“Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.”
Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya.
Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny
“Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann
Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib
Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke
“Wajahmu kusut sekali? Apa ada masalah saat menyiapkan kebutuhan untuk akuisisi minggu depan?” tanya seorang wanita berhijab pada Awan yang kini sedang duduk di kursi kantin sambil melahap sarapannya. Dia Rinda, dosen wanita pertama yang satu angkatan lebih tua dari Awan di kampus itu–aslinya mereka seumuran. Kini ia duduk di depan Awan dan juga sedang menghabiskan beberapa suapan terakhir dari piringnya. Seharusnya pagi ini mereka tidak sendirian. Tapi beberapa orang telah menyelesaikan sarapan mereka dan langsung menuju kantor untuk bekerja. Awan belum ada jadwal mengajar jadi dia memutuskan untuk sarapan dulu di kantin khusus pegawai. Sementara Rinda, dia memang penunggu kantin. Hampir tiap pagi dia ke sana karena terlalu malas untuk masak di apartemennya.“Pagi tadi aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mematikan alarm dan itu membuatku kesal,” keluh Awan sedikit menggerutu.“Alarm? Memangnya sesulit apa mematikan alarm sampai membuatmu sekesal itu?” “Aku juga baru tahu kala
Awan mengucek matanya yang mulai lelah. Sudah tiga jam setengah dia berkutat di depan laptop. Sambil menatap layar tanpa berkedip, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard. Pekerjaannya jauh lebih banyak dari yang dia kira. Sedangkan yang membantunya lembur hari ini cuma Lian–yang kini sedang tidak berada di mejanya, lalu dua mahasiswa laki-laki yang ditunjuk Profesor Hadi untuk membantu mereka di lapangan.“Pak Awan mau makan apa?” tanya salah satu mahasiswa berbadan bongsor yang duduk di arah kiri dekat pintu. Dia bilang namanya Iruz. Mahasiswa S1 tahun kelima. Profesor Hadi bilang proyek itu kesempatan terakhirnya untuk dibiayai oleh beliau. Jika tidak maka pemuda itu harus menanggung sendiri penelitiannya, atau pergi ke perusahaan sebagai mahasiswa magang.Kesempatan magang di perusahaan sebenarnya adalah ide yang bagus. Hanya saj
Awan kembali mendekat ke arah jendela pantry. Ia ingin memastikan bahwa Lian memang benar-benar menyebut namanya. “Ah, iya … nanti akan saya sampaikan pada Pak Awan. Baik ….”Betul. Awan tidak salah. Wanita itu memang berbicara dengan seseorang yang mungkin saja dia kenal. Tapi siapa?Awan menaruh gelas kopinya di meja lalu menghampiri Lian yang kini masih berbicara di telepon. Wajah Lian mengatakan bahwa ia ingin menyelesaikan pembicaraan itu. Tapi sepertinya seseorang di seberang telepon masih saja terus bicara padanya. Lian melihat Awan yang kini berjalan ke arahnya. Dia sudah cukup sulit memikirkan bagaimana cara menghentikan panggilan telepon itu. Dan kini ada satu orang lagi yang sudah pasti akan memintanya untuk segera kembali ke ruangan.“Siapa?” tanya Awan setengah berbisik. Dia tahu tidak sopan untuk bertanya siapa yang menelepon wanita itu karena privasi. Tapi karena Lian menyebut namanya, dia setengah mati ingin tahu. Pria itu benci dengan rasa penasaran.“Itu ….” Lian s
“Ya ... ya ... Regal Mio cafe. Aku tahu. Aku memang buta arah, tapi aku sudah tinggal di Jogja seumur hidupku. Mencarinya tidak sesulit itu. Ya ... jam satu siang.” Lian kini sedang bicara di telepon sambil memijat-mijat dahinya. Wanita itu berhenti sejenak di bawah pohon yang ada di pinggir trotoar sambil tetap menempelkan ponselnya di telinga. Ia mengernyitkan mata saat melihat ke langit lalu langsung menurunkan pandangannya setelah tahu matahari kini tepat berada di atas kepalanya. Penglihatannya sedikit kabur hingga sel darah putih membayang dengan jelas di mata wanita itu saking silaunya. Bulan ini Jogja sedang berada di awal musim hujan. Berita tadi pagi menyebutkan bahwa seminggu lagi akan memasuki puncaknya. Siang hari begini panasnya bisa membuat kepala pusing, dan sore hari hujan biasanya turun dengan awet hingga besok pagi. Seseorang di telepon kini masih saja bicara sampai membuat telinga Lian terasa lebih panas dari teriknya mentari di siang itu. “Jilan.
“Eung ..., aku sudah sampai. Kau ada di mana?” Lian mendorong pintu Regal Mio Cafe dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Seorang wanita dengan gaya yang cukup glamour melambaikan tangannya ke arah Lian dari pojok ruangan dekat jendela yang menghadap langsung ke arah taman belakang kafe itu. Lian menurunkan ponselnya dari telinga dan membalas lambaian tangan itu sambil tersenyum tipis. Tadi setelah bertemu dengan pria narsis yang salah mengira bahwa Lian adalah wanita yang akan dijodohkan dengannya, pria itu pergi begitu saja. Lian sempat melihat ke arah jalan raya, dan benar saja, wanita yang akan ditemui oleh pria itu memiliki style yang mirip dengannya hari ini. Kecuali bawahan yang ia pakai. Setelah pria itu pergi, Lian mencoba kembali fokus mengerjakan tugasnya. Ia bertahan di kafe itu sekitar satu jam sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi menemui Jilan. Saat kemarin membicarakannya, Indri sebenarnya sudah mewanti-wanti Lian untuk ti
Awan kembali mendekat ke arah jendela pantry. Ia ingin memastikan bahwa Lian memang benar-benar menyebut namanya. “Ah, iya … nanti akan saya sampaikan pada Pak Awan. Baik ….”Betul. Awan tidak salah. Wanita itu memang berbicara dengan seseorang yang mungkin saja dia kenal. Tapi siapa?Awan menaruh gelas kopinya di meja lalu menghampiri Lian yang kini masih berbicara di telepon. Wajah Lian mengatakan bahwa ia ingin menyelesaikan pembicaraan itu. Tapi sepertinya seseorang di seberang telepon masih saja terus bicara padanya. Lian melihat Awan yang kini berjalan ke arahnya. Dia sudah cukup sulit memikirkan bagaimana cara menghentikan panggilan telepon itu. Dan kini ada satu orang lagi yang sudah pasti akan memintanya untuk segera kembali ke ruangan.“Siapa?” tanya Awan setengah berbisik. Dia tahu tidak sopan untuk bertanya siapa yang menelepon wanita itu karena privasi. Tapi karena Lian menyebut namanya, dia setengah mati ingin tahu. Pria itu benci dengan rasa penasaran.“Itu ….” Lian s
Awan mengucek matanya yang mulai lelah. Sudah tiga jam setengah dia berkutat di depan laptop. Sambil menatap layar tanpa berkedip, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard. Pekerjaannya jauh lebih banyak dari yang dia kira. Sedangkan yang membantunya lembur hari ini cuma Lian–yang kini sedang tidak berada di mejanya, lalu dua mahasiswa laki-laki yang ditunjuk Profesor Hadi untuk membantu mereka di lapangan.“Pak Awan mau makan apa?” tanya salah satu mahasiswa berbadan bongsor yang duduk di arah kiri dekat pintu. Dia bilang namanya Iruz. Mahasiswa S1 tahun kelima. Profesor Hadi bilang proyek itu kesempatan terakhirnya untuk dibiayai oleh beliau. Jika tidak maka pemuda itu harus menanggung sendiri penelitiannya, atau pergi ke perusahaan sebagai mahasiswa magang.Kesempatan magang di perusahaan sebenarnya adalah ide yang bagus. Hanya saj
“Wajahmu kusut sekali? Apa ada masalah saat menyiapkan kebutuhan untuk akuisisi minggu depan?” tanya seorang wanita berhijab pada Awan yang kini sedang duduk di kursi kantin sambil melahap sarapannya. Dia Rinda, dosen wanita pertama yang satu angkatan lebih tua dari Awan di kampus itu–aslinya mereka seumuran. Kini ia duduk di depan Awan dan juga sedang menghabiskan beberapa suapan terakhir dari piringnya. Seharusnya pagi ini mereka tidak sendirian. Tapi beberapa orang telah menyelesaikan sarapan mereka dan langsung menuju kantor untuk bekerja. Awan belum ada jadwal mengajar jadi dia memutuskan untuk sarapan dulu di kantin khusus pegawai. Sementara Rinda, dia memang penunggu kantin. Hampir tiap pagi dia ke sana karena terlalu malas untuk masak di apartemennya.“Pagi tadi aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mematikan alarm dan itu membuatku kesal,” keluh Awan sedikit menggerutu.“Alarm? Memangnya sesulit apa mematikan alarm sampai membuatmu sekesal itu?” “Aku juga baru tahu kala
Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke
Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib
“Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann
“Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.” Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya. Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny
“Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m
“Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su