Saat itu, seseorang kebetulan keluar dari toilet. Jeremy ragu sejenak, lalu maju dan bertanya, "Di dalam masih ada berapa orang?"Gadis itu terpaku sesaat. Matanya berbinar menatap wajah Jeremy. Dengan terbata-bata, dia menjawab, "Sepertinya ... masih ada dua orang. Salah satunya tadi jatuh ...."Tanpa banyak bicara, Jeremy melangkah masuk.Di dalam toilet, hanya ada Eleanor dan seorang gadis lain yang sedang membantunya berdiri. Jeremy berjalan mendekat, meraih lengan Eleanor dan mengangkatnya. Gadis yang tadi membantu Eleanor kaget melihat pria tiba-tiba masuk.Eleanor yang saat itu mabuk berat mengangkat kepalanya. Rambutnya yang berantakan menutupi sebagian wajahnya, sementara wajah cantiknya tampak memerah.Dia membuka matanya yang tampak mabuk dan menatap Jeremy dengan samar-samar, seolah-olah tidak mengenalinya. Mungkin juga karena dia tidak percaya Jeremy akan muncul di kamar mandi wanita. Eleanor langsung waspada dan mendorongnya menjauh."Kamu siapa? Jangan sentuh aku ...."M
Paling disayang!Jelas itu nama seorang pria.Wajah Jeremy yang baru saja sedikit tenang kembali berubah menjadi muram. Dia paling dibenci, tapi Eleanor paling menyayangi pria bernama Harry!Bagus! Ada Daniel, ada Harry. Berapa banyak pria sebenarnya yang ada di sekitar wanita ini?Toilet menjadi sunyi. Jeremy benar-benar ingin mencekik wanita ini.Melihat Eleanor bersandar di dinding dan perlahan meluncur ke bawah, Jeremy sama sekali tidak berniat membantunya. Biar saja pria yang paling dia sayangi, Harry, yang mengurusnya!Saat Jeremy sedang kesal, suara langkah kaki terdengar dari luar. Beberapa wanita masuk ke toilet sambil bercanda dan tertawa. Jeremy mengerutkan alis. Dia sama sekali tidak ingin disangka orang aneh.Mendengar langkah kaki semakin mendekat, Jeremy mengumpat pelan, lalu segera mengangkat Eleanor dan membawanya masuk ke salah satu bilik.Para wanita itu bercermin di wastafel sambil mengobrol santai.Di dalam bilik, Eleanor yang tidak nyaman dipeluk mulai meronta-ron
Harry terkejut dan langsung mendongak memandang Jeremy dengan penuh ketidakpercayaan.Apa? Dia mau menyelidikiku? Kenapa? Kenapa Jeremy tiba-tiba ingin menyelidikinya? Dan bagaimana Jeremy bisa tahu namanya?Keringat dingin mengalir di punggung Harry."Ya, cari informasi tentang dia, laporkan semuanya dengan detail. Juga cari tahu apa yang Eleanor lakukan tadi malam dan siapa yang dia temui." Setelah berkata demikian, Jeremy langsung menutup telepon.Harry yang melihat wajah Jeremy yang penuh amarah, bertanya dengan hati-hati, "Papa, kenapa kamu mau selidiki orang itu?"Jeremy menggertakkan giginya. "Karena dia adalah selingkuhan ibumu!"Wajah mungil Harry tampak tak percaya. "Papa, kamu ... yakin?""Dia sendiri yang mengatakannya," jawab Jeremy dengan geram.Harry hampir tertawa. Dia benar-benar ingin memberi tahu Jeremy bahwa dirinya ini adalah Harry yang disebut selingkuhan itu. Dia penasaran seperti apa ekspresi Jeremy kalau mengetahuinya.Mobil itu segera tiba di vila Keluarga Adr
"Apa maksudmu aku yang melakukannya?" Eleanor mengerutkan alis saat melihat ekspresi Jeremy yang penuh amarah."Sebaiknya memang bukan," jawab Jeremy dingin sebelum berbalik dan berjalan keluar ruangan.Eleanor melirik jam di dinding. Pada jam seperti ini, Harry seharusnya sudah diantar ke sekolah. Dia tidak berniat tinggal lebih lama di sini. Eleanor turun ke lantai bawah dan hendak pergi. Namun saat sampai di pintu, para pengawal Jeremy mengadangnya."Kenapa kalian halangi aku?" tanyanya dengan nada marah."Maaf, Nona Eleanor. Tuan Jeremy bilang Anda nggak boleh pergi sebelum dia kembali," kata salah satu pengawal dengan ekspresi datar."Atas dasar apa?" Eleanor merasa amarahnya memuncak."Itu perintah Tuan. Kalau dia bilang Anda nggak boleh pergi, berarti Anda nggak boleh pergi," jawab pengawal itu dengan nada tegas seperti biasanya.Eleanor tahu bahwa para pengawal Jeremy hanya patuh pada perintahnya. Jika Jeremy mengatakan dia tidak boleh pergi, pengawal-pengawal ini bahkan mungki
Eleanor memutuskan untuk diam. Ketika Jeremy sudah memutuskan untuk menyalahkannya, apa pun yang dia katakan hanya akan dianggap sebagai alasan. Apa lagi yang bisa dia katakan? Eleanor menundukkan kepala, tersenyum pahit, lalu menggeleng pelan.Keheningan Eleanor membuat Jeremy semakin frustrasi. "Nggak ada yang mau dikatakan?""Kalau begitu biar aku yang bicara. Yoana terluka parah dan sulit berjalan, lalu ada yang membuangnya ke tempat terpencil tanpa sinyal. Kehilangan darah terlalu banyak bisa membunuhnya dan kamu tahu itu. Kalau dia nggak menemukan sinyal semalam, dia bisa mati di sana. Eleanor, apa kamu benar-benar berniat menghabisinya?"Ketika Jeremy menemukannya, Yoana sudah tergeletak di tanah. Malam penuh ketakutan ditambah dengan luka yang terinfeksi, membuatnya demam tinggi. Dokter bahkan mengatakan, jika terlambat sedikit saja, akibatnya akan fatal.Jelas, niat pelakunya adalah membunuh Yoana.Yoana juga mengatakan bahwa dia sempat bertengkar dengan Eleanor sebelum diculi
Alicia mendengus keras, lalu melepaskan tangan Patrick dan melangkah cepat masuk ke kamar.Patrick menatap mereka berdua sejenak. Pandangannya penuh kebencian sebelum akhirnya tertuju pada Eleanor. Dia menatap Eleanor dengan dingin selama beberapa detik, lalu berbalik masuk ke kamar.Eleanor tetap menundukkan kepala tanpa ekspresi dan dengan cepat menghapus air mata yang jatuh dari sudut matanya. Jeremy mengerutkan alis. Dia melihat Eleanor, tetapi tidak mengatakan apa pun, lalu berbalik menuju kamar.Di dalam kamar, luka-luka Yoana sudah selesai dirawat. Meski begitu, dia masih demam dan terlihat sangat lemah. Dia bersandar di pelukan Alicia sambil menangis pelan."Ibu, aku benar-benar kesakitan. Aku takut sekali. Aku nggak bisa keluar dari sana. Aku benar-benar pikir aku akan mati ...." Yoana menangis sambil gemetaran.Alicia memeluk putrinya dengan penuh kasih, matanya ikut memerah. "Ibu tahu, Yoana. Jangan khawatir, siapa pun yang telah menyakitimu nggak akan lolos begitu saja. Dia
"Charlie?" Eleanor berkedip dan berjalan ke arah Charlie tanpa ragu. Namun, dalam sekejap, tubuh tinggi Jeremy berdiri di depan dan menghalangi jalannya. Langkah Eleanor terhenti.Alicia dan Patrick juga segera keluar dari kamar. Alicia menatap dengan ekspresi tak percaya. Bisa-bisanya ada orang yang berani menerobos ke rumah Keluarga Adrian? Apa orang ini sudah bosan hidup?Tatapan Charlie yang tajam dan dingin tertuju pada Jeremy dan wajahnya sarat akan niat membunuh. "Akulah yang menculik Yoana. Eleanor sama sekali nggak tahu apa-apa. Kalau mau balas dendam, datanglah padaku."Eleanor tertegun sejenak. Yoana ternyata diculik oleh Charlie!Wajah Jeremy berubah gelap seketika.Mendengar hal itu, Alicia melangkah maju dengan marah. "Kamu? Kenapa kamu melukai putriku? Apa salahnya padamu?""Dia tahu apa yang dia lakukan," jawab Charlie dingin. "Kalian seharusnya berterima kasih aku nggak langsung mengirimnya ke neraka."Aura Charlie begitu menakutkan hingga Alicia merasa tertekan, kata-
Ekspresi Yoana seketika wajah. "Bukan begitu, Jeremy. Waktu itu aku cuma terlalu emosi, jadi aku mengatakan hal-hal seperti itu.""Apa yang dia lakukan sampai membuatmu marah?" Jeremy menatapnya dengan dingin. "Berdiri di pinggir jalan sampai membuatmu marah? Atau karena dia nggak berdiri diam supaya bisa kamu tabrak, itu yang membuatmu marah?""Bukan aku yang mau menabraknya. Waktu itu Tiara nggak sengaja memutar setir, jadi hampir menabrak Bu Eleanor. Kami juga sangat menyesalinya," jawab Yoana dengan munafik.Tidak sengaja, hampir, menyesal."Oh ya? Aku nggak melihat sedikit pun penyesalan." Jeremy melemparkan tablet kepada Andy di sampingnya dengan dingin.Rekaman itu menunjukkan dengan jelas niat mobil tersebut. Wajah Yoana dan Tiara saat turun dari mobil penuh dengan penyesalan karena tidak berhasil mengenai Eleanor. Seolah-olah mereka ingin menuliskan "Sayang sekali tidak kena" di wajah mereka.Yoana mengepalkan tangannya erat-erat, hingga hampir membuat telapak tangannya berdar
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in