Sassy ikut berbaring di samping Nouval dan memeluknya. “Bagus! Sekarang aku tenang. Kau akan selalu mendukung dan ada di sisiku. Terima kasih, Sayangku. Kau suami ter-the best!”
Tujuh hari berturut-turut, mama selalu menanyakan hal yang sama. Tentang ide mencari istri baru untuk Nouval. Pria itu akhirnya menyerah. Sassy juga tetap teguh dengan keputusannya tak mau punya anak.
“Terserah mama saja,” katanya menyerah.
Nouval membayangkan mamanya bergerilya, mencari calon istri baru untuknya. Mungkin semua kerabat jauh dan kenalannya akan ditanyai. Pria itu menggeleng pasrah.
Tak diduga, hanya dalam satu bulan, mama berhasil menemukan seorang gadis polos dari kampung halaman. Putri teman baiknya semasa sekolah. Nouval sangat yakin bahwa setiap hari mamanya mencari dan menyaring begitu banyak kandidat.
“Bagaimana, apa menurutmu dia cantik?” tanya mama setelah menyodorkan foto seorang gadis muda pada Nouval.
Pria itu memperhatikan dengan seksama. Tak ada cacat cela di wajahnya. “Gadis secantik ini, apa lagi tinggal di kampung, kenapa belum menikah?” batin Nouval.
“Apa dia cacat?” tanya Nouval penasaran.
“Tentu saja tidak!” sergah mama cepat. “Kenapa kau bisa berpikir dia cacat?”
“Dia cantik dan manis. Usia mencukupi, sudah bekerja, lalu kenapa tidak menikah juga? Orang kampung bukannya biasa menikah muda?” Nouval menjelaskan pertanyaan di kepalanya.
“Oh, waktu itu, dua tahun yang lalu, harusnya dia sudah menikah. Hanya saja, memang belum berjodoh. Calon suaminya justru meninggal kecelakaan saat kembali dari luar negeri untuk menikahinya.” Mama tampak prihatin.
“Dia gadis yang baik. Calon suaminya itu juga dijodohkan oleh keluarga, TKI di Jepang. Setelah rencana menikah itu gagal, Seruni memilih menutup diri dan bekerja di toko bunga milik temannya saja.
“Dia gadis baik dan dari keluarga baik-baik. Percayalah. Mama sudah selidiki,” bujuk mamanya.
Nouval menatap wanita tua yang melahirkannya dengan susah payah, lalu tersenyum. Mata yang penuh harapan itu. Tak ingin dia hapus sinar harapan itu dari sana. Dia mengangguk. “Mama aturlah tapi bisakah jika tidak membuat pesta besar? Nouval juga harus menjaga hati Sassy.”
“Iyah, bagus. Mama senang sekali mendengarnya.” Wanita itu memeluk putranya dengan perasaan lega.
Sekarang Nouval harus mencari kesempatan yang bagus untuk menyampaikan berita ini pada istrinya. Pria itu sedikit kesulitan juga untuk mengutarakan, karena memahami bahwa urusan pernikahan kedua itu, pasti akan melukai hati Sassy.
“Sayang, aku pulang ….”
Suara Nouval mengambang di udara. Tak ada Sassy yang biasa menjawab kata-katanya. Nouval naik ke kamar untuk melihat apakah Sassy ada di kamar. Namun, memang tak ada seorang pun di rumah. Meski sedikit kecewa, Nouval tetap santai. Diambilnya ponsel dan mengirim pesan.
“Kenapa belum pulang?” tanyanya. Lalu ponsel ditinggal begitu saja di meja. Dia pergi mandi untuk menyegarkan diri. Setelah itu membaca balasan pesan dari istrinya.
“Ada kawan kuliah yang kembali dari Jepang. Jadi aku mendadak pergi keluar untuk makan malam bersama beberapa kawan lain.”
Di bawah pesan itu ada foto Sassy bersama lima orang teman wanitanya di sebuah resto. Nouval tersenyum tipis. Dia mengenal semua teman kuliah Sassy yang ada di foto itu.
Sebuah pesan lain masuk belakangan. “Pesan aja dari resto untuk makan malam.”
Nouval membalas. “Iya. Bersenang-senanglah.”
Meski rumah itu terasa lebih sunyi tapi bagi Nouval itu bukan hal yang perlu dibesarkan. Sassy juga perlu diberi ruang dan waktu untuk dirinya sendiri. Bertemu teman lama ataupun memanjakan diri di salon kecantikan sesekali.
Nouval turun ke dapur. Tak ada makanan apapun di meja, karena mereka memang jarang makan di rumah. Sarapan pagi seadanya dan lanjut makan siang di kantor. Makan malam juga kadang seadanya, atau sesekali Nouval membawa pulang makanan yang dipesan di resto, untuk berganti menu.
Setelah memeriksa rak kabinet, Nouval menemukan mie instan favoritnya. Ada telur, sosis dan tomat. Itu sudah cukup untuknya. Sembari bersenandung dia masak. Tak butuh waktu lama untuk bisa menikmati makan malam hangat yang lezat sambil menonton televisi yang dia sendiri tak terlalu memperhatikan acaranya.
“Apa kau sudah makan?” pesan Sassy baru terbaca saat Nouval kembali ke kamar.
“Ya. Apa kau sudah selesai?” balasnya.
“Sebentar lagi ya. Mau kubawakan snack?” balas istrinya lagi.
“Boleh,” balas Nouval lagi. Dia sudah duduk di meja kerjanya. Berniat memeriksa beberapa pekerjaan sambil menunggu istrinya pulang.
Pukul sebelas malam, suara mobil Sassy terdengar masuk ke halaman, lalu garasi. Nouval sedang serius dengan pekerjaannya. Dia tak berniat turun ke lantai bawah untuk menyambut istrinya yang pulang malam.
“Sayang … aku pulang,” panggil Sassy dari ruang tengah.
“Aku di atas!” teriak Nouval.
“Apa kau masih kerja jam segini?” Tak lama kemudian Sassy menyusul naik. DI tangannya ada cemilan yang dia janjikan sebelumnya. Makanan kecil itu diletakkan di meja kerja Nouval.
“Jam segini masih kerja?” ulang Sassy sembari mencium pipi suaminya yang sedang serius.
“Yah … awalnya sih cuma mau menunggumu kembali. Tapi kok ya keterusan ngerjain ini, biar kerjaan besok berkurang.” Nouval kembali memperhatikan pekerjaannya.
“Aku mau mandi.” Sassy melangkah ke kamar mereka.
“Ya, istirahat saja kalau lelah. Biar kuselesaikan ini sedikit lagi,” angguk Nouval sambil terus mengetik.
***
“Kau belum selesai juga?”
Aroma sabun Sassy lebih dulu menyapu hidung Nouval, sebelum bayangan istrinya muncul di pintu ruang kerja.
“Tanggung nih,” jawab pria itu tanpa mengalihkan perhatian dari laptop.
Sassy memeluk Nouval dari belakang. Memperhatikan apa yang sedang dikerjakan suaminya.
“Apa kabar teman-temanmu?” tanya Nouval sekenanya. Dia tahu Sassy ingin bercerita, tapi mengharapkan Nouval yang memulainya.
Maka mulailah istrinya itu bicara dengan gembira. Menceritakan tentang teman-temannya yang sudah sukses, tentang pencapaian mereka, hobby mereka dan lain-lain. Nouval menimpalinya sesekali sambil terus bekerja. Sassy menyuapkan kue yang dibawanya, saat melihat Nouval bahkan tidak sempat melirik kue yang diletakkannya sejak tadi.
“Hebat sekali teman-temanmu. Sukses semua,” puji Nouval.
“Hu-um,” Sassy mengangguk senang. Meskipun sibuk, suaminya masih tetap perhatian pada teman-temannya. Sassy menguap. Diliriknya jam di dinding.
“Udah hampir jam dua belas. Aku gak kuat lagi, ngantuk.”
“Hem, tidurlah duluan,” Nouval masih merasa tanggung untuk berhenti. Sassy memberinya ciuman selamat malam dan pergi ke kamar.
Sepeninggal Sassy, jari jemari Nouval justru berhenti mengetik. Matanya melihat laptop dengan tatapan kosong. Dia kehilangan momen untuk menyampaikan berita siang tadi pada istrinya.
Sambil meremas rambut dan memejamkan mata, disandarkannya punggung ke sandaran kursi. Pikirannya berkecamuk. “Apakah menikah lagi adalah jalan terbaik untuk bisa punya anak?”
“Bisakah sebuah pernikahan berjalan tanpa didasari oleh cinta?” batinnya terus bergolak.
Akhirnya laptop dimatikan, dan dia kembali bersandar sambil membuka ponsel. Mencari-cari info tentang pernikahan pilogami. Kepalanya menjadi makin panas dan hatinya menciut kala mendapatkan kenyataan bahwa banyak pernikahan poligami yang akhirnya menghancurkan rumah tangga pertama. Nouval merasa tak sanggup jika harus melukai Sassy. Dia sangat mencintai istrinya itu. Rumah tangga mereka harmonis dan bahagia selama ini. Kecuali ketiadaan anak yang membuat orang tuanya tidak bahagia.
Nouval terngiang kata-kata papanya. “Jika kalian memutuskan untuk tidak punya anak, lalu untuk siapa pencapaian yang kalian capai seumur hidup? Warisan harta benda itu untuk siapa? Saat tua seperti kami, siapa yang akan membantu mengurus hidup kalian nanti?”
“Mama dan papa ada benarnya,” lirih Nouval.
Dia kembali ingat apa yang siang tadi dikatakan mama sebelum pulang. “Nak, kebahagiaan memiliki keturunan itu sangat berbeda dengan kebahagiaan memiliki pasangan. Mama tak pandai menjelaskannya. Jadi biar kau rasakan sendiri, nanti.”
Pagi itu Sassy masih terlihat ceria saat memasak telur ceplok untuk Nouval. Dia menggumamkan senandung sembari tersenyum dan kadang berputar di depan kompor. Nouval yang sudah rapi dan baru turun dari lantai atas, tertegun melihat istrinya.“Senang sekali pagi ini? Apa ada project baru?” Nouval duduk di kursinya dan menyesap kopi yang sudah hampir dingin di meja.“Bukan.”Sassy meraih piring, mengangkat telur goreng dan membawa makanan itu ke meja. Diletakkannya satu di depan Nouval, satu lagi di depannya. Dia menuang juice dari pitcher dan menawarkan pada Nouval yang segera menolaknya.“Lalu kenapa happy banget pagi-pagi?” Nouval mulai menyuap sarapannya ke mulut. Selembar roti yang sudah dipanggang, dan telur ceplok setengah matang. Serta beberapa iris buah pir di pinggir piring.“Karena aaat bangun tadi, Irene mengajakku untuk membangun bisnis baru,” jawab Sassy masih dengan wajah berseri-seri.“Bisnis apa?” Nouval ingat bahwa Irene adalah teman yang kemarin ditemui istrinya dan ba
Nouval masih menunggu respon istrinya. Namun, Sassy tak menjawab apapun. “Apa kau masih mendengarkanku?”Suara dengkuran halus, menjadi jawaban pertanyaan Nouval. Dia ikut memejamkan mata juga karena lelah. Besok masih ada waktu untuk bicara.“Sassy, bisa kita bicara sebentar?” tanya Nouval pagi itu saat mereka sarapan.“Kau tahu aku sedang dikejar deadline. Sementara client minta iklannya diperbarui. Banyak hal yang harus kukerjakan di kantor.”“Tapi ini penting, Sas,” kata Nouval lagi.Sassy mengangkat mukanya dari piring sarapan kosong. “Apa kau sakit keras?” tanyanya sambil mengangkat piring dan langsung mencucinya.“Bukan ….”“Kalau begitu, nanti saja kita bicara. Pagi ini aku buru-buru.” Sassy menyambar blazer yang disampirkan di sandaran sofa dan mengenakannya.“Tap---”“Aku harus pergi, Sayang. Atau aku harus begadang di kantor malam ini,” potong Sassy. Dikecupnya pipi Nouval sebelum keluar pintu depan menuju garasi.Nouval terdiam di kursinya. Kemudian dikerjarnya Sassy saat
Mama menatap Nouval tak sabar. “Niat baik jangan ditunda-tunda,” ujar Mama, diikuti anggukan kepala Papa.“Bagaimana pendapat keluarganya? Jangan sampai Mama yang terlalu mendesak. Ada baiknya juga kalau dia berpikir dulu,” kata Nouval.“Mereka udah setuju kok,” bantah Mama lagi.Nouval mengangguk. “Trus, persiapannya bagaimana?”“Tenang aja. Mama dan keluarga mereka yang siapin. Kamu kerja seperti biasa aja. Ambil libur sejak Jumat bisa?”“Kenapa bukan Sabtu saja aku libur? Kan acaranya Minggu,” tawar Nouval.“Kan kita mesti pulang kampung dulu. Nanti kamu lelah. Pengantin baru kok lelah itu bagaimana?”Papa tertawa mendengarnya. Nouval terdiam kikuk. Dia paham arah pembicaraan mamanya. Melihat Nouval diam, Mama berpikir lain.“Kalau memang ada jadwal sidang Jumat yang enggak bisa ditunda, ya udah, gapapa hari Sabtu pagi kita berangkat.”“Artinya, Jumat malam kamu tidur di sini. Sabtu pagi kita langsung meluncur ke sana,” tambah Mama lagi.Nouval mengangguk. Itu adalah jalan tengah
Pagi hari Sassy bersikap manis. Dia sudah rapi dan siap ke kantor. Tapi masih menyempatkan membuat sarapan ala kadarnya dan menunggu Nouval turun dari kamar.“Pagi, Sayang …,” sapanya riang.“Pagi.” Nouval mencium kening Sassy yang dengan sigap sudah berdiri di depan tangga menyambutnya.“Sarapan dulu.” Sassy mengambil alih tas Nouval dan diletakkan di atas meja ruang tamu. Nouval patuh. Dia berjalan ke meja makan dan duduk menunggu piringnya disajikan.Sepiring roti diolesi selai dan secangkir kopi segera sampai di hadapannya. Nouval segera menghirup minumannya. Kopi itu mulai mendingin. Sepertinya Sassy menyiapkan sarapan lebih cepat dari biasa. Dan dari gigitan roti pertamanya, Nouval bisa meyakinkan itu.Sassy ingin bicara dengannya sejak pagi, tapi Nouval turun terlalu lama. Maka semua sarapan yang dibuat istrinya jadi dingin. Meskipun begitu, Nouval tetap menikmati roti dan kopinya. Mereka berdua sarapan dalam diam. Seakan, kepingan roti dingin itu terlalu menarik untuk dilewatk
Di luar, seorang wanita menunduk ke dekat jendela mobilnya, wajah seseorang yang dulu pernah akrab. Wanita itu tersenyum ramah padanya.“Widya!” Sassy ikut mengembangkan senyum melihat wanita yang dikenalnya di parkiran kampus. Jendela mobil diturunkan.“Lagi ngapain di sini?” tanya Sassy.“Aku biasa ke sini, tapi baru kali ini ketemu kamu. Lagi ada urusan apa?” Widy ganti bertanya tanpa menjawab pertanyaan Sassy. Wajahnya masih penuh dengan senyuman hangat dan ramah.“Lagi mengenang masa kita kuliah.” Sassy membuka pintu mobil dan keluar.“Eh, mumpung ketemu, kita duduk di cafetaria yuk. Nostalgia dulu,” ajak Sassy.“Wah … aku enggak bisa. Anakku nunggu di rumah, jadi harus langsung pulang. Widya berjalan ke mobilnya yang berselang satu mobil dari Sassy.“Tapi kalau kamu luang dan pingin ngobrol, ayo ikut ke rumahku,” tawarnya.Sassy menimbang dengan ragu. Hari sudah siang dan dia belum ke kantor sejak pagi. Pikirannya yang sedang sumpek dan buntu, tidak akan maksimal untuk diajak me
Sassy melihat temannya dengan ekspresi tak mengerti yang nyata. Tapi sebelum sempat bertanya, Widya kembali mencondongkan tubuh ke arah Sassy, yang membuat Sassy ikut mendekat tanpa sadar.“Dan setelah anak ini lahir, rasanya cintaku pada suamiku sudah berpindah semua ke dua anakku! Aku lebih mencintai makhluk-makhluk mungil ini ketimbang ayahnya!” Widya mengangguk meyakinkan.Sassy hanya bisa terbengong tak mengerti. “Bagaimana Widya yang cerdas dan cantik itu bisa jatuh cinta pada dua makhluk kecil super jorok dan berisik ini?” batinnya.Melihat Sassy terdiam, Widya merasa bersalah. “Maafkan aku. Kau mungkin belum mengerti sekarang. Tapi nanti, setelah punya anakmu sendiri, naluri keibuan akan muncul dan membimbingmu untuk mencintai mereka tanpa syarat! Jenis cinta yang sangat berbeda dengan cinta pada pasangan kita.”Ponsel Sassy bergetar. Diangkatnya telepon. “Ibu di mana? Apakah bisa ke kantor sekarang? Ada client yang ingin bertemu,” kata suara di seberang telepon.“Ya!” sahut S
Nouval tak ingin berdebat dengan istrinya. Dia menyadari bahwa hal ini sangatlah sensitif. Hati Sassy pasti sangat terluka memikirkan point-point kompromi ini.“Akan kupelajari dulu. Nouval mengirimkan catatan Sassy ke ponselnya sendiri.Tubuh Sassy tiba-tiba kaku. Respon Nouval di luar dugaannya. Dia sudah bersiap untuk berdebat jika Nouval tidak setuju. Tapi Nouval minta waktu memikirkannya. Apakah itu artinya dia tidak setuju? Ataukah sedang mencari celah hukum untuk mendebat dirinya nanti?“Aku berangkat.” Nouval berdiri. Dia mencium dahi istrinya seperti biasa. Seolah tak ada yang terjadi barusan tadi.“Apa dia sama sekali tidak peduli? Atau ini hanya alasan untuk menolak semua syaratku?” batin Sassy. Sekarang dia sendiri yang gelisah menunggu persetujuan Nouval tentang persyaratannya. Dilihatnya mobill suaminya menghilang dari pandangan mata.Siang itu saat jam istirahat, Nouval kembali membaca persyaratan dari Sassy. Beberapa poin diberinya tanda. Itu adalah hal-hal yang harus
Di rumah keluarga keluarga besar mamanya, tak pelak perbincangan hangat dengan topik pernikahan kedua Nouval dibahas seluruh keluarga. Pada akhirnya Nouval bisa mendengar ketidak puasan keluarga besarnya atas sikap Sassy. Istrinya itu selama ini yang tidak pernah mampu berbaur dengan anggota keluarga lain.“Istrimu itu selalu menjaga jarak. Kami kira dia pemalu,” ujar salah satu kerabat.“Kalau bukan melihat sendiri bagaimana papamu kena strook, kami tak akan tahu bagaimana pedas mulutnya!” Yang lain ikutan mencela.Nouval mulai merasa gerah mendengar istri tercintanya dibicarakan secara buruk di depan matanya. Nouval sudah berdiri, hendak meninggalkan tempat itu. Wajahnya yang asam terlihat oleh salah seorang tetua keluarga.“Jangan marah. Ambil ini sebagai pelajaran berharga. Kadang, tanpa menelan pil pahit, kita tidak akan tahu salahnya di mana. Bagus kita mengetahui sekarang apa sebab kalian tidak punya anak. Bayangkan jika kau mengetahui itu setelah dua puluh tahun yang akan dat