Begitu mendengar bukan Eleanor yang memesannya, Yoana tersenyum sinis. "Bu Eleanor, kamu sudah dengar, 'kan? Kenapa harus sampai membuat dirimu dipermalukan begini? Apa nggak lebih bagus kamu pergi sendiri?"Eleanor menggeleng sambil tersenyum. Melihat Yoana sesenang itu, dia juga ikut gembira. Sebab, sebentar lagi Yoana tidak akan bisa tertawa lagi."Kebetulan sekali, nama asistenku Tina."Melihat ekspresi Eleanor yang tenang, Yoana tampak gugup. Setelah itu, dia buru-buru menanggapi sambil tertawa, "Karang saja terus ....""Maaf, kami telat." Terdengar beberapa langkah kaki yang buru-buru mendekat. Beberapa orang yang datang itu langsung tertegun sejenak karena tidak tahu apa yang sedang terjadi."Bu Eleanor." Salah seorang wanita berpakaian formal langsung berjalan ke sisi Eleanor dan bertanya, "Ada apa ini?"Eleanor mengangkat alis dan tertawa, "Coba kasih tahu mereka, siapa namamu."Wanita itu mengerjapkan matanya, lalu berkata, "Tina."Tina berdiri di samping Eleanor dengan kebin
Yoana menggertakkan giginya. Wajahnya berubah pucat. Eleanor menyaksikan semua itu dengan seru."Sekarang kalian berdua sudah boleh pergi?" tanya Eleanor dengan nada dingin.Keduanya berdiri di tempat, bingung apakah harus pergi atau tetap tinggal.Eleanor tidak berniat bersikap lunak terhadap mereka, dia berkata dengan santai, "Manajer, kalau mereka terus berada di ruangan ini dan menggangguku, aku akan mengajukan keluhan."Manajer tidak berani menghadapi keluhan. Melihat kedua wanita itu masih enggan pergi, dia terpaksa bertindak tegas, "Maafkan aku, Nona."Keempat petugas keamanan langsung maju.Yoana terus menatap tajam ke arah Eleanor dengan penuh amarah, lalu mengibaskan tangannya dengan kesal, "Minggir, aku bisa pergi sendiri."Setelah berkata demikian, dia menatap Eleanor dengan penuh kebencian sekali lagi sebelum terpaksa keluar dari ruangan itu. Setelah dipermalukan, penampilannya yang marah besar tampak sangat menyedihkan.Keluar dari ruangan, Yoana langsung menoleh dan mena
Saat itu, Eleanor, yang gagal mencapai kesepakatan kerja sama, kebetulan sedang bersiap meninggalkan ruangannya. Tiba-tiba pintu didorong terbuka dan tanpa sempat menghindar, dia bertabrakan dengan sosok yang masuk.Aroma segar yang begitu familier langsung menyeruak, membuat tubuh Eleanor menegang. Sepasang tangan terulur untuk menopangnya. Ketika Eleanor mengangkat wajahnya, pandangannya langsung bertemu dengan sepasang mata yang kelam."Jeremy?" Eleanor mengerutkan alis, menatap pria yang tiba-tiba muncul dengan penuh keterkejutan."Kamu?"Jeremy mengernyitkan dahi dan menunduk untuk memastikan bahwa wanita di depannya tidak terluka. Melihat Eleanor baik-baik saja, dia tanpa sadar menghela napas lega.Eleanor yang menyadari Jeremy tidak mengatakan apa-apa, kembali mengerutkan alisnya. Hari ini sudah cukup ramai. Dari Yoana hingga sekarang Jeremy yang muncul tiba-tiba. Ruangan ini benar-benar penuh kejutan."Kamu datang untuk cari Yoana?"Yoana baru saja pergi, Jeremy langsung muncul
"Ayo pergi." Jeremy yang sedari awal memang tidak terlalu berminat untu menghadiri acara ini, memutuskan untuk langsung pergi."Masih terlalu awal, mau ke mana? Panggil Bastian, kita pergi keluar untuk minum.""Nggak dulu, Daniel sendirian di rumah.""Sialan! Memangnya anakmu bakal hilang kalau di rumah?" Danuar berlari menyusulnya.Sementara itu, langit sudah malam saat Eleanor keluar dari hotel. Dia langsung mengendarai mobilnya untuk pulang.Mengetahui bahwa Daniel sudah pulang, Vivi buru-buru membeli setumpuk hadiah untuk membina hubungan dengan anak itu. Mendengar kejadian semalam, Vivi terbahak-bahak hingga Tarimi mengira otak Vivi bermasalah."Hahahaha ... dua wanita itu pasti kesal setengah mati, 'kan?"Vivi duduk bersila di sofa sambil memeluk sebungkus besar keripik kentang. Sambil mengunyah, dia tertawa tanpa henti.Eleanor bersandar di sofa dan menopang kepalanya dengan satu tangan sambil tersenyum lembut. "Mereka pasti ingin melahapku hidup-hidup."Mendengar ada yang ingin
"Nggak tahu malu," celetuk Daniel yang berdiri di sampingnya.Bahkan seorang anak kecil pun bisa mendengar betapa tidak tahu malunya kata-kata Robert barusan. Dari mana dia mendapatkan kepercayaan diri untuk mengatakan hal-hal seperti itu? Apakah dia benar-benar menganggap Eleanor sebagai orang bodoh?Robert sepertinya samar-samar mendengar seseorang berbicara dibelakang. Suaranya semakin keras. "Siapa yang bicara? Siapa? Eleanor, siapa yang baru saja bicara?"Eleanor tidak menjawab pertanyaannya. Dengan nada datar, dia berkata, "Ingat untuk menutup jendela waktu tidur malam nanti.""Apa maksudmu?" tanya Robert bingung."Aku takut angin kencang akan membuatmu tersadar," jawab Eleanor dengan santai.Mendengar itu, Robert langsung naik pitam. "Kamu benar-benar mau melawanku?""Kita memang sudah berdiri di sisi yang berlawanan sedari awal. Bukan hal baru lagi," balas Eleanor.Robert mendengus marah. Eleanor hampir bisa mendengar giginya berderak karena terlalu keras menggertak. "Baiklah,
"Kalau nggak, kamu mau bikin ribut di perusahaanku setiap hari? Yoana yang ngasih ide ini untuk kamu atau Tiara? Gimanapun, dia itu Direktur Grup Haningrat. Jaga harga dirinya." Eleanor tidak mengatakan apa pun lagi, kemudian berjalan masuk ke lift dengan ekspresi datar.Robert ingin menghalangi Eleanor, tapi tidak sempat lagi. Ada banyak orang di sini, sehingga Robert juga tidak berani bertindak gegabah. Pada akhirnya, dia terpaksa pergi dengan marah.....Rumah Keluarga Pratama.Yoana memegang ponselnya dengan wajah penuh kebencian. "Nggak berguna! Kalau kalian langsung minta, tentu saja dia nggak akan menyerahkan perusahaannya. Kenapa kalian nggak mencoba mengancamnya?""Kak Yoana, kami nggak punya bukti apa pun untuk menekan Eleanor. Kami benar-benar nggak punya cara untuk mengancamnya ....""Dasar nggak berguna!""Tapi, Kak Yoana, tadi malam ayahku bilang dia mendengar suara anak kecil di dekat Eleanor.""Suara anak kecil?" Yoana menyipitkan matanya. "Kamu bilang Eleanor punya ana
"Ibu, kamu nggak tahu seberapa keterlaluan Bibi Bella. Saat itu aku takut mati, mana mungkin sempat pikirin hidup dan matinya lagi. Dia malah nyalahin aku." Yoana memanyunkan bibirnya dengan kesal.Alicia menggeleng dengan pasrah dan menoyor dahi Yoana. "Kamu ini otak udang. Eleanor saja bisa menyelamatkan dia untuk mendapat simpatinya. Kalau kamu melayaninya dengan baik, dia pasti bakal maafin kamu. Lagian, kamu bakal nikah sama anaknya. Dia nggak mungkin benaran marah sama kamu.""Benaran?""Tentu saja. Sebelum nikah sama Jeremy, kamu harus lebih sabar. Nanti kalau sudah menjadi bagian Keluarga Adrian, baru kamu mainkan strategimu."Yoana tersenyum dan bersandar di pelukan Alicia. Tatapannya dipenuhi ambisi. "Oke, Ibu. Aku ngerti sekarang."Begitu dia menikah dengan Jeremy, dia akan membalas semua orang yang pernah bersikap lancang padanya!....Malam ini adalah hari pengobatan Jeremy. Eleanor merasa tidak tenang jika meninggalkan Daniel sendirian di rumah, jadi dia mengantar Daniel
Eleanor tidak bisa menahan diri untuk menelan ludah saat melihat tatapan tajam yang mengerikan itu. 'Sudahlah, lebih baik jangan membuat Jeremy marah.'"Mau pelihara pria? Heh." Jeremy tersenyum dingin. Dia terlihat santai, padahal emosinya bergolak. Wanita ini memikirkan pria lain setiap hari. Pelihara pria, hebat sekali!"Mama, apa itu pelihara pria?" tanya Harry yang berdiri di samping mereka dengan penasaran.Eleanor menarik sudut bibirnya, menyesal karena sudah berbicara sembarangan hanya untuk membuat Jeremy kesal."Bukan apa-apa, cuma bercanda," sahut Eleanor untuk mengelabui Harry.Eleanor tidak ingin melanjutkan topik pembicaraan itu lagi. Dia mengeluarkan jarumnya, lalu memberi isyarat kepada Jeremy untuk berbaring.Setelah pengobatan selesai, wajah Jeremy masih terlihat suram. Eleanor tidak peduli. Dia hanya fokus pada perawatan, bukan mengurus perasaan Jeremy.Eleanor merapikan barang-barangnya dan berdiri. Harry memandangnya dengan enggan. "Mama, kamu sudah mau pulang?"El
"Orang yang menculik anak itu menggunakan mobil ini. Daniel ada di dalam mobil ini. Kalau mereka menurunkan anak itu di depan kamera, cuma ada dua kemungkinan: di titik buta kamera selama satu menit, atau di dalam kotak sterofoam ini. Jeremy, apa pun kemungkinannya, anak itu sangat berbahaya sekarang," kata Eleanor dengan cepat.Jeremy menatap Eleanor yang gelisah, matanya semakin gelap. Dengan suara tegas, dia berkata, "Kamu tetap di sini. Aku akan suruh orang mencarinya."Eleanor menatap Jeremy dalam-dalam, lalu berkata dengan tegas, "Suruh mereka ikut denganku."Eleanor tidak akan tenang sampai dia melihat anaknya dengan matanya sendiri.Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia langsung berlari keluar. Di tengah jalan, dia bertemu dengan Bella yang tampak terganggu oleh keributan di rumah.Melihat Eleanor, wajah Bella langsung berubah dingin. "Eleanor ...."Namun, Eleanor yang sedang terburu-buru tidak punya waktu untuk meladeninya. Dia langsung melewatinya tanpa berhenti. Melihat diriny
"Kenapa wajahmu pucat sekali?" Jeremy mengerutkan alisnya, menatap Eleanor dengan tatapan penuh kecurigaan."Nggak apa-apa," jawab Eleanor dengan singkat, meskipun jelas terlihat tidak meyakinkan.Jeremy memandang wajah pucat Eleanor, jelas tidak percaya pada jawaban itu. Dia berdiri dan meraih pergelangan tangannya tanpa ragu dan menariknya mendekat. "Kamu terluka?" tanyanya dengan nada lebih serius.Tubuh Eleanor sedikit bergoyang akibat tarikan itu, tetapi dia segera menepis tangan Jeremy dan menatapnya dengan mata penuh emosi. Tatapan mereka bertemu dan Eleanor tidak bisa menghindari sorot mata Jeremy yang tampak penuh kekhawatiran.Ekspresi itu ... tidak mungkin pura-pura.Rasa dingin di mata Eleanor sedikit mereda, tergantikan oleh keraguan.Kemarin, Jeremy memaksanya menjalani pemeriksaan menyeluruh, tampak sangat peduli pada kondisinya. Sekarang, jika dia benar-benar mengirim orang untuk melukai dirinya seperti ini, rasanya tidak masuk akal.Ditambah lagi, sikap Jeremy saat ini
Memangnya Jeremy akan memakan anak-anak itu? Kenapa Eleanor buru-buru ingin membawa mereka pulang?Eleanor menatap langsung ke arahnya dengan tatapan dingin dan penuh kemarahan."Kamu mengirim orang untuk menculik anakku. Apa aku nggak boleh cemas?" Eleanor yang sebelumnya menahan emosinya kini tidak bisa lagi mengendalikannya, suara marahnya menggema di ruang tamu.Wajah Jeremy langsung menjadi kaku."Aku menculik anakmu? Hah, Eleanor, kamu datang ke sini hanya untuk mengatakan omong kosong?"Eleanor menarik napas dalam-dalam, berusaha mengontrol emosinya. Namun, matanya tetap dingin saat dia menatap Jeremy."Daniel diculik, setengah jam yang lalu. Aku melihat dengan mata kepala sendiri mobil yang membawanya masuk ke rumah ini. Jeremy, kamu masih berani menyangkal?"Kedinginan di mata Jeremy semakin dalam, alisnya berkerut. "Maksudmu anak itu hilang?""Jangan pura-pura bodoh!" bentak Eleanor. Matanya merah karena emosi.Jeremy, menjawab dengan nada dingin, "Aku bisa menjamin, aku ngga
Meskipun mengetahui situasinya, Eleanor tetap tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Apa Jeremy ada di rumah?"Penjaga itu menjawab dengan sopan, "Tuan sedang nggak ada di rumah saat ini."Eleanor mengangguk dengan tenang. "Baik, terima kasih."Kembali ke dalam mobil, Vivi menatap Eleanor dengan cemas. "Eleanor?"Tanpa banyak bicara, Eleanor langsung mengambil ponselnya dan mencoba menelepon Jeremy. Dua panggilan yang dia lakukan tidak dijawab.Wajah Eleanor menjadi semakin dingin. Dia mengatupkan rahangnya dan berkata, "Kita tunggu dia di sini."Meskipun khawatir dengan luka Eleanor, Vivi tahu bahwa Eleanor tidak akan pergi sebelum memastikan keselamatan Daniel. Akhirnya, Vivi mengambil kotak P3K dari mobilnya dan mulai merawat luka Eleanor.Ketika Vivi melihat luka di punggung Eleanor, dia tidak bisa menahan diri untuk menarik napas tajam. "Astaga, Eleanor ...."Luka itu tidak terlalu dalam, tetapi panjangnya cukup membuat siapa pun bergidik. Jelas, pelaku tidak berniat membunuh El
Eleanor menopang lututnya untuk berdiri. Wajahnya pucat tetapi penuh tekad. "Nggak ada waktu lagi, ayo pergi."Melihat betapa keras kepalanya Eleanor, Vivi hanya bisa menurut dan segera membantu Eleanor masuk ke mobil.Sementara itu, Tarimi masih terlihat syok, tubuhnya gemetar dan tidak mampu bergerak. Melihat hal ini, Eleanor tidak terlalu banyak bicara. Dia hanya menyuruh Tarimi untuk tetap di sana karena tidak akan ada lagi bahaya.Di dalam mobil hitam yang melaju, seorang pria sedang mengemudi, sementara pria lainnya menjaga Daniel dengan erat. Namun, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyakiti anak itu. Sebaliknya, pria yang menjaga Daniel berbicara dengan nada hormat, "Tuan Muda, jangan khawatir. Tuan Besar memerintahkan kami untuk menjemput Anda pulang."Seperti anak singa kecil yang marah, Daniel terus memukul dan menendang mereka. Dia tidak peduli apa pun yang mereka katakan dan hanya terfokus pada apa yang baru saja terjadi. Yang ada di pikirannya hanyalah orang-oran
Saat baru saja bertarung dengan pria berbaju hitam itu, dalam sekejap Eleanor menyadari bahwa pria itu bukan orang biasa. Kemampuan bertarung pria itu jauh di atasnya.Namun, Eleanor tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Yang paling penting sekarang adalah menyelamatkan Daniel. Dia menerima pukulan di bahunya, tetapi berhasil merebut kembali anaknya dari pria itu.Namun, masalah belum selesai. Dua pria berbaju hitam lainnya keluar dari mobil hitam yang terparkir di dekat mereka."Eleanor, hati-hati!" Vivi menjerit ketakutan.Eleanor menajamkan tatapannya. Salah satu pria itu menghunus pisau dan menyerang dari belakang. Dengan Daniel yang berada di pelukannya, gerakan Eleanor sangat terbatas. Tidak ada ruang baginya untuk menghindar.Dia hanya bisa memeluk anaknya erat-erat dan menerima serangan itu. Pisau itu melukai punggungnya dan meninggalkan luka panjang. Eleanor mengerang kesakitan, wajahnya seketika pucat pasi."Mama!" teriak Daniel dengan ketakutan."Nggak apa-apa, jangan
"Kalau begitu kasih tahu aku dong. Kalau Papa sudah bilang, aku nggak akan bertanya lagi.""Itu urusan orang dewasa. Anak kecil jangan ikut campur," jawab Jeremy."Hmph! Mama dulu juga sering bilang begitu. Kalian orang dewasa memang sama saja," Harry merajuk dan bersandar di kursinya dengan ekspresi kesal.Tatapan Jeremy menjadi lebih dalam saat mendengar perkataan Harry. Melihat hal itu, Harry buru-buru menutup mulutnya dan berkata, "Maksudku, Mama pernah bilang begitu sebelumnya ...."Jeremy menatap Harry yang tampak gugup setelah salah bicara, lalu tersenyum tipis. "Nggak usah pura-pura lagi. Kamu bukan Daniel, kamu Harry."Mata Harry membelalak lebar. "Papa tahu dari mana .... Papa pasti sudah tahu semuanya, ya?""Ya," jawab Jeremy dengan tenang."Kalau begitu ... kalau begitu ...." Harry mulai gugup hingga bicaranya tergagap."Jangan khawatir, aku nggak akan memarahimu. Kalau kamu mau, kamu bisa terus menganggapku sebagai Papa-mu," kata Jeremy lembut.Setelah identitasnya terbong
Setelah menemukan tempat yang sepi, Glenn memulai pembicaraan, "Lama nggak jumpa." Kemudian, dia menatap Eleanor sejenak dan bertanya, "Kamu hamil?"Vivi buru-buru menjelaskan, "Nggak, nggak. Waktu itu situasinya mendesak, jadi aku asal teriak saja."Glenn tersenyum tipis. "Oh, begitu."Vivi mengangguk cepat. "Iya, iya."Melihat Vivi yang menatap Glenn sampai hampir kehilangan kontrol, Eleanor memijat pelipisnya dan berkata, "Kita ada urusan penting, ingat?""Oh iya, urusan penting," Vivi menyadari kekeliruannya, lalu tertawa canggung dan memulai pembicaraan tentang pekerjaan.Yang mengejutkan, Glenn langsung menjawab dengan santai, "Baik.""Baik?" Vivi nyaris tersedak. "Kamu setuju secepat itu?"Kecepatan Glenn menjawab membuat Vivi merasa seolah semuanya terlalu mudah."Ya," Glenn mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya kepada Eleanor. "Karena kita sekarang bekerja sama, rasanya nggak berlebihan untuk meminta nomor kontakmu, 'kan, Bos?"Eleanor mengambil ponselnya d
Jeremy langsung pergi tanpa menoleh lagi.Eleanor menghela napas panjang dan ekspresinya menjadi muram. Dia duduk di ruang tamu untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berdiri dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.Tak lama kemudian, Tarimi kembali bersama Daniel. Melihat hari sudah cukup sore, Eleanor memutuskan untuk tidak pergi ke kantor dan memilih menghabiskan waktu di rumah bersama anaknya.Di bandara.Keesokan paginya, Eleanor dibangunkan oleh Vivi yang penuh semangat dan menyeretnya ke bandara.Hari ini Glenn kembali ke negara asal untuk pembicaraan mengenai kontrak endorse. Mereka sudah berusaha keras untuk mendapatkan kesempatan ini. Meskipun sudah mempersiapkan diri, pemandangan di bandara tetap membuat mereka terkejut.Kerumunan penggemar yang memenuhi tempat itu terlalu ramai."Glenn! Ahhh, dia ganteng banget!""Sayang! Sayang! Di sini, lihat ke sini!""Glenn, kamu yang paling tampan! Aku mencintaimu!"Vivi yang awalnya sangat bersemangat untuk bertemu selebrita