Pagi itu Sassy masih terlihat ceria saat memasak telur ceplok untuk Nouval. Dia menggumamkan senandung sembari tersenyum dan kadang berputar di depan kompor. Nouval yang sudah rapi dan baru turun dari lantai atas, tertegun melihat istrinya.
“Senang sekali pagi ini? Apa ada project baru?” Nouval duduk di kursinya dan menyesap kopi yang sudah hampir dingin di meja.
“Bukan.”
Sassy meraih piring, mengangkat telur goreng dan membawa makanan itu ke meja. Diletakkannya satu di depan Nouval, satu lagi di depannya. Dia menuang juice dari pitcher dan menawarkan pada Nouval yang segera menolaknya.
“Lalu kenapa happy banget pagi-pagi?” Nouval mulai menyuap sarapannya ke mulut. Selembar roti yang sudah dipanggang, dan telur ceplok setengah matang. Serta beberapa iris buah pir di pinggir piring.
“Karena aaat bangun tadi, Irene mengajakku untuk membangun bisnis baru,” jawab Sassy masih dengan wajah berseri-seri.
“Bisnis apa?” Nouval ingat bahwa Irene adalah teman yang kemarin ditemui istrinya dan baru pulang dari Jepang.
“Dia mengajak untuk joint agro bisnis dengan teman-teman yang lain. Yang kemarin ngumpul bareng itu hlo,” jelas Sassy.
“Kamu kan enggak ngerti bisnis beginian,” kata Nouval.
“Ya belajar dong. Kan pada dasarnya aku ngerti bisnis. Cuma kurang paham seluk beluk agro industri.” Sassy mencoba menjelaskan pada suaminya.
“Ngumpulin modal dong?” kejar Nouval. Dia selalu berhati-hati soal pengumpulan modal bersama. Sebagai seorang pengacara, dia sangat mengerti resiko yang akan dihadapi orang-orang yang mengumpulkan modal tanpa kejelasan.
“Ya iyalah. Itulah yang kemarin lama kami bicarakan. Dan tadi pagi, semua sudah setuju untuk bersama membuka usaha agrobisnis,” tambah Sassy lagi.
“Jadi kamu udah menyetujui?” Nouval mengangkat kepalanya. Tak biasanya Sassy membuat keputusan sebelum berdiskusi dengannya. Terutama untuk urusan yang tidak sederhana seperti membentuk usaha ini.
“Iya.” Sassy sedikit terkejut ketika menyadari bahwa Nouval tidak dimintainya pendapat sebelum membuat keputusan.
Kepala Nouval sedikit miring dan memandangnya dengan ekor mata. Lirikan sangat tajam yang khas, tanda Nouval tak suka. Setelah menghela napas, Nouval kembali bertanya. “Kamu sudah transfer?”
“Jumlahnya besar, Jadi aku harus bicarakan dengan bagian keuangan dulu.” Sassy menunduk, menyadari kesalahannya.
“Berarti kamu mau alihkan modal usaha yang sedang bagus itu, ke hal yang kamu belum pelajari resikonya?” Pertanyaan Nouval makin tajam.
“Irene sudah mempelajarinya. Resikonya kecil. Dan modal besar itu adalah untuk pembelian lahan usaha, bu---”
“Kau belum mempelajari resikonya?” Nouval memotong ucapan istrinya. Sekarang dia meletakkan sendok dan serius menghadapi Sassy.
Sassy mengangguk, mengakui. “Akan kupelajari lagi, sebelum mengirimkan uang,” katanya kemudian.
“Bagus!” Nouval kembali melanjutkan makannya yang terhenti. Dia tahu Sassy sudah menyadari kekeliruannya.
“Aku ada sidang pagi.” Nouval berdiri setelah kopinya habis. Istrinya mengikuti dan mengantar hingga pintu garasi. Melambai saat mobilnya keluar dari pagar.
Siang hari, telepon dari Sassy masuk. Nouval sedang makan siang dengan koleganya di café tak jauh dari gedung pengadilan.
“Ya, Sayang,” sahut Nouval lembut.
Teman-teman kerjanya tersenyum dan mengetahui bahwa itu pasti dari istri Nouval. Mereka sudah biasa mendengar kemesraan pria itu setiap bertelepon dengan Sassy. Mereka memberinya gelar si Bucin. Karena terlalu cinta dan penurut pada istri.
“Kau benar,” ujar Sassy dari seberang.
“Benar apanya?” Nouval masih belum mengerti arah pembicaraan Sassy.
“Investasi yang ditawarkan Irene!” jawab Sassy cepat.
Noval langsung tanggap. “Apa dia punya masalah investasi di tempat lain?”
“Bagaimana kau tahu?” tanya istrinya heran.
“Aku seorang pengacara. Hal yang seperti ini biasa berakhir dengan kasus hukum,” jawab Nouval.
“Untung kau mengingatkanku untuk mempelajari lagi resikonya. Jadi tadi, kupelajari semua hal, termasuk kegiatannya selama di Jepang.”
Nouval mendengarkan istrinya bercerita. Bahwa sebelumnya temannya itu juga sudah pernah wan prestasi dalam investasi dengan teman-teman kerjanya di Jepang. Itu juga sebab dia dipecat dan akhirnya pulang ke indonesia. Dia harus membayar ganti rugi sejumlah besar uang pada para investor di sana.
Nouval hanya bisa menghela napas. “Apa teman-temanmu, sudah ada yang transfer uang ke dia?” tanya Nouval lagi.
“Ya. Lidya sudah mentransfer 50 juta dan dalam bentuk giro 50 juta lagi,” jawab Sassy.
“Apa kau sudah beri tahukan pemeriksaanmu pada Lidya?” Nouval menjadi serius sekarang. Istrinya dan teman-temannya mengalami penipuan dengan skema investasi tidak jelas.
“Setelah aku memperlajarinya dan curinga, langsung kuhubungi Lidya yang kemarin sangat tertarik. Dia terkejut. Sebab, baru setengah jam sebelumnya, dia ketemuan lagi dengan Irene, untuk memberikan giro, setelah mentransfer uang.”
“Apa lagi tindakannya?” tanya Nouval.
“Dia pergi ke bank untuk membatalkan gironya. Katanya dia akan bicara lebih jelas lagi dengan Irene, baru giro itu bisa dicairkan.”
“Ku sudah peringatkan teman-temanmu yang lain?”
“Ya. Tapi mereka justru merasa aku yang tidak ingin memberi kesempatan pada Irene untuk berubah dan membantunya membangun usaha, agar bisa membayar hutang-hutangnya di Jepang!”
Nouval bisa mendengar nada suara Sassy yang jengkel. Istrinya mungkin sedang kesal pada teman-temannya.
“Kalau mereka enggak mau diingatkan, ya sudah. Tinggalkan saja. Resiko kan mereka tanggung sendiri,” hiburnya.
“Terima kasih ya, Sayang … udah mengingatkanku untuk berada di jalur yang benar.”
Suara lembut Sassy yang mengakui kekeliruannya, membuat hati Nouval berbunga-bunga. Itulah yang dia sukai dari Sassy pada awal mereka bertemu. Sassy tidak alergi mengakui kesalahan jika memang dia salah. Tidak seperti umumnya wanita yang memegang prinsip ‘Wanita Tidak Pernah Salah’.
“Oke. Aku ada meeting lagi dengan client setelah ini.”
Nouval melihat rekan-rekannya sudah berdiri dan selesai dengan makan siang serta obrolan mereka.
“Oke. Love You!” sebuah kecupan dari balik telepon, mengakhiri percakapan mereka.
***
Sore hari, pesan mama masuk. “Besok mama akan ke kampung dan melamar Seruni.”
Nouval terkejut. Dia lupa soal Seruni, seharian ini. “Hadduh ….” Tangannya memukul dahi sambil mengerutkan wajah.
“Kenapa, Pak?” Rita sekretarisnya bertanya.
“Ah … bukan apa-apa. Aku hanya lupa sesuatu. Untung tadi mama sudah mengingatkan.” Nouval tersenyum canggung.
“Oh, saya kira ada pekerjaan yang salah,” tambah Rita.
Nouval menggeleng. Diambilnya ponsel dan mengirim pesan pada istrinya. “Nanti pulang jam berapa?”
“Jam tujuh.” Balasan masuk lima menit kemudian.
“Jangan makan di luar. Aku yang beli makanan nanti malam,” Nouval mengirim pesan berikutnya.
“Oke. Aku kepingin barbekyu,” balas Sassy.
“Akan kusiapkan!”
Noval melirik jam di pergelangan tangan. Sementara pekerjaannya hari itu sudah selesai. Jadi, dia segera mematikan laptop dan bersiap untuk berbelanja, membeli pesanan istrinya.
Pukul enam, Nouval sudah sampai rumah. Dia langsung mandi dan berganti pakaian. Kemudian mulai mempersiapkan semua bahan dan menyimpannya di kulkas. Setengah tujuh, arang sudah mulai dibakar, agar siap tepat waktu saat Sassy pulang.
Nouval mengirim pesan lagi. “Aku sudah siapkan semua. Langsung pulang ya ….”
Hingga lima belas menit, belum ada balasan dari istrinya. Dengan dahi mengerut, ditelponnya Sassy. “Kau sudah di mana?”
“Masih rapat,” sahut Sassy dengan suara kecil.
“Bukannya kita mau barbekyu malam ini?”
“Aku pulang jam tujuh. Tunggu saja,” balas Sassy, langsung mematikan telepon.
Nouval menggaruk-garuk kepala. Memang Sassy tadi sore bilang pulang jam tujuh. Dia yang salah memahami.
Jam delapan lewat baru istrinya sampai di rumah. Wajahnya terlihat sangat letih. Dia langsung duduk menghempas di sofa.
“Capek?” tanya Nouval sambil membawakan segelas jus yang sudah tidak fresh lagi, sebab sudah disiapkan sejak petang.
“Yah … ada sedikit perubahan dalam pembuatan iklan. Jadi kami harus merombak banyak hal dan mengerjakan ulang hampir semuanya!” kata Sassy kesal setelah minumannya habis.
“Pasti lapar. Biar kuambilkan barbekyunya.” Nouval berdiri dari duduk.
“Gak usah. Karena rapat melewati jam makan, maka client membelikan makan malam untuk kami semua.” Mata Sassy dipenuhi rasa bersalah.
Nouval tertawa kecil. “Untungnya aku tidak tahan melihat semua itu di kulkas, jadi langsung memanggangnya saat bara sudah menyala bagus. Aku juga sudah makan tadi.”
“Syukurlah.” Sassy tersenyum lega.
***
“Aku mau mengatakan sesuatu,” bisik Nouval sambil memeluk istrinya di tempat tidur.
“Apakah sangat penting? Aku ngantuk banget,” sahut Sassy dengan mata terpejam.
“Penting!”
Nouval masih menunggu respon istrinya. Namun, Sassy tak menjawab apapun. “Apa kau masih mendengarkanku?”Suara dengkuran halus, menjadi jawaban pertanyaan Nouval. Dia ikut memejamkan mata juga karena lelah. Besok masih ada waktu untuk bicara.“Sassy, bisa kita bicara sebentar?” tanya Nouval pagi itu saat mereka sarapan.“Kau tahu aku sedang dikejar deadline. Sementara client minta iklannya diperbarui. Banyak hal yang harus kukerjakan di kantor.”“Tapi ini penting, Sas,” kata Nouval lagi.Sassy mengangkat mukanya dari piring sarapan kosong. “Apa kau sakit keras?” tanyanya sambil mengangkat piring dan langsung mencucinya.“Bukan ….”“Kalau begitu, nanti saja kita bicara. Pagi ini aku buru-buru.” Sassy menyambar blazer yang disampirkan di sandaran sofa dan mengenakannya.“Tap---”“Aku harus pergi, Sayang. Atau aku harus begadang di kantor malam ini,” potong Sassy. Dikecupnya pipi Nouval sebelum keluar pintu depan menuju garasi.Nouval terdiam di kursinya. Kemudian dikerjarnya Sassy saat
Mama menatap Nouval tak sabar. “Niat baik jangan ditunda-tunda,” ujar Mama, diikuti anggukan kepala Papa.“Bagaimana pendapat keluarganya? Jangan sampai Mama yang terlalu mendesak. Ada baiknya juga kalau dia berpikir dulu,” kata Nouval.“Mereka udah setuju kok,” bantah Mama lagi.Nouval mengangguk. “Trus, persiapannya bagaimana?”“Tenang aja. Mama dan keluarga mereka yang siapin. Kamu kerja seperti biasa aja. Ambil libur sejak Jumat bisa?”“Kenapa bukan Sabtu saja aku libur? Kan acaranya Minggu,” tawar Nouval.“Kan kita mesti pulang kampung dulu. Nanti kamu lelah. Pengantin baru kok lelah itu bagaimana?”Papa tertawa mendengarnya. Nouval terdiam kikuk. Dia paham arah pembicaraan mamanya. Melihat Nouval diam, Mama berpikir lain.“Kalau memang ada jadwal sidang Jumat yang enggak bisa ditunda, ya udah, gapapa hari Sabtu pagi kita berangkat.”“Artinya, Jumat malam kamu tidur di sini. Sabtu pagi kita langsung meluncur ke sana,” tambah Mama lagi.Nouval mengangguk. Itu adalah jalan tengah
Pagi hari Sassy bersikap manis. Dia sudah rapi dan siap ke kantor. Tapi masih menyempatkan membuat sarapan ala kadarnya dan menunggu Nouval turun dari kamar.“Pagi, Sayang …,” sapanya riang.“Pagi.” Nouval mencium kening Sassy yang dengan sigap sudah berdiri di depan tangga menyambutnya.“Sarapan dulu.” Sassy mengambil alih tas Nouval dan diletakkan di atas meja ruang tamu. Nouval patuh. Dia berjalan ke meja makan dan duduk menunggu piringnya disajikan.Sepiring roti diolesi selai dan secangkir kopi segera sampai di hadapannya. Nouval segera menghirup minumannya. Kopi itu mulai mendingin. Sepertinya Sassy menyiapkan sarapan lebih cepat dari biasa. Dan dari gigitan roti pertamanya, Nouval bisa meyakinkan itu.Sassy ingin bicara dengannya sejak pagi, tapi Nouval turun terlalu lama. Maka semua sarapan yang dibuat istrinya jadi dingin. Meskipun begitu, Nouval tetap menikmati roti dan kopinya. Mereka berdua sarapan dalam diam. Seakan, kepingan roti dingin itu terlalu menarik untuk dilewatk
Di luar, seorang wanita menunduk ke dekat jendela mobilnya, wajah seseorang yang dulu pernah akrab. Wanita itu tersenyum ramah padanya.“Widya!” Sassy ikut mengembangkan senyum melihat wanita yang dikenalnya di parkiran kampus. Jendela mobil diturunkan.“Lagi ngapain di sini?” tanya Sassy.“Aku biasa ke sini, tapi baru kali ini ketemu kamu. Lagi ada urusan apa?” Widy ganti bertanya tanpa menjawab pertanyaan Sassy. Wajahnya masih penuh dengan senyuman hangat dan ramah.“Lagi mengenang masa kita kuliah.” Sassy membuka pintu mobil dan keluar.“Eh, mumpung ketemu, kita duduk di cafetaria yuk. Nostalgia dulu,” ajak Sassy.“Wah … aku enggak bisa. Anakku nunggu di rumah, jadi harus langsung pulang. Widya berjalan ke mobilnya yang berselang satu mobil dari Sassy.“Tapi kalau kamu luang dan pingin ngobrol, ayo ikut ke rumahku,” tawarnya.Sassy menimbang dengan ragu. Hari sudah siang dan dia belum ke kantor sejak pagi. Pikirannya yang sedang sumpek dan buntu, tidak akan maksimal untuk diajak me
Sassy melihat temannya dengan ekspresi tak mengerti yang nyata. Tapi sebelum sempat bertanya, Widya kembali mencondongkan tubuh ke arah Sassy, yang membuat Sassy ikut mendekat tanpa sadar.“Dan setelah anak ini lahir, rasanya cintaku pada suamiku sudah berpindah semua ke dua anakku! Aku lebih mencintai makhluk-makhluk mungil ini ketimbang ayahnya!” Widya mengangguk meyakinkan.Sassy hanya bisa terbengong tak mengerti. “Bagaimana Widya yang cerdas dan cantik itu bisa jatuh cinta pada dua makhluk kecil super jorok dan berisik ini?” batinnya.Melihat Sassy terdiam, Widya merasa bersalah. “Maafkan aku. Kau mungkin belum mengerti sekarang. Tapi nanti, setelah punya anakmu sendiri, naluri keibuan akan muncul dan membimbingmu untuk mencintai mereka tanpa syarat! Jenis cinta yang sangat berbeda dengan cinta pada pasangan kita.”Ponsel Sassy bergetar. Diangkatnya telepon. “Ibu di mana? Apakah bisa ke kantor sekarang? Ada client yang ingin bertemu,” kata suara di seberang telepon.“Ya!” sahut S
Nouval tak ingin berdebat dengan istrinya. Dia menyadari bahwa hal ini sangatlah sensitif. Hati Sassy pasti sangat terluka memikirkan point-point kompromi ini.“Akan kupelajari dulu. Nouval mengirimkan catatan Sassy ke ponselnya sendiri.Tubuh Sassy tiba-tiba kaku. Respon Nouval di luar dugaannya. Dia sudah bersiap untuk berdebat jika Nouval tidak setuju. Tapi Nouval minta waktu memikirkannya. Apakah itu artinya dia tidak setuju? Ataukah sedang mencari celah hukum untuk mendebat dirinya nanti?“Aku berangkat.” Nouval berdiri. Dia mencium dahi istrinya seperti biasa. Seolah tak ada yang terjadi barusan tadi.“Apa dia sama sekali tidak peduli? Atau ini hanya alasan untuk menolak semua syaratku?” batin Sassy. Sekarang dia sendiri yang gelisah menunggu persetujuan Nouval tentang persyaratannya. Dilihatnya mobill suaminya menghilang dari pandangan mata.Siang itu saat jam istirahat, Nouval kembali membaca persyaratan dari Sassy. Beberapa poin diberinya tanda. Itu adalah hal-hal yang harus
Di rumah keluarga keluarga besar mamanya, tak pelak perbincangan hangat dengan topik pernikahan kedua Nouval dibahas seluruh keluarga. Pada akhirnya Nouval bisa mendengar ketidak puasan keluarga besarnya atas sikap Sassy. Istrinya itu selama ini yang tidak pernah mampu berbaur dengan anggota keluarga lain.“Istrimu itu selalu menjaga jarak. Kami kira dia pemalu,” ujar salah satu kerabat.“Kalau bukan melihat sendiri bagaimana papamu kena strook, kami tak akan tahu bagaimana pedas mulutnya!” Yang lain ikutan mencela.Nouval mulai merasa gerah mendengar istri tercintanya dibicarakan secara buruk di depan matanya. Nouval sudah berdiri, hendak meninggalkan tempat itu. Wajahnya yang asam terlihat oleh salah seorang tetua keluarga.“Jangan marah. Ambil ini sebagai pelajaran berharga. Kadang, tanpa menelan pil pahit, kita tidak akan tahu salahnya di mana. Bagus kita mengetahui sekarang apa sebab kalian tidak punya anak. Bayangkan jika kau mengetahui itu setelah dua puluh tahun yang akan dat
Bab 14. Hari PernikahanJawaban Nouval terdengar seperti ledakan bom di hati Sassy. Dia terdiam seketika. Berusaha mengingat apa yang dikatakan Nouval terakhir kali mereka bertemu. Akhirnya ingatan itu membuat matanya membesar.“Mereka menikah Minggu ini!”Tubuh Sassy lemas dan langsung jatuh tak berdaya. Dia tidak pingsan, hanya kehilangan seluruh energinya. “Apa yang sudah kulakukan?” batinnya.Air matanya mengalir begitu saja. Dari perlahan hingga menderas dan membuatnya merintih lirih. Hatinya terkoyak menghadapi kenyataan hidup.“Apa kau baik-baik saja?” tanya kliennya yang merasa heran melihat senyumnya dalam sekejap berubah jadi tangis.“Aku sedang menangis. Aku tidak baik-baik saja!” jawabnya dengan emosional.Sassy menutup wajah, menyembunyikannya dari penglihatan orang-orang di bandara. Mendengar nada emosi Sassy, kliennya diam, memberinya waktu untuk menenangkan diri.Sepanjang waktu menunggu, kepala Sassy dipenuhi dengan berbagai hal. Ingatan tentang cinta mereka berdua ya