Eleanor mengangkat tangannya dengan tenang dan menyentuh wajahnya yang masih terasa hangat akibat tamparan sebelumnya. "Sudah kubalas, ayo pergi sekarang."Di luar rumah Keluarga Adrian.Begitu masuk ke dalam mobil, ekspresi Yoana dan orang tuanya langsung berubah masam. Alicia menggertakkan giginya dan berkata penuh amarah."Sialan! Jeremy begitu melindungi wanita jalang itu. Apa maksudnya? Dia diguna-guna wanita itu ya? Dan pria berpakaian hitam itu, siapa sebenarnya dia? Berani sekali bertingkah begitu arogan."Patrick yang sedang menyetir berkata dengan wajah dingin. "Sebaiknya jangan macam-macam sama dia."Alicia mengerutkan alisnya. "Siapa dia sebenarnya?""Orang yang nggak mudah dihadapi," jawab Patrick dengan nada berat.Yoana yang duduk di belakang, tiba-tiba menyela. "Dia membantu Eleanor!"Yoana teringat kejadian malam itu ketika dia pergi ke apartemen Eleanor dan secara misterius dicegah oleh pria itu. Sekarang, dia menyadari bahwa pria itu memang berada di pihak Eleanor.W
Yoana kini benar-benar kacau, dia tidak bisa lagi memedulikan hal lainnya."Ada apa lagi? Kenapa wajahmu kusut begitu?" tanya Patrick dengan nada datar."Masih soal perusahaan parfum Stelea itu. Pemiliknya misterius sekali, begitu juga dengan peracik parfumnya. Sampai sekarang, aku masih nggak tahu siapa pesaing yang terus menekan kita ini," jawab Yoana sambil menghela napas panjang."Stelea? Perusahaan kecil nggak penting, aku saja nggak pernah dengar namanya," kata Alicia dengan nada mengejek.Namun, Patrick mengerutkan alis. Divisi parfum memang selalu tertinggal dibandingkan dengan bagian lain dari perusahaan mereka. Dia sendiri sering mendengar tentang Stelea dari beberapa orang di industri.Dalam beberapa tahun saja, perusahaan itu telah meraih pencapaian yang cukup baik."Aku dengar, mereka mau dapatin tempat di mal milik Jeremy?" tanya Patrick."Ya. Mereka bahkan mencoba bersaing sama kita untuk mendapatkan duta merek yang sama. Tapi untungnya, aku sudah mengamankan duta merek
Charlie mengerutkan alisnya, lalu menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil melesat cepat meninggalkan tempat itu.Eleanor hanya bisa melongo di tempatnya. 'Aku benar-benar sudah gila .... Kenapa aku harus menyulut emosinya tadi?'Eleanor bersumpah tidak akan bicara sembarangan lagi.Selama perjalanan, Charlie tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia tampak sedang memendam kekesalannya sendiri.Eleanor mengusap keningnya karena merasa lelah dengan situasi ini. Mobil berhenti mendadak di depan apartemen dan membuat tubuhnya sedikit terhuyung."Terima kasih," katanya sambil membuka sabuk pengaman dan berniat turun dari mobil. Namun, sebelum dia sempat keluar, tangan Charlie sudah menariknya kembali."Jangan pernah bilang terima kasih padaku."Nada bicaranya penuh dengan kemarahan, keras, dan dominan. Mata hitamnya menatap Eleanor dengan tajam.Eleanor mengerjapkan matanya dengan bingung. Jadi, apa yang harus dia katakan? Haruskah dia mengatakan, "Kerja bagus, ini memang tugasmu"?Charlie ter
Eleanor menatap dalam-dalam mata Daniel yang penuh dengan harapan, tetapi juga ketakutan. Hatinya semakin terenyuh melihat anak kecil itu.Daniel memiliki kepribadian yang sangat berbeda dengan Harry. Harry ceria, ramah, dan mudah bergaul dengan siapa saja. Sebaliknya, Daniel yang tumbuh besar di keluarga Jeremy, sering diintimidasi dan dihina dengan sebutan "anak haram".Lima tahun hidup dalam lingkungan seperti itu tentu membuatnya tumbuh dengan rasa takut, rendah diri, dan cemas kehilangan apa yang dimilikinya.Eleanor merasa bersalah pada dirinya sendiri. Seandainya dia tahu keberadaan anak ini lebih awal, Daniel tentu tidak perlu menanggung semua penderitaan itu.Eleanor mengangguk tegas. "Tentu saja, Daniel. Mulai sekarang, kamu bisa tinggal sama Mama."Ekspresi wajah Daniel tetap tenang, tapi matanya berbinar dengan kebahagiaan. Dia memeluk Eleanor erat-erat. "Terima kasih, Mama."Kata-kata itu membuat Eleanor tak mampu lagi menahan air matanya. Membiarkan Daniel tinggal bersama
Jeremy menatap Harry sejenak, alisnya semakin berkerut. "Panggilkan dokter," perintahnya kepada Andy.Andy langsung beranjak untuk memanggil dokter.Namun, Harry yang mendengar itu, semakin panik. Dia buru-buru menarik ujung baju Jeremy. "Jangan! Aku ... tiba-tiba nggak sakit lagi."Jeremy memandang anak kecil yang jelas-jelas tidak berkata jujur itu, lalu melambaikan tangan pada Andy agar membatalkan panggilan dokter. Andy mengangguk dan mundur dengan tenang.Jeremy kemudian menggendong Harry dan meletakkannya di sofa di sebelahnya. Dia kembali bertanya dengan serius, "Belum waktu pulang sekolah. Kenapa kamu pulang lebih awal?"Harry mencoba mencari alasan. Setelah beberapa saat, dia menghela napas pelan. "Karena ... karena aku nggak suka sekolah. Papa, aku sudah bisa semua yang diajarkan di sekolah. Aku boleh nggak usah sekolah lagi nggak?"Jeremy terdiam sejenak. Dia tahu Harry sangat pintar dan cepat belajar. Semua pelajaran juga sudah dikuasainya. Namun, alasan utama dia mengirim
Yoana telah menghabiskan beberapa hari terakhir untuk memulihkan diri di rumah dengan tenang. Ketika dia mendengar bahwa pemilik Stelea akhirnya setuju untuk bertemu dengan mitra bisnis mereka, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman sinis.Kali ini, akhirnya dia bisa melihat orang itu secara langsung.Stelea sudah lama menjadi duri dalam daging baginya. Selama bertahun-tahun, dia terus mencoba untuk menyelidiki perusahaan itu. Dia telah mengirimkan beberapa tim untuk menggali informasi, tetapi hasilnya selalu nihil. Tidak ada yang tahu siapa pemiliknya dan peracik parfum utamanya.Seolah-olah memang sengaja dibuat misterius agar tidak ada orang yang mengetahuinya.Semakin misterius identitasnya, Yoana semakin penasaran siapa bos di balik perusahaan itu.....Di depan Hotel Orchard, dua buah mobil diparkir berdampingan.Penjaga pintu bergegas menghampirinya. Dari salah satu mobil, Tiara turun dan mengenakan setelan fashion yang trendi. Dia segera berjalan ke sisi lain mobil untuk m
Seorang wanita mengenakan setelan blazer mewah, melangkah dengan sepatu hak tinggi. Aura yang terpancar dari tubuhnya adalah perpaduan antara kecerdasan, keanggunan, dan ketegasan. Setiap langkahnya penuh percaya diri memasuki ruangan itu.Wajah cantiknya menunjukkan ekspresi dingin dan tenang seperti biasa. Sepasang mata yang jernih melirik ke sekeliling ruangan dengan pandangan tajam dan akhirnya berhenti di layar dekoratif di sudut ruangan. Tatapannya seperti ingin menembus layar itu, seolah-olah bisa melihat orang-orang yang bersembunyi di baliknya.Dia menarik kembali pandangannya dengan tenang, disertai dengan aura yang dingin."Maaf terlambat. Agak macet waktu datang tadi."Brak!Tiba-tiba, layar itu jatuh dengan keras ke lantai. Jelas terlihat bahwa dua orang di balik layar itu tampak sangat agresif."Eleanor!" teriak Yoana dengan tak percaya.Eleanor tetap tenang. Pandangannya bergerak ke layar yang telah jatuh, kemudian menaikkan alisnya dengan sedikit keheranan.Mereka langs
"Aku lebih muak melihatmu. Memang harus ada yang keluar di antara kita."Yoana mendengus dengan tak acuh, "Pelayan."Pelayan yang berdiri di depan pintu langsung masuk."Panggil manajer kalian. Ada yang buat onar di sini. Kami sudah coba bicara baik-baik, tapi dia tetap nggak mau pergi dan bersikeras berada di ruangan kami. Cepat panggil keamanan untuk mengusirnya. Kalau nggak, kami akan komplain," ujar Yoana dengan nada tegas.Tiara segera menambahkan, "Ya, cepat panggil seseorang untuk mengusirnya keluar!"Pelayan yang kebingungan tidak tahu harus berbuat apa. Dia segera pergi memanggil manajer dan keamanan.Yoana menatap Eleanor dengan dingin. "Kami sudah memberimu kesempatan, tapi kamu sendiri yang membuangnya."Eleanor tersenyum tipis dan duduk di kursi di dekatnya dengan santai. "Baiklah, kita tunggu saja."Dia ingin melihat siapa yang akan diusir saat manajer datang nanti.Tiara melangkah maju, lalu mencoba mendorong Eleanor dari kursi. "Dasar gila! Siapa yang mengizinkanmu dudu
Ketika membayangkan akibatnya, Yoana mengacak-ngacak rambutnya dengan frustrasi. "Ibu, aku takut sekali. Kenapa semuanya jadi begini? Aku mengira semua akan berjalan lancar.""Jangan panik, pasti ada cara. Aku akan segera membicarakannya dengan ayahmu.""Ya, ya. Ibu, cepat pergi."Yoana memaksakan diri untuk tenang. Setelah berpikir dengan saksama, dia bergegas mencari ponselnya di atas ranjang dan menelepon Tiara. "Cepat kemari."Setelah mengakhiri panggilan, Yoana terduduk lemas. Tatapannya dipenuhi ketakutan.Segera, Tiara tiba. "Kak Yoana, kenapa buru-buru memanggilku kemari? Ada apa?"Saat melihat Yoana duduk lemas di lantai, Tiara segera menghampirinya. "Kamu kenapa?"Yoana perlahan-lahan mengalihkan pandangannya ke wajah Tiara. Dia meraih kerah baju Tiara, lalu menariknya untuk mendekat dan bertanya dengan nada tajam, "Tiara, apa kamu akan mengkhianatiku?"Tiara sontak terbelalak. Dia tidak mengerti kenapa Yoana tiba-tiba melontarkan pertanyaan seperti ini. "Kenapa tiba-tiba tan
"Daniel juga anak yang kubesarkan, sudah seharusnya aku menjaganya."Eleanor tersenyum tipis sambil menggigit bibirnya. "Kapan kamu berencana melakukan tes DNA?"Jeremy mengernyit sedikit. Selama dua hari ini, dia terlalu mengkhawatirkan Daniel dan sibuk menyelidiki pelaku sebenarnya sehingga menunda rencana tes DNA."Secepatnya.""Oke." Eleanor mengangguk. "Jangan sampai ada yang tahu."Jeremy tentu memahami maksud Eleanor. "Ya."Untuk pertama kalinya, keduanya membahas hal seperti ini dengan tenang. Mungkin karena tatapan Eleanor yang sangat tulus, Jeremy merasakan perasaan aneh di dalam hati. Tanpa disadarinya, ada harapan kecil di dalam hatinya.Mungkin saja kedua hasil tes DNA sebelumnya memang salah? Apa mungkin kedua anak ini benar-benar anak kandungnya? Jika benar, lantas apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Malam itu, yang berbaring di sampingnya jelas-jelas adalah Yoana, sementara Eleanor keluar dari kamar lain.Berbagai pikiran kacau berkelebat di benak Jeremy. Jeremy meng
Andy juga memandang Harry dengan penuh kekaguman. Harry menatap Tora dengan tegas dan berkata, "Tadi kamu bilang transfer itu dari akun anonim. Sekarang keluarkan detail transaksi transfernya."Tora berniat menolak, tetapi seketika merasakan dinginnya moncong pistol yang ditekan ke pelipisnya.Dengan nada dingin, Andy berkata, "Pak Tora, kami sudah sangat menghormati Anda. Kalau Anda terus keras kepala, Anda mungkin nggak akan keluar dari rumah ini hidup-hidup. Pikirkan baik-baik. Lagi pula, kata sandi komputer Anda sudah dibobol. Menemukan catatan transfer itu hanya masalah waktu."Tora tahu mereka tidak main-main. Mereka akan benar-benar melakukannya.Dengan gigi terkatup rapat, dia akhirnya mengalah. Meski dengan sangat enggan, Tora mengeluarkan catatan transaksi dari komputernya.Jeremy melihat ke arah Harry yang masih sibuk dengan komputer. "Bisa temukan identitas pengirimnya?""Ya. Tapi ini butuh sedikit waktu," jawab Harry sambil jari-jarinya terus menari di atas keyboard. Seten
Itu adalah laptop miliknya dan laptop itu disimpan dengan aman di kantornya. Pintu kantor hanya bisa dibuka dengan sidik jarinya, bahkan gergaji listrik pun tidak akan mampu membukanya.Tora menatap Jeremy dengan keterkejutan luar biasa. Jangan-jangan, monster ini menggunakan bahan peledak untuk menghancurkan pintu kantornya? Bukan hanya itu. Kantornya sangat tersembunyi dan anak buahnya tidak akan membiarkan siapa pun dari pihak Jeremy masuk begitu saja.Satu-satunya kemungkinan adalah orang-orang Jeremy menerobos masuk, membantai semua yang menghalangi mereka, menghancurkan pintu kantornya, dan menemukan laptop itu.Tora ternganga, mulutnya terbuka lebar karena terkejut, tetapi terlalu marah untuk mengatakan apa-apa. Tidak heran dia ditahan di sini begitu lama. Ternyata ini semua adalah bagian dari rencana Jeremy!Luar biasa, sungguh luar biasa! Tora hampir meledak karena marah.Namun Jeremy tetap menunjukkan ekspresi tenang yang dingin.Di bawah tatapan Jeremy, Andy membuka laptop i
Eleanor selalu licik dan penuh tipu muslihat. Yoana mulai curiga bahwa Eleanor sengaja meminta dokter mengatakan hal itu agar mereka lengah."Jangan terlalu banyak berpikir. Fokus saja untuk memulihkan diri," kata Alicia. Namun, karena jari-jarinya yang sangat sakit, dia hanya sempat mengucapkan beberapa kata sebelum buru-buru pergi mencari dokter.Yoana tetap tidak bisa tenang. Matanya memicing dengan tajam. "Ayah, di mana Remy? Kenapa dia tiba-tiba meninggalkan rumah sakit?"Patrick mengerutkan alis. "Aku juga nggak tahu."Yoana merasa ada yang tidak beres dengan kepergian Jeremy dari rumah sakit secara tiba-tiba. Rasa cemas mulai menyelimuti pikirannya.Setelah mempertimbangkan cukup lama ...."Ayah, aku tetap merasa ini nggak benar. Anak itu nggak boleh dibiarkan hidup. Kalau dia nggak mati, semua usaha kita selama ini akan sia-sia," kata Yoana dengan geram."Aku akan utus orang untuk terus awasi. Kita lihat dulu beberapa waktu ke depan sebelum bertindak," jawab Patrick yang tidak
Dengan mata merah dan berkaca-kaca, Eleanor menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dan menatap dokter. "Terima kasih banyak, Dokter."Dokter memberikan beberapa instruksi sebelum hendak pergi, tetapi Eleanor memanggilnya kembali. "Dokter, tunggu sebentar.""Ada yang bisa saya bantu lagi, Bu Eleanor?"Eleanor melirik ke luar ruangan, lalu menurunkan suaranya. "Aku ingin minta bantuan Anda untuk sesuatu ...."Setelah mendengarkan permintaan Eleanor, dokter melihat ke arah luar, lalu mengangguk dan berkata, "Baik, saya mengerti.""Terima kasih banyak.""Ini juga demi keselamatan pasien, sudah seharusnya," jawab dokter.Di luar, Patrick dan Alicia masih enggan pergi. Mendengar kabar bahwa anak Eleanor sadar, wajah mereka berubah suram.Ketika dokter keluar dari kamar, Bella segera mendekat untuk bertanya. Patrick dan Alicia juga memperhatikan dengan saksama."Dokter, bagaimana kondisi anak itu? Kalau dia sudah sadar, apakah berarti dia nggak dalam bahaya lagi?" tanya Bella dengan penuh ke
Dua pengawal Keluarga Adrian segera maju untuk melindungi Eleanor. Namun tiba-tiba, terdengar suara teguran keras dari belakang. "Aku mau lihat siapa yang berani!"Semua orang menoleh ke arah suara itu dan terlihat Bella sedang duduk di kursi roda dengan didorong oleh seorang pelayan.Karena merasa bersalah, Bella tidak datang menjenguk Daniel selama beberapa hari terakhir. Namun hari ini, dia memutuskan untuk datang dan langsung melihat keributan ini."Apa-apaan ini? Ini tempat apa? Rumah sakit! Siapa yang suruh kalian buat keributan di sini?" Bella menatap tajam ke arah kerumunan dan suaranya penuh kemarahan.Sungguh tidak tahu aturan.Tidak ada yang memikirkan tempat ini adalah rumah sakit. Anak di dalam sedang berjuang hidup, tetapi mereka masih punya keberanian untuk membuat keributan di depan kamar.Eleanor akhirnya melepaskan tangan Alicia yang hampir pingsan karena rasa sakit. Alicia terhuyung mundur beberapa langkah sebelum akhirnya ditahan oleh Patrick.Dengan nada penuh amar
"Maaf, Pak Patrick. Bos kami sudah memberi perintah untuk menjaga tempat ini, kami nggak bisa membiarkan Anda masuk," jawab salah satu pengawal dengan nada tegas."Kalau begitu, sampaikan pada Jeremy bahwa aku yang memerintah. Suruh dia datang menemuiku kalau berani. Aku jamin kalian nggak akan mendapat masalah," kata Patrick dengan nada sombong.Wajah pengawal itu menunjukkan sedikit keengganan. "Pak Patrick, bukankah Anda hanya berani datang karena tahu Bos kami lagi nggak di sini? Kalau Pak Jeremy marah, Anda sendiri juga nggak akan aman, apalagi menjamin keselamatan kami."Mereka tidak datang di saat Jeremy berada di sana, tapi langsung muncul begitu dia pergi. Jelas sekali mereka takut pada Jeremy. Pengawal-pengawal itu bukan orang bodoh dan mereka tidak akan termakan oleh ancaman kosong seperti itu.Patrick semakin marah melihat mereka tetap keras kepala. "Kalian mau minggir atau nggak? Kalau nggak, jangan salahkan kami kalau harus bertindak kasar!""Silakan saja, tapi hari ini A
Eleanor berpikir sejenak dan kira-kira bisa menebak siapa yang melakukannya. Jika memang demikian, anggap saja itu ulahnya, dia tidak peduli!Jeremy perlahan mengalihkan pandangannya. "Aku nggak bilang begitu.""Kalau kamu berpikir begitu, itu juga nggak salah," Eleanor mengangguk, mengakui tanpa ragu-ragu.Saat itu, dokter keluar dari ruang perawatan intensif. Eleanor segera berdiri. Dokter mengangguk, memberi isyarat bahwa dia sekarang bisa masuk untuk menemani Daniel.Eleanor tidak mengatakan apa-apa lagi pada Jeremy dan langsung masuk ke kamar.Daniel masih seperti kemarin, mengenakan masker oksigen. Wajah kecilnya pucat, matanya tertutup rapat, seolah-olah tidak ada tanda-tanda kehidupan.Melihat kondisi Daniel seperti itu, Eleanor merasa seluruh kekuatannya lenyap. Dia menarik napas dalam beberapa kali, tetapi rasa sesak di dadanya tidak kunjung hilang.Seperti biasa, Eleanor duduk di samping Daniel dan menggenggam tangannya yang kecil dengan hati-hati. Dia mulai bercerita dengan