Paling disayang!Jelas itu nama seorang pria.Wajah Jeremy yang baru saja sedikit tenang kembali berubah menjadi muram. Dia paling dibenci, tapi Eleanor paling menyayangi pria bernama Harry!Bagus! Ada Daniel, ada Harry. Berapa banyak pria sebenarnya yang ada di sekitar wanita ini?Toilet menjadi sunyi. Jeremy benar-benar ingin mencekik wanita ini.Melihat Eleanor bersandar di dinding dan perlahan meluncur ke bawah, Jeremy sama sekali tidak berniat membantunya. Biar saja pria yang paling dia sayangi, Harry, yang mengurusnya!Saat Jeremy sedang kesal, suara langkah kaki terdengar dari luar. Beberapa wanita masuk ke toilet sambil bercanda dan tertawa. Jeremy mengerutkan alis. Dia sama sekali tidak ingin disangka orang aneh.Mendengar langkah kaki semakin mendekat, Jeremy mengumpat pelan, lalu segera mengangkat Eleanor dan membawanya masuk ke salah satu bilik.Para wanita itu bercermin di wastafel sambil mengobrol santai.Di dalam bilik, Eleanor yang tidak nyaman dipeluk mulai meronta-ron
Harry terkejut dan langsung mendongak memandang Jeremy dengan penuh ketidakpercayaan.Apa? Dia mau menyelidikiku? Kenapa? Kenapa Jeremy tiba-tiba ingin menyelidikinya? Dan bagaimana Jeremy bisa tahu namanya?Keringat dingin mengalir di punggung Harry."Ya, cari informasi tentang dia, laporkan semuanya dengan detail. Juga cari tahu apa yang Eleanor lakukan tadi malam dan siapa yang dia temui." Setelah berkata demikian, Jeremy langsung menutup telepon.Harry yang melihat wajah Jeremy yang penuh amarah, bertanya dengan hati-hati, "Papa, kenapa kamu mau selidiki orang itu?"Jeremy menggertakkan giginya. "Karena dia adalah selingkuhan ibumu!"Wajah mungil Harry tampak tak percaya. "Papa, kamu ... yakin?""Dia sendiri yang mengatakannya," jawab Jeremy dengan geram.Harry hampir tertawa. Dia benar-benar ingin memberi tahu Jeremy bahwa dirinya ini adalah Harry yang disebut selingkuhan itu. Dia penasaran seperti apa ekspresi Jeremy kalau mengetahuinya.Mobil itu segera tiba di vila Keluarga Adr
"Apa maksudmu aku yang melakukannya?" Eleanor mengerutkan alis saat melihat ekspresi Jeremy yang penuh amarah."Sebaiknya memang bukan," jawab Jeremy dingin sebelum berbalik dan berjalan keluar ruangan.Eleanor melirik jam di dinding. Pada jam seperti ini, Harry seharusnya sudah diantar ke sekolah. Dia tidak berniat tinggal lebih lama di sini. Eleanor turun ke lantai bawah dan hendak pergi. Namun saat sampai di pintu, para pengawal Jeremy mengadangnya."Kenapa kalian halangi aku?" tanyanya dengan nada marah."Maaf, Nona Eleanor. Tuan Jeremy bilang Anda nggak boleh pergi sebelum dia kembali," kata salah satu pengawal dengan ekspresi datar."Atas dasar apa?" Eleanor merasa amarahnya memuncak."Itu perintah Tuan. Kalau dia bilang Anda nggak boleh pergi, berarti Anda nggak boleh pergi," jawab pengawal itu dengan nada tegas seperti biasanya.Eleanor tahu bahwa para pengawal Jeremy hanya patuh pada perintahnya. Jika Jeremy mengatakan dia tidak boleh pergi, pengawal-pengawal ini bahkan mungki
Eleanor memutuskan untuk diam. Ketika Jeremy sudah memutuskan untuk menyalahkannya, apa pun yang dia katakan hanya akan dianggap sebagai alasan. Apa lagi yang bisa dia katakan? Eleanor menundukkan kepala, tersenyum pahit, lalu menggeleng pelan.Keheningan Eleanor membuat Jeremy semakin frustrasi. "Nggak ada yang mau dikatakan?""Kalau begitu biar aku yang bicara. Yoana terluka parah dan sulit berjalan, lalu ada yang membuangnya ke tempat terpencil tanpa sinyal. Kehilangan darah terlalu banyak bisa membunuhnya dan kamu tahu itu. Kalau dia nggak menemukan sinyal semalam, dia bisa mati di sana. Eleanor, apa kamu benar-benar berniat menghabisinya?"Ketika Jeremy menemukannya, Yoana sudah tergeletak di tanah. Malam penuh ketakutan ditambah dengan luka yang terinfeksi, membuatnya demam tinggi. Dokter bahkan mengatakan, jika terlambat sedikit saja, akibatnya akan fatal.Jelas, niat pelakunya adalah membunuh Yoana.Yoana juga mengatakan bahwa dia sempat bertengkar dengan Eleanor sebelum diculi
Alicia mendengus keras, lalu melepaskan tangan Patrick dan melangkah cepat masuk ke kamar.Patrick menatap mereka berdua sejenak. Pandangannya penuh kebencian sebelum akhirnya tertuju pada Eleanor. Dia menatap Eleanor dengan dingin selama beberapa detik, lalu berbalik masuk ke kamar.Eleanor tetap menundukkan kepala tanpa ekspresi dan dengan cepat menghapus air mata yang jatuh dari sudut matanya. Jeremy mengerutkan alis. Dia melihat Eleanor, tetapi tidak mengatakan apa pun, lalu berbalik menuju kamar.Di dalam kamar, luka-luka Yoana sudah selesai dirawat. Meski begitu, dia masih demam dan terlihat sangat lemah. Dia bersandar di pelukan Alicia sambil menangis pelan."Ibu, aku benar-benar kesakitan. Aku takut sekali. Aku nggak bisa keluar dari sana. Aku benar-benar pikir aku akan mati ...." Yoana menangis sambil gemetaran.Alicia memeluk putrinya dengan penuh kasih, matanya ikut memerah. "Ibu tahu, Yoana. Jangan khawatir, siapa pun yang telah menyakitimu nggak akan lolos begitu saja. Dia
"Charlie?" Eleanor berkedip dan berjalan ke arah Charlie tanpa ragu. Namun, dalam sekejap, tubuh tinggi Jeremy berdiri di depan dan menghalangi jalannya. Langkah Eleanor terhenti.Alicia dan Patrick juga segera keluar dari kamar. Alicia menatap dengan ekspresi tak percaya. Bisa-bisanya ada orang yang berani menerobos ke rumah Keluarga Adrian? Apa orang ini sudah bosan hidup?Tatapan Charlie yang tajam dan dingin tertuju pada Jeremy dan wajahnya sarat akan niat membunuh. "Akulah yang menculik Yoana. Eleanor sama sekali nggak tahu apa-apa. Kalau mau balas dendam, datanglah padaku."Eleanor tertegun sejenak. Yoana ternyata diculik oleh Charlie!Wajah Jeremy berubah gelap seketika.Mendengar hal itu, Alicia melangkah maju dengan marah. "Kamu? Kenapa kamu melukai putriku? Apa salahnya padamu?""Dia tahu apa yang dia lakukan," jawab Charlie dingin. "Kalian seharusnya berterima kasih aku nggak langsung mengirimnya ke neraka."Aura Charlie begitu menakutkan hingga Alicia merasa tertekan, kata-
Ekspresi Yoana seketika wajah. "Bukan begitu, Jeremy. Waktu itu aku cuma terlalu emosi, jadi aku mengatakan hal-hal seperti itu.""Apa yang dia lakukan sampai membuatmu marah?" Jeremy menatapnya dengan dingin. "Berdiri di pinggir jalan sampai membuatmu marah? Atau karena dia nggak berdiri diam supaya bisa kamu tabrak, itu yang membuatmu marah?""Bukan aku yang mau menabraknya. Waktu itu Tiara nggak sengaja memutar setir, jadi hampir menabrak Bu Eleanor. Kami juga sangat menyesalinya," jawab Yoana dengan munafik.Tidak sengaja, hampir, menyesal."Oh ya? Aku nggak melihat sedikit pun penyesalan." Jeremy melemparkan tablet kepada Andy di sampingnya dengan dingin.Rekaman itu menunjukkan dengan jelas niat mobil tersebut. Wajah Yoana dan Tiara saat turun dari mobil penuh dengan penyesalan karena tidak berhasil mengenai Eleanor. Seolah-olah mereka ingin menuliskan "Sayang sekali tidak kena" di wajah mereka.Yoana mengepalkan tangannya erat-erat, hingga hampir membuat telapak tangannya berdar
"Cuma butuh empat miliar, 'kan? Kamu nggak sanggup mengeluarkan uang sebanyak itu?" Jeremy bertanya dengan senyum dingin.Eleanor tersenyum tipis. "Bisa saja, asalkan Bu Yoana nggak menyalahkanku ketika dia sampai di neraka."Wajah Yoana seketika pucat pasi, keringat deras bercucuran dari dahinya dan menetes ke pipi."Nggak! Aku nggak mau!" Dia langsung berteriak menolak.Eleanor pasti akan memanfaatkan kesempatan ini untuk membalas dendam. Ditambah dengan sikap Jeremy yang seperti ini, dia tahu Eleanor tidak akan melepaskan kesempatan untuk membunuhnya. Dia tidak mau mati."Hm?" Tatapan tajam Jeremy beralih ke arah Yoana yang pucat. "Bukannya ini usulanmu? Kenapa sekarang menolak?""Aku ... aku nggak menyalahkan Bu Eleanor lagi. Kita anggap semuanya selesai," Yoana tergagap karena tidak berani mempertaruhkan nyawanya. Dia tidak senekat itu bermain-main dengan hidupnya sendiri."Berani menabrak orang lain, tapi takut kalau ditabrak balik?" Jeremy mengangkat alisnya dengan sikap mengeje
Sasha terkejut melihat ekspresi Jeremy, tetapi tubuhnya secara refleks mendekat saat melihat wajah Jeremy yang tampan dan menawan. "Pak Jeremy, ada apa denganmu? Apa kamu nggak enak badan? Apa kamu perlu bantuanku ....""Menjauh dariku," kata Jeremy dengan nada yang muram serta dingin dan tatapannya tajam seolah-olah hendak membunuh seseorang.Tatapan Jeremy membuat Sasha menghentikan langkahnya dan berdiri di tempat dengan ekspresi bingung. Saat Jeremy mengambil pakaian dan langsung pergi, dia sempat mengejar Jeremy beberapa langkah. Namun, melihat Jeremy yang begitu marah, dia kembali berhenti dan tidak berani mendekat lagi. Hanya saja, dia tidak mengerti apa yang telah dilakukannya sampai Jeremy begitu marah.Jeremy segera pergi dari sana.Melihat Jeremy yang keluar dengan begitu cepat, pemilik klub melihat jam tangannya. Menyadari Sasha masuk hanya puluhan menit saja, dia berpikir Jeremy tidak begitu hebat dan agak lemah. Namun, dia tentu saja hanya berani berpikir begitu dalam hat
Setelah Eleanor keluar, pemilik kelab yang mengetahui kedatangan Jeremy pun datang dan menyiapkan beberapa botol anggur terbaik. Bahkan, dia memilihkan wanita tercantik untuk menemani Jeremy.Wanita itu bernama Sasha. Di depan pintu, pemilik kelab berpesan kepada Sasha untuk melayani Jeremy sebaik mungkin. Kemudian, dia membawanya masuk.Begitu masuk, Sasha langsung terpana melihat pria yang duduk di sofa. Pandangannya tidak bisa dialihkan lagi.Pria ini sangat tampan. Apalagi, dia adalah Jeremy, pewaris Keluarga Adrian, keluarga paling berpengaruh di ibu kota. Dia adalah sosok yang luar biasa.Dengan penuh percaya diri, Sasha melangkah mendekat, menonjolkan tubuhnya yang selama ini selalu dibanggakan. Tanpa ragu, dia bersandar pada Jeremy dan mengeluarkan suara manja, "Pak Jeremy ...."Kepala Jeremy berdenyut sakit. Saat aroma parfum yang menyengat mendekat, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengernyit.Sasha hanya menatap wajah mabuk itu, sama sekali tidak menyadari betapa terg
Eleanor menemukan ruang VIP tempat Jeremy berada. Dia sempat ragu sejenak di luar sebelum akhirnya mendorong pintu dan masuk.Ruangan itu sunyi dan rapi, tidak seperti yang dia bayangkan. Tidak ada kebisingan atau kekacauan. Matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya tertuju pada sosok pria yang terbaring di sofa.Jeremy bersandar di sofa dengan mata terpejam rapat. Di meja depan, tampak botol-botol kosong berserakan. Bisa dilihat pria ini minum sangat banyak.Jantung Eleanor berdetak semakin cepat saat dia melangkah mendekat. Kakinya tanpa sengaja menendang salah satu botol kosong di lantai, menimbulkan suara kecil yang membuat hatinya menegang. Namun, pria itu tetap tidak bereaksi.Eleanor memperlambat langkahnya, lalu berdiri di samping Jeremy. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya dengan lembut, lalu memanggil dengan pelan, "Jeremy?"Tiba-tiba, pria yang memejamkan mata itu langsung mengangkat tangannya dan mencengkeram pergelangan tangan Eleanor.Matanya yang dingin
"Masuklah." Vivi membuka pintu kursi belakang, memberi isyarat kepada kedua anak kecil untuk masuk.Tiba-tiba, kedua anak itu langsung membeku. Mata besar mereka menatap orang di dalam mobil dengan tidak percaya. Mereka terpaku di tempat, tidak bisa bergerak sedikit pun.Ketika melihat kedua anak itu menatapnya dengan penuh keterkejutan, mata Eleanor langsung memerah. Tanpa ragu, dia turun dari mobil dan langsung memeluk mereka berdua."Anak-anakku, Mama sudah kembali."Kedua anak itu tetap tidak bergerak. Sampai suara lembut Eleanor terdengar di telinga mereka, hingga kehangatan pelukannya menyelimuti mereka, barulah mereka sadar ....Dalam sekejap, mata mereka yang basah. Air mata mulai berlinang di wajah mereka."Mama?" panggil Harry dengan ragu."Mama di sini. Maafkan Mama, Daniel, Harry. Kalian sampai menunggu begitu lama. Mama sudah kembali." Suara Eleanor bergetar saat dia memeluk mereka erat-erat.Akhirnya, kedua anak itu menyadari bahwa ini bukan mimpi. Ibu mereka benar-benar
Keesokan harinya, di bandara.Eleanor tetap memutuskan untuk kembali. Dia tidak bisa begitu saja meninggalkan kedua anaknya begitu saja.Begitu turun dari pesawat, Eleanor sekali lagi menginjakkan kaki di tempat ini. Perasaannya agak sedih.Pada akhirnya, dia tetap kembali.Sebuah Audi putih berhenti di depan Eleanor. Seorang wanita bergegas turun, menatapnya dengan mata membelalak. Seketika, matanya dipenuhi air mata."Eleanor ...." Vivi menatap Eleanor yang berdiri hidup-hidup di depannya, tidak tahu dirinya harus menangis atau tertawa. "Eleanor, ini ... benaran kamu?"Eleanor tersenyum lembut. "Ini aku."Air mata Vivi langsung mengalir deras. Dia berlari dan langsung memeluk Eleanor erat-erat."Eleanor! Kamu ... kamu benaran masih hidup .... Huhu ... kemarin saat kamu meneleponku, kupikir aku sedang mimpi .... Kamu menghilang begitu lama, aku ketakutan setengah mati ...."Vivi menangis dengan emosinal, tubuhnya bahkan gemetar saat memeluk Eleanor. Eleanor membiarkan dirinya dipeluk.
Jeremy pasti akan menemukan Eleanor dan membawanya kembali, sementara Simon juga tidak akan membiarkan keturunan Keluarga Adrian dibawa pergi. Kecuali meninggal, Simon tidak akan berhenti memburu Eleanor.Jelas, ini bukan kehidupan yang Eleanor inginkan. Namun, dia juga tidak mungkin meninggalkan anak-anaknya dan tetap tinggal di sini. Satu-satunya pilihan adalah kembali dengan identitasnya sebagai Eleanor, agar bisa tetap melihat anak-anaknya.Charlie memahami ini dan Eleanor tentu lebih memahaminya.Eleanor mengatupkan bibir, tenggelam dalam pikirannya. Setelah berpikir lama, dia menunduk dan tersenyum pahit. Keluarga Adrian tidak mau melepaskannya, dia juga tidak bisa melepaskan anak-anaknya. Jadi, dia tidak akan bisa memutus hubungan dengan Keluarga Adrian untuk selamanya.Charlie mendongak, tatapan yang dalam menyapu Eleanor. Anak-anak selalu menjadi kecemasan Eleanor, juga menjadi ikatan yang tidak bisa dihapuskan di antara dia dan Jeremy. Sejujurnya, jika Charlie cukup kejam, di
Eleanor berpikir sejenak, lalu mengangguk. Jika dia sudah koma selama lebih dari dua bulan, itu artinya kondisinya pasti sangat buruk di awal. Masuk akal jika Charlie mengirim kedua anaknya ke Keluarga Adrian."Minum obat ini." Arnav datang dengan membawa semangkuk obat.Eleanor mencoba duduk dan Charlie segera membantunya. Dia menerima mangkuk itu. Aroma khas obat herbal langsung menyeruak. Eleanor mengendus perlahan dan segera mengenali komposisinya. Dia agak terkejut. "Ini ramuan penawar racun?""Ya, dua bulan yang lalu kamu diracuni. Obat ini bisa membantu membersihkan sisa racunnya," jelas Arnav."Kamu bilang aku diracuni?""Racunnya sangat bahaya. Tapi, untungnya Charlie ...." Arnav tiba-tiba berhenti bicara karena dia bisa merasakan tatapan Charlie yang langsung mengarah padanya. Dia segera berdeham dan mengganti ucapannya, "Untung saja ilmu medisku luar biasa, jadi aku berhasil menyelamatkanmu."Dengan cerdik, Arnav membanggakan dirinya sendiri dan menelan kata-kata yang hampir
Selena mengerutkan alisnya, menatap ke lantai dua. Simon yang berdiri di lantai atas mengangguk, memberi isyarat agar dia pergi. Dia yang akan menyelesaikannya.Selena langsung pergi. Pelayan yang berdiri di tempat terkejut selama beberapa detik. Dia tahu Jeremy terus mencari Eleanor. Ketika dia hendak mengejar, Simon memanggilnya ke ruang kerja.Saat Selena keluar, Jeremy baru saja kembali dari luar. Dari dalam mobil, Jeremy melihat ke luar. Dia merasa dirinya melihat sosok yang sangat familier. Hatinya sontak bergetar.Namun, sosok itu segera menghilang dalam kegelapan. Jeremy menarik kembali pandangannya dan tersenyum sinis.Sejak Eleanor pergi, dia merasa semua orang terlihat seperti Eleanor. Sebenarnya wanita itu ada di mana? Siapa orang yang ada dalam video itu?Jika itu bukan Eleanor, bagaimana mungkin dia bisa terlihat persis dengan Eleanor? Kenapa harus menuduh Eleanor?Jeremy memijat pelipisnya. Semakin dipikirkan, semua terasa semakin rumit.....Musim dingin berlalu, musim
Wanita itu menatap Simon selama beberapa detik, lalu berlutut dengan hormat di bawah tatapan terkejut dari Simon. "Kakek."Simon terkejut karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Kamu? Eleanor, apa yang kamu lakukan? Tunggu dulu ...."Simon segera bangkit dari kursinya sampai lupa mengambil tongkatnya, lalu berjalan mendekati wanita itu sambil bertumpu pada meja. Dia mengernyitkan alis dan mengamati wajah yang mirip dengan Eleanor itu dengan cermat. Bukan hanya wajah, bahkan suara dan ekspresi wanita ini juga mirip dengan Eleanor. Namun, Eleanor tidak mungkin memanggilnya kakek, apalagi berlutut seperti ini."Kamu bukan Eleanor. Siapa kamu?" tanya Simon.Wanita itu mengangkat kepalanya untuk menatap Simon, lalu memperlihatkan bekas luka yang samar di lengannya. "Kakek, aku ini Selena."Tubuh Simon langsung menjadi kaku dan tatapannya terlihat sangat terkejut saat menatap bekas luka yang familier itu. Setelah menatap Selena cukup lama, suaranya akhirnya kembali lagi. "Kamu ...