“Eung ..., aku sudah sampai. Kau ada di mana?” Lian mendorong pintu Regal Mio Cafe dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Seorang wanita dengan gaya yang cukup glamour melambaikan tangannya ke arah Lian dari pojok ruangan dekat jendela yang menghadap langsung ke arah taman belakang kafe itu. Lian menurunkan ponselnya dari telinga dan membalas lambaian tangan itu sambil tersenyum tipis.
Tadi setelah bertemu dengan pria narsis yang salah mengira bahwa Lian adalah wanita yang akan dijodohkan dengannya, pria itu pergi begitu saja. Lian sempat melihat ke arah jalan raya, dan benar saja, wanita yang akan ditemui oleh pria itu memiliki style yang mirip dengannya hari ini. Kecuali bawahan yang ia pakai. Setelah pria itu pergi, Lian mencoba kembali fokus mengerjakan tugasnya. Ia bertahan di kafe itu sekitar satu jam sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi menemui Jilan.
Saat kemarin membicarakannya, Indri sebenarnya sudah mewanti-wanti Lian untuk tidak menemui Jilan. Wanita itu sudah terkenal sering membangga-banggakan suaminya yang memiliki karir terbaik di antara teman-teman kuliah seangkatan mereka. Indri tahu kalau wanita itu berusaha untuk menghubungi semua teman-temannya agar bisa pamer karena baru-baru ini suaminya baru saja diangkat sebagai direktur utama sebuah perusahaan start up konsultan geofisika di Jogja. Lian juga tahu bertemu dengan Jilan akan membahayakan dirinya. Tapi karena dulu mereka pernah berteman dekat dan Lian merasa tidak memiliki masalah dengan anak itu, ia akhirnya memutuskan untuk tetap datang setelah Jilan menghubunginya beberapa jam lalu.
“Ayolah, Lian. Mumpung aku sedang ada di sini. Kau tahu kan aku orang sibuk. Tapi aku bersedia meluangkan waktu meninggalkan suami dan anakku untuk bertemu denganmu,” begitu katanya sambil sedikit memaksa. Lian terkadang membenci sifatnya sendiri yang tidak bisa menolak ajakan orang lain padahal dia saat ini sedang sibuk-sibuknya mengerjakan tugas yang sudah mendekati waktu deadline dengan profesornya. Belum lagi dengan semua kekacauan yang terjadi hari ini. Ia tahu Jilan adalah anak yang suka bicara. Mendengarkannya saja membutuhkan waktu berjam-jam. Sepulangnya dari pertemuan ini—yang ia yakin pasti lama, mau tidak mau ia harus lembur untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Apa kau sudah lama di sini? Maaf, aku baru saja diminta Profesor Hadi ke dekanat,” ungkap Lian dan langsung duduk di depan Jilan sambil menaruh tas di pangkuannya.
“Tidak. Aku baru saja tiba lima menit yang lalu. Kau tidak pesan minuman? Biar aku yang traktir,” jawab Jilan sambil menggeser buku menu kafe itu ke hadapan Lian. Lian tersenyum dan membuka menu itu. Matanya seketika tertuju pada es kopi yang muncul pertama kali di menu itu dan tanpa membuka yang lain ia langsung memanggil pelayan yang kebetulan lewat di dekatnya lalu memesan es kopi dengan tambahan krim yang ekstra.
“Sejak kapan kau minum kopi? Bukannya kau punya sakit lambung?” tanya Jilan.
“Ah ..., aku jarang minum kopi. Tapi akhir-akhir ini aku membutuhkannya agar tetap bisa terjaga di malam hari,” tutur Lian sambil mendorong bibir bawahnya dan tersenyum pasrah.
“Kau benar-benar orang yang sangat sibuk ya. Padahal cuma asisten dosen, ckckck ....” Jilan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kasihan pada Lian. Lian tidak menjawab dan hanya tertawa kecil mendengarnya.
“Hei, kau harus minta tambahan gaji pada Profesor Hadi. Kau kan sudah mau lulus S2, masa gajimu tidak ditambah padahal sudah hampir tiga tahun bekerja dengannya?”
“Aku sudah bersyukur beliau membiarkanku kuliah gratis dengan uang pribadinya. Mana mungkin aku meminta lebih dari itu.”
“Kau sama sekali tidak berubah ya. Masih tetap merasa tidak enakan. Inilah kenapa dari dulu aku bilang padamu lebih baik keluar dari sana dan mencari pekerjaan lain. Jika kau di sana terus, aku bahkan tidak yakin kau bisa menabung walaupun sedikit. Jangan-jangan kau juga masih menghemat uang makanmu?”
“Kau juga sama sekali tidak berubah ...,” balas Lian sambil meneguk es kopinya yang baru saja sampai.
“Masa? Orang-orang bilang aku sudah banyak berubah,” Jilan memegang pipinya.
“Kau dan standarmu yang tinggi itu. Masih tetap sama seperti dulu.”
“Hei, Lian. Aku bilang begitu karena aku temanmu. Kita ini wanita. Kita harusnya mengerti posisi kita sebagai wanita itu seperti apa. Wanita itu kodratnya sebagai ....”
‘Sudah mulai, ya ...’ batin Lian. Dia tidak terlalu mendengarkan ocehan Jilan dan fokus mengaduk krim di atas es kopinya. Padahal ini baru pertama kalinya dia datang kesini. Tapi staf kafe ini memberinya krim hingga cup-nya penuh.
“Hah, kau sudah cocok untuk jadi ibu-ibu kompleks” Lian tergelak. Dia masih tetap bercanda dengan wanita itu. Lian mencoba bertahan dari ocehan Jilan yang tidak ia butuhkan. Meskipun sebenarnya ia sudah melewatkan apa yang sudah diocehkan wanita itu dari tadi.
“Aku hanya ingin memberitahumu. Umur kita sudah segini. Kau harus memikirkan orang tuamu juga kan? Kapan kau bisa membahagiakan mereka? Dan kapan juga kau akan memikirkan soal pernikahan kalau terus-terusan belajar?” Dia belum berhenti. Hanya memberi jeda sebentar untuk meminum float stroberi miliknya.
“Aku tahu kau itu tergila-gila dengan pendidikan. Tapi apa sih yang membuatmu harus begitu? Lihat aku. Aku bisa bekerja di rumah sambil mengurus suami serta anak-anakku dan tetap bisa punya penghasilan yang bagus. Kau tidak perlu pendidikan yang tinggi untuk melakukan itu semua.
“Kenapa kau tidak bekerja saja. Hasilkan banyak uang, dan bahagia. Aku tau kau idealis. Tapi kau tidak sampai munafik yang tidak percaya dengan kemampuan uang untuk membeli kebahagiaan, kan?”
Sudah cukup. Lian mulai gerah. Ia sudah malas jika harus membahas soal kebahagiaan.
“Kita baru pertama kali bertemu setelah sekian lama dan yang pertama kau bicarakan adalah soal pekerjaan dan gajiku.” Lian mendengus. Ia mengangkat bibirnya sambil tersenyum kesal.
“Hidupmu pasti menyenangkan sekali. Kau cantik, punya bisnis yang sukses, suamimu karirnya cemerlang, privillage-mu juga sempurna. Aku benar-benar bangga padamu.” Lian tersenyum sedikit menyindir. Tapi setelah itu ekspresinya berubah.
“Apa aku terlihat sama sekali tidak memikirkan orang tuaku? Benar. Aku sama sekali tidak memikirkannya. Kau kan tahu semuanya. Tentang keluargaku ....”
“Lian!”
“Jilan, aku tidak sama denganmu. Bagiku pendidikan adalah satu-satunya yang bisa kubanggakan dari diriku. Jadi kau tidak perlu ikut campur. Apalagi tentang kapan aku akan memikirkan pernikahan. Cukup lanjutkan urusanmu dan katakan saja bahwa kau berdoa untukku. Kau kan memang pintar bermulut manis seperti itu sejak dulu. Jadi aku tidak akan peduli mau kau mengatakannya dengan tulus atau tidak.”
“Hei Lian! Apa ucapanmu tidak keterlaluan? Aku hanya menasihatimu sebagai teman. Apa kau harus menjawab seperti itu?” Pangkal kedua alis wanita itu berkerut dan telinganya mulai memerah.
“Menasihati? Sepertinya dari tadi kau hanya membandingkan dirimu yang sudah sukses dan aku yang sampai sekarang kerjaannya cuma belajar dan tidak menghasilkan uang. Teman?” Lian menaikkan ujung bibirnya. “Jangan membuatku tertawa. Kau selalu meremehkan orang-orang yang kau anggap temanmu,” sindir Lian.
Lian menghabiskan es kopinya dan setelah itu langsung beranjak dari kursinya. Gadis itu merasa tidak ada gunanya untuk tetap duduk di hadapan Jilan. Lebih baik ia stres karena deadline daripada karena penggila standar kesuksesan ini.
“Apa kau pikir dengan sikapmu yang seperti itu akan ada pria yang tertarik padamu?” Perkataan itu kini membuat Lian terpaku di tempatnya. Jilan melipat tangan dan menyandarkan punggungnya di bangku dengan santai. Kuku-kukunya yang panjang dan memakai nail art berwarna perak terlihat mengkilat tertimpa cahaya lampu di atasnya.
“Kau selalu saja berharap akan ada pria baik hati yang mencintaimu dan bisa menerima keadaanmu. Tapi apa kau tahu? Pria yang selama ini kau impikan, juga akan menginginkan wanita yang berasal dari keluarga baik-baik. Dengan keadaan keluargamu yang seperti itu, apa kau pikir mereka bisa menerimamu dengan mudah? Belum lagi, soal kejadian empat tahun lalu.”
Lian mengepalkan telapak tangannya yang mulai bergetar tak terkendali lalu menghembuskan napasnya panjang-panjang. Bisa saja dia langsung menyumpal mulut wanita itu dengan kepalan tangannya. Tapi ia tidak suka mencari keributan di tempat ramai seperti ini dan menjadi pusat perhatian. Gadis itu mengatur napasnya sejenak, lalu berbalik kembali menghadap Jilan.
“Jilan, apa kau tahu kenapa semua teman-teman memilih untuk menghindar darimu dan tidak ingin datang menemuimu meskipun kau memaksa mereka?”
Jilan tidak menjawab. Raut wajahnya menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin bertanya kenapa pada Lian saat itu, tapi mulutnya tidak bisa bergerak karena baru saja habis mencibir gadis itu.
“Karena kau terlalu banyak bicara. Percayalah. Aku senang sekarang kau hidup bahagia. Tapi aku sedikit kasihan dengan keluargamu karena harus menghadapimu setiap hari. Terutama anak-anakmu yang aku yakin saat mereka dewasa nanti bisa gila karena harus memenuhi standar tinggi ibu mereka,” lanjut Lian dan langsung pergi dari tempat itu.
Wajah Jilan memerah. Ia menggebrak meja dan berdiri. Suaranya yang kencang membuat beberapa orang melirik ke arahnya, namun sepertinya wanita itu tidak peduli.
“HEI LIAN! PUNYA HAK APA KAU BICARA SEPERTI ITU TENTANG KELUARGAKU? HEEEEI!!!”
Teriakan itu menggema di Regal Mio membuat hampir semua mata kini tertuju padanya. Tentu saja kecuali Lian yang kini memutar bola matanya, tidak peduli dengan teriakan wanita itu dan memilih untuk mengabaikannya.
Gadis itu mengumpat dalam hati. Tangannya yang menyentuh gagang pintu kaca di kafe itu masih bergetar hebat. Jantungnya mulai berdegup tidak keruan sampai ia tidak bisa membedakannya apakah ini efek dari kafein yang baru saja ia teguk atau hal lain. Kakinya terasa ringan dan ia memilih untuk melangkah lebih lebar daripada biasanya. Korneanya mulai berawan. Bulir-bulir air mata mengalir begitu saja di pipinya.
Sial. Sepertinya ia harus meminum obatnya satu dosis lagi hari ini.
***
Lian tiba di rumah dan baru saja akan menyentuh pintu pagar besi rumahnya ketika ia mendengar suara ribut-ribut di dalam. Ia bisa mendengar dengan jelas ketika bermacam-macam benda stainless dilemparkan ke dinding dan diikuti dengan bunyi kaki yang menghentak ke tanah berkali-kali. Gadis itu menghela napas dan hanya diam di tempatnya selama beberapa waktu. Ia ragu akan masuk atau tidak. Sekarang sudah hampir jam lima sore dan awan kelabu mulai menggulung di langit. Lian memutuskan untuk mengabaikan apa pun yang ada di dalam dan langsung masuk ke kamarnya. Tapi baru saja ia kembali menyentuh pagar besi yang dingin itu, suara gaduh dari dalam membuat jari-jarinya yang kaku menolak untuk membukanya. Lian mendesah. Ia menjatuhkan lengannya begitu saja ke samping lalu mengambil dua langkah kecil ke belakang. Setelah itu ia membalikkan badannya dan mulai mengalihkan diri dari tempat itu. Lian berjalan gontai mengelilingi taman di dekat rumahnya karena tidak punya t
-Enam setengah jam sebelumnya-“Apa Ibu tidak keterlaluan? Aku bahkan belum masuk ke rumah.” Awan turun dari taksi lalu memberikan ongkos kepada sang supir yang baru saja mengambil ranselnya dari bagasi. Supir taksi itu berterima kasih dengan suara pelan dan hanya dibalas dengan seutas senyuman dan anggukan kecil oleh Awan. Pria itu memakai ranselnya yang kelihatan cukup berat ke dalam gedung apartemen sambil tetap menempelkan ponselnya di telinga.“Kau sendiri? Apa tidak keterlaluan? Kau tidak bilang pada Ibu kalau sudah mengundurkan diri dari tempat kerjamu. Katakan! Di mana kau sekarang? Reka bilang kau sudah sampai di Jogja sejak satu minggu yang lalu. Tapi kenapa tidak langsung mengunjungi kami?” omel ibunya di seberang telepon. Awan sibuk bicara dengan seorang petugas di lobi. Setelah urusannya selesai, Awan langsung mengalihkan diri ke arah lift sambil membenarkan ponsel di telinganya.“Aku cuma ingin suasana baru. Sudah bera
[Sedang apa?] Awan mengetikkan sesuatu di ponselnya dengan wajah cerah. Dia bergegas memasuki lift saat pintu otomatis itu mulai terbuka. Tidak ada pesan jawaban. Mungkin karena dia sudah berada di dalam, jadi sinyalnya putus-putus. Awan mengatupkan bibirnya. Ada satu pria lagi yang masuk lift bersamanya. Jadi dia berusaha untuk tidak tersenyum sendirian seperti orang gila. Sepanjang waktu pria itu hanya menatap layar gawainya. Dia sempat teringat dua wanita yang baru saja ia temui siang tadi. Awan menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk menyingkirkan ingatan memalukan itu. Setidaknya kali ini dia tidak akan mendapat penolakan, ‘kan? Bunyi pintu lift yang akan terbuka berdenting. Awan dan juga pria yang tadi masuk bersamanya keluar dari sana tanpa memedulikan kehadiran masing-masing. Awan menghentikan langkahnya. Daripada berjalan menuju lokasi yang ingin ditujunya, pria itu memilih duduk di tangga darurat dan bermaksud untuk menunggu jawaban beberapa
[Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi. Lagi pula ibumu juga belum tahu tentang kita.] Awan menatap ponselnya dengan wajah tanpa ekspresi. Cahaya yang berasal dari layar ponsel itu sangat terang sampai-sampai hanya wajahnya saja yang kelihatan di trotoar yang mulai gelap itu. Ia menaikkan sandangan tasnya ke bahu lalu mulai mengetik sesuatu. [Terserahmu saja.] ‘Aku tidak peduli lagi’. Pria itu dengan kasar menaruh ponselnya di saku celana lalu mulai melangkahkan kakinya ke arah halte bus yang berjarak 50 meter dari tempat ia berdiri sekarang. Pikirannya kosong. Suasana hatinya mulai kacau seiring dengan kemunculan gulungan awan hitam yang mulai menutupi kota ini. Gerimis mulai turun. Bau debu dan aspal yang baru saja terkena air hujan menyeruak menembus relung hidungnya. Lampu-lampu di sepanjang trotoar sudah dihidupkan meskipun masih belum jam enam sore. Cepat-cepat ia mengambil payung lipat yang ada di tas kecilnya. Sejenak ia memperhatika
Suara dering ponsel membuat Lian terkejap dari tidurnya. Selama sebulan ini ia selalu lembur malam untuk menulis proposal tesisnya dan baru tidur selepas subuh. Ia benar-benar tidak bisa melakukannya di siang hari karena profesornya selalu saja memberi pekerjaan yang tidak pernah bisa habis dikerjakan sehari. Wanita itu kini melihat jam dinding dengan satu matanya yang masih belum terbuka seutuhnya. Sekarang baru jam delapan kurang tujuh. Siapa orang yang sudah berani-beraninya mengganggu singa tidur?Wanita itu menggerutu dalam hati sebelum akhirnya ia melihat siapa yang mengiriminya pesan. Seperti biasa, Profesor Hadi. Beliau sepertinya sangat senang kalau mahasiswa bimbingannya bisa tetap bangun pagi setelah lembur seminggu penuh demi mengejar deadline progress report yang beliau minta. Lian menggulir layar ponselnya sambil membaca isi pesan yang tertulis di sana. Beliau meminta Lian ke ruangannya sebelum jam sebelas siang. Lian melirik ke dinding kamarnya sekali lagi. Kal
Profesor Hadi menghentikan aktivitasnya menandatangani berkas yang Lian tidak tahu tentang apa. Kini beliau membenarkan kacamatanya dan memandang Lian. “Saya sudah mendengar beberapa hal tentang nilai praktikum yang mereka dapatkan.” Nilai praktikum? Kenapa tiba-tiba membahas nilai praktikum? Dahi Lian mengernyit. Dalam waktu beberapa detik pikiran Lian terbang jauh menuju ke ingatan sebulan lalu saat ia menjadi asisten pengganti praktikum lapang mahasiswa S1 jurusannya. Ah, apa profesornya sedang membicarakan tentang praktikum lapang sebulan yang lalu? Darah Lian berdesir cepat. Hanya dengan mengingatnya saja ia mulai merasa emosi. Beberapa hari setelah ia menjadi asisten, salah seorang perwakilan dari mahasiswa yang mengikuti lokakarya mendatanginya. Mahasiswa itu meminta Lian untuk membantu mereka mengerjakan pengolahan data. Lian bisa saja mengajari mereka lagi sampai mereka mampu mengolah data sendiri. Tapi yang membuat Lian kesal, mereka dengan santainy
Yuan membuka pintu besar yang mengarah langsung ke dalam aula dan sekarang sudah ramai dengan orang-orang yang fokus pada dekan di depan auditorium sedang menyampaikan kata sambutannya. Mata Yuan berkeliling dan menemukan Lian kini duduk di pojok kanan dekat dengan dinding dan prasmanan. “Sempurna.” Yuan tersenyum dalam hati. Ia memang sudah berpesan pada Lian jika wanita itu datang duluan, ia harus mencari tempat duduk yang paling dekat dengan tempat makan. Yuan tidak sempat sarapan tadi pagi karena harus menyelesaikan laporan dosennya pagi ini dan ia kelaparan setengah mati sekarang. “Kau habis dari mana saja?” tanya Lian begitu Yuan menarik kursi di sebelahnya dan langsung duduk. “Buang sampah,” jawab Yuan asal-asalan. Matanya menatap bahagia ke arah makanan dan dessert yang berada tepat di sebelah Lian. Ia sangat ingin menggapai kudapan cantik itu, tapi tangannya ditepis oleh Lian yang kini melotot tajam padanya sambil mendesis, “nanti!”
“Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su
Awan kembali mendekat ke arah jendela pantry. Ia ingin memastikan bahwa Lian memang benar-benar menyebut namanya. “Ah, iya … nanti akan saya sampaikan pada Pak Awan. Baik ….”Betul. Awan tidak salah. Wanita itu memang berbicara dengan seseorang yang mungkin saja dia kenal. Tapi siapa?Awan menaruh gelas kopinya di meja lalu menghampiri Lian yang kini masih berbicara di telepon. Wajah Lian mengatakan bahwa ia ingin menyelesaikan pembicaraan itu. Tapi sepertinya seseorang di seberang telepon masih saja terus bicara padanya. Lian melihat Awan yang kini berjalan ke arahnya. Dia sudah cukup sulit memikirkan bagaimana cara menghentikan panggilan telepon itu. Dan kini ada satu orang lagi yang sudah pasti akan memintanya untuk segera kembali ke ruangan.“Siapa?” tanya Awan setengah berbisik. Dia tahu tidak sopan untuk bertanya siapa yang menelepon wanita itu karena privasi. Tapi karena Lian menyebut namanya, dia setengah mati ingin tahu. Pria itu benci dengan rasa penasaran.“Itu ….” Lian s
Awan mengucek matanya yang mulai lelah. Sudah tiga jam setengah dia berkutat di depan laptop. Sambil menatap layar tanpa berkedip, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard. Pekerjaannya jauh lebih banyak dari yang dia kira. Sedangkan yang membantunya lembur hari ini cuma Lian–yang kini sedang tidak berada di mejanya, lalu dua mahasiswa laki-laki yang ditunjuk Profesor Hadi untuk membantu mereka di lapangan.“Pak Awan mau makan apa?” tanya salah satu mahasiswa berbadan bongsor yang duduk di arah kiri dekat pintu. Dia bilang namanya Iruz. Mahasiswa S1 tahun kelima. Profesor Hadi bilang proyek itu kesempatan terakhirnya untuk dibiayai oleh beliau. Jika tidak maka pemuda itu harus menanggung sendiri penelitiannya, atau pergi ke perusahaan sebagai mahasiswa magang.Kesempatan magang di perusahaan sebenarnya adalah ide yang bagus. Hanya saj
“Wajahmu kusut sekali? Apa ada masalah saat menyiapkan kebutuhan untuk akuisisi minggu depan?” tanya seorang wanita berhijab pada Awan yang kini sedang duduk di kursi kantin sambil melahap sarapannya. Dia Rinda, dosen wanita pertama yang satu angkatan lebih tua dari Awan di kampus itu–aslinya mereka seumuran. Kini ia duduk di depan Awan dan juga sedang menghabiskan beberapa suapan terakhir dari piringnya. Seharusnya pagi ini mereka tidak sendirian. Tapi beberapa orang telah menyelesaikan sarapan mereka dan langsung menuju kantor untuk bekerja. Awan belum ada jadwal mengajar jadi dia memutuskan untuk sarapan dulu di kantin khusus pegawai. Sementara Rinda, dia memang penunggu kantin. Hampir tiap pagi dia ke sana karena terlalu malas untuk masak di apartemennya.“Pagi tadi aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mematikan alarm dan itu membuatku kesal,” keluh Awan sedikit menggerutu.“Alarm? Memangnya sesulit apa mematikan alarm sampai membuatmu sekesal itu?” “Aku juga baru tahu kala
Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke
Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib
“Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann
“Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.” Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya. Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny
“Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m
“Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su