Home / All / Mentari di Balik Awan / 3. KETIKA HUJAN DI HALTE

Share

3. KETIKA HUJAN DI HALTE

Author: shellyhabsari
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Lian tiba di rumah dan baru saja akan menyentuh pintu pagar besi rumahnya ketika ia mendengar suara ribut-ribut di dalam. Ia bisa mendengar dengan jelas ketika bermacam-macam benda stainless dilemparkan ke dinding dan diikuti dengan bunyi kaki yang menghentak ke tanah berkali-kali. Gadis itu menghela napas dan hanya diam di tempatnya selama beberapa waktu. Ia ragu akan masuk atau tidak.

Sekarang sudah hampir jam lima sore dan awan kelabu mulai menggulung di langit. Lian memutuskan untuk mengabaikan apa pun yang ada di dalam dan langsung masuk ke kamarnya. Tapi baru saja ia kembali menyentuh pagar besi yang dingin itu, suara gaduh dari dalam membuat jari-jarinya yang kaku menolak untuk membukanya.

Lian mendesah. Ia menjatuhkan lengannya begitu saja ke samping lalu mengambil dua langkah kecil ke belakang. Setelah itu ia membalikkan badannya dan mulai mengalihkan diri dari tempat itu.

Lian berjalan gontai mengelilingi taman di dekat rumahnya karena tidak punya tempat yang bisa dituju. Awalnya ia ingin pergi ke apartemen Indri. Tapi sekarang Indri pasti belum pulang karena masih membantu orang tuanya di toko. Sebenarnya bisa saja Lian langsung masuk ke apartemen gadis itu. Indri memberi tahu password pintu otomatisnya pada Lian. Tapi entah kenapa hari ini ia tidak ingin ke sana. Jadi di tengah-tengah hembusan angin yang seolah-olah kapan pun siap menerbangkan gadis kurus itu ke atas langit, ia memilih untuk jalan-jalan sendirian tanpa peduli pada awan gelap yang kini mulai mengepung seluruh kota.

Hujan turun ketika Lian mulai lelah berjalan dan beristirahat di sebuah halte kecil yang jarang ditunggui oleh orang-orang. Mata gadis itu menerawang, memandangi hujan yang jatuh dari atap halte. Bau debu yang baru saja terkena air hujan menyeruak menembus relung hidungnya.

“Baunya enak,” gumam Lian sambil tersenyum tipis. Ia tidak peduli pada matanya yang mulai berkaca-kaca dan dadanya yang terasa sesak. Beberapa orang lewat di halte itu, tapi tidak ada satu pun yang berhenti di tempat Lian kini berada. Atau malah mereka tidak menyadari kalau ada seorang gadis berbadan kecil yang usianya sebenarnya hampir mendekati kepala tiga sedang berwajah masam dan rasa-rasanya hanya dengan sedikit senggolan ia bisa menangis langsung di tempatnya.

Gadis itu memandangi tangannya. Ini sudah empat tahun. Kenapa tangannya tidak bisa berhenti bergetar hebat? Gadis itu mengepalkan tangannya hingga sendi-sendi jarinya terasa sakit. Pekerjaan, pendidikan, percintaan, bahkan keluarganya sendiri, tidak ada satu pun yang bisa membuatnya bahagia. Padahal dia bukanlah orang yang punya ambisi besar. Dia juga bukan seseorang yang idealis seperti kata Jilan. Gadis itu hanya ingin hidup tenang tanpa mengkhawatirkan apa pun. Kenapa orang-orang sulit untuk mengerti dirinya yang seperti itu?

“Haaah ....” Lian menghela napas dengan berat. Tapi kali ini ia tidak sendirian. Ada seorang pria yang kini duduk di sebelahnya dan tidak sengaja menghela napas bersamanya. Mereka seperti baru saja melakukan telepati monolog tentang siapa yang memiliki kejadian paling buruk hari ini melalui satu helaan napas. Gara-gara helaan napas yang bersamaan itu, mereka jadi saling berpandangan selama satu detik dan tersenyum canggung.

Lian sempat melihat ke arah pria itu sesaat setelah dia duduk. Seorang pria dengan potongan rambut buzz-cut yang lepek. Entah karena dia belum sempat membuka payungnya saat hujan deras tiba-tiba muncul, atau memang sudah seperti itu sejak awal. Ini seperti dejavu. Kenapa hari ini dia selalu bertemu dengan pria botak.  

Sayangnya karena Lian sudah tidak punya tenaga lagi dan pikirannya sedang kusut, ia tidak sempat melihat wajah pria itu. Oh, ia sempat meliriknya sedikit saat mereka saling tersenyum canggung tadi. Hanya sedetik. Tidak cukup untuk mendeskripsikan wajah pria itu secara detail. Lagipula lampu di halte itu mengarah padanya. Cahaya di sekitar pria itu cukup redup, sehingga Lian tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

“Apa anda memiliki hari yang buruk?” Lian tanpa sadar mengeluarkan suaranya yang serak. Pria itu sepertinya kaget karena Lian berusaha mengajaknya bicara.

“Tidak seburuk itu,” jawabnya singkat. “Anda sedang menunggu bus?” Kini pria itu mulai berbasa-basi dengan Lian. Lian menggeleng. Mungkin pria itu belum tahu kalau sebenarnya halte ini sudah tidak terpakai sejak lama.

“Oh, tidak. Rumah saya di dekat sini.” ucap Lian kemudian. “Anda sendiri?”

Belum sempat pria itu membuka bibirnya, sebuah taksi berhenti di depan halte dan membuka jendelanya. Supir taksi itu bertanya apa ada di antara mereka berdua yang memesan taksi dan seketika pria itu mengangkat tangannya. Lian kini tidak penasaran lagi. Ia sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya barusan.

“Saya duluan.” Pria itu menutup kepalanya dengan kedua telapak tangannya lalu berlari-lari kecil ke arah taksi dan langsung masuk ke dalam. Lian melihatnya sekilas dan ketika mengalihkan perhatiannya dari pria itu, ia melihat payung kuning lusuh tergeletak di dekat tempat pria tadi duduk.

“Oh! Payung Anda?” Lian menyambar payung itu dan menunjukkannya ke arah mobil yang jendelanya hampir ditutup.

“Pakai saja dulu,” sahut pria itu lalu menutup jendela taksi sepenuhnya. Tanpa menunggu Lian yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu, taksi itu sudah tidak ada di tempatnya.

Lian kini memandang payung kuning yang baru saja kehilangan pemiliknya, lalu bergantian ke arah taksi biru yang kini sudah melaju ke tengah jalan raya hingga sorot lampunya mulai menghilang di balik asap knalpot mobil yang berbaur dengan derasnya hujan. Apakah pria itu memberinya payung ini karena dia tidak tahu bukan itu alasan Lian duduk sendirian di halte ini? Gadis itu meletakkan benda lusuh tersebut di sisinya lalu kembali menjatuhkan badannya ke bangku halte.

Suara dering telepon membuat gadis itu terkesiap dari lamunannya. Ia menegakkan dirinya yang dari tadi kerap bersandar di dinding halte yang dingin itu. Ternyata panggilan telepon dari Indri.

“Kau tadi meneleponku, ya? Ada apa?”

Lian tidak serta merta menjawabnya. Ia memandang sepatu datarnya yang kini sudah kotor dan lembab terkena cipratan air hujan lalu menarik napas.

“Aku hanya merindukanmu,” katanya bercanda.

“Apa kau dimarahi Profesor?” Indri benar-benar sangat menakutkan karena dia selalu saja bisa menebak pikiran dan situasi yang Lian hadapi.

“Memangnya Profesor pernah memarahiku?”

“Ah..., sepertinya yang memarahimu adalah ‘Roz’ ya?” Roz itu julukan Indri untuk Bu Eri, salah satu staf keuangan rektorat yang sering mengomeli Lian. Dia dijuluki seperti itu karena mengenakan kacamata yang mirip dengan karakter yang muncul di film Monster Inc. “Memangnya kau sudah menyebabkan berapa banyak masalah, sih?” lanjut wanita itu.

“Kau pikir aku tukang cari masalah?”

“Sifatmu yang tidak bisa menangani masalah itu yang bermasalah,” kata Indri langsung menujam ke jantung Lian. Tapi gadis itu tidak marah. Sahabatnya itu memang suka blak-blakan. Bisa dibilang, Lian sudah terbiasa.

“Aku kesal karena orang-orang selalu saja ingin aku memenuhi standar kebahagiaan mereka,” ungkap Lian. Senyum tipisnya kini mulai redup.

“Memangnya siapa yang bilang seperti itu? Tunggu, apa kau menemui perempuan itu?” Sekali lagi Indri berhasil menebaknya seperti cenayang.

“Seharusnya aku mendengarkanmu.”

“Haaah ....” Indri menghela napasnya kesal. “Sudah kubilang kau tidak boleh menemui orang-orang yang akan memperburuk kondisimu, kan? Kita memang terlihat seperti memutuskan hubungan dengan orang lain. Tapi kalau berhubungan dengannya membuatmu seperti ini, siapa yang akan rugi? Cuma kau,” Indri mengomel. Sekali lagi, Lian sudah terbiasa dengan ini.

“Apa aku sebagai wanita memang seburuk itu?” tanya Lian tiba-tiba.

“Apa lagi maksudmu?”

“Aku tidak cantik, tidak kaya. Aku pikir aku bisa menutupi semua itu jika aku punya pendidikan yang bagus. Tapi kenapa pendidikanku kini justru terlihat seperti wabah penyakit bagi orang-orang itu? ‘Seharusnya kau bekerja saja, seharusnya kau menghasilkan banyak uang dan membeli kebahagiaan dengan uang itu’, kata-kata seperti itu entah kenapa sangat menusukku.” Gadis itu tercekat.

“Kalau dulu aku masih bisa mentertawainya karena mereka tidak tahu apa-apa tentangku. Tapi sekarang, aku jadi mudah emosi karena perkataan mereka ada benarnya. Kenapa dulu aku memilih pendidikan untuk menutupi kekuranganku ya?” Lian mendesah dan memandangi aspal jalanan yang sedikit berbayang karena matanya mulai berkaca-kaca lagi.

“Kau bilang itu karena orang yang kau sukai, kan?”

“Benar. Dan itu membuatku kini terlihat lebih bodoh karena melakukannya untuk orang yang bahkan sampai saat ini aku tidak tahu ada di mana.” Lian menertawakan dirinya sendiri.

“Dia masih tidak menghubungimu sejak hari itu?” tanya Indri. Lian menggelengkan kepalanya sedih seolah-olah Indri bisa melihat gerakannya kini.

“Bukankah sudah waktunya kau untuk melupakannya? Dari ceritamu waktu itu aku rasa dia bukanlah orang yang tepat untukmu,” tutur Indri hati-hati, seolah dia juga sudah tahu bahwa Lian pasti akan menggelengkan kepalanya di seberang telepon.

“Benar, kan? Aku juga merasa seperti itu. Tapi karena dia tidak bilang apapun hingga saat ini, aku jadi bertanya-tanya sampai akhirnya lelah sendiri. Mungkin saja hari itu aku sudah salah paham tentang ekspresinya. Apa aku harus melupakannya? Apa aku sudah harus berhenti mulai dari sekarang?

“Tapi In, setiap aku berpikir seperti itu, orang itu akan datang lagi. Dia selalu muncul kembali di hadapanku. Ini sudah yang keberapa kalinya. Karena itu aku tidak bisa berhenti dan tetap menantikan hari ketika dia muncul secara kebetulan seperti dulu. Aku harus bagaimana In?

"Bagaimana jika kemunculannya kali ini membawa berita yang tidak ingin kudengar?”

***

Related chapters

  • Mentari di Balik Awan   4. PENOLAKAN

    -Enam setengah jam sebelumnya-“Apa Ibu tidak keterlaluan? Aku bahkan belum masuk ke rumah.” Awan turun dari taksi lalu memberikan ongkos kepada sang supir yang baru saja mengambil ranselnya dari bagasi. Supir taksi itu berterima kasih dengan suara pelan dan hanya dibalas dengan seutas senyuman dan anggukan kecil oleh Awan. Pria itu memakai ranselnya yang kelihatan cukup berat ke dalam gedung apartemen sambil tetap menempelkan ponselnya di telinga.“Kau sendiri? Apa tidak keterlaluan? Kau tidak bilang pada Ibu kalau sudah mengundurkan diri dari tempat kerjamu. Katakan! Di mana kau sekarang? Reka bilang kau sudah sampai di Jogja sejak satu minggu yang lalu. Tapi kenapa tidak langsung mengunjungi kami?” omel ibunya di seberang telepon. Awan sibuk bicara dengan seorang petugas di lobi. Setelah urusannya selesai, Awan langsung mengalihkan diri ke arah lift sambil membenarkan ponsel di telinganya.“Aku cuma ingin suasana baru. Sudah bera

  • Mentari di Balik Awan   5. PENOLAKAN (LAGI)

    [Sedang apa?] Awan mengetikkan sesuatu di ponselnya dengan wajah cerah. Dia bergegas memasuki lift saat pintu otomatis itu mulai terbuka. Tidak ada pesan jawaban. Mungkin karena dia sudah berada di dalam, jadi sinyalnya putus-putus. Awan mengatupkan bibirnya. Ada satu pria lagi yang masuk lift bersamanya. Jadi dia berusaha untuk tidak tersenyum sendirian seperti orang gila. Sepanjang waktu pria itu hanya menatap layar gawainya. Dia sempat teringat dua wanita yang baru saja ia temui siang tadi. Awan menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk menyingkirkan ingatan memalukan itu. Setidaknya kali ini dia tidak akan mendapat penolakan, ‘kan? Bunyi pintu lift yang akan terbuka berdenting. Awan dan juga pria yang tadi masuk bersamanya keluar dari sana tanpa memedulikan kehadiran masing-masing. Awan menghentikan langkahnya. Daripada berjalan menuju lokasi yang ingin ditujunya, pria itu memilih duduk di tangga darurat dan bermaksud untuk menunggu jawaban beberapa

  • Mentari di Balik Awan   6. KETIKA HUJAN DI HALTE (BAGIAN AWAN)

    [Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi. Lagi pula ibumu juga belum tahu tentang kita.] Awan menatap ponselnya dengan wajah tanpa ekspresi. Cahaya yang berasal dari layar ponsel itu sangat terang sampai-sampai hanya wajahnya saja yang kelihatan di trotoar yang mulai gelap itu. Ia menaikkan sandangan tasnya ke bahu lalu mulai mengetik sesuatu. [Terserahmu saja.] ‘Aku tidak peduli lagi’. Pria itu dengan kasar menaruh ponselnya di saku celana lalu mulai melangkahkan kakinya ke arah halte bus yang berjarak 50 meter dari tempat ia berdiri sekarang. Pikirannya kosong. Suasana hatinya mulai kacau seiring dengan kemunculan gulungan awan hitam yang mulai menutupi kota ini. Gerimis mulai turun. Bau debu dan aspal yang baru saja terkena air hujan menyeruak menembus relung hidungnya. Lampu-lampu di sepanjang trotoar sudah dihidupkan meskipun masih belum jam enam sore. Cepat-cepat ia mengambil payung lipat yang ada di tas kecilnya. Sejenak ia memperhatika

  • Mentari di Balik Awan   7. PAGI YANG TERLAMBAT

    Suara dering ponsel membuat Lian terkejap dari tidurnya. Selama sebulan ini ia selalu lembur malam untuk menulis proposal tesisnya dan baru tidur selepas subuh. Ia benar-benar tidak bisa melakukannya di siang hari karena profesornya selalu saja memberi pekerjaan yang tidak pernah bisa habis dikerjakan sehari. Wanita itu kini melihat jam dinding dengan satu matanya yang masih belum terbuka seutuhnya. Sekarang baru jam delapan kurang tujuh. Siapa orang yang sudah berani-beraninya mengganggu singa tidur?Wanita itu menggerutu dalam hati sebelum akhirnya ia melihat siapa yang mengiriminya pesan. Seperti biasa, Profesor Hadi. Beliau sepertinya sangat senang kalau mahasiswa bimbingannya bisa tetap bangun pagi setelah lembur seminggu penuh demi mengejar deadline progress report yang beliau minta. Lian menggulir layar ponselnya sambil membaca isi pesan yang tertulis di sana. Beliau meminta Lian ke ruangannya sebelum jam sebelas siang. Lian melirik ke dinding kamarnya sekali lagi. Kal

  • Mentari di Balik Awan   8. PERTEMUAN YANG KEMBALI TIDAK DISADARI

    Profesor Hadi menghentikan aktivitasnya menandatangani berkas yang Lian tidak tahu tentang apa. Kini beliau membenarkan kacamatanya dan memandang Lian. “Saya sudah mendengar beberapa hal tentang nilai praktikum yang mereka dapatkan.” Nilai praktikum? Kenapa tiba-tiba membahas nilai praktikum? Dahi Lian mengernyit. Dalam waktu beberapa detik pikiran Lian terbang jauh menuju ke ingatan sebulan lalu saat ia menjadi asisten pengganti praktikum lapang mahasiswa S1 jurusannya. Ah, apa profesornya sedang membicarakan tentang praktikum lapang sebulan yang lalu? Darah Lian berdesir cepat. Hanya dengan mengingatnya saja ia mulai merasa emosi. Beberapa hari setelah ia menjadi asisten, salah seorang perwakilan dari mahasiswa yang mengikuti lokakarya mendatanginya. Mahasiswa itu meminta Lian untuk membantu mereka mengerjakan pengolahan data. Lian bisa saja mengajari mereka lagi sampai mereka mampu mengolah data sendiri. Tapi yang membuat Lian kesal, mereka dengan santainy

  • Mentari di Balik Awan   9. PERTEMUAN PERTAMA, TIDAK, YANG KEEMPAT

    Yuan membuka pintu besar yang mengarah langsung ke dalam aula dan sekarang sudah ramai dengan orang-orang yang fokus pada dekan di depan auditorium sedang menyampaikan kata sambutannya. Mata Yuan berkeliling dan menemukan Lian kini duduk di pojok kanan dekat dengan dinding dan prasmanan. “Sempurna.” Yuan tersenyum dalam hati. Ia memang sudah berpesan pada Lian jika wanita itu datang duluan, ia harus mencari tempat duduk yang paling dekat dengan tempat makan. Yuan tidak sempat sarapan tadi pagi karena harus menyelesaikan laporan dosennya pagi ini dan ia kelaparan setengah mati sekarang. “Kau habis dari mana saja?” tanya Lian begitu Yuan menarik kursi di sebelahnya dan langsung duduk. “Buang sampah,” jawab Yuan asal-asalan. Matanya menatap bahagia ke arah makanan dan dessert yang berada tepat di sebelah Lian. Ia sangat ingin menggapai kudapan cantik itu, tapi tangannya ditepis oleh Lian yang kini melotot tajam padanya sambil mendesis, “nanti!”

  • Mentari di Balik Awan   10. KETIKA HUJAN DATANG, AKU MELIHATMU LAGI

    “Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su

  • Mentari di Balik Awan   11. I DON'T KNOW. CAN I?

    “Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m

Latest chapter

  • Mentari di Balik Awan   BAB 18. Telepon dari Ibu

    Awan kembali mendekat ke arah jendela pantry. Ia ingin memastikan bahwa Lian memang benar-benar menyebut namanya. “Ah, iya … nanti akan saya sampaikan pada Pak Awan. Baik ….”Betul. Awan tidak salah. Wanita itu memang berbicara dengan seseorang yang mungkin saja dia kenal. Tapi siapa?Awan menaruh gelas kopinya di meja lalu menghampiri Lian yang kini masih berbicara di telepon. Wajah Lian mengatakan bahwa ia ingin menyelesaikan pembicaraan itu. Tapi sepertinya seseorang di seberang telepon masih saja terus bicara padanya. Lian melihat Awan yang kini berjalan ke arahnya. Dia sudah cukup sulit memikirkan bagaimana cara menghentikan panggilan telepon itu. Dan kini ada satu orang lagi yang sudah pasti akan memintanya untuk segera kembali ke ruangan.“Siapa?” tanya Awan setengah berbisik. Dia tahu tidak sopan untuk bertanya siapa yang menelepon wanita itu karena privasi. Tapi karena Lian menyebut namanya, dia setengah mati ingin tahu. Pria itu benci dengan rasa penasaran.“Itu ….” Lian s

  • Mentari di Balik Awan   BAB 17. TELEPON DARI SESEORANG

    Awan mengucek matanya yang mulai lelah. Sudah tiga jam setengah dia berkutat di depan laptop. Sambil menatap layar tanpa berkedip, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard. Pekerjaannya jauh lebih banyak dari yang dia kira. Sedangkan yang membantunya lembur hari ini cuma Lian–yang kini sedang tidak berada di mejanya, lalu dua mahasiswa laki-laki yang ditunjuk Profesor Hadi untuk membantu mereka di lapangan.“Pak Awan mau makan apa?” tanya salah satu mahasiswa berbadan bongsor yang duduk di arah kiri dekat pintu. Dia bilang namanya Iruz. Mahasiswa S1 tahun kelima. Profesor Hadi bilang proyek itu kesempatan terakhirnya untuk dibiayai oleh beliau. Jika tidak maka pemuda itu harus menanggung sendiri penelitiannya, atau pergi ke perusahaan sebagai mahasiswa magang.Kesempatan magang di perusahaan sebenarnya adalah ide yang bagus. Hanya saj

  • Mentari di Balik Awan   BAB 16. ALARM

    “Wajahmu kusut sekali? Apa ada masalah saat menyiapkan kebutuhan untuk akuisisi minggu depan?” tanya seorang wanita berhijab pada Awan yang kini sedang duduk di kursi kantin sambil melahap sarapannya. Dia Rinda, dosen wanita pertama yang satu angkatan lebih tua dari Awan di kampus itu–aslinya mereka seumuran. Kini ia duduk di depan Awan dan juga sedang menghabiskan beberapa suapan terakhir dari piringnya. Seharusnya pagi ini mereka tidak sendirian. Tapi beberapa orang telah menyelesaikan sarapan mereka dan langsung menuju kantor untuk bekerja. Awan belum ada jadwal mengajar jadi dia memutuskan untuk sarapan dulu di kantin khusus pegawai. Sementara Rinda, dia memang penunggu kantin. Hampir tiap pagi dia ke sana karena terlalu malas untuk masak di apartemennya.“Pagi tadi aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mematikan alarm dan itu membuatku kesal,” keluh Awan sedikit menggerutu.“Alarm? Memangnya sesulit apa mematikan alarm sampai membuatmu sekesal itu?” “Aku juga baru tahu kala

  • Mentari di Balik Awan   15. GAWAI YANG TERTUKAR

    Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke

  • Mentari di Balik Awan   14. CALON ISTRI UNTUK IBU

    Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib

  • Mentari di Balik Awan   13. Awal Proyek Tesis

    “Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann

  • Mentari di Balik Awan   12. DERU SUARA MOTOR

    “Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.” Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya. Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny

  • Mentari di Balik Awan   11. I DON'T KNOW. CAN I?

    “Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m

  • Mentari di Balik Awan   10. KETIKA HUJAN DATANG, AKU MELIHATMU LAGI

    “Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su

DMCA.com Protection Status