Beranda / Semua / Mentari di Balik Awan / 1. BLIND DATE ERROR

Share

Mentari di Balik Awan
Mentari di Balik Awan
Penulis: shellyhabsari

1. BLIND DATE ERROR

Penulis: shellyhabsari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Ya ... ya ... Regal Mio cafe. Aku tahu. Aku memang buta arah, tapi aku sudah tinggal di Jogja seumur hidupku. Mencarinya tidak sesulit itu. Ya ... jam satu siang.” Lian kini sedang bicara di telepon sambil memijat-mijat dahinya. Wanita itu berhenti sejenak di bawah pohon yang ada di pinggir trotoar sambil tetap menempelkan ponselnya di telinga. Ia mengernyitkan mata saat melihat ke langit lalu langsung menurunkan pandangannya setelah tahu matahari kini tepat berada di atas kepalanya. Penglihatannya sedikit kabur hingga sel darah putih membayang dengan jelas di mata wanita itu saking silaunya.

Bulan ini Jogja sedang berada di awal musim hujan. Berita tadi pagi menyebutkan bahwa seminggu lagi akan memasuki puncaknya. Siang hari begini panasnya bisa membuat kepala pusing, dan sore hari hujan biasanya turun dengan awet hingga besok pagi. Seseorang di telepon kini masih saja bicara sampai membuat telinga Lian terasa lebih panas dari teriknya mentari di siang itu.

“Jilan. Sudah dulu ya. Aku masih ada pekerjaan ....” Wanita itu ingin melanjutkan ucapannya tapi seseorang di seberang telepon memotongnya. “Ya. Tenang saja. Aku akan menemuimu. Aku benar-benar harus pergi sekarang. Daah ....” Tanpa menunggu jawaban dari seseorang itu Lian langsung menjauhkan ponsel dari telinganya dan mematikan panggilan.

“Sibuk! Aku sangat sibuk, tahu!” gerutunya pada ponsel yang tidak bersalah. Wanita itu mendesah. Ia mengelus layar ponsel yang buram terkena bedak dari pipinya. Wanita itu lalu cepat-cepat masuk ke dalam kafe. Bisa gawat kalau pusingnya semakin parah jika ia tidak segera mendinginkan diri di dalam.

Elliana, Kafe tempat Lian berada kini bergaya american house dengan nuansa biru dan putih yang elegan. Kafe itu memiliki satu jendela besar yang mengarah ke jalan raya dan Lian memilih untuk duduk di dekat sana. Wanita itu memesan satu cup reguler avocado green tea dan sepiring puff cream lalu duduk di tempatnya dengan tergesa-gesa. Begitu menjatuhkan diri di kursi jati berwarna senada dengan kosen jendela kafe, dia langsung mengeluarkan laptop dari tas dan membukanya dengan tidak sabar. Sambil menunggu dekstopnya menyala, wanita itu memijat-mijat pelipisnya.

Hari ini benar-benar melelahkan baginya. Tadi pagi—tepatnya setelah subuh, dia ditelepon profesor Hadi untuk menggantikan asisten praktikum lapang yang sedang sakit. Para mahasiswa sempat membuat masalah dengan laboran dan akhirnya praktikum lapang mereka molor hingga dua jam. Sialnya, karena kesalahan mereka, Lian akhirnya juga ikut kena getahnya—dimarahi oleh laboran.

Setelah kuliah terakhir selesai, ia pergi ke ruangan profesornya hanya untuk mendengar bahwa beliau akan mengikuti tender besar milik sebuah perusahaan di luar negeri dan meminta Lian menyiapkan bahan-bahannya dalam waktu seminggu. Ya ampun! Laporan hibah tahun ini saja belum selesai! Sudah mau mengerjakan proposal untuk kegiatan lain lagi? Padahal minggu depan Lian sudah mulai ujian semester. Kapan dia punya waktu untuk belajar? Lian mengomel dalam hati.

Tidak sampai situ, Lian tadi juga dipanggil ke rektorat hanya untuk mendengar staf keuangan di sana mengomel karena ada kesalahan angka di laporan yang sudah ia buat. Kalau dipikir-pikir, ia sudah berjalan hampir mengelilingi kampusnya karena harus berpindah tempat dari lapangan-dekanat-rektorat di hari yang begitu terik. Belum lagi omelan-omelan yang dia dapatkan sejak pagi tadi. Pantas saja kepalanya sekarang terasa nyut-nyutan.

[Revisi. Saya tunggu besok.]

“Astaga. Ini sudah yang keberapa kalinya? Kalau salah harusnya bilang dong di mana letak kesalahannya!” Wanita itu sekali lagi memijat pelipis kanannya sambil mendumel saat sebuah pesan dari staf rektorat masuk ke ponselnya. Lian mendengkus. Setelah membalas pesan itu, dia langsung memasang mode sibuk di ponselnya dan menaruh benda menyedihkan itu dengan kasar di sebelah laptop.

Belum ada sepuluh kata yang ia tulis, seseorang mengetuk meja tempat Lian duduk tiga kali hingga Lian mendongak untuk melihat siapa yang sudah berani mengganggunya saat ia tengah memutar otak mencari inspirasi. Seseorang—ternyata lelaki—langsung duduk di kursi berhadapan dengannya. Mata Lian mengikuti gerakan pria yang memiliki potongan rambut buzz-cut itu. Ia tidak tahu harus berkata apa karena pikirannya kini harus mencerna dua hal sekaligus. Tulisan di laptop atau pria botak di depannya.

Pria itu bisa dibilang cukup tampan—lupakan tentang rambut botaknya. Meski bukan tipe-tipe yang disukai oleh Lian. Lian tidak bisa mendeskripsikannya secara detail. Kepalanya mulai terasa berat hingga ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia hanya bisa memperhatikan gaya berpakaiannya yang tidak rapi.

Pria itu mengenakan kaus abu-abu yang dilapisi dengan kemeja putih kusut dan sedikit kebesaran serta celana beige berpipa lebar. Lengan kemejanya yang panjang terlipat sembarangan hingga bawah siku. Jamnya yang terlihat mewah—atau hanya terlihat bagus di mata Lian, sangat kontras dengan pakaiannya yang berantakan, tapi tetap cocok dengan style yang dikenakan oleh pria itu. Ada sedikit noda—mungkin debu—di beberapa area pakaiannya. Penampilannya yang berantakan itu tidak terlalu kentara dari jauh. Namun karena meja kafe tempat Lian duduk hanya sepanjang lengannya saja, bagian yang kusut dan bernoda itu terlihat jelas di matanya.

“Kita langsung saja ke intinya,” kata pria itu tanpa memperkenalkan diri dan justru menyilangkan kaki sambil menggenggam tangannya sendiri. Lian mengerutkan keningnya.

“Aku tidak akan membuang waktu duduk di sini dan menikmati puff cream bersamamu,” lanjutnya. “Seperti yang kau tahu, sekarang aku sudah jadi pengangguran. Ini ... kau lihat kepalaku, kan? Aku terlalu stres sampai harus memotong rambutku karena memikirkan pertemuan hari ini.” Kini pria itu menyandarkan punggungnya di kursi.

“Aku akan membiarkanmu mengatakan pada ibu kita kalau kau tidak menyukaiku. Terserah apa pun alasannya. Aku bukan tipemu, aku terlalu baik, atau karena aku terlalu tampan meski dengan kepala seperti ini—terserah.”

Lian melirik orang-orang yang ada di kafe itu. Mungkin saja ada seseorang yang mau mengaku bahwa mereka mengenal pria narsis di hadapannya ini. Tapi semua orang sepertinya tidak ada yang peduli. Perhatian Lian kembali pada pria itu. Belum sempat Lian mengucapkan sesuatu, pria itu kini mengangkat lengannya. Ia menghadapkan jari telunjuknya ke atas dan menatap Lian dengan sorot tajam.

“Kecuali satu hal. Jangan menjelek-jelekkanku di depan Ibu. Aku sama sekali tidak berminat dengan perjodohan, tapi karena kau kelihatannya anak yang polos, jadi aku juga akan bicara yang baik-baik tentangmu pada ibuku. Bagaimana?”

Perjodohan? Siapa yang dijodohkan dengan siapa? Lalu kenapa orang ini menceritakan permasalahan hidupnya sepercaya diri itu? Lian mengernyit. Dia baru duduk di kafe ini kurang dari sepuluh menit dan sedang stres setelah apa yang dilaluinya hari ini. Tiba-tiba pria ini datang dan mengoceh tentang perjodohan. Sepertinya dia salah mengira bahwa Lian adalah orang yang dijodohkan dengannya.

“Anda memang bukan tipeku,” balas Lian setelah punya kesempatan untuk membuka mulutnya. Pria itu melihat Lian dengan ekspresi sedikit terkejut. Itu jawaban yang sama sekali tidak terduga. Tapi kemudian dia menaikkan ujung bibirnya lagi. Itu senyum yang sama seperti yang tadi dia tampakkan saat mengetuk meja wanita itu. “Aku tidak suka pria botak yang tidak bekerja dan juga tidak tertarik dijodohkan,” lanjut Lian.

“Benar, bagus. Kau juga berpikir seperti itu, ‘kan?” Pria itu kini membuka genggaman tangannya dan duduk santai sambil menempelkan bahunya di punggung kursi. “Ngomong-ngomong ini buzz-cut. Bukan botak,” sanggah pria itu kemudian sambil menunjuk kepalanya.

“Orang tua sekarang memang keterlaluan. Kenapa mereka suka sekali menjodohkan anaknya dengan seseorang yang bukan tipenya.” Dia menggeleng-geleng.

“Apa kau tahu sudah berapa banyak pasangan bercerai di negara kita hanya karena tidak cocok akibat dijodohkan orang tua? Atau, kau sering lihat, berapa banyak mantan pacar mengacau di pernikahan karena tidak bisa menerima kekasihnya menikahi orang lain akibat dijodohkan oleh orang tuanya? Ck, ck, ck, seharusnya, orang ....”

“Maaf ....” Lian menyela. Pria itu berhenti mengoceh dan memandang Lian. “Aku sedikit sibuk. Entah siapa yang sedang dijodohkan dengan Anda, tapi tidak perlu mencurahkannya padaku, ‘kan?”

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nina Milanova
Menarik, Kak. Lanjut!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mentari di Balik Awan   2. THE CLOUDY EYES

    “Eung ..., aku sudah sampai. Kau ada di mana?” Lian mendorong pintu Regal Mio Cafe dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Seorang wanita dengan gaya yang cukup glamour melambaikan tangannya ke arah Lian dari pojok ruangan dekat jendela yang menghadap langsung ke arah taman belakang kafe itu. Lian menurunkan ponselnya dari telinga dan membalas lambaian tangan itu sambil tersenyum tipis. Tadi setelah bertemu dengan pria narsis yang salah mengira bahwa Lian adalah wanita yang akan dijodohkan dengannya, pria itu pergi begitu saja. Lian sempat melihat ke arah jalan raya, dan benar saja, wanita yang akan ditemui oleh pria itu memiliki style yang mirip dengannya hari ini. Kecuali bawahan yang ia pakai. Setelah pria itu pergi, Lian mencoba kembali fokus mengerjakan tugasnya. Ia bertahan di kafe itu sekitar satu jam sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi menemui Jilan. Saat kemarin membicarakannya, Indri sebenarnya sudah mewanti-wanti Lian untuk ti

  • Mentari di Balik Awan   3. KETIKA HUJAN DI HALTE

    Lian tiba di rumah dan baru saja akan menyentuh pintu pagar besi rumahnya ketika ia mendengar suara ribut-ribut di dalam. Ia bisa mendengar dengan jelas ketika bermacam-macam benda stainless dilemparkan ke dinding dan diikuti dengan bunyi kaki yang menghentak ke tanah berkali-kali. Gadis itu menghela napas dan hanya diam di tempatnya selama beberapa waktu. Ia ragu akan masuk atau tidak. Sekarang sudah hampir jam lima sore dan awan kelabu mulai menggulung di langit. Lian memutuskan untuk mengabaikan apa pun yang ada di dalam dan langsung masuk ke kamarnya. Tapi baru saja ia kembali menyentuh pagar besi yang dingin itu, suara gaduh dari dalam membuat jari-jarinya yang kaku menolak untuk membukanya. Lian mendesah. Ia menjatuhkan lengannya begitu saja ke samping lalu mengambil dua langkah kecil ke belakang. Setelah itu ia membalikkan badannya dan mulai mengalihkan diri dari tempat itu. Lian berjalan gontai mengelilingi taman di dekat rumahnya karena tidak punya t

  • Mentari di Balik Awan   4. PENOLAKAN

    -Enam setengah jam sebelumnya-“Apa Ibu tidak keterlaluan? Aku bahkan belum masuk ke rumah.” Awan turun dari taksi lalu memberikan ongkos kepada sang supir yang baru saja mengambil ranselnya dari bagasi. Supir taksi itu berterima kasih dengan suara pelan dan hanya dibalas dengan seutas senyuman dan anggukan kecil oleh Awan. Pria itu memakai ranselnya yang kelihatan cukup berat ke dalam gedung apartemen sambil tetap menempelkan ponselnya di telinga.“Kau sendiri? Apa tidak keterlaluan? Kau tidak bilang pada Ibu kalau sudah mengundurkan diri dari tempat kerjamu. Katakan! Di mana kau sekarang? Reka bilang kau sudah sampai di Jogja sejak satu minggu yang lalu. Tapi kenapa tidak langsung mengunjungi kami?” omel ibunya di seberang telepon. Awan sibuk bicara dengan seorang petugas di lobi. Setelah urusannya selesai, Awan langsung mengalihkan diri ke arah lift sambil membenarkan ponsel di telinganya.“Aku cuma ingin suasana baru. Sudah bera

  • Mentari di Balik Awan   5. PENOLAKAN (LAGI)

    [Sedang apa?] Awan mengetikkan sesuatu di ponselnya dengan wajah cerah. Dia bergegas memasuki lift saat pintu otomatis itu mulai terbuka. Tidak ada pesan jawaban. Mungkin karena dia sudah berada di dalam, jadi sinyalnya putus-putus. Awan mengatupkan bibirnya. Ada satu pria lagi yang masuk lift bersamanya. Jadi dia berusaha untuk tidak tersenyum sendirian seperti orang gila. Sepanjang waktu pria itu hanya menatap layar gawainya. Dia sempat teringat dua wanita yang baru saja ia temui siang tadi. Awan menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk menyingkirkan ingatan memalukan itu. Setidaknya kali ini dia tidak akan mendapat penolakan, ‘kan? Bunyi pintu lift yang akan terbuka berdenting. Awan dan juga pria yang tadi masuk bersamanya keluar dari sana tanpa memedulikan kehadiran masing-masing. Awan menghentikan langkahnya. Daripada berjalan menuju lokasi yang ingin ditujunya, pria itu memilih duduk di tangga darurat dan bermaksud untuk menunggu jawaban beberapa

  • Mentari di Balik Awan   6. KETIKA HUJAN DI HALTE (BAGIAN AWAN)

    [Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi. Lagi pula ibumu juga belum tahu tentang kita.] Awan menatap ponselnya dengan wajah tanpa ekspresi. Cahaya yang berasal dari layar ponsel itu sangat terang sampai-sampai hanya wajahnya saja yang kelihatan di trotoar yang mulai gelap itu. Ia menaikkan sandangan tasnya ke bahu lalu mulai mengetik sesuatu. [Terserahmu saja.] ‘Aku tidak peduli lagi’. Pria itu dengan kasar menaruh ponselnya di saku celana lalu mulai melangkahkan kakinya ke arah halte bus yang berjarak 50 meter dari tempat ia berdiri sekarang. Pikirannya kosong. Suasana hatinya mulai kacau seiring dengan kemunculan gulungan awan hitam yang mulai menutupi kota ini. Gerimis mulai turun. Bau debu dan aspal yang baru saja terkena air hujan menyeruak menembus relung hidungnya. Lampu-lampu di sepanjang trotoar sudah dihidupkan meskipun masih belum jam enam sore. Cepat-cepat ia mengambil payung lipat yang ada di tas kecilnya. Sejenak ia memperhatika

  • Mentari di Balik Awan   7. PAGI YANG TERLAMBAT

    Suara dering ponsel membuat Lian terkejap dari tidurnya. Selama sebulan ini ia selalu lembur malam untuk menulis proposal tesisnya dan baru tidur selepas subuh. Ia benar-benar tidak bisa melakukannya di siang hari karena profesornya selalu saja memberi pekerjaan yang tidak pernah bisa habis dikerjakan sehari. Wanita itu kini melihat jam dinding dengan satu matanya yang masih belum terbuka seutuhnya. Sekarang baru jam delapan kurang tujuh. Siapa orang yang sudah berani-beraninya mengganggu singa tidur?Wanita itu menggerutu dalam hati sebelum akhirnya ia melihat siapa yang mengiriminya pesan. Seperti biasa, Profesor Hadi. Beliau sepertinya sangat senang kalau mahasiswa bimbingannya bisa tetap bangun pagi setelah lembur seminggu penuh demi mengejar deadline progress report yang beliau minta. Lian menggulir layar ponselnya sambil membaca isi pesan yang tertulis di sana. Beliau meminta Lian ke ruangannya sebelum jam sebelas siang. Lian melirik ke dinding kamarnya sekali lagi. Kal

  • Mentari di Balik Awan   8. PERTEMUAN YANG KEMBALI TIDAK DISADARI

    Profesor Hadi menghentikan aktivitasnya menandatangani berkas yang Lian tidak tahu tentang apa. Kini beliau membenarkan kacamatanya dan memandang Lian. “Saya sudah mendengar beberapa hal tentang nilai praktikum yang mereka dapatkan.” Nilai praktikum? Kenapa tiba-tiba membahas nilai praktikum? Dahi Lian mengernyit. Dalam waktu beberapa detik pikiran Lian terbang jauh menuju ke ingatan sebulan lalu saat ia menjadi asisten pengganti praktikum lapang mahasiswa S1 jurusannya. Ah, apa profesornya sedang membicarakan tentang praktikum lapang sebulan yang lalu? Darah Lian berdesir cepat. Hanya dengan mengingatnya saja ia mulai merasa emosi. Beberapa hari setelah ia menjadi asisten, salah seorang perwakilan dari mahasiswa yang mengikuti lokakarya mendatanginya. Mahasiswa itu meminta Lian untuk membantu mereka mengerjakan pengolahan data. Lian bisa saja mengajari mereka lagi sampai mereka mampu mengolah data sendiri. Tapi yang membuat Lian kesal, mereka dengan santainy

  • Mentari di Balik Awan   9. PERTEMUAN PERTAMA, TIDAK, YANG KEEMPAT

    Yuan membuka pintu besar yang mengarah langsung ke dalam aula dan sekarang sudah ramai dengan orang-orang yang fokus pada dekan di depan auditorium sedang menyampaikan kata sambutannya. Mata Yuan berkeliling dan menemukan Lian kini duduk di pojok kanan dekat dengan dinding dan prasmanan. “Sempurna.” Yuan tersenyum dalam hati. Ia memang sudah berpesan pada Lian jika wanita itu datang duluan, ia harus mencari tempat duduk yang paling dekat dengan tempat makan. Yuan tidak sempat sarapan tadi pagi karena harus menyelesaikan laporan dosennya pagi ini dan ia kelaparan setengah mati sekarang. “Kau habis dari mana saja?” tanya Lian begitu Yuan menarik kursi di sebelahnya dan langsung duduk. “Buang sampah,” jawab Yuan asal-asalan. Matanya menatap bahagia ke arah makanan dan dessert yang berada tepat di sebelah Lian. Ia sangat ingin menggapai kudapan cantik itu, tapi tangannya ditepis oleh Lian yang kini melotot tajam padanya sambil mendesis, “nanti!”

Bab terbaru

  • Mentari di Balik Awan   BAB 18. Telepon dari Ibu

    Awan kembali mendekat ke arah jendela pantry. Ia ingin memastikan bahwa Lian memang benar-benar menyebut namanya. “Ah, iya … nanti akan saya sampaikan pada Pak Awan. Baik ….”Betul. Awan tidak salah. Wanita itu memang berbicara dengan seseorang yang mungkin saja dia kenal. Tapi siapa?Awan menaruh gelas kopinya di meja lalu menghampiri Lian yang kini masih berbicara di telepon. Wajah Lian mengatakan bahwa ia ingin menyelesaikan pembicaraan itu. Tapi sepertinya seseorang di seberang telepon masih saja terus bicara padanya. Lian melihat Awan yang kini berjalan ke arahnya. Dia sudah cukup sulit memikirkan bagaimana cara menghentikan panggilan telepon itu. Dan kini ada satu orang lagi yang sudah pasti akan memintanya untuk segera kembali ke ruangan.“Siapa?” tanya Awan setengah berbisik. Dia tahu tidak sopan untuk bertanya siapa yang menelepon wanita itu karena privasi. Tapi karena Lian menyebut namanya, dia setengah mati ingin tahu. Pria itu benci dengan rasa penasaran.“Itu ….” Lian s

  • Mentari di Balik Awan   BAB 17. TELEPON DARI SESEORANG

    Awan mengucek matanya yang mulai lelah. Sudah tiga jam setengah dia berkutat di depan laptop. Sambil menatap layar tanpa berkedip, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard. Pekerjaannya jauh lebih banyak dari yang dia kira. Sedangkan yang membantunya lembur hari ini cuma Lian–yang kini sedang tidak berada di mejanya, lalu dua mahasiswa laki-laki yang ditunjuk Profesor Hadi untuk membantu mereka di lapangan.“Pak Awan mau makan apa?” tanya salah satu mahasiswa berbadan bongsor yang duduk di arah kiri dekat pintu. Dia bilang namanya Iruz. Mahasiswa S1 tahun kelima. Profesor Hadi bilang proyek itu kesempatan terakhirnya untuk dibiayai oleh beliau. Jika tidak maka pemuda itu harus menanggung sendiri penelitiannya, atau pergi ke perusahaan sebagai mahasiswa magang.Kesempatan magang di perusahaan sebenarnya adalah ide yang bagus. Hanya saj

  • Mentari di Balik Awan   BAB 16. ALARM

    “Wajahmu kusut sekali? Apa ada masalah saat menyiapkan kebutuhan untuk akuisisi minggu depan?” tanya seorang wanita berhijab pada Awan yang kini sedang duduk di kursi kantin sambil melahap sarapannya. Dia Rinda, dosen wanita pertama yang satu angkatan lebih tua dari Awan di kampus itu–aslinya mereka seumuran. Kini ia duduk di depan Awan dan juga sedang menghabiskan beberapa suapan terakhir dari piringnya. Seharusnya pagi ini mereka tidak sendirian. Tapi beberapa orang telah menyelesaikan sarapan mereka dan langsung menuju kantor untuk bekerja. Awan belum ada jadwal mengajar jadi dia memutuskan untuk sarapan dulu di kantin khusus pegawai. Sementara Rinda, dia memang penunggu kantin. Hampir tiap pagi dia ke sana karena terlalu malas untuk masak di apartemennya.“Pagi tadi aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mematikan alarm dan itu membuatku kesal,” keluh Awan sedikit menggerutu.“Alarm? Memangnya sesulit apa mematikan alarm sampai membuatmu sekesal itu?” “Aku juga baru tahu kala

  • Mentari di Balik Awan   15. GAWAI YANG TERTUKAR

    Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke

  • Mentari di Balik Awan   14. CALON ISTRI UNTUK IBU

    Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib

  • Mentari di Balik Awan   13. Awal Proyek Tesis

    “Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann

  • Mentari di Balik Awan   12. DERU SUARA MOTOR

    “Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.” Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya. Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny

  • Mentari di Balik Awan   11. I DON'T KNOW. CAN I?

    “Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m

  • Mentari di Balik Awan   10. KETIKA HUJAN DATANG, AKU MELIHATMU LAGI

    “Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su

DMCA.com Protection Status