Ketika jarak di antara keduanya tersisa sekitar dua atau tiga meter, Jeremy berhenti dan bertanya dengan alis berkerut, "Kamu mau gimana?""Aku mau Mama yang mengganti perbanku. Bawa aku ke tempat Mama. Aku nggak suka dokter. Aku mau Mama."Jeremy merasa Daniel terlalu menyukai Eleanor. Padahal, mereka baru berinteraksi sehari. Dia lantas menolak, "Nggak bisa."Tidak ada cara lain. Jika perban ini dibuka dan mereka tidak melihat luka apa pun, bukankah mereka akan kaget setengah mati?Ketika melihat Harry masih bersikeras, Jeremy pun tidak memanjakannya. Dia hanya melontarkan kalimat pendek sebelum pergi, "Kalau sudah tenang, turun sendiri."Dengan demikian, ruang tamu sunyi senyap. Yang satu duduk di sofa, yang satu duduk di jendela. Keduanya tidak saling menghiraukan.Bastian dan Danuar terus melirik keduanya. Tiba-tiba, Bastian meraih lengan baju Danuar. "Hei, kamu nggak rasa sifat mereka mirip?"Danuar menyunggingkan bibirnya. "Aku sudah menyadarinya sejak awal."Sejam kemudian, Jer
Eleanor melirik meja sekilas. Dia tidak mungkin mengatakan tadi memang ada orang, tetapi orang itu kabur setelah mendengar kamu akan datang.Lagi pula, Eleanor tidak peduli pada pendapat Jeremy. Dia langsung mengangguk. "Ya."Jeremy terkekeh-kekeh sinis. "Kalau begitu, maaf sudah mengganggu kalian. Daniel, kita pergi dari sini."Usai berbicara, Jeremy hendak menarik Daniel pergi. Harry bergegas memeluk kaki Eleanor dan menatap Jeremy dengan ekspresi penuh penolakan. Dia akhirnya bisa pulang. Dia tidak mungkin pergi dari sini.Jeremy melirik anak kecil yang memeluk kaki Eleanor dengan erat. Karena tidak berdaya, dia hanya bisa menggerutu dengan suara rendah, "Seperti wanita saja."Ketika melihat Jeremy hendak membawa Harry pergi, Eleanor segera berkata, "Nggak apa-apa. Karena kalian sudah datang, kita makan bersama saja. Aku bisa buat janji dengannya di lain hari."Lagi pula, Vivi sudah kabur karena takut pada Jeremy. Eleanor tidak mungkin bisa menghabiskan makanan sebanyak ini. Dia tid
Eleanor menyunggingkan bibirnya, lalu mencoba bertanya, "Kalau begitu ... kamu juga nginap di sini?"Eleanor merasa Jeremy tidak mungkin bersedia menginap di tempatnya. Dia terpaksa bertanya demikian karena merasa tidak enak hati."Hm." Jeremy mengiakan.Apa? Apa pria ini sudah gila? Kenapa diiakan? Eleanor sungguh kebingungan. "Tapi, cuma ada dua kamar. Kamar Bi Tarimi dan kamarku. Daniel bisa tidur denganku."Maksudnya adalah tidak ada kamar tamu untuk Jeremy. Jadi, sebaiknya Jeremy pulang saja."Nggak masalah, masih ada sofa.""Sofaku sempit lho. Apa kamu bisa tidur?""Keselamatan nyawaku lebih penting daripada apa pun."Eleanor tidak bisa merespons lagi. Pada akhirnya, Jeremy dan Harry sama-sama menginap.Selesai mandi, Eleanor membawa Harry ke kamarnya. Tanpa Jeremy, Harry bisa memeluk ibunya sepuasnya."Mama, aku kangen sekali!"Eleanor segera meletakkan jarinya di depan mulutnya supaya Harry mengecilkan suaranya. Sesudah itu, dia membawa Harry ke ranjang. "Kita telepon Daniel."
Cahaya lampu yang lembut menyinari wajah tampan itu. Alis Jeremy berkerut. Ekspresi datarnya memperlihatkan aura yang berbahaya.Seketika, Eleanor kaget. Di sisi lain, ekspresi Jeremy membaik saat melihat orang itu adalah Eleanor. Eleanor hendak bangkit, tetapi Jeremy menahannya dengan kuat. Dia menarik sedikit dan Eleanor terjatuh ke pelukannya.Jeremy merangkul pinggang Eleanor dan memeluknya. Eleanor yang lengah membentur dada kekar Jeremy. Dia ingin bangkit, tetapi terus ditahan.Jeremy bertanya dengan suara rendah, "Kamu ngapain?"Eleanor sungguh menyesal karena membawakannya selimut. Lebih baik Jeremy mati kedinginan."Aku takut kamu mati kedinginan, makanya kubawakan selimut. Lepaskan aku."Jeremy menatap mata Eleanor lekat-lekat. Ketika melihat selimut di lantai, dia mengangkat alis dan bertanya, "Ternyata kamu bisa kasihan padaku juga?""Bi Tarimi yang mengingatkanku. Lepaskan aku, dasar mesum."Jeremy awalnya ingin melepaskan Eleanor. Namun, ketika melihatnya begitu menolak,
Eleanor tidak bergerak lagi. Tubuhnya menegang. Meskipun menjadi suami istri selama 3 tahun, Jeremy tidak pernah memeluknya tidur seperti ini. Eleanor tidak terbiasa. Dia sampai tidak berani memejamkan matanya.Selain itu, Eleanor tidak mengerti alasan Jeremy melakukan hal seperti ini. Ada yang janggal dari Jeremy. Hanya saja, Eleanor tidak tahu apa itu.Sambil berpikir begitu, Eleanor menoleh untuk melihat. Alhasil, dia mendapati Jeremy sudah tidur. Bukannya pria ini insomnia? Sejak kapan tidurnya secepat ini? Tidur Jeremy jelas-jelas begitu lelap. Lantas, kenapa malah terlihat seperti orang sekarat waktu itu?Apa mungkin pengobatannya berhasil? Namun, Jeremy baru diobati tiga kali. Masa hasilnya secepat itu? Sepertinya, Jeremy tidak perlu pengobatan apa pun lagi.Eleanor awalnya masih merenung dengan kedua mata terbuka lebar. Namun, lambat laun dia mulai mengantuk hingga akhirnya tertidur.Pukul 3 dini hari, Jeremy perlahan-lahan membuka matanya. Tatapannya dingin dan tajam. Setelah
Eleanor segera becermin untuk memeriksa pakaiannya. Semalam, dia sengaja memakai baju dan celana panjang. Tidak ada masalah pada pakaiannya. Eleanor pun menghela napas lega.Pagi-pagi, Andy datang untuk mengantar pakaian. Ketika Eleanor selesai mandi dan keluar dari kamar, Jeremy sudah memakai setelan dan minum kopi dengan santai. Dia bersikap seolah-olah ini adalah rumahnya.Eleanor menghampiri. "Kenapa kamu belum pergi?""Putraku masih di sini." Tidak terlihat perubahan apa pun pada tatapan Jeremy."Itu pu ...." Eleanor menarik napas dalam-dalam. Dia tidak ingin berdebat."Kamu sangat sibuk, 'kan? Biar aku saja yang antar dia ke sekolah.""Memangnya aku nggak punya mobil sampai-sampai harus kamu yang antar?" Jeremy mengalihkan pandangannya dari wajah Eleanor.Eleanor menarik napasnya dalam-dalam lagi. 'Jangan marah, jangan marah. Sabar saja.'Andy melirik kedua orang itu, lalu segera menyerahkan pakaian Harry. "Bu, ini untuk Tuan Daniel."Eleanor pun mengambilnya. Andy memberanikan d
"Memangnya susah untuk mencari tahu?"Benar juga. Jeremy bisa mendapatkan informasi apa pun yang dia inginkan. Tidak ada yang bisa luput dari pandangannya.Eleanor tidak bicara lagi. Suasana menjadi sunyi senyap. Segera, mobil Maybach berhenti di depan perusahaan Eleanor.Eleanor tidak berlama-lama. Dia mengucapkan terima kasih, lalu membuka pintu mobil dan turun. Jeremy pun tidak menghalanginya. Dia hanya menurunkan jendela, menatap wanita itu masuk.Beberapa menit kemudian, mobil Maybach menarik perhatian banyak orang. Ketika melihat wajah tampan Jeremy, orang-orang sontak bersorak."Bu ... bukannya itu Pak Jeremy? Kukira siapa tadi. Kenapa dia bisa di sini?""Tadi aku melihat seorang wanita turun dari mobilnya. Dia mengantar pacarnya ya?""Jangan sembarangan. Pacar Pak Jeremy adalah Nona Keluarga Pratama. Mana mungkin dia kemari."Setelah mendengar obrolan orang-orang di sekitar, Jeremy bergegas pergi.Di Grup Pratama, Yoana yang duduk di ruangannya tampak gusar setelah melihat foto
Keysha menyesap kopi yang disajikan asisten, lalu tertawa dengan tidak berdaya. "Kamu rasa permintaanku ini nggak bakal membuat mereka curiga? Jujur saja, mereka sudah menunjukkan ketulusan mereka padaku. Aku malah ngotot mau bertemu bos mereka. Orang-orang mungkin bakal mengira aku punya niat jahat pada bos mereka."Yoana tertawa dan membalas, "Ngapain takut? Kamu Keysha. Berapa banyak perusahaan yang mengincarmu? Nggak berlebihan kalau kamu meminta bos perusahaan kecil seperti itu menemuimu."Keysha mengangkat alisnya dan terkekeh-kekeh. "Masa? Sayangnya, penjualan parfummu kalah dari perusahaan kecil seperti itu."Keysha tahu Yoana hanya memanfaatkannya. Jika Yoana tidak mencarinya duluan, dia tidak mungkin membuat kesepakatan dengan mereka secepat itu. Namun, penjualan parfum Grup Pratama memang kalah dari Grup Stelea.Setelah mendengar sindiran Keysha, senyuman pada wajah Yoana pun memudar. Dia sangat kesal setiap kali ada yang membahas hal ini. Saking emosinya, dia pun memelototi
Eleanor menopang lututnya untuk berdiri. Wajahnya pucat tetapi penuh tekad. "Nggak ada waktu lagi, ayo pergi."Melihat betapa keras kepalanya Eleanor, Vivi hanya bisa menurut dan segera membantu Eleanor masuk ke mobil.Sementara itu, Tarimi masih terlihat syok, tubuhnya gemetar dan tidak mampu bergerak. Melihat hal ini, Eleanor tidak terlalu banyak bicara. Dia hanya menyuruh Tarimi untuk tetap di sana karena tidak akan ada lagi bahaya.Di dalam mobil hitam yang melaju, seorang pria sedang mengemudi, sementara pria lainnya menjaga Daniel dengan erat. Namun, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyakiti anak itu. Sebaliknya, pria yang menjaga Daniel berbicara dengan nada hormat, "Tuan Muda, jangan khawatir. Tuan Besar memerintahkan kami untuk menjemput Anda pulang."Seperti anak singa kecil yang marah, Daniel terus memukul dan menendang mereka. Dia tidak peduli apa pun yang mereka katakan dan hanya terfokus pada apa yang baru saja terjadi. Yang ada di pikirannya hanyalah orang-oran
Saat baru saja bertarung dengan pria berbaju hitam itu, dalam sekejap Eleanor menyadari bahwa pria itu bukan orang biasa. Kemampuan bertarung pria itu jauh di atasnya.Namun, Eleanor tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Yang paling penting sekarang adalah menyelamatkan Daniel. Dia menerima pukulan di bahunya, tetapi berhasil merebut kembali anaknya dari pria itu.Namun, masalah belum selesai. Dua pria berbaju hitam lainnya keluar dari mobil hitam yang terparkir di dekat mereka."Eleanor, hati-hati!" Vivi menjerit ketakutan.Eleanor menajamkan tatapannya. Salah satu pria itu menghunus pisau dan menyerang dari belakang. Dengan Daniel yang berada di pelukannya, gerakan Eleanor sangat terbatas. Tidak ada ruang baginya untuk menghindar.Dia hanya bisa memeluk anaknya erat-erat dan menerima serangan itu. Pisau itu melukai punggungnya dan meninggalkan luka panjang. Eleanor mengerang kesakitan, wajahnya seketika pucat pasi."Mama!" teriak Daniel dengan ketakutan."Nggak apa-apa, jangan
"Kalau begitu kasih tahu aku dong. Kalau Papa sudah bilang, aku nggak akan bertanya lagi.""Itu urusan orang dewasa. Anak kecil jangan ikut campur," jawab Jeremy."Hmph! Mama dulu juga sering bilang begitu. Kalian orang dewasa memang sama saja," Harry merajuk dan bersandar di kursinya dengan ekspresi kesal.Tatapan Jeremy menjadi lebih dalam saat mendengar perkataan Harry. Melihat hal itu, Harry buru-buru menutup mulutnya dan berkata, "Maksudku, Mama pernah bilang begitu sebelumnya ...."Jeremy menatap Harry yang tampak gugup setelah salah bicara, lalu tersenyum tipis. "Nggak usah pura-pura lagi. Kamu bukan Daniel, kamu Harry."Mata Harry membelalak lebar. "Papa tahu dari mana .... Papa pasti sudah tahu semuanya, ya?""Ya," jawab Jeremy dengan tenang."Kalau begitu ... kalau begitu ...." Harry mulai gugup hingga bicaranya tergagap."Jangan khawatir, aku nggak akan memarahimu. Kalau kamu mau, kamu bisa terus menganggapku sebagai Papa-mu," kata Jeremy lembut.Setelah identitasnya terbong
Setelah menemukan tempat yang sepi, Glenn memulai pembicaraan, "Lama nggak jumpa." Kemudian, dia menatap Eleanor sejenak dan bertanya, "Kamu hamil?"Vivi buru-buru menjelaskan, "Nggak, nggak. Waktu itu situasinya mendesak, jadi aku asal teriak saja."Glenn tersenyum tipis. "Oh, begitu."Vivi mengangguk cepat. "Iya, iya."Melihat Vivi yang menatap Glenn sampai hampir kehilangan kontrol, Eleanor memijat pelipisnya dan berkata, "Kita ada urusan penting, ingat?""Oh iya, urusan penting," Vivi menyadari kekeliruannya, lalu tertawa canggung dan memulai pembicaraan tentang pekerjaan.Yang mengejutkan, Glenn langsung menjawab dengan santai, "Baik.""Baik?" Vivi nyaris tersedak. "Kamu setuju secepat itu?"Kecepatan Glenn menjawab membuat Vivi merasa seolah semuanya terlalu mudah."Ya," Glenn mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya kepada Eleanor. "Karena kita sekarang bekerja sama, rasanya nggak berlebihan untuk meminta nomor kontakmu, 'kan, Bos?"Eleanor mengambil ponselnya d
Jeremy langsung pergi tanpa menoleh lagi.Eleanor menghela napas panjang dan ekspresinya menjadi muram. Dia duduk di ruang tamu untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berdiri dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.Tak lama kemudian, Tarimi kembali bersama Daniel. Melihat hari sudah cukup sore, Eleanor memutuskan untuk tidak pergi ke kantor dan memilih menghabiskan waktu di rumah bersama anaknya.Di bandara.Keesokan paginya, Eleanor dibangunkan oleh Vivi yang penuh semangat dan menyeretnya ke bandara.Hari ini Glenn kembali ke negara asal untuk pembicaraan mengenai kontrak endorse. Mereka sudah berusaha keras untuk mendapatkan kesempatan ini. Meskipun sudah mempersiapkan diri, pemandangan di bandara tetap membuat mereka terkejut.Kerumunan penggemar yang memenuhi tempat itu terlalu ramai."Glenn! Ahhh, dia ganteng banget!""Sayang! Sayang! Di sini, lihat ke sini!""Glenn, kamu yang paling tampan! Aku mencintaimu!"Vivi yang awalnya sangat bersemangat untuk bertemu selebrita
"Ibu, aku mengerti. Aku tahu apa yang harus dilakukan," ujar Yoana dengan mata yang memancarkan kebencian.Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman dingin. Berada dalam kegelapan membuat Yoana lebih mudah dalam melancarkan rencananya.Alicia mengingatkan, "Jangan bertindak sendiri. Cari seseorang untuk melakukannya. Kalau semuanya terbongkar, kamu nggak akan disalahkan."Suasana hati Yoana langsung membaik. "Mudah saja. Tiara bodoh itu adalah pilihan terbaik."....Di rumah Eleanor.Keduanya duduk dalam keheningan yang menegangkan. Jeremy mengamati seisi rumah dengan tatapan santai. "Nggak ada yang mau kamu sampaikan?" tanyanya.Eleanor menatap Jeremy, lalu mengalihkan topik. "Mau minum apa? Di sini cuma ada air."Jeremy membalas, "Ceritakan tentang kejadian dulu."Tangan Eleanor yang sedang menuang air berhenti sejenak. Dia merasakan tatapan Jeremy yang tajam menancap padanya. Eleanor menundukkan pandangannya, kemudian mengangkat gelasnya dan meminum seteguk air."Itu bukan untukku
Jeremy bukan hanya menemani Eleanor menjalani pemeriksaan sepanjang pagi, sekarang dia bahkan mengantar Eleanor pulang ke rumah. Yoana hampir tidak bisa menyembunyikan rasa iri yang meluap dari hatinya.'Eleanor, wanita hina itu, apa hebatnya dia?' pikir Yoana dengan geram."Menjijikkan," gumamnya dengan penuh kebencian.Namun, Yoana tidak berani bertindak gegabah sekarang. Jeremy sudah cukup marah padanya akhir-akhir ini. Jika dia berani menghadapi mereka langsung atau ketahuan telah mengikuti mereka, dia yakin Jeremy akan semakin murka.Dengan penuh rasa benci, Yoana akhirnya memutuskan untuk pergi lebih dulu.Saat mobil Yoana baru melaju ke jalan raya, matanya menyipit saat menangkap sosok Tarimi yang sedang berdiri di tepi jalan bersama seorang anak kecil. Dia tampaknya sedang mencoba menghentikan taksi.Yoana mengenali Tarimi seketika. Mereka pernah beberapa kali bertemu, dan dia tahu bahwa Tarimi adalah pengasuh di rumah Eleanor.Matanya kemudian tertuju pada anak yang sedang ber
Dokter itu terdiam sejenak, memahami maksud perkataan Eleanor. "Kamu nggak mau pria di luar itu tahu bahwa kamu cuma punya satu ginjal, ya?""Benar," Eleanor mengangguk. "Dia nggak perlu tahu."Untuk apa dia tahu? Supaya dia merasa bersalah? Lalu hubungan mereka akan terus terjebak dalam pusaran drama yang melibatkan Yoana tanpa akhir? Itu tidak ada gunanya.Semua itu terlalu melelahkan. Eleanor lebih memilih agar Jeremy tidak tahu apa-apa dan membiarkannya hidup dengan tenang.Dokter melihat keteguhannya, lalu mengangguk. "Baik, saya mengerti."Tepat saat itu, Jeremy masuk ke ruang pemeriksaan dengan suara dingin, "Bagaimana kondisi tubuhnya?"Dokter mengikuti instruksi Eleanor dan memberi tahu Jeremy bahwa semua hasil pemeriksaannya normal.Jeremy tampak ragu. "Semua normal?""Benar," jawab dokter tegas.Jika semuanya normal, lalu mengapa dokter semalam mengatakan bahwa tubuhnya tidak seperti orang biasa? Jeremy merasa ada sesuatu yang tidak beres.Melihat Jeremy mengerutkan dahi, El
Eleanor cukup mengenal merek pakaian ini. Pakaian dari merek ini sangat mahal, apalagi yang dia kenakan adalah koleksi terbaru musim ini. Harganya pasti lebih mahal. Kartu yang diberikan Eleanor berisi 600 juta, mungkin tidak cukup untuk membayar pakaian itu, tapi saat ini itulah uang yang dia miliki."Ini ...." Andy merasa canggung. Keringat dingin membasahi dahinya.Wajah Jeremy langsung menggelap dan menatap Eleanor dengan dingin. "Aku yang membayarnya."Eleanor terdiam.Andy buru-buru menyelipkan kembali kartu itu ke tangan Jeremy dan mundur ke samping, lalu mencoba menjelaskan, "Bu Eleanor, pakaian ini juga dipilih langsung sama Bos."Eleanor tertegun sejenak. Tatapan Jeremy tidak berpaling dari wajahnya, seolah menunggu sesuatu darinya. Eleanor mengerutkan bibir, lalu berkata dengan sedikit kaku, "Terima kasih."Namun, tatapan Jeremy tetap dingin, menunjukkan bahwa dia belum puas dengan ucapan itu.Andy yang berdiri di belakang terus memberikan kode dengan pandangan matanya yang