Setelah hening selama dua detik, Patrick menahan amarahnya dan mencoba mengganti nada bicaranya menjadi lebih tenang. "Kenapa? Apa Grup Pratama melakukan kesalahan?""Nggak," jawab Jeremy dengan suara dalam dan dingin.Mendengar jawaban Jeremy yang dingin, Patrick hampir bisa menebak bahwa Jeremy mungkin marah karena suatu hal tertentu. Namun, dia berusaha menahan emosinya."Kalau begitu, kenapa?" tanya Patrick."Karena aku nggak suka kalian," jawab Jeremy singkat dan langsung membuat Patrick kehilangan kata-kata. Jeremy langsung menutup telepon tanpa basa-basi.Di sisi lain, Patrick begitu marah hingga membanting ponselnya ke meja. "Kurang ajar!""Astaga, pagi-pagi begini kenapa kamu sudah marah-marah?" Saat turun dari lantai atas, Alicia kebingungan melihat Patrick marah besar.Dengan wajah yang masih muram, Patrick menunjuk ke atas. "Pergi, panggilkan Yoana sekarang!"Melihat bahwa Patrick bahkan memanggil Yoana dengan nama lengkapnya, Alicia menyadari bahwa ini adalah masalah seriu
"Semalam kamu nggak pulang?""Baru datang." Padahal Jeremy sebenarnya tidak pulang semalaman. "Sana cuci mukamu, lalu sarapan."Eleanor tertegun dan mematung. Jeremy menghentikan gerakan tangannya dan menoleh ke arah Eleanor. "Kenapa?" tanyanya."Hah? Nggak apa-apa, cuma melamun." Eleanor turun dari ranjang dan mengenakan sepatunya. Setelah selesai membersihkan diri, Jeremy juga sudah selesai menyiapkan sarapan di meja."Ayo, sini makan.""Ya." Eleanor mengangguk. Dia menunduk untuk menyantap buburnya, tetapi ekspresi wajahnya tampak agak tidak nyaman. Dia merasa ada sesuatu yang aneh dari Jeremy.Namun, apa yang aneh?Sepertinya dia tidak terlalu berengsek lagi! Malah sepertinya jadi baik? Jeremy bahkan bisa merawatnya di sini.Ini adalah perlakuan yang tidak pernah diterima Eleanor selama tiga tahun pernikahan ini. Apa maksudnya Jeremy melakukan semua ini sekarang?Eleanor diam-diam mengangkat matanya, mencuri pandang ke arah Jeremy. Namun, seperti sebelumnya, pandangan mereka bertem
Alicia segera mencoba menenangkan suasana, lalu berkata pada Bella dengan nada tidak ramah, "Semua ini pasti ulah Eleanor. Bella, kamu nggak boleh terus biarkan wanita itu berada di sisi Jeremy. Aku lihat Jeremy bahkan sudah kehilangan kemampuannya untuk berpikir jernih karena dia."Mata Bella langsung menjadi dingin dan menatap Alicia dengan tajam. "Maksudmu, anakku begitu bodohnya sampai dipengaruhi sama wanita?"Sebagai ibu yang sangat bangga dengan putranya, Bella tidak akan membiarkan siapa pun merendahkan Jeremy seperti itu.Alicia menyadari kesalahannya dan segera mengganti nada bicaranya. "Bella, bukan itu maksudku. Maksudku adalah, wanita seperti Eleanor itu licik sekali, niatnya pasti buruk. Orang seperti dia harus dijauhkan."Bella memandangnya dengan kesal sebelum akhirnya mengendurkan ekspresinya. Dia berbalik menatap Yoana dan bertanya, "Yoana, ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi tadi malam."Mendengar pertanyaan itu, Yoana yang sudah merasa bersalah, refleks men
Saat Eleanor mendengar Vivi menyebut nama Jeremy, dia langsung merasa tidak nyaman. Dengan panik, dia mencoba mengecilkan volume ponselnya, tetapi entah bagaimana malah membuat volume menjadi maksimal.Ketika dia menyadari tatapan penuh intimidasi dari Jeremy yang melirik ke arahnya, Eleanor merasa ingin menghilang dari muka bumi saat itu juga."Hei? Kenapa nggak bicara? Haha, jangan bilang Jeremy ada di dekatmu sekarang, ya." Suara Vivi terdengar dengan nada bercanda di ujung telepon.Eleanor menutupi wajahnya dengan satu tangan, merasa tidak tahu harus berkata apa. "Selamat, tebakanmu benar."Ada jeda panjang di telepon sebelum Vivi menarik napas panjang. Panggilan itu langsung diputus tanpa sepatah kata pun.Eleanor merasa dunia sedang mempermainkannya.Tatapan Jeremy yang sebelumnya fokus pada ponselnya kini beralih ke Eleanor. Dengan nada dingin, dia mengulang, "Berhubungan sama kamu?"Sudut bibir Eleanor berkedut. "Eh haha .... Vivi cuma suka bercanda. Jangan diambil hati, ya.""
"Akhir-akhir ini aku sibuk. Nanti kalau ada waktu, kita bicarakan lagi. Aku ada urusan di perusahaan. Kamu sendiri saja di sini."Belum sempat Eleanor menyelesaikan kalimatnya, Jeremy sudah berbalik dan pergi meninggalkan kamar. Eleanor hanya bisa menatap punggungnya yang menghilang dengan bingung.Reaksinya barusan ... sepertinya dia sedang marah. Apa dia tidak ingin bercerai?Pikiran itu tiba-tiba muncul di benaknya, tetapi Eleanor buru-buru menepisnya. Pria yang dulu pernah melemparkan surat cerai ke wajahnya dan ingin bertunangan dengan Yoana, mana mungkin dia tidak ingin bercerai?Eleanor merasa akhir-akhir ini dia terlalu sering berpikir berlebihan.Kini, kamar rawat inap itu sepenuhnya menjadi miliknya. Eleanor berpikir akhirnya dia bisa menikmati pagi yang tenang. Namun, ketenangannya tak bertahan lama. Pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar tanpa ada ketukan sama sekali.Eleanor mengerutkan alis dan berbalik untuk melihat siapa yang masuk.Suasana hatinya yang semula cukup baik l
"Eleanor, aku tanya padamu, apa kamu tahu Jeremy membatalkan kerja sama dengan Keluarga Pratama?" Bella akhirnya buka suara. Nada bicaranya lebih lembut dan tidak setajam Alicia atau Yoana."Tahu," jawab Eleanor. Dia memang mendengar Jeremy menyebutkan hal itu saat menelepon tadi pagi.Alicia langsung mendengus dingin. "Lihat? Aku sudah bilang dia yang menghasut Jeremy untuk membatalkan kerja sama dengan kami. Memang wanita licik!"Bella mengerutkan alisnya dan menatap Alicia dengan dingin. Mata tajamnya yang penuh wibawa memperlihatkan sedikit kemarahan."Menghasut? Bu Alicia, kamu terlalu memujiku. Apa kamu pikir Jeremy itu orang bodoh yang nggak punya pikiran sendiri? Keputusan sebesar itu, apa mungkin dipengaruhi sama omonganku?"Bella melirik Eleanor pertanda setuju. Dia menatap Alicia dengan sinis. Dia paling benci orang lain merendahkan putranya. Sebagai presdir perusahaan, bagaimana jadinya jika keputusannya bisa dipengaruhi oleh seorang wanita."Alicia, nggak usah ngomong kala
Eleanor meletakkan gelas di tangannya ke atas meja. Melihat Bella sudah pergi, Yoana juga tidak berpura-pura lagi. "Eleanor, kalau kamu masih mau ambil uang Jeremy, nggak usah mimpi! Aku nggak akan setuju."Dua triliun bukan nominal yang sedikit. Bagaimanapun, Yoana tidak akan membiarkan Eleanor mendapat keuntungan sebesar itu.Eleanor tertawa sinis. "Kamu pikir ini tergantung persetujuanmu?""Pembagian harta dalam perceraian itu tergantung kesepakatan pasangan. Sejak kapan seorang wanita simpanan punya hak bicara?""Kamu ... Eleanor, coba saja sebut aku simpanan lagi!" seru Yoana."Simpanan, simpanan, simpanan, simpanan. Kenapa? Dulu berani melakukannya, sekarang nggak tahan dipanggil begitu?" Eleanor membalas Yoana dengan senjatanya sendiri. Tidak puas rasanya jika dia tidak membuat Yoana kesal."Wanita sialan!" Yoana menggertakkan giginya dan hendak menampar Eleanor.Namun, Eleanor bereaksi cepat. Tatapannya menjadi dingin dan dia mengambil cangkir air di dekatnya, lalu melemparkann
Pria yang duduk di kursi utama tampak berwajah dingin dan suram. Namun, sorot mata yang penuh dengan kemarahan terlihat sangat jelas.Andy saat ini juga berkeringat deras. Namun dia tahu, satu-satunya orang yang bisa membuat bos mereka semarah ini tidak lain adalah orang dari rumah sakit tadi.Entah apa yang dikatakan oleh Eleanor kepada bosnya, sejak keluar dari rumah sakit, ekspresi Jeremy tampak seperti ingin menghancurkan dunia.Kepala Departemen HRD menyelesaikan laporan pekerjaannya dengan hati-hati, lalu berdiri di tempat dan menunggu perintah dari bos besar.Namun, beberapa detik berlalu, Jeremy tetap tidak berbicara sepatah kata pun. Kepala Departemen HRD melirik Andy di sampingnya dengan cemas. Matanya seakan-akan sedang meminta pertolongan.Andy menyeka keringat di dahinya, lalu melangkah maju dengan hati-hati mendekati Jeremy dan berkata dengan suara pelan, "Bos, Pak Jose sudah selesai memberikan laporan."Jeremy mengerutkan alis, menundukkan kepala, membuka dokumen di tang
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in