segera mengeluarkan ponselnya dan melangkah keluar.Pada saat itu, Bella yang kebetulan melewati ruang kerj
Satu minggu pun berlalu, Jeremy yang berada di dalam ruang kerja terus memancarkan aura yang dingin dari seluruh tubuhnya. Tidak ada perubahan apa pun dari pihak Charlie dan Eleanor juga tidak pernah muncul di sekitar sana. Eleanor masih menghilang dengan tanpa jejak.Sementara itu, tidak peduli apa pun cara yang digunakan Jeremy untuk menginterogasi para preman itu, mereka tetap bersikeras mereka hanya mengikuti perintah dari Eleanor. Meskipun dia sudah menangkap dan mengancam keselamatan keluarga mereka, jawaban mereka tetap sama seperti sebelumnya.Melihat sikap para preman itu, Jeremy berpikir mereka tidak mungkin melindungi orang lain sampai mengorbankan nyawa keluarga mereka sendiri. Dia juga menyelidiki apakah mereka memiliki kelemahan yang bisa dimanfaatkan orang lain, tetapi tetap tidak ada bukti pemerasan, transaksi uang, ataupun ancaman apa pun. Berarti jawaban mereka benar dan tidak ada informasi yang bisa digali lagi.Namun, hal itu membuat Jeremy tiba-tiba teringat dengan
Selama beberapa hari ini, Jeremy sudah hampir gila karena khawatir. Dia sangat ingin tahu apakah Eleanor baik-baik saja.Charlie menjilat bibirnya dan berkata, "Benar-benar nggak ada di sini. Kalau nggak percaya, silakan cari sendiri. Kalau kamu menemukannya, kamu boleh membawanya pergi."Jeremy menyipitkan matanya dan menatap Charlie dengan tatapan yang makin dingin, seolah-olah sedang menilai apakah Charlie mengatakan yang sebenarnya. Saat ini, dia hanya bisa mengandalkan dugaannya karena dia juga tidak bisa memastikan apakah Eleanor memang ada di tempat ini.Selain itu, Jeremy juga tidak bisa percaya perkataan Charlie karena Charlie terlibat dalam masalah ini. Charlie yang membawa pergi anaknya dan juga menangani Sergio. Meskipun Charlie membiarkannya mencari, dia juga tidak bodoh sampai benar-benar menggeledah tempat ini. Bukan hal yang sulit jika Charlie benar-benar berniat menyembunyikan Eleanor di Leroria yang begitu luas.Jeremy menatap Charlie sambil menyipitkan matanya. Setel
"Cepat tutup pintunya," perintah Jackson langsung pada orang-orang untuk mengunci pintunya dengan rapat begitu Charlie pergi. Saat mengingat tatapan Charlie tadi, dia langsung merinding. Saat ini, dia baru menyadari tindakannya sudah keterlaluan. Mungkin saja setelah menyelesaikan urusannya, Charlie si gila itu akan kembali untuk mencincangnya nanti.....Charlie memberikan beberapa bahan obat yang sudah dibawanya pada pria tua berambut putih itu.Setelah memeriksa dengan cermat dan mengambil sedikit untuk menghirup aromanya, pria tua itu pun terkejut dan menganggukkan kepala. "Ini memang bahan obat itu. Bagaimana kamu bisa mendapatkannya secepat ini?"Charlie mengangkat kepalanya dan tersenyum dengan bibir yang pucat. "Nggak usah banyak omong, cepat obati dia.""Baiklah," jawab pria itu. Dia menyadari ada yang aneh dengan wajah Charlie, tetapi dia tahu kondisi Eleanor tidak bisa ditunda lagi karena terlalu kritis.Saat hendak mengambil bahan itu untuk meracik obat, tatapannya tanpa sa
"Empat ratus miliar?" tanya Avery sambil menatap Jackson dengan kaget.Namun, Jackson malah tetap menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dengan ambigu. "Bukan."Avery mengepalkan tinjunya dan menggertakkan giginya. "Empat triliun?"Jackson akhirnya menganggukkan kepalanya."Kamu sudah gila," kata Avery sambil membelalakkan matanya. Melihat pria di depannya ini sengaja menaikkan harganya, dia hampir saja tidak bisa menahan dirinya dan menghajar Jackson.Melihat Charlie yang tiba-tiba datang mencarinya untuk meminta bahan obat itu, Jackson tahu bahan itu pasti sangat penting bagi Charlie. Oleh karena itu, dia baru berani menaikkan harganya dengan sesuka hatinya."Orang yang bisa membuat Tuan Charlie begitu bersusah payah, berarti orang ini pasti sangat penting bagi Tuan Charlie. Empat triliun untuk satu nyawa, sekarang tinggal lihat apa orang ini pantas dihargai empat triliun di matamu," kata Jackson sambil tersenyum sinis dan menatap Charlie dengan tajam, seolah-olah menantang Charlie
Melihat Jeremy yang tiba-tiba meninggalkan tempat itu begitu saja saat pertarungannya masih berlangsung, Glenn pun mengernyitkan alis.Saat ini, di sebuah halaman terpencil di Leroria, peralatan medis tercanggih sedang berusaha keras untuk mempertahankan nyawa seorang wanita yang terbaring tidak bergerak di tempat tidur. Ada seorang pria tua berusia tujuh puluhan tahun berdiri di samping tempat tidur wanita itu.Melihat wajah Eleanor yang makin pucat, kekhawatiran Charlie yang sudah ditahannya selama ini pun akhirnya meledak. Dia mengernyitkan alis dan menatap pria tua di depannya dengan tatapan cemas. "Bukankah kamu dijuluki sebagai dokter ilahi? Kenapa kamu masih nggak bisa menyelamatkannya?"Pria tua itu melirik Charlie sekilas, lalu menggelengkan kepala dan berkata, "Bukannya aku nggak bisa menyelamatkannya, tapi lukanya terlalu parah dan telat diobati. Selain itu, dia juga keracunan, jadi aku hanya bisa menggunakan obat untuk mempertahankan nyawanya."Charlie sudah mendengar perka