Yoana memandang Jeremy dengan mata bergetar, menahan rasa terhina dan ingin berbicara tetapi tak mampu mengatakannya."Ngomong apa lagi?" Jeremy bertanya dingin, memberi isyarat agar Yoana melanjutkan perkataannya.Yoana menggigit bibirnya dengan penuh rasa sakit dan berlinang air mata. "Awalnya Bibi berpikir dua triliun yang kamu berikan untuk Eleanor dalam perjanjian cerai terlalu banyak, jadi dia ingin bernegosiasi dengannya.""Tapi, Eleanor bilang dia bisa menyerahkan dua triliun itu, asalkan kami berdua berlutut di depannya sambil berteriak sepuluh kali ... 'Aku selingkuh, aku pelakor, kami nggak tahu malu.' Kalau itu dilakukan, dia nggak akan meminta uang itu.""Kemudian, Eleanor bilang kamu harus keluar dari rumah tanpa membawa sepeser pun. Bukankah semua itu keterlaluan? Bibi nggak tahan mendengarnya, makanya dia mengejar Eleanor dan akhirnya terjadi kecelakaan."Setelah mendengar itu, Jeremy mengerutkan alisnya dan menatap Eleanor. "Kamu bilang begitu?""Ya." Eleanor menganggu
Jeremy menatap Bella yang terbaring di tempat tidur dengan tatapan yang semakin dalam. Dia memerintahkan perawat untuk menjaga Bella dengan baik, lalu keluar dari kamar rumah sakit.Andy baru saja selesai menerima telepon, wajahnya yang biasanya serius kini tampak sedikit bersemangat. Dia berjalan mendekati Jeremy dan berkata, "Bos, Tuan Daniel sudah ditemukan.""Daniel suah ditemukan?" Jeremy mengerutkan alisnya, bertanya dengan penuh keraguan."Ya, Bos.""Di mana?""Seorang pelayan kebetulan bertemu Tuan Daniel yang sedang berjalan-jalan sendirian di luar, jadi dia langsung membawanya pulang."Andy menyampaikan informasi itu seperti yang baru saja diterimanya. Setelah mendengar penjelasan tersebut, mata Jeremy sedikit menyipit.Berjalan-jalan sendirian di luar? Artinya, Eleanor tidak benar-benar mengirim anak itu pergi? Bahkan dia tidak mengawasi anak itu dengan baik sampai seorang bocah lima tahun berkeliaran sendirian?Memikirkan hal ini, alis Jeremy berkerut semakin dalam.Sementa
"Aku ... mau bawa Daniel pulang.""Kamu rasa ibu sepertimu pantas membawanya pulang?"Suasana seketika menjadi menegangkan. Eleanor bertatapan dengan Jeremy, lalu menarik napas dalam-dalam karena tidak ingin berdebat.Keduanya sama-sama masuk. Jeremy melirik wanita di sampingnya sambil mengangkat alis. Eleanor seperti tamu yang sudah sering datang saja.Di ruang tamu, Harry menahan diri supaya terlihat seperti Daniel. Dia duduk dengan tenang, selalu memasang ekspresi dingin.Ketika melihat Jeremy dan Eleanor masuk, Harry sangat senang. Dia hampir melompat kegirangan, bahkan ingin meminta pelukan dari Eleanor. Namun, langkah kakinya sontak terhenti. Dia harus ingat bahwa dirinya adalah Daniel sekarang.Eleanor juga kaget melihat tingkah Harry. Kalau sampai Harry melemparkan diri ke pelukannya tadi, Jeremy pasti akan curiga.Eleanor tidak yakin Jeremy curiga atau tidak, tetapi harus diakui bahwa Harry sangat cerdas. Dia tahu bagian belakang kepala Daniel terluka dan diperban, jadi dia ju
Begitu mendengarnya, jantung Eleanor serasa hampir copot. 'Nak, aku lebih baik mati kelaparan. Ngapain kamu melawan Jeremy?'Jeremy melirik Harry. "Dia mencampakkanmu, tapi kamu masih membelanya? Dasar nggak tahu terima kasih.""Mama sangat baik.""Kamu cuma ikut dia sehari, tapi sudah yakin dia baik? Kamu disihirnya ya?""Mama memang baik." Harry bersikeras.Jeremy tertawa saking kesalnya. Dia mengambil sendoknya sambil berujar, "Kamu panggil saja dia. Jangan harap aku panggil."Begitu mendengarnya, Harry menyingkirkan kekesalan pada wajahnya. Dia segera berlari ke depan Eleanor, lalu menariknya ke ruang makan.Eleanor bertatapan dengan Harry. Tatapannya itu seperti mengeluhkan tindakan Harry. Namun, dia tetap berkata, "Daniel, kamu makan saja. Nggak usah pedulikan aku."Harry yakin ibunya marah, tetapi ibunya tidak akan berani mengamuk di sini karena ada Jeremy. Setidaknya, nyawanya masih terselamatkan.Harry pun memasang ekspresi masam, lalu mengeluh, "Mama, aku capek sekali bujuk s
Harry terkekeh-kekeh. "Jangan marah, Mama. Aku nggak bakal mengulanginya lagi kok.""Kamu cuma bisa bicara begini setiap kali. Kamu nggak pernah berdiskusi denganku. Kamu saja yang jadi ibuku.""Aku janji nggak bakal lagi, Mama. Ampuni aku ....""Ya sudah, nanti baru kuberi kamu pelajaran di rumah. Aku akan cari cara untuk membawamu pergi."Ketika Jeremy kembali, Eleanor segera duduk dengan tegak, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Harry juga terlihat seperti aktor profesional. Dia makan dengan santai tanpa terlihat panik sedikit pun.Jeremy melirik keduanya. Saat melihat semuanya normal, dia lanjut makan dengan tenang. Suasana seolah-olah menjadi harmonis.Namun, pembantu tiba-tiba mendorong Yoana masuk. Di rumah sakit, Yoana sudah curiga melihat Jeremy pergi dengan terburu-buru.Alhasil, begitu masuk, Yoana melihat Daniel. Bukankah Eleanor sudah membawanya pergi? Kenapa malah kembali lagi?Yoana yakin Eleanor ingin memanfaatkan anak itu untuk kembali ke sisi Jeremy. Dia sungguh murk
Gawat!Harry langsung bersembunyi di dalam kamar. Dia hanya bisa berdoa untuk keselamatan ibunya.Eleanor menggertakkan giginya, lalu memaksakan senyuman. Dia menatap Jeremy sambil bertanya, "Kok kamu bisa tahu?""Anak kecil pun tahu apa yang ada di pikiranmu."Menyebalkan! Sejak kapan Jeremy begitu memahaminya?"Kamu mau keluar sendiri atau kulempar?" tanya Jeremy dengan dingin sambil menatapnya dengan ekspresi datar.Eleanor tidak bisa berkata-kata. Suasana menjadi suram. Dia tidak mungkin bisa membawa anaknya pergi lagi sekarang.Ketika Eleanor sedang dilema, tiba-tiba ponselnya berdering. Dia mengambilnya, lalu melihat pesan dari Harry.[ Mama, kamu pergi saja. Nggak usah pedulikan aku. Aku pasti aman di sini. Tenang saja. ]Eleanor menyimpan ponselnya kembali. Setelah merenung sejenak, dia mendongak dan menatap Jeremy, lalu berucap dengan kecewa, "Aku pergi sendiri."Usai berbicara, Eleanor perlahan-lahan berjalan pergi. Setelah berjalan agak jauh, dia menoleh dan bertemu pandang
Harry menggembungkan pipinya. Ayah dan ibunya sama saja, selalu mengatakan kalimat ini. Dia sudah berusia 5 tahun. Siapa bilang masih kecil?"Kalau begitu, beri tahu aku di mana ayah kandungku," ujar Harry tiba-tiba sambil mencondongkan badannya.Jeremy meliriknya sekilas, lalu bertanya dengan ekspresi kesal, "Ngapain tanya soal ini?""Aku penasaran. Menurutmu, ayah kandungku tahu keberadaanku nggak? Gimana reaksinya kalau tahu? Apa aku harus ikut ayah kandungku?"Alis Jeremy berkerut. Dia makin kesal. "Siapa yang mengizinkanmu ikut pria berengsek itu?""Berengsek? Ayah kandungku berengsek?"Jeremy menyahut dengan sungguh-sungguh, "Ya."Harry hampir tergelak. Saking bersemangatnya, dia berdiri di atas kursi dan menatap mata Jeremy sambil bertanya, "Kenapa bicara begitu?"Karena pria itu tidak tahu diri, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Eleanor berada di bawah pengaruh obat, tetapi pria itu tidak. Dia malah menodai Eleanor.Tentunya, Jeremy tidak akan mengatakan hal seperti itu di
Andy termangu sejenak sebelum bertanya, "Kalau begitu, Bu Yoana akan tidur di kamar tamu atau ...." Kamarmu?Jeremy langsung melirik dengan dingin. "Kamar tamu."Andy buru-buru mengangguk. "Baik."Begitu mendengar kabar bahwa Jeremy menyuruhnya menginap, Yoana pun sangat senang. "Serius? Remy benaran bicara begitu?"Andy mengangguk. "Ya, Bu. Bos yang menyuruhmu menginap."Yoana tentu sangat gembira. Itu artinya, hubungannya dengan Jeremy tidak memburuk karena masalah Eleanor.Wajah Yoana berseri-seri. Benar juga, memangnya siapa Eleanor? Kelak, Yoana yang akan menjadi istri Jeremy. Jeremy begitu menyayanginya. Hubungan mereka tidak mungkin retak hanya karena Eleanor."Oke, aku sudah tahu."Ketika melihat Yoana yang begitu senang, Andy hanya bisa diam-diam menggeleng dan tersenyum dingin. Wanita ini masih tidak tahu apa yang akan dihadapinya nanti.....Keesokan hari, Harry bangun pagi-pagi sekali. Ini karena Jeremy bilang akan menghukum orang-orang yang telah melukai kakaknya.Jeremy m
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in