-Enam setengah jam sebelumnya-
“Apa Ibu tidak keterlaluan? Aku bahkan belum masuk ke rumah.” Awan turun dari taksi lalu memberikan ongkos kepada sang supir yang baru saja mengambil ranselnya dari bagasi. Supir taksi itu berterima kasih dengan suara pelan dan hanya dibalas dengan seutas senyuman dan anggukan kecil oleh Awan. Pria itu memakai ranselnya yang kelihatan cukup berat ke dalam gedung apartemen sambil tetap menempelkan ponselnya di telinga.
“Kau sendiri? Apa tidak keterlaluan? Kau tidak bilang pada Ibu kalau sudah mengundurkan diri dari tempat kerjamu. Katakan! Di mana kau sekarang? Reka bilang kau sudah sampai di Jogja sejak satu minggu yang lalu. Tapi kenapa tidak langsung mengunjungi kami?” omel ibunya di seberang telepon. Awan sibuk bicara dengan seorang petugas di lobi. Setelah urusannya selesai, Awan langsung mengalihkan diri ke arah lift sambil membenarkan ponsel di telinganya.
“Aku cuma ingin suasana baru. Sudah berapa kali aku bilang pada Ibu, ‘kan. Dan seminggu ini aku membantu seniorku di lapangan. Jadi tidak bisa langsung pulang.”
Orang-orang yang mengantri lift cukup banyak. Apartemen Awan ada di lantai empat. Daripada menunggu di sini sambil bicara dengan ibunya dan dianggap anak mama oleh orang-orang, pria itu akhirnya memutuskan untuk naik tangga saja.
“Setidaknya temui saja dia dulu. Anaknya baik. Papanya juga kenal ayahmu. Aku sudah terlanjur bilang dengan mamanya kalau aku setuju dengan pertemuan kalian.”
Awan menghela napas. “Ibu tahu kan aku tidak suka dijodohkan.” Pria itu berhenti sejenak begitu dia mencapai tangga di lantai dua. Setelah itu ia melanjutkan langkahnya. “Aku sudah bilang dulu kalau ada seseorang yang kusukai.”
“Karena itu lah aku bilang padamu untuk segera membawa orang itu ke rumah!” sahut ibunya.
“Apa Ibu tidak bisa bersabar sedikit lagi? Waktunya belum tepat.”
“Setahun lalu kau juga bilang begitu. Pokoknya untuk sekarang temui saja dia dulu. Aku akan memberikan nomormu padanya. Aku sudah bilang kalau kau sekarang ada di Jogja. Ajak dia makan siang dan tinggalkan kesan baik padanya. Kalau aku mendengar mamanya mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan tentangmu, aku akan menjambak rambutmu begitu kau pulang.”
“Ibu ... itu ....”
Bunyi panggilan telepon yang sudah tertutup terdengar nyaring di telinga Awan. Pria itu memandang ponselnya. Layar benda persegi panjang itu kini sudah kembali ke bagian home. Beberapa saat kemudian ibunya mengirim pesan padanya.
[Kafe Elliana, jam sebelas siang].
Awan melirik arlojinya. Astaga. Waktunya hanya 20 menit dari sekarang.
***
“Anda memang bukan tipeku. Aku tidak suka pria botak yang tidak bekerja dan juga tidak tertarik dijodohkan.” Balasan wanita yang kini duduk di depannya membuat Awan sedikit terkejut. Dia sudah bisa memprediksinya sejak wanita itu hanya membalas teleponnya dengan singkat tadi.
Tadi Awan menghubungi wanita itu setelah dia tiba dan bilang kalau dia sedikit terlambat karena baru saja pulang mengambil data lapangan di daerah Dieng. Awan harus membereskan pakaiannya di hotel dan kembali ke apartemennya di daerah Depok, baru ia bisa ke kafe yang dijanjikan. Karena wanita itu bergelut di bidang yang sama dengannya, dia cukup paham.
Meskipun wanita itu bilang tidak masalah, tapi Awan melihatnya di seberang jalan setelah mereka selesai menelepon dan ekspresi wanita itu terlihat sebal saat Awan bilang dia akan sedikit terlambat. Padahal wanita itu juga sampai hampir berbarengan dengannya, tapi apa dia harus memasang ekspresi seperti itu?
Awan mencoba bersabar. Dia menyunggingkan senyuman pada wanita itu. Orang-orang bilang, senyumnya bisa mencairkan hati yang beku.
“Benar, bagus. Kau juga berpikir seperti itu, ‘kan?” Pria itu kini membuka genggaman tangannya dan duduk santai sambil menempelkan bahunya di punggung kursi. “Ngomong-ngomong ini buzz-cut. Bukan botak,” sanggah pria itu kemudian sambil menunjuk kepalanya.
Awan kini mulai mengoceh tentang betapa keterlaluannya orang tua jaman sekarang yang tidak bisa berpikiran terbuka tentang kisah percintaan anaknya. Dia memberi opini yang dulu sudah sering diceritakan oleh teman-teman kantornya saat sedang menggosipkan putusnya hubungan atau perceraian orang lain di sekitar mereka. Dia tidak sadar jadi lebih cerewet dari biasanya tanpa menghiraukan tatapan aneh dari wanita yang ada di hadapannya ini.
“Maaf ....” wanita itu menyela. Awan berhenti mengoceh dan menoleh. “Aku sedikit sibuk. Entah siapa yang sedang dijodohkan dengan anda, tapi anda tidak perlu mencurahkannya padaku, ‘kan?”
Awan mematung sejenak. “Bukan kau orangnya?” tanya pria itu begitu saraf otaknya kembali berfungsi. Wanita di depannya menaikkan pundaknya.
“Tapi itu benar kok, rambut ikal sebahu, blus baby blue, dan rok ....” Pria itu melirik ke bawah meja dan melihat wanita itu mengenakan celana jeans.
Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, gawainya tiba-tiba berdering. Awan menatap benda persegi panjang itu sekilas dan memandang wanita di depannya setengah tidak percaya. Pria itu mengangkat telepon sambil menelan saliva.
“Maaf. Karena kau bilang akan terlambat, aku tanpa sadar juga berjalan dengan santai. Apa kau sudah sampai di sana? Aku sudah di seberang jalan.” Suara seorang wanita dan suara riuh kendaraan di sekitarnya membuat Awan seketika memandang ke arah jalan raya.
“Ya, aku sudah di sini. Tidak. Kau tidak perlu ke sini. Tempatnya tidak bagus. Kita ke kafe lain saja. Aku akan keluar sekarang,” ucap pria itu gopoh. Ia melirik wanita di depannya sekilas lalu memasukkan gawainya di saku celana.
“Maaf. Sepertinya aku salah orang.”
Wanita itu tersenyum datar.
“Tolong lupakan ini. Oh, lagipula kita tidak akan berjumpa lagi. Saya permisi dulu.” Awan berdiri sambil menggeser kursi dengan gagap lalu menundukkan kepalanya sedikit pada wanita itu dan bergegas pergi.
***
“Aku sudah punya pacar yang ingin kunikahi.”
Awan memijat-mijat punggung tangannya yang tidak pegal. Dia sejak tadi diam saja dan membiarkan wanita manis berambut ikal sebahu di hadapannya bicara sesuka hati. Jiwanya sejak tadi masih tertinggal di Elliana. Awan teringat peristiwa memalukan yang baru saja terjadi antara dia dan wanita lain sebelum ini.
“Aku setuju terlibat dalam rencana orang tuaku karena belum bilang soal pacarku. Setelah ini aku rasa harus mengatakannya dengan jujur pada mereka. Jadi mari kita akhiri di sini saja.” Wanita itu memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu bermaksud untuk berdiri.
“Kau tidak perlu khawatir. Ibu kita hanya iseng membuat pertemuan ini karena ayah kita berteman. Aku jamin tidak akan ada yang terjadi di antara mereka meskipun kita menolak dijodohkan,” tambahnya. Dia memandang Awan yang kini hanya duduk melamun di kursinya tanpa berkata apapun. Wanita ini tidak yakin pria itu mendengar apa yang baru saja ia bicarakan.
“Kau mendengarku, ‘kan?” Wanita itu menempelkan telapak tangannya dan mencondongkan kepalanya ke dekat Awan yang darahnya kini kembali mengalir lancar di otaknya.
“Oh, ya. Tentu saja.” Awan mengangguk-angguk. “Aku juga belum punya pekerjaan,” jawab pria itu melantur. Sepertinya ada darah yang tersumbat di otaknya. Wanita di depannya kembali menegakkan tubuhnya dan menghela napas. Setelah itu ia menurunkan sedikit kepalanya untuk berpamitan. Namun sebelum ia membalikkan badan, ia kembali menatap Awan.
“Ah ya, bukankah kau alumni College of Geoscience di Tsukuba?”
Awan mendongak. “Ya. Kenapa?”
“Aku sudah mendengar rumornya,” kata wanita itu. Awan mematung di kursi. Ia hanya mengarahkan iris matanya ke wanita itu dan raut wajahnya mulai berubah.
“Rumor apa?” tanya Awan dengan suara datar.
“Kau tahu kan, dunia geosains itu memang luas, tapi orang yang ada di dalamnya cuma yang itu-itu saja. Jadi satu-dua kenalanku juga mengenal Awan Kalani yang bukannya masuk ke Universitas Kyoto, justru memilih ke Tsukuba meski world rate campusnya lebih kecil ....”
“Jangan banyak bicara. Aku cuma tanya rumor apa yang kau dengar tentangku?” Suara Awan kini mulai terdengar berat. Wanita itu sedikit jengkel. Dia bahkan belum menyelesaikan kata-katanya, tapi pria itu sudah memotongnya dengan nada yang menyebalkan. Wanita itu kini melipat tangannya dan tersenyum seringai menatap Awan.
“Banyak. Misalnya ... alasan kenapa Awan Kalani yang merupakan interpreter jenius di SK Energy memilih untuk mengundurkan diri.”
***
[Sedang apa?] Awan mengetikkan sesuatu di ponselnya dengan wajah cerah. Dia bergegas memasuki lift saat pintu otomatis itu mulai terbuka. Tidak ada pesan jawaban. Mungkin karena dia sudah berada di dalam, jadi sinyalnya putus-putus. Awan mengatupkan bibirnya. Ada satu pria lagi yang masuk lift bersamanya. Jadi dia berusaha untuk tidak tersenyum sendirian seperti orang gila. Sepanjang waktu pria itu hanya menatap layar gawainya. Dia sempat teringat dua wanita yang baru saja ia temui siang tadi. Awan menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk menyingkirkan ingatan memalukan itu. Setidaknya kali ini dia tidak akan mendapat penolakan, ‘kan? Bunyi pintu lift yang akan terbuka berdenting. Awan dan juga pria yang tadi masuk bersamanya keluar dari sana tanpa memedulikan kehadiran masing-masing. Awan menghentikan langkahnya. Daripada berjalan menuju lokasi yang ingin ditujunya, pria itu memilih duduk di tangga darurat dan bermaksud untuk menunggu jawaban beberapa
[Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi. Lagi pula ibumu juga belum tahu tentang kita.] Awan menatap ponselnya dengan wajah tanpa ekspresi. Cahaya yang berasal dari layar ponsel itu sangat terang sampai-sampai hanya wajahnya saja yang kelihatan di trotoar yang mulai gelap itu. Ia menaikkan sandangan tasnya ke bahu lalu mulai mengetik sesuatu. [Terserahmu saja.] ‘Aku tidak peduli lagi’. Pria itu dengan kasar menaruh ponselnya di saku celana lalu mulai melangkahkan kakinya ke arah halte bus yang berjarak 50 meter dari tempat ia berdiri sekarang. Pikirannya kosong. Suasana hatinya mulai kacau seiring dengan kemunculan gulungan awan hitam yang mulai menutupi kota ini. Gerimis mulai turun. Bau debu dan aspal yang baru saja terkena air hujan menyeruak menembus relung hidungnya. Lampu-lampu di sepanjang trotoar sudah dihidupkan meskipun masih belum jam enam sore. Cepat-cepat ia mengambil payung lipat yang ada di tas kecilnya. Sejenak ia memperhatika
Suara dering ponsel membuat Lian terkejap dari tidurnya. Selama sebulan ini ia selalu lembur malam untuk menulis proposal tesisnya dan baru tidur selepas subuh. Ia benar-benar tidak bisa melakukannya di siang hari karena profesornya selalu saja memberi pekerjaan yang tidak pernah bisa habis dikerjakan sehari. Wanita itu kini melihat jam dinding dengan satu matanya yang masih belum terbuka seutuhnya. Sekarang baru jam delapan kurang tujuh. Siapa orang yang sudah berani-beraninya mengganggu singa tidur?Wanita itu menggerutu dalam hati sebelum akhirnya ia melihat siapa yang mengiriminya pesan. Seperti biasa, Profesor Hadi. Beliau sepertinya sangat senang kalau mahasiswa bimbingannya bisa tetap bangun pagi setelah lembur seminggu penuh demi mengejar deadline progress report yang beliau minta. Lian menggulir layar ponselnya sambil membaca isi pesan yang tertulis di sana. Beliau meminta Lian ke ruangannya sebelum jam sebelas siang. Lian melirik ke dinding kamarnya sekali lagi. Kal
Profesor Hadi menghentikan aktivitasnya menandatangani berkas yang Lian tidak tahu tentang apa. Kini beliau membenarkan kacamatanya dan memandang Lian. “Saya sudah mendengar beberapa hal tentang nilai praktikum yang mereka dapatkan.” Nilai praktikum? Kenapa tiba-tiba membahas nilai praktikum? Dahi Lian mengernyit. Dalam waktu beberapa detik pikiran Lian terbang jauh menuju ke ingatan sebulan lalu saat ia menjadi asisten pengganti praktikum lapang mahasiswa S1 jurusannya. Ah, apa profesornya sedang membicarakan tentang praktikum lapang sebulan yang lalu? Darah Lian berdesir cepat. Hanya dengan mengingatnya saja ia mulai merasa emosi. Beberapa hari setelah ia menjadi asisten, salah seorang perwakilan dari mahasiswa yang mengikuti lokakarya mendatanginya. Mahasiswa itu meminta Lian untuk membantu mereka mengerjakan pengolahan data. Lian bisa saja mengajari mereka lagi sampai mereka mampu mengolah data sendiri. Tapi yang membuat Lian kesal, mereka dengan santainy
Yuan membuka pintu besar yang mengarah langsung ke dalam aula dan sekarang sudah ramai dengan orang-orang yang fokus pada dekan di depan auditorium sedang menyampaikan kata sambutannya. Mata Yuan berkeliling dan menemukan Lian kini duduk di pojok kanan dekat dengan dinding dan prasmanan. “Sempurna.” Yuan tersenyum dalam hati. Ia memang sudah berpesan pada Lian jika wanita itu datang duluan, ia harus mencari tempat duduk yang paling dekat dengan tempat makan. Yuan tidak sempat sarapan tadi pagi karena harus menyelesaikan laporan dosennya pagi ini dan ia kelaparan setengah mati sekarang. “Kau habis dari mana saja?” tanya Lian begitu Yuan menarik kursi di sebelahnya dan langsung duduk. “Buang sampah,” jawab Yuan asal-asalan. Matanya menatap bahagia ke arah makanan dan dessert yang berada tepat di sebelah Lian. Ia sangat ingin menggapai kudapan cantik itu, tapi tangannya ditepis oleh Lian yang kini melotot tajam padanya sambil mendesis, “nanti!”
“Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su
“Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m
“Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.” Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya. Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny
Awan kembali mendekat ke arah jendela pantry. Ia ingin memastikan bahwa Lian memang benar-benar menyebut namanya. “Ah, iya … nanti akan saya sampaikan pada Pak Awan. Baik ….”Betul. Awan tidak salah. Wanita itu memang berbicara dengan seseorang yang mungkin saja dia kenal. Tapi siapa?Awan menaruh gelas kopinya di meja lalu menghampiri Lian yang kini masih berbicara di telepon. Wajah Lian mengatakan bahwa ia ingin menyelesaikan pembicaraan itu. Tapi sepertinya seseorang di seberang telepon masih saja terus bicara padanya. Lian melihat Awan yang kini berjalan ke arahnya. Dia sudah cukup sulit memikirkan bagaimana cara menghentikan panggilan telepon itu. Dan kini ada satu orang lagi yang sudah pasti akan memintanya untuk segera kembali ke ruangan.“Siapa?” tanya Awan setengah berbisik. Dia tahu tidak sopan untuk bertanya siapa yang menelepon wanita itu karena privasi. Tapi karena Lian menyebut namanya, dia setengah mati ingin tahu. Pria itu benci dengan rasa penasaran.“Itu ….” Lian s
Awan mengucek matanya yang mulai lelah. Sudah tiga jam setengah dia berkutat di depan laptop. Sambil menatap layar tanpa berkedip, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard. Pekerjaannya jauh lebih banyak dari yang dia kira. Sedangkan yang membantunya lembur hari ini cuma Lian–yang kini sedang tidak berada di mejanya, lalu dua mahasiswa laki-laki yang ditunjuk Profesor Hadi untuk membantu mereka di lapangan.“Pak Awan mau makan apa?” tanya salah satu mahasiswa berbadan bongsor yang duduk di arah kiri dekat pintu. Dia bilang namanya Iruz. Mahasiswa S1 tahun kelima. Profesor Hadi bilang proyek itu kesempatan terakhirnya untuk dibiayai oleh beliau. Jika tidak maka pemuda itu harus menanggung sendiri penelitiannya, atau pergi ke perusahaan sebagai mahasiswa magang.Kesempatan magang di perusahaan sebenarnya adalah ide yang bagus. Hanya saj
“Wajahmu kusut sekali? Apa ada masalah saat menyiapkan kebutuhan untuk akuisisi minggu depan?” tanya seorang wanita berhijab pada Awan yang kini sedang duduk di kursi kantin sambil melahap sarapannya. Dia Rinda, dosen wanita pertama yang satu angkatan lebih tua dari Awan di kampus itu–aslinya mereka seumuran. Kini ia duduk di depan Awan dan juga sedang menghabiskan beberapa suapan terakhir dari piringnya. Seharusnya pagi ini mereka tidak sendirian. Tapi beberapa orang telah menyelesaikan sarapan mereka dan langsung menuju kantor untuk bekerja. Awan belum ada jadwal mengajar jadi dia memutuskan untuk sarapan dulu di kantin khusus pegawai. Sementara Rinda, dia memang penunggu kantin. Hampir tiap pagi dia ke sana karena terlalu malas untuk masak di apartemennya.“Pagi tadi aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mematikan alarm dan itu membuatku kesal,” keluh Awan sedikit menggerutu.“Alarm? Memangnya sesulit apa mematikan alarm sampai membuatmu sekesal itu?” “Aku juga baru tahu kala
Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke
Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib
“Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann
“Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.” Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya. Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny
“Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m
“Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su