[Sedang apa?]
Awan mengetikkan sesuatu di ponselnya dengan wajah cerah. Dia bergegas memasuki lift saat pintu otomatis itu mulai terbuka. Tidak ada pesan jawaban. Mungkin karena dia sudah berada di dalam, jadi sinyalnya putus-putus. Awan mengatupkan bibirnya. Ada satu pria lagi yang masuk lift bersamanya. Jadi dia berusaha untuk tidak tersenyum sendirian seperti orang gila.
Sepanjang waktu pria itu hanya menatap layar gawainya. Dia sempat teringat dua wanita yang baru saja ia temui siang tadi. Awan menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk menyingkirkan ingatan memalukan itu. Setidaknya kali ini dia tidak akan mendapat penolakan, ‘kan?
Bunyi pintu lift yang akan terbuka berdenting. Awan dan juga pria yang tadi masuk bersamanya keluar dari sana tanpa memedulikan kehadiran masing-masing. Awan menghentikan langkahnya. Daripada berjalan menuju lokasi yang ingin ditujunya, pria itu memilih duduk di tangga darurat dan bermaksud untuk menunggu jawaban beberapa menit.
[Tidak ada. Aku baru saja tiba di rumah.]
Akhirnya sebuah jawaban muncul. Awan kembali tersenyum. Dengan cepat ia menjawab pesan itu.
[Aku sudah kembali. Oleh-oleh untukmu akan segera tiba.]
Kali ini lama tidak ada jawaban. Awan mulai bosan menunggu di sana. Ia berdiri dari sana dan mulai berjalan menuju ke sebuah pintu yang ada di bagian paling pojok apartemen itu. Pria itu berniat untuk mengejutkan seseorang yang ada di dalamnya.
Awan mengambil ponselnya kembali dan menelepon seseorang. Kali ini dia tidak ingin menunggu lagi. Pria itu menempelkan ponsel cukup lama di telinganya. Setelah berlalu satu menit, akhirnya seseorang mengangkat panggilan teleponnya.
“Kubilang oleh-olehnya akan segera tiba,” kata Awan bersemangat. Seseorang di seberang telepon tampaknya bingung apa yang baru saja dimaksud oleh pria itu.
“Apa maksudmu dengan oleh-oleh?” Itu adalah suara seorang wanita.
“Coba saja buka pintu apartemenmu.”
“Jangan bercanda. Tidak ada kurir yang menekan bel pintu rumahku. Kenapa tidak kauberikan langsung kapan- ....”
Pintu itu terbuka seiring dengan keluarnya seorang wanita berambut panjang yang mengenakan kemeja krem polos dan celana longgar selutut.
“Awan?”
“Kejutan!”
“Apa yang kau lakukan di sini?” Wanita itu menampakkan wajah yang tidak terlihat senang, tapi juga tidak merasa kesal. Hanya wajah sedikit terkejut karena kehadiran seseorang yang sudah tidak dilihatnya dalam waktu yang lama.
“Aku baru saja kembali dan cuma itu yang bisa kaukatakan?” tanya Awan sambil memasang ekspresi pura-pura tidak senang. Wanita itu memijat dahinya.
“Bukan. Bukan seperti itu. Tapi sekarang ....”
“Siapa?” Seseorang tiba-tiba saja menginterupsi mereka. Awan dan juga wanita itu seketika menoleh ke arah sumber suara secara bersamaan. Seorang pria menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang setengah ditutup oleh wanita itu. Awan memandang pria itu sekilas dengan tatapan bingung. Dia adalah pria yang masuk di lift bersamanya beberapa saat lalu. Setelah itu ia melihat ke arah wanita di depannya yang saat ini sama sekali tidak terlihat gugup, tapi malah menghela napas.
“Siapa Nad?” tanya pria itu sekali lagi.
“Teman,” ungkap wanita itu dan langsung membuat dunia Awan seketika runtuh.
***
“Kau seharusnya bilang dulu kalau mau datang.” Nadia melipat tangannya sambil mendengkus. Dia dan Awan kini sedang duduk di kafe yang berada tepat di seberang apartemen Nadia. Ini adalah kafe ketiga dan juga wanita ketiga yang Awan temui hari ini. Tidak ada yang berbeda dari mereka. Semuanya sama-sama membuat Awan tidak sanggup membuka mulutnya untuk sekadar menumpahkan rasa kesalnya.
“Kau bilang akan menungguku,” ucap Awan. Lagi-lagi wanita itu menghela napas.
“Tujuh tahun. Apa kau tahu itu ucapanku tujuh tahun yang lalu? Kau bilang mau kembali setelah menyelesaikan kuliahmu di Jepang. Lalu ternyata kau bekerja di Jakarta. Dan selama itu kau tidak pernah ada niat untuk melamarku,” jelas wanita itu. Ia meminum es kopinya dengan cepat lalu menaruh gelasnya di meja dengan kasar.
“Mungkin waktu selama itu terasa mudah bagimu karena kau laki-laki. Tapi tidak untukku, Awan. Dunia ini sangat keras untuk seorang wanita yang di umur 30 sepertiku belum juga menikah.”
Awan tidak membantah. Dia memijat sela-sela jarinya yang tidak pegal dan hanya memandang es kopi di depannya dengan tatapan kosong. Nadia yang melihat reaksi Awan setelah ia bicara panjang lebar memutar bola matanya dan mendesah. Kini wanita itu menyandarkan punggungnya di kursi dan kembali melipat tangannya. Matanya menatap ke arah lampu gantung di atas tempat mereka duduk. Selama beberapa menit tidak ada satu pun dari mereka yang membuka bibir. Alunan musik serta orang-orang yang mengobrol di kafe itu sedikit pun tidak berniat untuk memahami keheningan keduanya.
Awan saat ini memandang ke luar jendela. Langit mulai gelap meskipun belum jam lima sore. Ia menegakkan punggungnya dan mulai mengarahkan matanya pada wanita itu.
“Apa karena kau juga mendengar rumor tentangku? Aku tahu kau bukanlah wanita yang terlalu memperhatikan pendapat orang,” selidik Awan.
“Memangnya rumor itu penting? Semua orang melakukannya.”
Awan menaikkan ujung bibirnya tanpa mengubah ekspresi wajahnya. Dia mengangguk-angguk paham terhadap apa yang dikatakan oleh wanita itu.
“Ternyata kau juga percaya rumor itu, ya ....” Pria itu menggumam pelan. “Jadi kau memutuskan untuk menyerah denganku?” lanjutnya. Nadia mengangguk. Dia sama sekali tidak memiliki keraguan terhadap hal itu. Awan merasakan lehernya tercekat. Tapi dia berusaha untuk menahan diri. Dari tiga wanita yang ia temui hari ini, wanita inilah yang membuatnya hampir saja mengeluarkan air mata.
“Baiklah. Jika itu maumu,” lanjut Awan kemudian. Pria itu tersenyum. Dia bersyukur memiliki keahlian yang bahkan seorang ahli pembaca wajah di dunia ini mungkin saja tidak akan bisa menerka arti di balik setiap senyuman yang ia keluarkan.
Nadia melengos. Ia menyambar dompet dan ponselnya di meja lalu meninggikan badannya.
“Aku pulang dulu. Dia sudah menunggu lama.” Wanita itu menggeser kursi dan membalikkan badannya membelakangi Awan. Pria itu bergeming di tempatnya. Ia hanya mengalihkan mata ke arah luar jendela, berusaha untuk tidak melihat punggung wanita itu menjauh. Jika ia melakukannya, mungkin saja ia akan mengejar wanita itu meskipun dia harus pergi ke ujung dunia.
“Hei, Awan. Aku memang tidak berhak untuk mengatakannya sebagai orang yang dulu pernah menyukaimu. Tapi setidaknya, karna kita berteman, aku akan beritahu satu hal.” Wanita itu kembali menatap Awan. Pria itu mendongakkan wajahnya. Rasanya seperti dejavu.
“Aku tahu kau pria yang baik. Tapi sekali-kali kau harusnya bisa menjadi lebih serakah. Terutama jika itu sudah menyangkut orang-orang yang kaucintai.”
***
[Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi. Lagi pula ibumu juga belum tahu tentang kita.] Awan menatap ponselnya dengan wajah tanpa ekspresi. Cahaya yang berasal dari layar ponsel itu sangat terang sampai-sampai hanya wajahnya saja yang kelihatan di trotoar yang mulai gelap itu. Ia menaikkan sandangan tasnya ke bahu lalu mulai mengetik sesuatu. [Terserahmu saja.] ‘Aku tidak peduli lagi’. Pria itu dengan kasar menaruh ponselnya di saku celana lalu mulai melangkahkan kakinya ke arah halte bus yang berjarak 50 meter dari tempat ia berdiri sekarang. Pikirannya kosong. Suasana hatinya mulai kacau seiring dengan kemunculan gulungan awan hitam yang mulai menutupi kota ini. Gerimis mulai turun. Bau debu dan aspal yang baru saja terkena air hujan menyeruak menembus relung hidungnya. Lampu-lampu di sepanjang trotoar sudah dihidupkan meskipun masih belum jam enam sore. Cepat-cepat ia mengambil payung lipat yang ada di tas kecilnya. Sejenak ia memperhatika
Suara dering ponsel membuat Lian terkejap dari tidurnya. Selama sebulan ini ia selalu lembur malam untuk menulis proposal tesisnya dan baru tidur selepas subuh. Ia benar-benar tidak bisa melakukannya di siang hari karena profesornya selalu saja memberi pekerjaan yang tidak pernah bisa habis dikerjakan sehari. Wanita itu kini melihat jam dinding dengan satu matanya yang masih belum terbuka seutuhnya. Sekarang baru jam delapan kurang tujuh. Siapa orang yang sudah berani-beraninya mengganggu singa tidur?Wanita itu menggerutu dalam hati sebelum akhirnya ia melihat siapa yang mengiriminya pesan. Seperti biasa, Profesor Hadi. Beliau sepertinya sangat senang kalau mahasiswa bimbingannya bisa tetap bangun pagi setelah lembur seminggu penuh demi mengejar deadline progress report yang beliau minta. Lian menggulir layar ponselnya sambil membaca isi pesan yang tertulis di sana. Beliau meminta Lian ke ruangannya sebelum jam sebelas siang. Lian melirik ke dinding kamarnya sekali lagi. Kal
Profesor Hadi menghentikan aktivitasnya menandatangani berkas yang Lian tidak tahu tentang apa. Kini beliau membenarkan kacamatanya dan memandang Lian. “Saya sudah mendengar beberapa hal tentang nilai praktikum yang mereka dapatkan.” Nilai praktikum? Kenapa tiba-tiba membahas nilai praktikum? Dahi Lian mengernyit. Dalam waktu beberapa detik pikiran Lian terbang jauh menuju ke ingatan sebulan lalu saat ia menjadi asisten pengganti praktikum lapang mahasiswa S1 jurusannya. Ah, apa profesornya sedang membicarakan tentang praktikum lapang sebulan yang lalu? Darah Lian berdesir cepat. Hanya dengan mengingatnya saja ia mulai merasa emosi. Beberapa hari setelah ia menjadi asisten, salah seorang perwakilan dari mahasiswa yang mengikuti lokakarya mendatanginya. Mahasiswa itu meminta Lian untuk membantu mereka mengerjakan pengolahan data. Lian bisa saja mengajari mereka lagi sampai mereka mampu mengolah data sendiri. Tapi yang membuat Lian kesal, mereka dengan santainy
Yuan membuka pintu besar yang mengarah langsung ke dalam aula dan sekarang sudah ramai dengan orang-orang yang fokus pada dekan di depan auditorium sedang menyampaikan kata sambutannya. Mata Yuan berkeliling dan menemukan Lian kini duduk di pojok kanan dekat dengan dinding dan prasmanan. “Sempurna.” Yuan tersenyum dalam hati. Ia memang sudah berpesan pada Lian jika wanita itu datang duluan, ia harus mencari tempat duduk yang paling dekat dengan tempat makan. Yuan tidak sempat sarapan tadi pagi karena harus menyelesaikan laporan dosennya pagi ini dan ia kelaparan setengah mati sekarang. “Kau habis dari mana saja?” tanya Lian begitu Yuan menarik kursi di sebelahnya dan langsung duduk. “Buang sampah,” jawab Yuan asal-asalan. Matanya menatap bahagia ke arah makanan dan dessert yang berada tepat di sebelah Lian. Ia sangat ingin menggapai kudapan cantik itu, tapi tangannya ditepis oleh Lian yang kini melotot tajam padanya sambil mendesis, “nanti!”
“Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su
“Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m
“Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.” Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya. Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny
“Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann
Awan kembali mendekat ke arah jendela pantry. Ia ingin memastikan bahwa Lian memang benar-benar menyebut namanya. “Ah, iya … nanti akan saya sampaikan pada Pak Awan. Baik ….”Betul. Awan tidak salah. Wanita itu memang berbicara dengan seseorang yang mungkin saja dia kenal. Tapi siapa?Awan menaruh gelas kopinya di meja lalu menghampiri Lian yang kini masih berbicara di telepon. Wajah Lian mengatakan bahwa ia ingin menyelesaikan pembicaraan itu. Tapi sepertinya seseorang di seberang telepon masih saja terus bicara padanya. Lian melihat Awan yang kini berjalan ke arahnya. Dia sudah cukup sulit memikirkan bagaimana cara menghentikan panggilan telepon itu. Dan kini ada satu orang lagi yang sudah pasti akan memintanya untuk segera kembali ke ruangan.“Siapa?” tanya Awan setengah berbisik. Dia tahu tidak sopan untuk bertanya siapa yang menelepon wanita itu karena privasi. Tapi karena Lian menyebut namanya, dia setengah mati ingin tahu. Pria itu benci dengan rasa penasaran.“Itu ….” Lian s
Awan mengucek matanya yang mulai lelah. Sudah tiga jam setengah dia berkutat di depan laptop. Sambil menatap layar tanpa berkedip, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard. Pekerjaannya jauh lebih banyak dari yang dia kira. Sedangkan yang membantunya lembur hari ini cuma Lian–yang kini sedang tidak berada di mejanya, lalu dua mahasiswa laki-laki yang ditunjuk Profesor Hadi untuk membantu mereka di lapangan.“Pak Awan mau makan apa?” tanya salah satu mahasiswa berbadan bongsor yang duduk di arah kiri dekat pintu. Dia bilang namanya Iruz. Mahasiswa S1 tahun kelima. Profesor Hadi bilang proyek itu kesempatan terakhirnya untuk dibiayai oleh beliau. Jika tidak maka pemuda itu harus menanggung sendiri penelitiannya, atau pergi ke perusahaan sebagai mahasiswa magang.Kesempatan magang di perusahaan sebenarnya adalah ide yang bagus. Hanya saj
“Wajahmu kusut sekali? Apa ada masalah saat menyiapkan kebutuhan untuk akuisisi minggu depan?” tanya seorang wanita berhijab pada Awan yang kini sedang duduk di kursi kantin sambil melahap sarapannya. Dia Rinda, dosen wanita pertama yang satu angkatan lebih tua dari Awan di kampus itu–aslinya mereka seumuran. Kini ia duduk di depan Awan dan juga sedang menghabiskan beberapa suapan terakhir dari piringnya. Seharusnya pagi ini mereka tidak sendirian. Tapi beberapa orang telah menyelesaikan sarapan mereka dan langsung menuju kantor untuk bekerja. Awan belum ada jadwal mengajar jadi dia memutuskan untuk sarapan dulu di kantin khusus pegawai. Sementara Rinda, dia memang penunggu kantin. Hampir tiap pagi dia ke sana karena terlalu malas untuk masak di apartemennya.“Pagi tadi aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mematikan alarm dan itu membuatku kesal,” keluh Awan sedikit menggerutu.“Alarm? Memangnya sesulit apa mematikan alarm sampai membuatmu sekesal itu?” “Aku juga baru tahu kala
Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke
Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib
“Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann
“Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.” Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya. Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny
“Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m
“Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su