Suara dering ponsel membuat Lian terkejap dari tidurnya. Selama sebulan ini ia selalu lembur malam untuk menulis proposal tesisnya dan baru tidur selepas subuh. Ia benar-benar tidak bisa melakukannya di siang hari karena profesornya selalu saja memberi pekerjaan yang tidak pernah bisa habis dikerjakan sehari. Wanita itu kini melihat jam dinding dengan satu matanya yang masih belum terbuka seutuhnya. Sekarang baru jam delapan kurang tujuh. Siapa orang yang sudah berani-beraninya mengganggu singa tidur?
Wanita itu menggerutu dalam hati sebelum akhirnya ia melihat siapa yang mengiriminya pesan. Seperti biasa, Profesor Hadi. Beliau sepertinya sangat senang kalau mahasiswa bimbingannya bisa tetap bangun pagi setelah lembur seminggu penuh demi mengejar deadline progress report yang beliau minta. Lian menggulir layar ponselnya sambil membaca isi pesan yang tertulis di sana. Beliau meminta Lian ke ruangannya sebelum jam sebelas siang. Lian melirik ke dinding kamarnya sekali lagi. Kali ini dengan dua mata yang sudah terbuka sepenuhnya. Begitu memastikan jamnya, pupil wanita itu melebar. Ia tadi salah mengira letak jarum pendek jamnya. Sekarang bukan jam delapan kurang tujuh, tapi jam sebelas kurang dua puluh menit.
“Keterlaluan,” Lian rasanya ingin menangis. Perjalanan dari rumahnya saja sudah memakan waktu sepuluh menit lebih. Belum lagi harus antri naik lift ke lantai delapan. Terakhir kali Lian diminta ke ruangan beliau, ia terlambat tiga menit dan sudah ditinggal rapat selama tiga jam. Profesornya termasuk orang sibuk sampai-sampai tidak punya waktu untuk menunggu mahasiswanya meskipun hanya satu menit.
“Lihat saja. Setelah aku lulus aku akan berhenti jadi asistenmu!” gerutu Lian. Tangannya bergerak cepat mengetik sesuatu di ponsel.
[Saya akan usahakan Prof] balas Lian singkat. Segopoh apapun, wanita itu tidak pernah lupa membalas pesan profesornya. Meski dia termasuk salah satu mahasiswi yang paling dekat dengan dosennya yang perfeksionis itu, baginya kesopanan adalah yang terpenting, dan sepertinya hal itu menjadi salah satu aspek yang membuat Lian masih dipertahankan sebagai asisten beliau sampai sekarang.
Lian tidak punya waktu hanya untuk sekedar mengumpulkan nyawanya. Ia langsung menyibakkan selimutnya dan buru-buru ke kamar mandi. Tidak. Ia juga tidak sempat mandi. Untungnya semalam dia sudah melakukannya. Jadi kali ini dia hanya akan berganti pakaian dan memakai parfum. Dandan? Apa yang bisa kau harapkan dengan waktu yang kurang dari lima menit? Wanita itu menyambar masker dan langsung memakai tasnya. Dia menyimpan sabun cuci muka dan sikat gigi di ruangannya. Semuanya bisa ia lakukan nanti setelah urusan dengan profesornya selesai.
“Tidak sarapan?” tanya seorang wanita paruh baya pada Lian yang baru saja keluar dari kamarnya. Wanita paruh baya itu kini sedang memotong sayuran menggunakan kedua ujung ibu jari dan telunjuknya sambil menatap layar televisi dengan intens.
“Tidak ada waktu,” jawab Lian tak acuh sambil mengenakan sepatunya. Tanpa bicara satu kata pun setelahnya, wanita muda itu langsung membuka pintu dan keluar dari rumahnya.
Lian tiba di depan lift gedung dekanat dengan napas ngos-ngosan. Ia baru saja berlari dari gerbang depan kampus yang berjarak dua ratus meter dari lokasinya sekarang. Beruntung pintu lift belum tertutup hingga wanita itu masih bisa menjangkaunya. Hanya ada satu orang di dalamnya. Mungkin karena jam segini waktunya para mahasiswa masuk kelas dan mendekati waktu-waktu istirahat siang. Jadi para pegawai di tempat itu sedang fokus-fokusnya mengejar pekerjaan sebelum jam istirahat dimulai. Itulah kenapa belum banyak orang yang berkerumun di luar.
“Kau hampir terlambat dua menit,” sahut seseorang di belakang Lian. Wanita itu membalikkan badannya. Indri memeluk berkas-berkas yang Lian tidak tahu tentang apa dengan sangat erat, seolah-olah takut berkas-berkas itu akan dirampas oleh orang lain. Begitu mengatur napasnya, wanita itu mundur ke bagian paling jauh dari lift sejajar dengan Indri.
“Bagaimana kau tahu?” Lian menyandarkan dirinya ke dinding sambil melirik ke bagian atas, memantau pergerakan lift yang kini mulai bergerak ke atas.
“Jam sebelas ada rapat fakultas. Kalau kau terlambat sedikit saja, sepertinya kau akan jadi orang-orangan sawah lagi di depan ruang dekanat.”
“Aaaah ....” Lian merengek. “Kau seharusnya menyampaikan pesanku untuk menaruh kursi tunggu di depan ruangan Beliau juga. Bukan cuma di dekat tangga. Kalau duduk di sana mahasiswa tidak akan menyadari seandainya dosen-dosen sudah selesai rapat dan kembali ke ruangan lewat pintu samping.” Wanita itu protes sambil menggerakkan seluruh anggota tubuhnya.
“Memangnya aku Kepala TU? Kau saja yang bilang sendiri.” Indri mengangkat bibirnya.
“Issh! Kau ini ....” Lian jengkel sementara sahabatnya itu tidak peduli.
Mereka diam sejenak saat pintu lift terbuka. Tidak ada orang yang akan masuk jadi Lian menekan tombol menutup lift dengan cepat. Setelah itu ia melirik berkas-berkas yang dibawa Indri.
“Hari ini ada rapat apa?”
“Ah, bukan rapat yang terlalu penting. Kau tau kan bulan Februari kemarin ada perekrutan dosen baru di fakultas. Sudah ada tiga orang yang diterima, jadi sekarang fakultas akan mengadakan upacara penyambutan pegawai baru. Aku diminta untuk mempersiapkannya,” jawab Indri. Lian mengangguk-angguk.
“Dari mana saja yang diterima?” tanyanya lagi.
“Yang dari jurusan lain seingatku alumni kampus kita. Sedangkan yang akan mengajar di jurusan kita katanya lulusan dari luar negeri dan sempat bekerja di SK Energy juga.”
“SK Energy? Bukankah itu perusahaan konsultan yang sangat besar?”
“Betul. Keren kan? Makanya Pak Dekan saaangat menyanjung orang itu.” Indri terlihat bersemangat. Lian hanya mengangguk-angguk menanggapinya.
Tiing! Suara pintu lift yang akan terbuka di lantai delapan mengagetkan keduanya. Lian menepuk pundak Indri dan tanpa suara langsung meninggalkan wanita itu sambil berlari-lari kecil ke arah ruangan Profesor Hadi. Indri cekikikan melihat bagaimana Lian hampir terjungkal karena buru-buru. Dia sendiri lalu dengan santai berjalan meninggalkan lift ke ruang rapat.
Begitu mendekati ruangan Profesor Hadi, Lian mulai menyeret kakinya dengan setengah hati hingga dia sampai di depan pintu yang paling besar di sepanjang lorong itu. Setelah mengetuk dan membuka pintu besar itu, matanya langsung tertuju pada seorang pria paruh baya yang kini sedang duduk santai sambil berkutat dengan berkas-berkas di mejanya.
Pria paruh baya itulah dosen sekaligus atasan Lian di kampus. Selain mengajar, beliau juga merupakan seorang pejabat penting di dekanat sehingga kesibukannya bisa dua ... tidak ... lima kali lebih banyak daripada dosen maupun pegawai lain di fakultas Lian. Bahkan setelah menyuruh Lian duduk di hadapannya, tangan beliau masih tetap cekatan membuat coretan tanda di pojok kertas-kertas yang Lian rasa tebalnya setinggi kotak pizza. Setelah membuat tanda tangan di sepuluh kertas selanjutnya, Profesor Hadi mulai menghentikan aktivitasnya dan melirik Lian.
“Saya sudah mendengar beberapa hal tentang nilai praktikum yang mereka dapatkan,” ucapnya dengan suara bariton.
Nilai praktikum? Kenapa tiba-tiba? Seketika Lian mengernyitkan dahinya.
***
Profesor Hadi menghentikan aktivitasnya menandatangani berkas yang Lian tidak tahu tentang apa. Kini beliau membenarkan kacamatanya dan memandang Lian. “Saya sudah mendengar beberapa hal tentang nilai praktikum yang mereka dapatkan.” Nilai praktikum? Kenapa tiba-tiba membahas nilai praktikum? Dahi Lian mengernyit. Dalam waktu beberapa detik pikiran Lian terbang jauh menuju ke ingatan sebulan lalu saat ia menjadi asisten pengganti praktikum lapang mahasiswa S1 jurusannya. Ah, apa profesornya sedang membicarakan tentang praktikum lapang sebulan yang lalu? Darah Lian berdesir cepat. Hanya dengan mengingatnya saja ia mulai merasa emosi. Beberapa hari setelah ia menjadi asisten, salah seorang perwakilan dari mahasiswa yang mengikuti lokakarya mendatanginya. Mahasiswa itu meminta Lian untuk membantu mereka mengerjakan pengolahan data. Lian bisa saja mengajari mereka lagi sampai mereka mampu mengolah data sendiri. Tapi yang membuat Lian kesal, mereka dengan santainy
Yuan membuka pintu besar yang mengarah langsung ke dalam aula dan sekarang sudah ramai dengan orang-orang yang fokus pada dekan di depan auditorium sedang menyampaikan kata sambutannya. Mata Yuan berkeliling dan menemukan Lian kini duduk di pojok kanan dekat dengan dinding dan prasmanan. “Sempurna.” Yuan tersenyum dalam hati. Ia memang sudah berpesan pada Lian jika wanita itu datang duluan, ia harus mencari tempat duduk yang paling dekat dengan tempat makan. Yuan tidak sempat sarapan tadi pagi karena harus menyelesaikan laporan dosennya pagi ini dan ia kelaparan setengah mati sekarang. “Kau habis dari mana saja?” tanya Lian begitu Yuan menarik kursi di sebelahnya dan langsung duduk. “Buang sampah,” jawab Yuan asal-asalan. Matanya menatap bahagia ke arah makanan dan dessert yang berada tepat di sebelah Lian. Ia sangat ingin menggapai kudapan cantik itu, tapi tangannya ditepis oleh Lian yang kini melotot tajam padanya sambil mendesis, “nanti!”
“Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su
“Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m
“Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.” Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya. Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny
“Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann
Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib
Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke
Awan kembali mendekat ke arah jendela pantry. Ia ingin memastikan bahwa Lian memang benar-benar menyebut namanya. “Ah, iya … nanti akan saya sampaikan pada Pak Awan. Baik ….”Betul. Awan tidak salah. Wanita itu memang berbicara dengan seseorang yang mungkin saja dia kenal. Tapi siapa?Awan menaruh gelas kopinya di meja lalu menghampiri Lian yang kini masih berbicara di telepon. Wajah Lian mengatakan bahwa ia ingin menyelesaikan pembicaraan itu. Tapi sepertinya seseorang di seberang telepon masih saja terus bicara padanya. Lian melihat Awan yang kini berjalan ke arahnya. Dia sudah cukup sulit memikirkan bagaimana cara menghentikan panggilan telepon itu. Dan kini ada satu orang lagi yang sudah pasti akan memintanya untuk segera kembali ke ruangan.“Siapa?” tanya Awan setengah berbisik. Dia tahu tidak sopan untuk bertanya siapa yang menelepon wanita itu karena privasi. Tapi karena Lian menyebut namanya, dia setengah mati ingin tahu. Pria itu benci dengan rasa penasaran.“Itu ….” Lian s
Awan mengucek matanya yang mulai lelah. Sudah tiga jam setengah dia berkutat di depan laptop. Sambil menatap layar tanpa berkedip, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard. Pekerjaannya jauh lebih banyak dari yang dia kira. Sedangkan yang membantunya lembur hari ini cuma Lian–yang kini sedang tidak berada di mejanya, lalu dua mahasiswa laki-laki yang ditunjuk Profesor Hadi untuk membantu mereka di lapangan.“Pak Awan mau makan apa?” tanya salah satu mahasiswa berbadan bongsor yang duduk di arah kiri dekat pintu. Dia bilang namanya Iruz. Mahasiswa S1 tahun kelima. Profesor Hadi bilang proyek itu kesempatan terakhirnya untuk dibiayai oleh beliau. Jika tidak maka pemuda itu harus menanggung sendiri penelitiannya, atau pergi ke perusahaan sebagai mahasiswa magang.Kesempatan magang di perusahaan sebenarnya adalah ide yang bagus. Hanya saj
“Wajahmu kusut sekali? Apa ada masalah saat menyiapkan kebutuhan untuk akuisisi minggu depan?” tanya seorang wanita berhijab pada Awan yang kini sedang duduk di kursi kantin sambil melahap sarapannya. Dia Rinda, dosen wanita pertama yang satu angkatan lebih tua dari Awan di kampus itu–aslinya mereka seumuran. Kini ia duduk di depan Awan dan juga sedang menghabiskan beberapa suapan terakhir dari piringnya. Seharusnya pagi ini mereka tidak sendirian. Tapi beberapa orang telah menyelesaikan sarapan mereka dan langsung menuju kantor untuk bekerja. Awan belum ada jadwal mengajar jadi dia memutuskan untuk sarapan dulu di kantin khusus pegawai. Sementara Rinda, dia memang penunggu kantin. Hampir tiap pagi dia ke sana karena terlalu malas untuk masak di apartemennya.“Pagi tadi aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mematikan alarm dan itu membuatku kesal,” keluh Awan sedikit menggerutu.“Alarm? Memangnya sesulit apa mematikan alarm sampai membuatmu sekesal itu?” “Aku juga baru tahu kala
Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke
Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib
“Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann
“Entahlah. Apa suatu saat nanti saya bisa menikah? Saya juga penasaran.” Lian membalikkan badan membelakangi dinding kamarnya. Ia kini sedang rebahan di kasurnya sambil menggulung dirinya sendiri di bawah selimut dan mencoba untuk tidur. Kenapa juga tadi siang dia menjawab pertanyaan Awan seperti itu? Tapi memang itulah yang dia pikirkan selama ini. Bukannya dia pesimis tentang pernikahan. Tapi keadaannya membuat ia tidak berani untuk memikirkan hal tersebut. Selain orang yang sudah ia curhati dengan Indri berkali-kali sampai rasanya mungkin Indri muak mendengarnya, ada beberapa orang yang sudah masuk ke kehidupannya, dan bodohnya ia, karena terbutakan oleh kesan cinta pertama dengan orang yang disukainya sejak SMA, itu membuatnya membatasi diri dengan semua pria yang berusaha mengenal dekat dirinya. Tentu saja Lian juga pernah membuka dirinya dengan harapan dia bisa mendapatkan cinta yang baru dan bisa melupakan cinta pertamanya. Indri sudah mempertemukanny
“Mengeluh itu ... tidak cocok untuk seseorang seperti saya ....” Lian menggumam pelan. Awan menoleh ke arah wanita itu.“Kau barusan bilang apa?” tanyanya. Keningnya berkerut. Tapi Lian sepertinya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Jadi wanita itu hanya menggeleng pelan.“Tidak ada. Lupakan saja,” imbuhnya. Wanita itu kembali menikmati instrumen alam yang sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Awan memandang Lian penasaran. Dia sama sekali tidak bisa membaca pikiran wanita itu, jadi pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya kembali ke arah hujan.“Apa perjodohan Anda berjalan lancar, Pak?” tanya Lian tiba-tiba. Meskipun mereka sering bertemu saat rapat proyek, belum pernah sekali pun ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan pria itu seperti sekarang. Awan sendiri tidak percaya Lian akan menanyakan kejadian sebulan lalu secara spontan seperti itu. Pria itu tidak langsung m
“Apa kau sudah pulang?” Suara Profesor Hadi di seberang telepon membuat Lian mendengus kesal. Sekarang sudah jam empat sore. Kenapa profesornya itu selalu saja memberinya tugas dadakan seperti ini? Ia jadi benar-benar ingin berhenti menjadi asistennya—meskipun selama ini keinginan itu hanyalah sekedar keinginan.Pekerjaan Lian sebenarnya tidak sesulit itu. honor yang diberikan profesornya juga yang paling besar dibandingkan asisten peneliti di jurusan lain. Tapi Lian sebal karena profesornya selalu saja memberi tugas dadakan dan tidak ingat waktu. Ia bahkan pernah ditelepon jam sepuluh malam untuk merevisi artikel yang akan dikumpulkan sebelum tepat pukul dua belas. Padahal besok paginya Lian ada ujian semester.“Ya, Prof,” ucapnya tegas. “Bisakah saya mengerjakannya besok pagi?” lanjut gadis itu setengah hati. Ia sudah tahu permintaannya ini pasti akan ditolak.“Tidak bisa Lian. Malam ini akan saya su