Jeremy tidak punya selera makan. Setelah menyuruh orang mengantar Harry ke sekolah, dia langsung berangkat ke perusahaan.Andy yang duduk di depan menerima panggilan. Kemudian, dia menoleh dan melapor, "Bos, pihak rumah sakit bilang Bu Bella sudah siuman. Dia mau bertemu denganmu."Jeremy memijat pelipisnya. "Suruh dia istirahat baik-baik. Beri tahu dia soal kejadian pagi tadi. Suruh dia opname dua bulan lagi. Setelah sikapnya kepada Daniel berubah, dia baru boleh pulang. Kalau nggak, suruh dia rayakan tahun baru di rumah sakit saja."Ekspresi Andy tampak tidak karuan. Memangnya ada orang yang sekejam ini pada ibu kandung?"Baik."....Setibanya di sekolah, Harry berjalan masuk sambil menelepon Eleanor untuk menceritakan semua yang terjadi pagi ini.Eleanor cukup terkejut. Jeremy menghukum Yoana demi Daniel? Ini sungguh di luar dugaan Eleanor. Apa Daniel sepenting itu bagi Jeremy? Bukannya Yoana adalah yang terpenting baginya? Bagaimana bisa dia tega mencambuk Yoana? Kini, Eleanor bena
Vivi duduk, lalu bertanya dengan serius, "Apa maksudmu?""Aku rasa semua berjalan terlalu lancar. Keysha nggak seharusnya menolak kerja sama dengan Grup Pratama dan menerima kita cuma karena kalian saling kenal."Begitu mendengarnya, ekspresi Vivi menjadi agak masam. Yang dikatakan Eleanor masuk akal.Eleanor mengernyit. "Nggak ada salahnya kalau lebih waspada. Yoana dan Tiara menganggap Grup Stelea sebagai musuh besar. Mereka nggak bakal membiarkan kita mencapai tujuan kita.""Ya, aku ngerti. Besok aku akan lebih hati-hati.""Hm." Eleanor mengangguk. "Oh ya, malam ini makan di rumahku yuk.""Oke, aku juga sudah lama nggak lihat Harry."Ketika membahas Harry, Eleanor menopang dagunya dan berujar, "Cuma kita berdua. Harry lagi di rumah Jeremy.""Apa?" Vivi yang hendak keluar sontak berbalik dan berdiri di hadapan Eleanor. "Harry dibawa pergi Jeremy? Apa yang terjadi?""Bukan begitu, Harry pergi sendiri ...." Eleanor menceritakan semua yang terjadi semalam.Vivi pun mengacungkan jempol u
Ketika jarak di antara keduanya tersisa sekitar dua atau tiga meter, Jeremy berhenti dan bertanya dengan alis berkerut, "Kamu mau gimana?""Aku mau Mama yang mengganti perbanku. Bawa aku ke tempat Mama. Aku nggak suka dokter. Aku mau Mama."Jeremy merasa Daniel terlalu menyukai Eleanor. Padahal, mereka baru berinteraksi sehari. Dia lantas menolak, "Nggak bisa."Tidak ada cara lain. Jika perban ini dibuka dan mereka tidak melihat luka apa pun, bukankah mereka akan kaget setengah mati?Ketika melihat Harry masih bersikeras, Jeremy pun tidak memanjakannya. Dia hanya melontarkan kalimat pendek sebelum pergi, "Kalau sudah tenang, turun sendiri."Dengan demikian, ruang tamu sunyi senyap. Yang satu duduk di sofa, yang satu duduk di jendela. Keduanya tidak saling menghiraukan.Bastian dan Danuar terus melirik keduanya. Tiba-tiba, Bastian meraih lengan baju Danuar. "Hei, kamu nggak rasa sifat mereka mirip?"Danuar menyunggingkan bibirnya. "Aku sudah menyadarinya sejak awal."Sejam kemudian, Jer
Eleanor melirik meja sekilas. Dia tidak mungkin mengatakan tadi memang ada orang, tetapi orang itu kabur setelah mendengar kamu akan datang.Lagi pula, Eleanor tidak peduli pada pendapat Jeremy. Dia langsung mengangguk. "Ya."Jeremy terkekeh-kekeh sinis. "Kalau begitu, maaf sudah mengganggu kalian. Daniel, kita pergi dari sini."Usai berbicara, Jeremy hendak menarik Daniel pergi. Harry bergegas memeluk kaki Eleanor dan menatap Jeremy dengan ekspresi penuh penolakan. Dia akhirnya bisa pulang. Dia tidak mungkin pergi dari sini.Jeremy melirik anak kecil yang memeluk kaki Eleanor dengan erat. Karena tidak berdaya, dia hanya bisa menggerutu dengan suara rendah, "Seperti wanita saja."Ketika melihat Jeremy hendak membawa Harry pergi, Eleanor segera berkata, "Nggak apa-apa. Karena kalian sudah datang, kita makan bersama saja. Aku bisa buat janji dengannya di lain hari."Lagi pula, Vivi sudah kabur karena takut pada Jeremy. Eleanor tidak mungkin bisa menghabiskan makanan sebanyak ini. Dia tid
Eleanor menyunggingkan bibirnya, lalu mencoba bertanya, "Kalau begitu ... kamu juga nginap di sini?"Eleanor merasa Jeremy tidak mungkin bersedia menginap di tempatnya. Dia terpaksa bertanya demikian karena merasa tidak enak hati."Hm." Jeremy mengiakan.Apa? Apa pria ini sudah gila? Kenapa diiakan? Eleanor sungguh kebingungan. "Tapi, cuma ada dua kamar. Kamar Bi Tarimi dan kamarku. Daniel bisa tidur denganku."Maksudnya adalah tidak ada kamar tamu untuk Jeremy. Jadi, sebaiknya Jeremy pulang saja."Nggak masalah, masih ada sofa.""Sofaku sempit lho. Apa kamu bisa tidur?""Keselamatan nyawaku lebih penting daripada apa pun."Eleanor tidak bisa merespons lagi. Pada akhirnya, Jeremy dan Harry sama-sama menginap.Selesai mandi, Eleanor membawa Harry ke kamarnya. Tanpa Jeremy, Harry bisa memeluk ibunya sepuasnya."Mama, aku kangen sekali!"Eleanor segera meletakkan jarinya di depan mulutnya supaya Harry mengecilkan suaranya. Sesudah itu, dia membawa Harry ke ranjang. "Kita telepon Daniel."
Cahaya lampu yang lembut menyinari wajah tampan itu. Alis Jeremy berkerut. Ekspresi datarnya memperlihatkan aura yang berbahaya.Seketika, Eleanor kaget. Di sisi lain, ekspresi Jeremy membaik saat melihat orang itu adalah Eleanor. Eleanor hendak bangkit, tetapi Jeremy menahannya dengan kuat. Dia menarik sedikit dan Eleanor terjatuh ke pelukannya.Jeremy merangkul pinggang Eleanor dan memeluknya. Eleanor yang lengah membentur dada kekar Jeremy. Dia ingin bangkit, tetapi terus ditahan.Jeremy bertanya dengan suara rendah, "Kamu ngapain?"Eleanor sungguh menyesal karena membawakannya selimut. Lebih baik Jeremy mati kedinginan."Aku takut kamu mati kedinginan, makanya kubawakan selimut. Lepaskan aku."Jeremy menatap mata Eleanor lekat-lekat. Ketika melihat selimut di lantai, dia mengangkat alis dan bertanya, "Ternyata kamu bisa kasihan padaku juga?""Bi Tarimi yang mengingatkanku. Lepaskan aku, dasar mesum."Jeremy awalnya ingin melepaskan Eleanor. Namun, ketika melihatnya begitu menolak,
Eleanor tidak bergerak lagi. Tubuhnya menegang. Meskipun menjadi suami istri selama 3 tahun, Jeremy tidak pernah memeluknya tidur seperti ini. Eleanor tidak terbiasa. Dia sampai tidak berani memejamkan matanya.Selain itu, Eleanor tidak mengerti alasan Jeremy melakukan hal seperti ini. Ada yang janggal dari Jeremy. Hanya saja, Eleanor tidak tahu apa itu.Sambil berpikir begitu, Eleanor menoleh untuk melihat. Alhasil, dia mendapati Jeremy sudah tidur. Bukannya pria ini insomnia? Sejak kapan tidurnya secepat ini? Tidur Jeremy jelas-jelas begitu lelap. Lantas, kenapa malah terlihat seperti orang sekarat waktu itu?Apa mungkin pengobatannya berhasil? Namun, Jeremy baru diobati tiga kali. Masa hasilnya secepat itu? Sepertinya, Jeremy tidak perlu pengobatan apa pun lagi.Eleanor awalnya masih merenung dengan kedua mata terbuka lebar. Namun, lambat laun dia mulai mengantuk hingga akhirnya tertidur.Pukul 3 dini hari, Jeremy perlahan-lahan membuka matanya. Tatapannya dingin dan tajam. Setelah
Eleanor segera becermin untuk memeriksa pakaiannya. Semalam, dia sengaja memakai baju dan celana panjang. Tidak ada masalah pada pakaiannya. Eleanor pun menghela napas lega.Pagi-pagi, Andy datang untuk mengantar pakaian. Ketika Eleanor selesai mandi dan keluar dari kamar, Jeremy sudah memakai setelan dan minum kopi dengan santai. Dia bersikap seolah-olah ini adalah rumahnya.Eleanor menghampiri. "Kenapa kamu belum pergi?""Putraku masih di sini." Tidak terlihat perubahan apa pun pada tatapan Jeremy."Itu pu ...." Eleanor menarik napas dalam-dalam. Dia tidak ingin berdebat."Kamu sangat sibuk, 'kan? Biar aku saja yang antar dia ke sekolah.""Memangnya aku nggak punya mobil sampai-sampai harus kamu yang antar?" Jeremy mengalihkan pandangannya dari wajah Eleanor.Eleanor menarik napasnya dalam-dalam lagi. 'Jangan marah, jangan marah. Sabar saja.'Andy melirik kedua orang itu, lalu segera menyerahkan pakaian Harry. "Bu, ini untuk Tuan Daniel."Eleanor pun mengambilnya. Andy memberanikan d
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in