Yoana menggertakkan giginya. Wajahnya berubah pucat. Eleanor menyaksikan semua itu dengan seru."Sekarang kalian berdua sudah boleh pergi?" tanya Eleanor dengan nada dingin.Keduanya berdiri di tempat, bingung apakah harus pergi atau tetap tinggal.Eleanor tidak berniat bersikap lunak terhadap mereka, dia berkata dengan santai, "Manajer, kalau mereka terus berada di ruangan ini dan menggangguku, aku akan mengajukan keluhan."Manajer tidak berani menghadapi keluhan. Melihat kedua wanita itu masih enggan pergi, dia terpaksa bertindak tegas, "Maafkan aku, Nona."Keempat petugas keamanan langsung maju.Yoana terus menatap tajam ke arah Eleanor dengan penuh amarah, lalu mengibaskan tangannya dengan kesal, "Minggir, aku bisa pergi sendiri."Setelah berkata demikian, dia menatap Eleanor dengan penuh kebencian sekali lagi sebelum terpaksa keluar dari ruangan itu. Setelah dipermalukan, penampilannya yang marah besar tampak sangat menyedihkan.Keluar dari ruangan, Yoana langsung menoleh dan mena
Saat itu, Eleanor, yang gagal mencapai kesepakatan kerja sama, kebetulan sedang bersiap meninggalkan ruangannya. Tiba-tiba pintu didorong terbuka dan tanpa sempat menghindar, dia bertabrakan dengan sosok yang masuk.Aroma segar yang begitu familier langsung menyeruak, membuat tubuh Eleanor menegang. Sepasang tangan terulur untuk menopangnya. Ketika Eleanor mengangkat wajahnya, pandangannya langsung bertemu dengan sepasang mata yang kelam."Jeremy?" Eleanor mengerutkan alis, menatap pria yang tiba-tiba muncul dengan penuh keterkejutan."Kamu?"Jeremy mengernyitkan dahi dan menunduk untuk memastikan bahwa wanita di depannya tidak terluka. Melihat Eleanor baik-baik saja, dia tanpa sadar menghela napas lega.Eleanor yang menyadari Jeremy tidak mengatakan apa-apa, kembali mengerutkan alisnya. Hari ini sudah cukup ramai. Dari Yoana hingga sekarang Jeremy yang muncul tiba-tiba. Ruangan ini benar-benar penuh kejutan."Kamu datang untuk cari Yoana?"Yoana baru saja pergi, Jeremy langsung muncul
"Ayo pergi." Jeremy yang sedari awal memang tidak terlalu berminat untu menghadiri acara ini, memutuskan untuk langsung pergi."Masih terlalu awal, mau ke mana? Panggil Bastian, kita pergi keluar untuk minum.""Nggak dulu, Daniel sendirian di rumah.""Sialan! Memangnya anakmu bakal hilang kalau di rumah?" Danuar berlari menyusulnya.Sementara itu, langit sudah malam saat Eleanor keluar dari hotel. Dia langsung mengendarai mobilnya untuk pulang.Mengetahui bahwa Daniel sudah pulang, Vivi buru-buru membeli setumpuk hadiah untuk membina hubungan dengan anak itu. Mendengar kejadian semalam, Vivi terbahak-bahak hingga Tarimi mengira otak Vivi bermasalah."Hahahaha ... dua wanita itu pasti kesal setengah mati, 'kan?"Vivi duduk bersila di sofa sambil memeluk sebungkus besar keripik kentang. Sambil mengunyah, dia tertawa tanpa henti.Eleanor bersandar di sofa dan menopang kepalanya dengan satu tangan sambil tersenyum lembut. "Mereka pasti ingin melahapku hidup-hidup."Mendengar ada yang ingin
"Nggak tahu malu," celetuk Daniel yang berdiri di sampingnya.Bahkan seorang anak kecil pun bisa mendengar betapa tidak tahu malunya kata-kata Robert barusan. Dari mana dia mendapatkan kepercayaan diri untuk mengatakan hal-hal seperti itu? Apakah dia benar-benar menganggap Eleanor sebagai orang bodoh?Robert sepertinya samar-samar mendengar seseorang berbicara dibelakang. Suaranya semakin keras. "Siapa yang bicara? Siapa? Eleanor, siapa yang baru saja bicara?"Eleanor tidak menjawab pertanyaannya. Dengan nada datar, dia berkata, "Ingat untuk menutup jendela waktu tidur malam nanti.""Apa maksudmu?" tanya Robert bingung."Aku takut angin kencang akan membuatmu tersadar," jawab Eleanor dengan santai.Mendengar itu, Robert langsung naik pitam. "Kamu benar-benar mau melawanku?""Kita memang sudah berdiri di sisi yang berlawanan sedari awal. Bukan hal baru lagi," balas Eleanor.Robert mendengus marah. Eleanor hampir bisa mendengar giginya berderak karena terlalu keras menggertak. "Baiklah,
"Kalau nggak, kamu mau bikin ribut di perusahaanku setiap hari? Yoana yang ngasih ide ini untuk kamu atau Tiara? Gimanapun, dia itu Direktur Grup Haningrat. Jaga harga dirinya." Eleanor tidak mengatakan apa pun lagi, kemudian berjalan masuk ke lift dengan ekspresi datar.Robert ingin menghalangi Eleanor, tapi tidak sempat lagi. Ada banyak orang di sini, sehingga Robert juga tidak berani bertindak gegabah. Pada akhirnya, dia terpaksa pergi dengan marah.....Rumah Keluarga Pratama.Yoana memegang ponselnya dengan wajah penuh kebencian. "Nggak berguna! Kalau kalian langsung minta, tentu saja dia nggak akan menyerahkan perusahaannya. Kenapa kalian nggak mencoba mengancamnya?""Kak Yoana, kami nggak punya bukti apa pun untuk menekan Eleanor. Kami benar-benar nggak punya cara untuk mengancamnya ....""Dasar nggak berguna!""Tapi, Kak Yoana, tadi malam ayahku bilang dia mendengar suara anak kecil di dekat Eleanor.""Suara anak kecil?" Yoana menyipitkan matanya. "Kamu bilang Eleanor punya ana
"Ibu, kamu nggak tahu seberapa keterlaluan Bibi Bella. Saat itu aku takut mati, mana mungkin sempat pikirin hidup dan matinya lagi. Dia malah nyalahin aku." Yoana memanyunkan bibirnya dengan kesal.Alicia menggeleng dengan pasrah dan menoyor dahi Yoana. "Kamu ini otak udang. Eleanor saja bisa menyelamatkan dia untuk mendapat simpatinya. Kalau kamu melayaninya dengan baik, dia pasti bakal maafin kamu. Lagian, kamu bakal nikah sama anaknya. Dia nggak mungkin benaran marah sama kamu.""Benaran?""Tentu saja. Sebelum nikah sama Jeremy, kamu harus lebih sabar. Nanti kalau sudah menjadi bagian Keluarga Adrian, baru kamu mainkan strategimu."Yoana tersenyum dan bersandar di pelukan Alicia. Tatapannya dipenuhi ambisi. "Oke, Ibu. Aku ngerti sekarang."Begitu dia menikah dengan Jeremy, dia akan membalas semua orang yang pernah bersikap lancang padanya!....Malam ini adalah hari pengobatan Jeremy. Eleanor merasa tidak tenang jika meninggalkan Daniel sendirian di rumah, jadi dia mengantar Daniel
Eleanor tidak bisa menahan diri untuk menelan ludah saat melihat tatapan tajam yang mengerikan itu. 'Sudahlah, lebih baik jangan membuat Jeremy marah.'"Mau pelihara pria? Heh." Jeremy tersenyum dingin. Dia terlihat santai, padahal emosinya bergolak. Wanita ini memikirkan pria lain setiap hari. Pelihara pria, hebat sekali!"Mama, apa itu pelihara pria?" tanya Harry yang berdiri di samping mereka dengan penasaran.Eleanor menarik sudut bibirnya, menyesal karena sudah berbicara sembarangan hanya untuk membuat Jeremy kesal."Bukan apa-apa, cuma bercanda," sahut Eleanor untuk mengelabui Harry.Eleanor tidak ingin melanjutkan topik pembicaraan itu lagi. Dia mengeluarkan jarumnya, lalu memberi isyarat kepada Jeremy untuk berbaring.Setelah pengobatan selesai, wajah Jeremy masih terlihat suram. Eleanor tidak peduli. Dia hanya fokus pada perawatan, bukan mengurus perasaan Jeremy.Eleanor merapikan barang-barangnya dan berdiri. Harry memandangnya dengan enggan. "Mama, kamu sudah mau pulang?"El
Eleanor langsung mengernyit. Kemudian, dia bertanya dengan cemas, "Terus, sekarang kalian ada di mana?""Aku baru saja antar Daniel pulang. Kami baru saja masuk rumah, mereka sudah datang. Bi Tarimi nggak tahu siapa mereka, jadi dia langsung bukain pintu. Sekarang mereka sedang berdebat di pintu."Eleanor menggenggam ponselnya erat-erat. "Mereka benaran nggak ada habisnya ya.""Aku rasa mereka datang bukan karena masalah perusahaan. Mereka nggak menyebutkan tentang perusahaan, tapi terus ingin masuk ke rumahmu. Sepertinya mereka mencari sesuatu. Sekarang aku dan Daniel sembunyi di kamarmu. Kami nggak berani keluar."Nama Daniel membuat Eleanor harus lebih berhati-hati agar tidak terdengar oleh Jeremy. Di dalam mobil yang sunyi ini, percakapan telepon sangat mudah didengar. Untungnya, Vivi merendahkan suaranya.Eleanor menarik napas dalam-dalam. Dia teringat semalam Daniel tidak berbicara dan terdengar oleh Robert. Mereka pasti datang untuk memastikan apakah dia punya anak atau tidak.T
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in