Harry menggembungkan pipinya. Ayah dan ibunya sama saja, selalu mengatakan kalimat ini. Dia sudah berusia 5 tahun. Siapa bilang masih kecil?"Kalau begitu, beri tahu aku di mana ayah kandungku," ujar Harry tiba-tiba sambil mencondongkan badannya.Jeremy meliriknya sekilas, lalu bertanya dengan ekspresi kesal, "Ngapain tanya soal ini?""Aku penasaran. Menurutmu, ayah kandungku tahu keberadaanku nggak? Gimana reaksinya kalau tahu? Apa aku harus ikut ayah kandungku?"Alis Jeremy berkerut. Dia makin kesal. "Siapa yang mengizinkanmu ikut pria berengsek itu?""Berengsek? Ayah kandungku berengsek?"Jeremy menyahut dengan sungguh-sungguh, "Ya."Harry hampir tergelak. Saking bersemangatnya, dia berdiri di atas kursi dan menatap mata Jeremy sambil bertanya, "Kenapa bicara begitu?"Karena pria itu tidak tahu diri, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Eleanor berada di bawah pengaruh obat, tetapi pria itu tidak. Dia malah menodai Eleanor.Tentunya, Jeremy tidak akan mengatakan hal seperti itu di
Andy termangu sejenak sebelum bertanya, "Kalau begitu, Bu Yoana akan tidur di kamar tamu atau ...." Kamarmu?Jeremy langsung melirik dengan dingin. "Kamar tamu."Andy buru-buru mengangguk. "Baik."Begitu mendengar kabar bahwa Jeremy menyuruhnya menginap, Yoana pun sangat senang. "Serius? Remy benaran bicara begitu?"Andy mengangguk. "Ya, Bu. Bos yang menyuruhmu menginap."Yoana tentu sangat gembira. Itu artinya, hubungannya dengan Jeremy tidak memburuk karena masalah Eleanor.Wajah Yoana berseri-seri. Benar juga, memangnya siapa Eleanor? Kelak, Yoana yang akan menjadi istri Jeremy. Jeremy begitu menyayanginya. Hubungan mereka tidak mungkin retak hanya karena Eleanor."Oke, aku sudah tahu."Ketika melihat Yoana yang begitu senang, Andy hanya bisa diam-diam menggeleng dan tersenyum dingin. Wanita ini masih tidak tahu apa yang akan dihadapinya nanti.....Keesokan hari, Harry bangun pagi-pagi sekali. Ini karena Jeremy bilang akan menghukum orang-orang yang telah melukai kakaknya.Jeremy m
Yoana tahu Jeremy benar-benar marah kali ini. Dia ketakutan hingga kakinya melemas. Tanpa sempat peduli pada cederanya lagi, dia berlutut."Aku ... Remy ... aku sudah tahu salah. Daniel nggak menyukaiku. Dia sering melawanku. Aku melukainya karena terlalu marah. Tapi, aku benaran nggak sengaja. Kamu juga tahu aku pernah hampir menjadi ibu.""Setiap kali melihat Daniel, aku akan teringat pada anakku itu. Kadang dia nakal, jadi aku memberinya hukuman ringan. Aku juga nggak tega menyakitinya. Hukuman yang kamu bilang itu dari ibumu. Bibi sangat ketat. Kadang Daniel memang bandel. Semua ini juga demi kebaikannya."Yoana menangis dengan sangat sedih. Dia sengaja mengungkit anaknya yang telah tiada itu untuk memperingatkan Jeremy. Dia seharusnya punya anak, tetapi anaknya malah meninggal karena ibu Daniel yang kejam itu.Selain itu, dia tidak lupa melibatkan Bella dalam masalah ini. Tidak semua yang dikatakannya salah. Memang Bella yang menghukum Daniel berlutut dan menyalin. Yoana tidak aka
"Ka ... kamu mau gimana lagi?" Suara Yoana terdengar bergetar. Dia tahu sekejam apa Jeremy. Dia tentu takut pada Jeremy.Dengan ekspresi datar, Jeremy menyahut, "Anakmu nggak ada kaitannya dengan masalah ini. Kamu nggak seharusnya melampiaskan amarahmu pada anak kecil. Dia nggak melakukan kesalahan apa pun."Yoana hanya bisa menatap Jeremy dengan ekspresi sedih. Jelas sekali, Jeremy ingin memberi keadilan kepada anak haram itu.Yoana menggertakkan giginya, lalu berkata, "Oke, aku salah. Aku seharusnya dihukum. Apa 20 cambukan sudah cukup?"Yoana menggigit bibirnya dengan kuat dan mengangkat tangan untuk menyeka air matanya. Ekspresinya dipenuhi keengganan.Meskipun Jeremy tidak mencintainya, Yoana yakin Jeremy tidak akan tega padanya. Jeremy tidak mungkin benar-benar memukulnya. Dia berkata demikian hanya supaya Jeremy tahu dirinya sudah menyesali perbuatannya.Saat berikutnya, Jeremy malah mengangkat tangannya untuk menyuruh pengawal maju. Pengawal segera menghampiri Yoana dengan meme
Jeremy tidak punya selera makan. Setelah menyuruh orang mengantar Harry ke sekolah, dia langsung berangkat ke perusahaan.Andy yang duduk di depan menerima panggilan. Kemudian, dia menoleh dan melapor, "Bos, pihak rumah sakit bilang Bu Bella sudah siuman. Dia mau bertemu denganmu."Jeremy memijat pelipisnya. "Suruh dia istirahat baik-baik. Beri tahu dia soal kejadian pagi tadi. Suruh dia opname dua bulan lagi. Setelah sikapnya kepada Daniel berubah, dia baru boleh pulang. Kalau nggak, suruh dia rayakan tahun baru di rumah sakit saja."Ekspresi Andy tampak tidak karuan. Memangnya ada orang yang sekejam ini pada ibu kandung?"Baik."....Setibanya di sekolah, Harry berjalan masuk sambil menelepon Eleanor untuk menceritakan semua yang terjadi pagi ini.Eleanor cukup terkejut. Jeremy menghukum Yoana demi Daniel? Ini sungguh di luar dugaan Eleanor. Apa Daniel sepenting itu bagi Jeremy? Bukannya Yoana adalah yang terpenting baginya? Bagaimana bisa dia tega mencambuk Yoana? Kini, Eleanor bena
Vivi duduk, lalu bertanya dengan serius, "Apa maksudmu?""Aku rasa semua berjalan terlalu lancar. Keysha nggak seharusnya menolak kerja sama dengan Grup Pratama dan menerima kita cuma karena kalian saling kenal."Begitu mendengarnya, ekspresi Vivi menjadi agak masam. Yang dikatakan Eleanor masuk akal.Eleanor mengernyit. "Nggak ada salahnya kalau lebih waspada. Yoana dan Tiara menganggap Grup Stelea sebagai musuh besar. Mereka nggak bakal membiarkan kita mencapai tujuan kita.""Ya, aku ngerti. Besok aku akan lebih hati-hati.""Hm." Eleanor mengangguk. "Oh ya, malam ini makan di rumahku yuk.""Oke, aku juga sudah lama nggak lihat Harry."Ketika membahas Harry, Eleanor menopang dagunya dan berujar, "Cuma kita berdua. Harry lagi di rumah Jeremy.""Apa?" Vivi yang hendak keluar sontak berbalik dan berdiri di hadapan Eleanor. "Harry dibawa pergi Jeremy? Apa yang terjadi?""Bukan begitu, Harry pergi sendiri ...." Eleanor menceritakan semua yang terjadi semalam.Vivi pun mengacungkan jempol u
Ketika jarak di antara keduanya tersisa sekitar dua atau tiga meter, Jeremy berhenti dan bertanya dengan alis berkerut, "Kamu mau gimana?""Aku mau Mama yang mengganti perbanku. Bawa aku ke tempat Mama. Aku nggak suka dokter. Aku mau Mama."Jeremy merasa Daniel terlalu menyukai Eleanor. Padahal, mereka baru berinteraksi sehari. Dia lantas menolak, "Nggak bisa."Tidak ada cara lain. Jika perban ini dibuka dan mereka tidak melihat luka apa pun, bukankah mereka akan kaget setengah mati?Ketika melihat Harry masih bersikeras, Jeremy pun tidak memanjakannya. Dia hanya melontarkan kalimat pendek sebelum pergi, "Kalau sudah tenang, turun sendiri."Dengan demikian, ruang tamu sunyi senyap. Yang satu duduk di sofa, yang satu duduk di jendela. Keduanya tidak saling menghiraukan.Bastian dan Danuar terus melirik keduanya. Tiba-tiba, Bastian meraih lengan baju Danuar. "Hei, kamu nggak rasa sifat mereka mirip?"Danuar menyunggingkan bibirnya. "Aku sudah menyadarinya sejak awal."Sejam kemudian, Jer
Eleanor melirik meja sekilas. Dia tidak mungkin mengatakan tadi memang ada orang, tetapi orang itu kabur setelah mendengar kamu akan datang.Lagi pula, Eleanor tidak peduli pada pendapat Jeremy. Dia langsung mengangguk. "Ya."Jeremy terkekeh-kekeh sinis. "Kalau begitu, maaf sudah mengganggu kalian. Daniel, kita pergi dari sini."Usai berbicara, Jeremy hendak menarik Daniel pergi. Harry bergegas memeluk kaki Eleanor dan menatap Jeremy dengan ekspresi penuh penolakan. Dia akhirnya bisa pulang. Dia tidak mungkin pergi dari sini.Jeremy melirik anak kecil yang memeluk kaki Eleanor dengan erat. Karena tidak berdaya, dia hanya bisa menggerutu dengan suara rendah, "Seperti wanita saja."Ketika melihat Jeremy hendak membawa Harry pergi, Eleanor segera berkata, "Nggak apa-apa. Karena kalian sudah datang, kita makan bersama saja. Aku bisa buat janji dengannya di lain hari."Lagi pula, Vivi sudah kabur karena takut pada Jeremy. Eleanor tidak mungkin bisa menghabiskan makanan sebanyak ini. Dia tid
Eleanor menopang lututnya untuk berdiri. Wajahnya pucat tetapi penuh tekad. "Nggak ada waktu lagi, ayo pergi."Melihat betapa keras kepalanya Eleanor, Vivi hanya bisa menurut dan segera membantu Eleanor masuk ke mobil.Sementara itu, Tarimi masih terlihat syok, tubuhnya gemetar dan tidak mampu bergerak. Melihat hal ini, Eleanor tidak terlalu banyak bicara. Dia hanya menyuruh Tarimi untuk tetap di sana karena tidak akan ada lagi bahaya.Di dalam mobil hitam yang melaju, seorang pria sedang mengemudi, sementara pria lainnya menjaga Daniel dengan erat. Namun, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyakiti anak itu. Sebaliknya, pria yang menjaga Daniel berbicara dengan nada hormat, "Tuan Muda, jangan khawatir. Tuan Besar memerintahkan kami untuk menjemput Anda pulang."Seperti anak singa kecil yang marah, Daniel terus memukul dan menendang mereka. Dia tidak peduli apa pun yang mereka katakan dan hanya terfokus pada apa yang baru saja terjadi. Yang ada di pikirannya hanyalah orang-oran
Saat baru saja bertarung dengan pria berbaju hitam itu, dalam sekejap Eleanor menyadari bahwa pria itu bukan orang biasa. Kemampuan bertarung pria itu jauh di atasnya.Namun, Eleanor tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Yang paling penting sekarang adalah menyelamatkan Daniel. Dia menerima pukulan di bahunya, tetapi berhasil merebut kembali anaknya dari pria itu.Namun, masalah belum selesai. Dua pria berbaju hitam lainnya keluar dari mobil hitam yang terparkir di dekat mereka."Eleanor, hati-hati!" Vivi menjerit ketakutan.Eleanor menajamkan tatapannya. Salah satu pria itu menghunus pisau dan menyerang dari belakang. Dengan Daniel yang berada di pelukannya, gerakan Eleanor sangat terbatas. Tidak ada ruang baginya untuk menghindar.Dia hanya bisa memeluk anaknya erat-erat dan menerima serangan itu. Pisau itu melukai punggungnya dan meninggalkan luka panjang. Eleanor mengerang kesakitan, wajahnya seketika pucat pasi."Mama!" teriak Daniel dengan ketakutan."Nggak apa-apa, jangan
"Kalau begitu kasih tahu aku dong. Kalau Papa sudah bilang, aku nggak akan bertanya lagi.""Itu urusan orang dewasa. Anak kecil jangan ikut campur," jawab Jeremy."Hmph! Mama dulu juga sering bilang begitu. Kalian orang dewasa memang sama saja," Harry merajuk dan bersandar di kursinya dengan ekspresi kesal.Tatapan Jeremy menjadi lebih dalam saat mendengar perkataan Harry. Melihat hal itu, Harry buru-buru menutup mulutnya dan berkata, "Maksudku, Mama pernah bilang begitu sebelumnya ...."Jeremy menatap Harry yang tampak gugup setelah salah bicara, lalu tersenyum tipis. "Nggak usah pura-pura lagi. Kamu bukan Daniel, kamu Harry."Mata Harry membelalak lebar. "Papa tahu dari mana .... Papa pasti sudah tahu semuanya, ya?""Ya," jawab Jeremy dengan tenang."Kalau begitu ... kalau begitu ...." Harry mulai gugup hingga bicaranya tergagap."Jangan khawatir, aku nggak akan memarahimu. Kalau kamu mau, kamu bisa terus menganggapku sebagai Papa-mu," kata Jeremy lembut.Setelah identitasnya terbong
Setelah menemukan tempat yang sepi, Glenn memulai pembicaraan, "Lama nggak jumpa." Kemudian, dia menatap Eleanor sejenak dan bertanya, "Kamu hamil?"Vivi buru-buru menjelaskan, "Nggak, nggak. Waktu itu situasinya mendesak, jadi aku asal teriak saja."Glenn tersenyum tipis. "Oh, begitu."Vivi mengangguk cepat. "Iya, iya."Melihat Vivi yang menatap Glenn sampai hampir kehilangan kontrol, Eleanor memijat pelipisnya dan berkata, "Kita ada urusan penting, ingat?""Oh iya, urusan penting," Vivi menyadari kekeliruannya, lalu tertawa canggung dan memulai pembicaraan tentang pekerjaan.Yang mengejutkan, Glenn langsung menjawab dengan santai, "Baik.""Baik?" Vivi nyaris tersedak. "Kamu setuju secepat itu?"Kecepatan Glenn menjawab membuat Vivi merasa seolah semuanya terlalu mudah."Ya," Glenn mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya kepada Eleanor. "Karena kita sekarang bekerja sama, rasanya nggak berlebihan untuk meminta nomor kontakmu, 'kan, Bos?"Eleanor mengambil ponselnya d
Jeremy langsung pergi tanpa menoleh lagi.Eleanor menghela napas panjang dan ekspresinya menjadi muram. Dia duduk di ruang tamu untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berdiri dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.Tak lama kemudian, Tarimi kembali bersama Daniel. Melihat hari sudah cukup sore, Eleanor memutuskan untuk tidak pergi ke kantor dan memilih menghabiskan waktu di rumah bersama anaknya.Di bandara.Keesokan paginya, Eleanor dibangunkan oleh Vivi yang penuh semangat dan menyeretnya ke bandara.Hari ini Glenn kembali ke negara asal untuk pembicaraan mengenai kontrak endorse. Mereka sudah berusaha keras untuk mendapatkan kesempatan ini. Meskipun sudah mempersiapkan diri, pemandangan di bandara tetap membuat mereka terkejut.Kerumunan penggemar yang memenuhi tempat itu terlalu ramai."Glenn! Ahhh, dia ganteng banget!""Sayang! Sayang! Di sini, lihat ke sini!""Glenn, kamu yang paling tampan! Aku mencintaimu!"Vivi yang awalnya sangat bersemangat untuk bertemu selebrita
"Ibu, aku mengerti. Aku tahu apa yang harus dilakukan," ujar Yoana dengan mata yang memancarkan kebencian.Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman dingin. Berada dalam kegelapan membuat Yoana lebih mudah dalam melancarkan rencananya.Alicia mengingatkan, "Jangan bertindak sendiri. Cari seseorang untuk melakukannya. Kalau semuanya terbongkar, kamu nggak akan disalahkan."Suasana hati Yoana langsung membaik. "Mudah saja. Tiara bodoh itu adalah pilihan terbaik."....Di rumah Eleanor.Keduanya duduk dalam keheningan yang menegangkan. Jeremy mengamati seisi rumah dengan tatapan santai. "Nggak ada yang mau kamu sampaikan?" tanyanya.Eleanor menatap Jeremy, lalu mengalihkan topik. "Mau minum apa? Di sini cuma ada air."Jeremy membalas, "Ceritakan tentang kejadian dulu."Tangan Eleanor yang sedang menuang air berhenti sejenak. Dia merasakan tatapan Jeremy yang tajam menancap padanya. Eleanor menundukkan pandangannya, kemudian mengangkat gelasnya dan meminum seteguk air."Itu bukan untukku
Jeremy bukan hanya menemani Eleanor menjalani pemeriksaan sepanjang pagi, sekarang dia bahkan mengantar Eleanor pulang ke rumah. Yoana hampir tidak bisa menyembunyikan rasa iri yang meluap dari hatinya.'Eleanor, wanita hina itu, apa hebatnya dia?' pikir Yoana dengan geram."Menjijikkan," gumamnya dengan penuh kebencian.Namun, Yoana tidak berani bertindak gegabah sekarang. Jeremy sudah cukup marah padanya akhir-akhir ini. Jika dia berani menghadapi mereka langsung atau ketahuan telah mengikuti mereka, dia yakin Jeremy akan semakin murka.Dengan penuh rasa benci, Yoana akhirnya memutuskan untuk pergi lebih dulu.Saat mobil Yoana baru melaju ke jalan raya, matanya menyipit saat menangkap sosok Tarimi yang sedang berdiri di tepi jalan bersama seorang anak kecil. Dia tampaknya sedang mencoba menghentikan taksi.Yoana mengenali Tarimi seketika. Mereka pernah beberapa kali bertemu, dan dia tahu bahwa Tarimi adalah pengasuh di rumah Eleanor.Matanya kemudian tertuju pada anak yang sedang ber
Dokter itu terdiam sejenak, memahami maksud perkataan Eleanor. "Kamu nggak mau pria di luar itu tahu bahwa kamu cuma punya satu ginjal, ya?""Benar," Eleanor mengangguk. "Dia nggak perlu tahu."Untuk apa dia tahu? Supaya dia merasa bersalah? Lalu hubungan mereka akan terus terjebak dalam pusaran drama yang melibatkan Yoana tanpa akhir? Itu tidak ada gunanya.Semua itu terlalu melelahkan. Eleanor lebih memilih agar Jeremy tidak tahu apa-apa dan membiarkannya hidup dengan tenang.Dokter melihat keteguhannya, lalu mengangguk. "Baik, saya mengerti."Tepat saat itu, Jeremy masuk ke ruang pemeriksaan dengan suara dingin, "Bagaimana kondisi tubuhnya?"Dokter mengikuti instruksi Eleanor dan memberi tahu Jeremy bahwa semua hasil pemeriksaannya normal.Jeremy tampak ragu. "Semua normal?""Benar," jawab dokter tegas.Jika semuanya normal, lalu mengapa dokter semalam mengatakan bahwa tubuhnya tidak seperti orang biasa? Jeremy merasa ada sesuatu yang tidak beres.Melihat Jeremy mengerutkan dahi, El
Eleanor cukup mengenal merek pakaian ini. Pakaian dari merek ini sangat mahal, apalagi yang dia kenakan adalah koleksi terbaru musim ini. Harganya pasti lebih mahal. Kartu yang diberikan Eleanor berisi 600 juta, mungkin tidak cukup untuk membayar pakaian itu, tapi saat ini itulah uang yang dia miliki."Ini ...." Andy merasa canggung. Keringat dingin membasahi dahinya.Wajah Jeremy langsung menggelap dan menatap Eleanor dengan dingin. "Aku yang membayarnya."Eleanor terdiam.Andy buru-buru menyelipkan kembali kartu itu ke tangan Jeremy dan mundur ke samping, lalu mencoba menjelaskan, "Bu Eleanor, pakaian ini juga dipilih langsung sama Bos."Eleanor tertegun sejenak. Tatapan Jeremy tidak berpaling dari wajahnya, seolah menunggu sesuatu darinya. Eleanor mengerutkan bibir, lalu berkata dengan sedikit kaku, "Terima kasih."Namun, tatapan Jeremy tetap dingin, menunjukkan bahwa dia belum puas dengan ucapan itu.Andy yang berdiri di belakang terus memberikan kode dengan pandangan matanya yang