Eleanor menatap dalam-dalam mata Daniel yang penuh dengan harapan, tetapi juga ketakutan. Hatinya semakin terenyuh melihat anak kecil itu.Daniel memiliki kepribadian yang sangat berbeda dengan Harry. Harry ceria, ramah, dan mudah bergaul dengan siapa saja. Sebaliknya, Daniel yang tumbuh besar di keluarga Jeremy, sering diintimidasi dan dihina dengan sebutan "anak haram".Lima tahun hidup dalam lingkungan seperti itu tentu membuatnya tumbuh dengan rasa takut, rendah diri, dan cemas kehilangan apa yang dimilikinya.Eleanor merasa bersalah pada dirinya sendiri. Seandainya dia tahu keberadaan anak ini lebih awal, Daniel tentu tidak perlu menanggung semua penderitaan itu.Eleanor mengangguk tegas. "Tentu saja, Daniel. Mulai sekarang, kamu bisa tinggal sama Mama."Ekspresi wajah Daniel tetap tenang, tapi matanya berbinar dengan kebahagiaan. Dia memeluk Eleanor erat-erat. "Terima kasih, Mama."Kata-kata itu membuat Eleanor tak mampu lagi menahan air matanya. Membiarkan Daniel tinggal bersama
Jeremy menatap Harry sejenak, alisnya semakin berkerut. "Panggilkan dokter," perintahnya kepada Andy.Andy langsung beranjak untuk memanggil dokter.Namun, Harry yang mendengar itu, semakin panik. Dia buru-buru menarik ujung baju Jeremy. "Jangan! Aku ... tiba-tiba nggak sakit lagi."Jeremy memandang anak kecil yang jelas-jelas tidak berkata jujur itu, lalu melambaikan tangan pada Andy agar membatalkan panggilan dokter. Andy mengangguk dan mundur dengan tenang.Jeremy kemudian menggendong Harry dan meletakkannya di sofa di sebelahnya. Dia kembali bertanya dengan serius, "Belum waktu pulang sekolah. Kenapa kamu pulang lebih awal?"Harry mencoba mencari alasan. Setelah beberapa saat, dia menghela napas pelan. "Karena ... karena aku nggak suka sekolah. Papa, aku sudah bisa semua yang diajarkan di sekolah. Aku boleh nggak usah sekolah lagi nggak?"Jeremy terdiam sejenak. Dia tahu Harry sangat pintar dan cepat belajar. Semua pelajaran juga sudah dikuasainya. Namun, alasan utama dia mengirim
Yoana telah menghabiskan beberapa hari terakhir untuk memulihkan diri di rumah dengan tenang. Ketika dia mendengar bahwa pemilik Stelea akhirnya setuju untuk bertemu dengan mitra bisnis mereka, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman sinis.Kali ini, akhirnya dia bisa melihat orang itu secara langsung.Stelea sudah lama menjadi duri dalam daging baginya. Selama bertahun-tahun, dia terus mencoba untuk menyelidiki perusahaan itu. Dia telah mengirimkan beberapa tim untuk menggali informasi, tetapi hasilnya selalu nihil. Tidak ada yang tahu siapa pemiliknya dan peracik parfum utamanya.Seolah-olah memang sengaja dibuat misterius agar tidak ada orang yang mengetahuinya.Semakin misterius identitasnya, Yoana semakin penasaran siapa bos di balik perusahaan itu.....Di depan Hotel Orchard, dua buah mobil diparkir berdampingan.Penjaga pintu bergegas menghampirinya. Dari salah satu mobil, Tiara turun dan mengenakan setelan fashion yang trendi. Dia segera berjalan ke sisi lain mobil untuk m
Seorang wanita mengenakan setelan blazer mewah, melangkah dengan sepatu hak tinggi. Aura yang terpancar dari tubuhnya adalah perpaduan antara kecerdasan, keanggunan, dan ketegasan. Setiap langkahnya penuh percaya diri memasuki ruangan itu.Wajah cantiknya menunjukkan ekspresi dingin dan tenang seperti biasa. Sepasang mata yang jernih melirik ke sekeliling ruangan dengan pandangan tajam dan akhirnya berhenti di layar dekoratif di sudut ruangan. Tatapannya seperti ingin menembus layar itu, seolah-olah bisa melihat orang-orang yang bersembunyi di baliknya.Dia menarik kembali pandangannya dengan tenang, disertai dengan aura yang dingin."Maaf terlambat. Agak macet waktu datang tadi."Brak!Tiba-tiba, layar itu jatuh dengan keras ke lantai. Jelas terlihat bahwa dua orang di balik layar itu tampak sangat agresif."Eleanor!" teriak Yoana dengan tak percaya.Eleanor tetap tenang. Pandangannya bergerak ke layar yang telah jatuh, kemudian menaikkan alisnya dengan sedikit keheranan.Mereka langs
"Aku lebih muak melihatmu. Memang harus ada yang keluar di antara kita."Yoana mendengus dengan tak acuh, "Pelayan."Pelayan yang berdiri di depan pintu langsung masuk."Panggil manajer kalian. Ada yang buat onar di sini. Kami sudah coba bicara baik-baik, tapi dia tetap nggak mau pergi dan bersikeras berada di ruangan kami. Cepat panggil keamanan untuk mengusirnya. Kalau nggak, kami akan komplain," ujar Yoana dengan nada tegas.Tiara segera menambahkan, "Ya, cepat panggil seseorang untuk mengusirnya keluar!"Pelayan yang kebingungan tidak tahu harus berbuat apa. Dia segera pergi memanggil manajer dan keamanan.Yoana menatap Eleanor dengan dingin. "Kami sudah memberimu kesempatan, tapi kamu sendiri yang membuangnya."Eleanor tersenyum tipis dan duduk di kursi di dekatnya dengan santai. "Baiklah, kita tunggu saja."Dia ingin melihat siapa yang akan diusir saat manajer datang nanti.Tiara melangkah maju, lalu mencoba mendorong Eleanor dari kursi. "Dasar gila! Siapa yang mengizinkanmu dudu
Petugas keamanan melihat ke arah manajer untuk menunggu instruksi. Yoana dan Tiara yang sudah tidak sabar tampak sangat yakin bahwa mereka akan segera melihat Eleanor diusir dengan memalukan. Namun, Eleanor tetap tenang.Sebagai manajer hotel besar, dia tidak mungkin gegabah mengusir tamu. Tanpa arahan dari manajer, petugas keamanan juga tidak berani melakukan tindakan lanjut.Sementara itu, suasana di luar mulai menarik perhatian tamu lain yang lalu lalang. Beberapa orang berhenti dan melihat ke dalam."Kenapa ramai sekali?" Danuar yang mengikuti di belakang Jeremy, tak kuasa menahan diri untuk melirik sekilas saat lewat.Jeremy yang berjalan di depan tampak tidak tertarik, sehingga dia langsung berjalan ke arah ruangannya. Melihat Jeremy berjalan menjauh, Danuar juga tidak buru-buru menyusulnya. Dia berjalan ke arah ruangan itu untuk melihat situasi."Astaga."Eleanor dan Yoana? Kelihatannya mereka sedang ribut ....Danuar melihat punggung Jeremy yang menjauh dengan tatapan penuh mak
Begitu mendengar bukan Eleanor yang memesannya, Yoana tersenyum sinis. "Bu Eleanor, kamu sudah dengar, 'kan? Kenapa harus sampai membuat dirimu dipermalukan begini? Apa nggak lebih bagus kamu pergi sendiri?"Eleanor menggeleng sambil tersenyum. Melihat Yoana sesenang itu, dia juga ikut gembira. Sebab, sebentar lagi Yoana tidak akan bisa tertawa lagi."Kebetulan sekali, nama asistenku Tina."Melihat ekspresi Eleanor yang tenang, Yoana tampak gugup. Setelah itu, dia buru-buru menanggapi sambil tertawa, "Karang saja terus ....""Maaf, kami telat." Terdengar beberapa langkah kaki yang buru-buru mendekat. Beberapa orang yang datang itu langsung tertegun sejenak karena tidak tahu apa yang sedang terjadi."Bu Eleanor." Salah seorang wanita berpakaian formal langsung berjalan ke sisi Eleanor dan bertanya, "Ada apa ini?"Eleanor mengangkat alis dan tertawa, "Coba kasih tahu mereka, siapa namamu."Wanita itu mengerjapkan matanya, lalu berkata, "Tina."Tina berdiri di samping Eleanor dengan kebin
Yoana menggertakkan giginya. Wajahnya berubah pucat. Eleanor menyaksikan semua itu dengan seru."Sekarang kalian berdua sudah boleh pergi?" tanya Eleanor dengan nada dingin.Keduanya berdiri di tempat, bingung apakah harus pergi atau tetap tinggal.Eleanor tidak berniat bersikap lunak terhadap mereka, dia berkata dengan santai, "Manajer, kalau mereka terus berada di ruangan ini dan menggangguku, aku akan mengajukan keluhan."Manajer tidak berani menghadapi keluhan. Melihat kedua wanita itu masih enggan pergi, dia terpaksa bertindak tegas, "Maafkan aku, Nona."Keempat petugas keamanan langsung maju.Yoana terus menatap tajam ke arah Eleanor dengan penuh amarah, lalu mengibaskan tangannya dengan kesal, "Minggir, aku bisa pergi sendiri."Setelah berkata demikian, dia menatap Eleanor dengan penuh kebencian sekali lagi sebelum terpaksa keluar dari ruangan itu. Setelah dipermalukan, penampilannya yang marah besar tampak sangat menyedihkan.Keluar dari ruangan, Yoana langsung menoleh dan mena
"Orang yang menculik anak itu menggunakan mobil ini. Daniel ada di dalam mobil ini. Kalau mereka menurunkan anak itu di depan kamera, cuma ada dua kemungkinan: di titik buta kamera selama satu menit, atau di dalam kotak sterofoam ini. Jeremy, apa pun kemungkinannya, anak itu sangat berbahaya sekarang," kata Eleanor dengan cepat.Jeremy menatap Eleanor yang gelisah, matanya semakin gelap. Dengan suara tegas, dia berkata, "Kamu tetap di sini. Aku akan suruh orang mencarinya."Eleanor menatap Jeremy dalam-dalam, lalu berkata dengan tegas, "Suruh mereka ikut denganku."Eleanor tidak akan tenang sampai dia melihat anaknya dengan matanya sendiri.Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia langsung berlari keluar. Di tengah jalan, dia bertemu dengan Bella yang tampak terganggu oleh keributan di rumah.Melihat Eleanor, wajah Bella langsung berubah dingin. "Eleanor ...."Namun, Eleanor yang sedang terburu-buru tidak punya waktu untuk meladeninya. Dia langsung melewatinya tanpa berhenti. Melihat diriny
"Kenapa wajahmu pucat sekali?" Jeremy mengerutkan alisnya, menatap Eleanor dengan tatapan penuh kecurigaan."Nggak apa-apa," jawab Eleanor dengan singkat, meskipun jelas terlihat tidak meyakinkan.Jeremy memandang wajah pucat Eleanor, jelas tidak percaya pada jawaban itu. Dia berdiri dan meraih pergelangan tangannya tanpa ragu dan menariknya mendekat. "Kamu terluka?" tanyanya dengan nada lebih serius.Tubuh Eleanor sedikit bergoyang akibat tarikan itu, tetapi dia segera menepis tangan Jeremy dan menatapnya dengan mata penuh emosi. Tatapan mereka bertemu dan Eleanor tidak bisa menghindari sorot mata Jeremy yang tampak penuh kekhawatiran.Ekspresi itu ... tidak mungkin pura-pura.Rasa dingin di mata Eleanor sedikit mereda, tergantikan oleh keraguan.Kemarin, Jeremy memaksanya menjalani pemeriksaan menyeluruh, tampak sangat peduli pada kondisinya. Sekarang, jika dia benar-benar mengirim orang untuk melukai dirinya seperti ini, rasanya tidak masuk akal.Ditambah lagi, sikap Jeremy saat ini
Memangnya Jeremy akan memakan anak-anak itu? Kenapa Eleanor buru-buru ingin membawa mereka pulang?Eleanor menatap langsung ke arahnya dengan tatapan dingin dan penuh kemarahan."Kamu mengirim orang untuk menculik anakku. Apa aku nggak boleh cemas?" Eleanor yang sebelumnya menahan emosinya kini tidak bisa lagi mengendalikannya, suara marahnya menggema di ruang tamu.Wajah Jeremy langsung menjadi kaku."Aku menculik anakmu? Hah, Eleanor, kamu datang ke sini hanya untuk mengatakan omong kosong?"Eleanor menarik napas dalam-dalam, berusaha mengontrol emosinya. Namun, matanya tetap dingin saat dia menatap Jeremy."Daniel diculik, setengah jam yang lalu. Aku melihat dengan mata kepala sendiri mobil yang membawanya masuk ke rumah ini. Jeremy, kamu masih berani menyangkal?"Kedinginan di mata Jeremy semakin dalam, alisnya berkerut. "Maksudmu anak itu hilang?""Jangan pura-pura bodoh!" bentak Eleanor. Matanya merah karena emosi.Jeremy, menjawab dengan nada dingin, "Aku bisa menjamin, aku ngga
Meskipun mengetahui situasinya, Eleanor tetap tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Apa Jeremy ada di rumah?"Penjaga itu menjawab dengan sopan, "Tuan sedang nggak ada di rumah saat ini."Eleanor mengangguk dengan tenang. "Baik, terima kasih."Kembali ke dalam mobil, Vivi menatap Eleanor dengan cemas. "Eleanor?"Tanpa banyak bicara, Eleanor langsung mengambil ponselnya dan mencoba menelepon Jeremy. Dua panggilan yang dia lakukan tidak dijawab.Wajah Eleanor menjadi semakin dingin. Dia mengatupkan rahangnya dan berkata, "Kita tunggu dia di sini."Meskipun khawatir dengan luka Eleanor, Vivi tahu bahwa Eleanor tidak akan pergi sebelum memastikan keselamatan Daniel. Akhirnya, Vivi mengambil kotak P3K dari mobilnya dan mulai merawat luka Eleanor.Ketika Vivi melihat luka di punggung Eleanor, dia tidak bisa menahan diri untuk menarik napas tajam. "Astaga, Eleanor ...."Luka itu tidak terlalu dalam, tetapi panjangnya cukup membuat siapa pun bergidik. Jelas, pelaku tidak berniat membunuh El
Eleanor menopang lututnya untuk berdiri. Wajahnya pucat tetapi penuh tekad. "Nggak ada waktu lagi, ayo pergi."Melihat betapa keras kepalanya Eleanor, Vivi hanya bisa menurut dan segera membantu Eleanor masuk ke mobil.Sementara itu, Tarimi masih terlihat syok, tubuhnya gemetar dan tidak mampu bergerak. Melihat hal ini, Eleanor tidak terlalu banyak bicara. Dia hanya menyuruh Tarimi untuk tetap di sana karena tidak akan ada lagi bahaya.Di dalam mobil hitam yang melaju, seorang pria sedang mengemudi, sementara pria lainnya menjaga Daniel dengan erat. Namun, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyakiti anak itu. Sebaliknya, pria yang menjaga Daniel berbicara dengan nada hormat, "Tuan Muda, jangan khawatir. Tuan Besar memerintahkan kami untuk menjemput Anda pulang."Seperti anak singa kecil yang marah, Daniel terus memukul dan menendang mereka. Dia tidak peduli apa pun yang mereka katakan dan hanya terfokus pada apa yang baru saja terjadi. Yang ada di pikirannya hanyalah orang-oran
Saat baru saja bertarung dengan pria berbaju hitam itu, dalam sekejap Eleanor menyadari bahwa pria itu bukan orang biasa. Kemampuan bertarung pria itu jauh di atasnya.Namun, Eleanor tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Yang paling penting sekarang adalah menyelamatkan Daniel. Dia menerima pukulan di bahunya, tetapi berhasil merebut kembali anaknya dari pria itu.Namun, masalah belum selesai. Dua pria berbaju hitam lainnya keluar dari mobil hitam yang terparkir di dekat mereka."Eleanor, hati-hati!" Vivi menjerit ketakutan.Eleanor menajamkan tatapannya. Salah satu pria itu menghunus pisau dan menyerang dari belakang. Dengan Daniel yang berada di pelukannya, gerakan Eleanor sangat terbatas. Tidak ada ruang baginya untuk menghindar.Dia hanya bisa memeluk anaknya erat-erat dan menerima serangan itu. Pisau itu melukai punggungnya dan meninggalkan luka panjang. Eleanor mengerang kesakitan, wajahnya seketika pucat pasi."Mama!" teriak Daniel dengan ketakutan."Nggak apa-apa, jangan
"Kalau begitu kasih tahu aku dong. Kalau Papa sudah bilang, aku nggak akan bertanya lagi.""Itu urusan orang dewasa. Anak kecil jangan ikut campur," jawab Jeremy."Hmph! Mama dulu juga sering bilang begitu. Kalian orang dewasa memang sama saja," Harry merajuk dan bersandar di kursinya dengan ekspresi kesal.Tatapan Jeremy menjadi lebih dalam saat mendengar perkataan Harry. Melihat hal itu, Harry buru-buru menutup mulutnya dan berkata, "Maksudku, Mama pernah bilang begitu sebelumnya ...."Jeremy menatap Harry yang tampak gugup setelah salah bicara, lalu tersenyum tipis. "Nggak usah pura-pura lagi. Kamu bukan Daniel, kamu Harry."Mata Harry membelalak lebar. "Papa tahu dari mana .... Papa pasti sudah tahu semuanya, ya?""Ya," jawab Jeremy dengan tenang."Kalau begitu ... kalau begitu ...." Harry mulai gugup hingga bicaranya tergagap."Jangan khawatir, aku nggak akan memarahimu. Kalau kamu mau, kamu bisa terus menganggapku sebagai Papa-mu," kata Jeremy lembut.Setelah identitasnya terbong
Setelah menemukan tempat yang sepi, Glenn memulai pembicaraan, "Lama nggak jumpa." Kemudian, dia menatap Eleanor sejenak dan bertanya, "Kamu hamil?"Vivi buru-buru menjelaskan, "Nggak, nggak. Waktu itu situasinya mendesak, jadi aku asal teriak saja."Glenn tersenyum tipis. "Oh, begitu."Vivi mengangguk cepat. "Iya, iya."Melihat Vivi yang menatap Glenn sampai hampir kehilangan kontrol, Eleanor memijat pelipisnya dan berkata, "Kita ada urusan penting, ingat?""Oh iya, urusan penting," Vivi menyadari kekeliruannya, lalu tertawa canggung dan memulai pembicaraan tentang pekerjaan.Yang mengejutkan, Glenn langsung menjawab dengan santai, "Baik.""Baik?" Vivi nyaris tersedak. "Kamu setuju secepat itu?"Kecepatan Glenn menjawab membuat Vivi merasa seolah semuanya terlalu mudah."Ya," Glenn mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya kepada Eleanor. "Karena kita sekarang bekerja sama, rasanya nggak berlebihan untuk meminta nomor kontakmu, 'kan, Bos?"Eleanor mengambil ponselnya d
Jeremy langsung pergi tanpa menoleh lagi.Eleanor menghela napas panjang dan ekspresinya menjadi muram. Dia duduk di ruang tamu untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berdiri dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.Tak lama kemudian, Tarimi kembali bersama Daniel. Melihat hari sudah cukup sore, Eleanor memutuskan untuk tidak pergi ke kantor dan memilih menghabiskan waktu di rumah bersama anaknya.Di bandara.Keesokan paginya, Eleanor dibangunkan oleh Vivi yang penuh semangat dan menyeretnya ke bandara.Hari ini Glenn kembali ke negara asal untuk pembicaraan mengenai kontrak endorse. Mereka sudah berusaha keras untuk mendapatkan kesempatan ini. Meskipun sudah mempersiapkan diri, pemandangan di bandara tetap membuat mereka terkejut.Kerumunan penggemar yang memenuhi tempat itu terlalu ramai."Glenn! Ahhh, dia ganteng banget!""Sayang! Sayang! Di sini, lihat ke sini!""Glenn, kamu yang paling tampan! Aku mencintaimu!"Vivi yang awalnya sangat bersemangat untuk bertemu selebrita