Eleanor tidak bisa menahan diri untuk menelan ludah saat melihat tatapan tajam yang mengerikan itu. 'Sudahlah, lebih baik jangan membuat Jeremy marah.'"Mau pelihara pria? Heh." Jeremy tersenyum dingin. Dia terlihat santai, padahal emosinya bergolak. Wanita ini memikirkan pria lain setiap hari. Pelihara pria, hebat sekali!"Mama, apa itu pelihara pria?" tanya Harry yang berdiri di samping mereka dengan penasaran.Eleanor menarik sudut bibirnya, menyesal karena sudah berbicara sembarangan hanya untuk membuat Jeremy kesal."Bukan apa-apa, cuma bercanda," sahut Eleanor untuk mengelabui Harry.Eleanor tidak ingin melanjutkan topik pembicaraan itu lagi. Dia mengeluarkan jarumnya, lalu memberi isyarat kepada Jeremy untuk berbaring.Setelah pengobatan selesai, wajah Jeremy masih terlihat suram. Eleanor tidak peduli. Dia hanya fokus pada perawatan, bukan mengurus perasaan Jeremy.Eleanor merapikan barang-barangnya dan berdiri. Harry memandangnya dengan enggan. "Mama, kamu sudah mau pulang?"El
Eleanor langsung mengernyit. Kemudian, dia bertanya dengan cemas, "Terus, sekarang kalian ada di mana?""Aku baru saja antar Daniel pulang. Kami baru saja masuk rumah, mereka sudah datang. Bi Tarimi nggak tahu siapa mereka, jadi dia langsung bukain pintu. Sekarang mereka sedang berdebat di pintu."Eleanor menggenggam ponselnya erat-erat. "Mereka benaran nggak ada habisnya ya.""Aku rasa mereka datang bukan karena masalah perusahaan. Mereka nggak menyebutkan tentang perusahaan, tapi terus ingin masuk ke rumahmu. Sepertinya mereka mencari sesuatu. Sekarang aku dan Daniel sembunyi di kamarmu. Kami nggak berani keluar."Nama Daniel membuat Eleanor harus lebih berhati-hati agar tidak terdengar oleh Jeremy. Di dalam mobil yang sunyi ini, percakapan telepon sangat mudah didengar. Untungnya, Vivi merendahkan suaranya.Eleanor menarik napas dalam-dalam. Dia teringat semalam Daniel tidak berbicara dan terdengar oleh Robert. Mereka pasti datang untuk memastikan apakah dia punya anak atau tidak.T
Keduanya berhenti melangkah saat melihat pisau besar yang dipegang Vivi.Tiara mengernyit, "Vivi, kamu gila ya? Aku mau masuk ke kamar kakakku. Atas dasar apa kamu menghalangi? Memangnya kamu kira kamu siapa?""Kakak? Jangan asal klaim hubungan keluarga. Eleanor nggak punya adik yang nggak tahu malu sepertimu!""Kamu!" Tiara maju selangkah.Vivi langsung mengayunkan pisaunya dan membentak, "Kalau kamu berani maju lagi, akan kubuat satu tanganmu melayang!"Keduanya terkejut dengan sikap Vivi yang begitu garang. Mereka bertatapan dan tidak berani maju lagi.Eleanor akhirnya tiba dan langsung melihat pemandangan itu. Vivi tampak mengayunkan pisau secara sembarangan, sedangkan Tiara bersembunyi ketakutan di balik Robert dan wajah Robert tampak sangat suram.Eleanor mengernyit dan bergegas menghampiri."Eleanor." Vivi merasa lega melihat Eleanor pulang.Eleanor tahu betapa sulitnya menghadapi kedua orang ini. Jika tidak, Vivi dan Tarimi tidak mungkin membawa pisau. Eleanor tentu berterima k
Jeremy mengedarkan tatapan tajam. "Aku nggak ingin tahu."Suara Tiara tiba-tiba tersangkut di tenggorokannya. Ekspresinya seketika menjadi sangat masam."Pfft ...." Vivi tidak bisa menahan tawa. Jalang ini masih ingin melapor, padahal tidak ada yang ingin mendengarnya bicara.Tiara mengepalkan tangannya dengan murka. "Pak, kamu nggak peduli kalau Eleanor diam-diam punya anak?"Jantung Eleanor berdebar keras. Kedua tangannya mengepal erat. Ekspresi Vivi juga berubah, "Tiara, kamu bicara apa sih?""Nggak usah panik. Pak, Eleanor punya anak dengan pria lain di luar negeri dan anak itu ada di kamar ini," seru Tiara.Jeremy mengernyit dan memicingkan matanya yang suram. Sulit untuk menebak apakah dia percaya atau tidak.Eleanor mendongak menatap Jeremy. Jantungnya berdetak semakin cepat."Apa yang dia bilang benar?" Jeremy menatap Eleanor lekat-lekat."Nggak benar." Eleanor menatap mata Jeremy dengan tenang, "Aku nggak tahu kenapa dia bisa bicara begitu tanpa bukti apa pun.""Nggak ada bukt
"Eee ....""Keluar."Yoana membeku sejenak, tetapi tetap berdiri di tempatnya.Eleanor berkata, "Vivi, telepon polisi.""Oke." Vivi langsung mengeluarkan ponselnya dan menelepon polisi.Ketika melihat itu, Tiara langsung maju dan menjatuhkan ponsel yang ada di tangan Vivi. "Ngapain telepon polisi? Kalian cuma mau mengalihkan perhatian, 'kan? Eleanor, jangan banyak omong. Cepat kasih kita masuk dan periksa!"Eleanor menyipitkan matanya, lalu berjalan ke arah Tiara dengan tenang. Dengan badan yang lebih tinggi dari Tiara, dia menunduk dan menatapnya dengan tajam.Tiara tanpa sadar menyusutkan lehernya saat melihat tatapan itu. "Apa yang mau ... ah!"Saat berikutnya, Tiara mendapat tamparan keras. Robert lantas berteriak marah, "Eleanor! Apa yang kamu lakukan?"Tiara tertegun sejenak, merasakan sakit menjalar di pipi kirinya. Setelah tersadar kembali, dia memegang wajahnya dan memelototi Eleanor. "Eleanor, atas dasar apa kamu menamparku?""Kamu sendiri, atas dasar apa mau masuk ke kamarku
Yoana meraih lengan Jeremy. Namun, tatapan Jeremy terus tertuju pada wajah Eleanor yang seolah-olah memakai topeng kokoh yang tidak bisa dihancurkan."Remy?" panggil Yoana dengan lembut.Jeremy perlahan-lahan mengalihkan pandangannya dari wajah Eleanor. Saat berbalik, dia melihat buku anak-anak di atas meja. Wajahnya menjadi agak suram, tetapi dia tetap tenang, bahkan diam-diam menggeser buku itu.Eleanor tidak pernah mengalihkan pandangannya dari Jeremy. Dia tahu Jeremy telah melihatnya. Saat Jeremy hendak pergi, Eleanor memanggilnya, "Tunggu sebentar."Eleanor mengambil buku itu dan menyerahkannya kepada Jeremy. "Ini buku Daniel yang ketinggalan. Kamu bawa pulang kasih dia."Jeremy menunduk menatapnya, lalu mengambil buku itu dan membuka beberapa halaman. Itu memang tulisan Daniel.Jeremy mencarikan guru untuk mengajari Daniel menulis. Jadi, tulisan tangannya kuat dan rapi. Dia tidak mungkin salah menilai.Alis Jeremy pun tidak terlalu berkerut lagi. Kekesalan pada tatapannya mereda,
Jeremy memicingkan matanya, mencoba menyembunyikan kesuraman pada tatapannya. Jeremy tidak bodoh. Dia tahu apa yang dilakukan sekelompok orang ini mala mini."Malam ini, kamu yang suruh mereka datang." Jeremy menatap Yoana dengan dingin. Kalimat itu bukan sebuah pertanyaan.Yoana terkejut mendengar Jeremy tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Dia langsung terdiam. "Aku ... bukan ... Remy ...."Yoana terburu-buru ingin menjelaskan. Namun, di bawah tatapan tajam Jeremy yang penuh tekanan, dia merasa sangat gugup hingga kesulitan berbicara."Kamu sedang berpikir, kira-kira gimana reaksiku kalau tahu Eleanor punya anak dengan orang lain," lanjut Jeremy.Yoana tidak menyangka Jeremy mengetahui isi pikirannya. Kini, sekujur tubuhnya seperti diselimuti oleh hawa dingin.Jeremy tersenyum sinis. Seperti apa reaksinya? Apa yang akan dilakukannya? Jeremy sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu perasaannya sangat tidak nyaman.Tidak ada asap tanpa api. Robert dan Tiara tidak mungkin membuat cerita boho
"Kenapa? Karena Eleanor? Karena pembunuh yang membunuh anak kita?" Yoana menahan suaranya. Tidak ada yang tahu betapa dia ingin berteriak histeris kepada Jeremy saat ini.Ketika amarah melahap pikirannya, Eleanor tidak punya keberanian untuk melepaskannya. Jeremy tidak mencintainya. Dia tidak boleh membuat Jeremy membencinya."Remy." Yoana melemparkan diri ke pelukan Jeremy. "Kalau kamu nggak suka aku membuat onar, aku janji nggak bakal lagi. Tolong jangan tinggalkan aku."Air mata Yoana mengalir deras. Dia menangis dengan sangat menyedihkan.Di lantai atas, Eleanor awalnya ingin memeriksa apakah mereka sudah pergi. Begitu membuka jendela, dia malah melihat kedua insan yang sedang berpelukan di bawah.Yoana tampak memeluk Jeremy dengan sangat erat. Dia membenamkan wajahnya ke pelukan Jeremy. Eleanor tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, juga tidak bisa melihat ekspresi mereka.Tatapan Eleanor berkilat. Tanpa disadarinya, ekspresinya menjadi agak murung. Pada akhirnya, dia menutu
"Orang yang menculik anak itu menggunakan mobil ini. Daniel ada di dalam mobil ini. Kalau mereka menurunkan anak itu di depan kamera, cuma ada dua kemungkinan: di titik buta kamera selama satu menit, atau di dalam kotak sterofoam ini. Jeremy, apa pun kemungkinannya, anak itu sangat berbahaya sekarang," kata Eleanor dengan cepat.Jeremy menatap Eleanor yang gelisah, matanya semakin gelap. Dengan suara tegas, dia berkata, "Kamu tetap di sini. Aku akan suruh orang mencarinya."Eleanor menatap Jeremy dalam-dalam, lalu berkata dengan tegas, "Suruh mereka ikut denganku."Eleanor tidak akan tenang sampai dia melihat anaknya dengan matanya sendiri.Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia langsung berlari keluar. Di tengah jalan, dia bertemu dengan Bella yang tampak terganggu oleh keributan di rumah.Melihat Eleanor, wajah Bella langsung berubah dingin. "Eleanor ...."Namun, Eleanor yang sedang terburu-buru tidak punya waktu untuk meladeninya. Dia langsung melewatinya tanpa berhenti. Melihat diriny
"Kenapa wajahmu pucat sekali?" Jeremy mengerutkan alisnya, menatap Eleanor dengan tatapan penuh kecurigaan."Nggak apa-apa," jawab Eleanor dengan singkat, meskipun jelas terlihat tidak meyakinkan.Jeremy memandang wajah pucat Eleanor, jelas tidak percaya pada jawaban itu. Dia berdiri dan meraih pergelangan tangannya tanpa ragu dan menariknya mendekat. "Kamu terluka?" tanyanya dengan nada lebih serius.Tubuh Eleanor sedikit bergoyang akibat tarikan itu, tetapi dia segera menepis tangan Jeremy dan menatapnya dengan mata penuh emosi. Tatapan mereka bertemu dan Eleanor tidak bisa menghindari sorot mata Jeremy yang tampak penuh kekhawatiran.Ekspresi itu ... tidak mungkin pura-pura.Rasa dingin di mata Eleanor sedikit mereda, tergantikan oleh keraguan.Kemarin, Jeremy memaksanya menjalani pemeriksaan menyeluruh, tampak sangat peduli pada kondisinya. Sekarang, jika dia benar-benar mengirim orang untuk melukai dirinya seperti ini, rasanya tidak masuk akal.Ditambah lagi, sikap Jeremy saat ini
Memangnya Jeremy akan memakan anak-anak itu? Kenapa Eleanor buru-buru ingin membawa mereka pulang?Eleanor menatap langsung ke arahnya dengan tatapan dingin dan penuh kemarahan."Kamu mengirim orang untuk menculik anakku. Apa aku nggak boleh cemas?" Eleanor yang sebelumnya menahan emosinya kini tidak bisa lagi mengendalikannya, suara marahnya menggema di ruang tamu.Wajah Jeremy langsung menjadi kaku."Aku menculik anakmu? Hah, Eleanor, kamu datang ke sini hanya untuk mengatakan omong kosong?"Eleanor menarik napas dalam-dalam, berusaha mengontrol emosinya. Namun, matanya tetap dingin saat dia menatap Jeremy."Daniel diculik, setengah jam yang lalu. Aku melihat dengan mata kepala sendiri mobil yang membawanya masuk ke rumah ini. Jeremy, kamu masih berani menyangkal?"Kedinginan di mata Jeremy semakin dalam, alisnya berkerut. "Maksudmu anak itu hilang?""Jangan pura-pura bodoh!" bentak Eleanor. Matanya merah karena emosi.Jeremy, menjawab dengan nada dingin, "Aku bisa menjamin, aku ngga
Meskipun mengetahui situasinya, Eleanor tetap tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Apa Jeremy ada di rumah?"Penjaga itu menjawab dengan sopan, "Tuan sedang nggak ada di rumah saat ini."Eleanor mengangguk dengan tenang. "Baik, terima kasih."Kembali ke dalam mobil, Vivi menatap Eleanor dengan cemas. "Eleanor?"Tanpa banyak bicara, Eleanor langsung mengambil ponselnya dan mencoba menelepon Jeremy. Dua panggilan yang dia lakukan tidak dijawab.Wajah Eleanor menjadi semakin dingin. Dia mengatupkan rahangnya dan berkata, "Kita tunggu dia di sini."Meskipun khawatir dengan luka Eleanor, Vivi tahu bahwa Eleanor tidak akan pergi sebelum memastikan keselamatan Daniel. Akhirnya, Vivi mengambil kotak P3K dari mobilnya dan mulai merawat luka Eleanor.Ketika Vivi melihat luka di punggung Eleanor, dia tidak bisa menahan diri untuk menarik napas tajam. "Astaga, Eleanor ...."Luka itu tidak terlalu dalam, tetapi panjangnya cukup membuat siapa pun bergidik. Jelas, pelaku tidak berniat membunuh El
Eleanor menopang lututnya untuk berdiri. Wajahnya pucat tetapi penuh tekad. "Nggak ada waktu lagi, ayo pergi."Melihat betapa keras kepalanya Eleanor, Vivi hanya bisa menurut dan segera membantu Eleanor masuk ke mobil.Sementara itu, Tarimi masih terlihat syok, tubuhnya gemetar dan tidak mampu bergerak. Melihat hal ini, Eleanor tidak terlalu banyak bicara. Dia hanya menyuruh Tarimi untuk tetap di sana karena tidak akan ada lagi bahaya.Di dalam mobil hitam yang melaju, seorang pria sedang mengemudi, sementara pria lainnya menjaga Daniel dengan erat. Namun, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyakiti anak itu. Sebaliknya, pria yang menjaga Daniel berbicara dengan nada hormat, "Tuan Muda, jangan khawatir. Tuan Besar memerintahkan kami untuk menjemput Anda pulang."Seperti anak singa kecil yang marah, Daniel terus memukul dan menendang mereka. Dia tidak peduli apa pun yang mereka katakan dan hanya terfokus pada apa yang baru saja terjadi. Yang ada di pikirannya hanyalah orang-oran
Saat baru saja bertarung dengan pria berbaju hitam itu, dalam sekejap Eleanor menyadari bahwa pria itu bukan orang biasa. Kemampuan bertarung pria itu jauh di atasnya.Namun, Eleanor tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Yang paling penting sekarang adalah menyelamatkan Daniel. Dia menerima pukulan di bahunya, tetapi berhasil merebut kembali anaknya dari pria itu.Namun, masalah belum selesai. Dua pria berbaju hitam lainnya keluar dari mobil hitam yang terparkir di dekat mereka."Eleanor, hati-hati!" Vivi menjerit ketakutan.Eleanor menajamkan tatapannya. Salah satu pria itu menghunus pisau dan menyerang dari belakang. Dengan Daniel yang berada di pelukannya, gerakan Eleanor sangat terbatas. Tidak ada ruang baginya untuk menghindar.Dia hanya bisa memeluk anaknya erat-erat dan menerima serangan itu. Pisau itu melukai punggungnya dan meninggalkan luka panjang. Eleanor mengerang kesakitan, wajahnya seketika pucat pasi."Mama!" teriak Daniel dengan ketakutan."Nggak apa-apa, jangan
"Kalau begitu kasih tahu aku dong. Kalau Papa sudah bilang, aku nggak akan bertanya lagi.""Itu urusan orang dewasa. Anak kecil jangan ikut campur," jawab Jeremy."Hmph! Mama dulu juga sering bilang begitu. Kalian orang dewasa memang sama saja," Harry merajuk dan bersandar di kursinya dengan ekspresi kesal.Tatapan Jeremy menjadi lebih dalam saat mendengar perkataan Harry. Melihat hal itu, Harry buru-buru menutup mulutnya dan berkata, "Maksudku, Mama pernah bilang begitu sebelumnya ...."Jeremy menatap Harry yang tampak gugup setelah salah bicara, lalu tersenyum tipis. "Nggak usah pura-pura lagi. Kamu bukan Daniel, kamu Harry."Mata Harry membelalak lebar. "Papa tahu dari mana .... Papa pasti sudah tahu semuanya, ya?""Ya," jawab Jeremy dengan tenang."Kalau begitu ... kalau begitu ...." Harry mulai gugup hingga bicaranya tergagap."Jangan khawatir, aku nggak akan memarahimu. Kalau kamu mau, kamu bisa terus menganggapku sebagai Papa-mu," kata Jeremy lembut.Setelah identitasnya terbong
Setelah menemukan tempat yang sepi, Glenn memulai pembicaraan, "Lama nggak jumpa." Kemudian, dia menatap Eleanor sejenak dan bertanya, "Kamu hamil?"Vivi buru-buru menjelaskan, "Nggak, nggak. Waktu itu situasinya mendesak, jadi aku asal teriak saja."Glenn tersenyum tipis. "Oh, begitu."Vivi mengangguk cepat. "Iya, iya."Melihat Vivi yang menatap Glenn sampai hampir kehilangan kontrol, Eleanor memijat pelipisnya dan berkata, "Kita ada urusan penting, ingat?""Oh iya, urusan penting," Vivi menyadari kekeliruannya, lalu tertawa canggung dan memulai pembicaraan tentang pekerjaan.Yang mengejutkan, Glenn langsung menjawab dengan santai, "Baik.""Baik?" Vivi nyaris tersedak. "Kamu setuju secepat itu?"Kecepatan Glenn menjawab membuat Vivi merasa seolah semuanya terlalu mudah."Ya," Glenn mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya kepada Eleanor. "Karena kita sekarang bekerja sama, rasanya nggak berlebihan untuk meminta nomor kontakmu, 'kan, Bos?"Eleanor mengambil ponselnya d
Jeremy langsung pergi tanpa menoleh lagi.Eleanor menghela napas panjang dan ekspresinya menjadi muram. Dia duduk di ruang tamu untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berdiri dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.Tak lama kemudian, Tarimi kembali bersama Daniel. Melihat hari sudah cukup sore, Eleanor memutuskan untuk tidak pergi ke kantor dan memilih menghabiskan waktu di rumah bersama anaknya.Di bandara.Keesokan paginya, Eleanor dibangunkan oleh Vivi yang penuh semangat dan menyeretnya ke bandara.Hari ini Glenn kembali ke negara asal untuk pembicaraan mengenai kontrak endorse. Mereka sudah berusaha keras untuk mendapatkan kesempatan ini. Meskipun sudah mempersiapkan diri, pemandangan di bandara tetap membuat mereka terkejut.Kerumunan penggemar yang memenuhi tempat itu terlalu ramai."Glenn! Ahhh, dia ganteng banget!""Sayang! Sayang! Di sini, lihat ke sini!""Glenn, kamu yang paling tampan! Aku mencintaimu!"Vivi yang awalnya sangat bersemangat untuk bertemu selebrita