Nouval dan Sassy adalah pasangan suami istri yang saling mencintai sejak mereka masih kuliah. Pria tampan itu mampu mengobati rasa kecewa pada keluarga yang mencampakkannya. Terlebih, penerimaan tulus orang tua Nouval, membuat dirinya menjadi semakin mencintai pria itu.
Kehidupan rumah tangga keduanya penuh dengan kebahagiaan, kecuali satu hal. Perhatian besar mereka pada pekerjaan, terbukti membuat karier keduanya melesat naik dengan cepat.
Sassy memutuskan keluar dari perusahaan periklananan yang ditekuninya setahun terakhir. Dia merasa percaya diri dan ingin membuat perusahaan periklanan sendiri berdasarkan pengalaman kerjanya selama ini. Nouval mendukung penuh rencana dan keinginan istrinya itu. Sebab, selama ini terbukti mengejar karier tidak membuat rumah tangga mereka jadi hambar. Mereka justru semakin saling mencintai dari waktu ke waktu.
Hanya saja, suara-suara keluhan mulai dilontarkan oleh mama dan papa Nouval, setiap kali mereka berdua menyambangi rumah besar itu.
“Bude Retno sudah punya cucu lagi, hlo. Kalian kapan nyusul?” sindir mama.
Pertanyaan yang selalu terdengar setiap kali keduanya datang bertandang dan membuat panas telinga Sassy. Meskipun mertuanya tidak pernah secara spesifik menyebut nama tapi dia selalu saja merasa sebagai tertuduh.
Baik Nouval maupun Sassy tidak ingin menanggapi hal itu. Mereka berdua sudah berkomitmen untuk mengejar karier yang cemerlang, ketimbang memikirkan tentang hamil dan punya bayi yang menurut Sassy sangat merepotkan dan hanya akan mengganggu pekerjaan mereka berdua.
Diamnya pasangan itu membuat mama dan papa Nouval tidak bahagia. Keduanya sama sekali tidak diberi penjelasan, apa sebab anak dan menantu mereka tidak kunjung memberikan cucu yang diimpikan.
Dua tahun berlalu, bisnis Sassy sudah menunjukkan kemajuan. Karier Nouval juga sangat bagus. Mereka sangat bahagia dengan pencapaian itu. Mereka sudah punya dua mobil dan rumah bagus milik sendiri. Semua adalah hasil kerja keras selama tiga tahun. Perjuangan berat dan penuh tantangan tak terlupakan.
“Kalian sudah sukses. Apakah sudah bisa merencanakan untuk punya bayi?” Pertanyaan basi itu kembali diulang mama tanpa bosan.
“Usia Sassy sudah hampir tiga puluh. Nanti malah benar-benar sulit punya bayi hlo!” papa mengingatkan.
Nouval dan terutama Sassy, mulai merasa risih dengan pertanyaan yang sama berulang kali, setiap mereka datang menjenguk. Pria itu dapat melihat bagaimana wajah Sassy yang mulai tak enak dipandang dan merasa terpojok.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Nouval mengalihkan pembicaraan.
“Aku sedikit pusing,” jawab Sassy yang mengerti maksud suaminya.
“Kalau begitu, mari kita pulang dan istirahat di rumah. Kau terlalu lelah!”
Sassy mengangguk dengan sedikit lemah, untuk mendukung kata-kata Nouval dan menunjukkan bahwa dia memang sedikit tidak enak badan. Keduanya berhasil pergi tanpa harus bertengkar ataupun membalas kata-kata papa dan mama.
Hanya saja, Nouval tahu bahwa papa dan mamanya sudah terlihat tidak senang, tidak sabar dan entah apa yang mungkin tersimpan di pikiran kedua orang tua itu. Dia merasa tak berdaya berada di antara istri dan orang tuanya sendiri. Dia tahu, orang tuanya tak akan bisa menerima ide jika mereka katakan tak ingin punya anak karena ingin mencapai puncak karier selagi muda.
“Menurumu, bagaimana jika kita punya satu anak? Itu tidak akan merepotkanmu. Satu, saja. Kita akan sewa baby sitter untuk mengasuhnya.” Nouval kembali mengajuk hati Sassy.
Dan seperti yang diduganya, Sassy mendengus, mematikan televisi dan langsung tidur membelakangi.
“Sayang, mungkin mama dan papa sangat kesepian. Itu makanya mereka terus mendesak kita segera memberi cucu.” Nouval berusaha memberi pengertian pada Sassy dan membela orang tuanya.
Sassy diam seribu bahasa. Dia memejamkan mata. Tak ingin memulai perdebatan yang dia tahu, tidak akan ada titik temu. Itu hanya akan merenggangkan hubungan mereka saja.
“Sayang … tolong mengertilah. Kau sangat tahu kalau aku adalah putra papa satu-satunya!” bujuk Nouval.
“Kalau begitu, kenapa bukan mamamu saja yang melahirkan satu anak lagi, biar bisa menjadi penerus keluarga!” teriak Sassy emosi. Dia sudah tak tahan mendengar kecerewetan Nouval.
Plakk!
Tanpa sadar, Nouval menampar pipi Sassy. Keduanya sama-sama terkejut. Sassy langsung menangis kencang sambil memegang pipinya yang terasa panas. Dia pergi ke kamar yang lain dan meninggalkan Nouval yang masih terkejut. Pria itu termangu menatap telapak tangannya yang terasa panas. Hatinya sangat sakit mendengar ucapan Sassy tadi, hingga tak kuasa menahan tangannya sendiri.
“Sassy ….”
Nouval berlari keluar kamar dan mengetuk pintu kamar lain yang ada di rumah itu. Dari balik pintu, dia dapat mendengar tangisan pilu istrinya. Hatinya ikut terluka dan berdarah mendengarnya.
“Sayang, maafkan aku. Aku khilaf,” ujarnya penuh penyesalan.
“Sayang ….”
Tak ada jawaban meski Nouval memanggil dan mengetuk pintu berkali-kali. Hingga pagi menjelang, pria itu masih duduk meringkuk di lantai, di depan pintu kamar yang terkunci.
Sassy bangun dan membuka pintu. Nouval yang tidur sambil duduk di lantai dan menyandar daun pintu, langsung jatuh terjengkang ke belakang.
Mata Sassy berkaca-kaca melihat suaminya menghabiskan malam di lantai yang dingin. Dilihatnya mata Nauval yang sembab bekas menangis dan lingkaran hitam tampak jelas di bawah mata.
Nouval terbangun. “Maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi. Hanya saja, tolong … jangan berkata seperti itu lagi." Nouval memohon.
“Aku mungkin lupa mengatakan padamu, bahwa tak lama setelah aku lahir, rahim mama diangkat untuk mengatasi kankernya. Dan Mas Pradipta justru berpulang lebih dulu saat dia SMA. Sekarang akulah satu-satunya tumpuan harapan mama dan papa.”
Nouval bicara tanpa henti. Dia tak ingin Sassy salah memahami dirinya sebagai pria kejam dan ringan tangan. Selama pernikahan mereka, belum pernah sekalipun Nouval berkata kasar, apa lagi main tangan. Dia selalu memanjakan dan menuruti apapun keinginan istrinya.
Sassy berjongkok dan memeluk suaminya. Keduanya berpelukan. “Maafkan aku. Aku yang keterlaluan. Aku tak akan menyakiti hatimu lagi. Tolong, maafkan aku,” bisik Sassy penuh penyesalan.
Air matanya menetes. Kemarahannya semalam langsung sirna melihat pria yang sangat dicintainya itu setia menunggu di depan pintu. Mereka berdamai dan Nouval mencoba untuk terus membela istrinya jika kedua orang tuanya bertanya.
Di tahun pernikahan keempat, desakan mama dan papa Nouval telah membuat Sassy enggan datang ke rumah itu lagi. Dia membiarkan suaminya pergi sendiri ke sana, untuk menghindari pertengkaran dengan kedua mertuanya.
Sebagai putra satu-satunya, Nouval tetap datang saat dipanggil orang tuanya. Dia hanya perlu lebih bersabar dan menebalkan telinga saja. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.
“Sayang, bagaimana kalau kita merencanakan punya bayi, sekarang?” tanya Nouval sepulang dari rumah orang tuanya.
Sassy melengos. Dia sudah hafal apa yang akan dikatakan suaminya setiap kali pulang dari sana. Nouval seperti dicuci otak oleh mama dan papanya, kemudian membawa lagi ide basi itu ke rumah mereka dan membuatnya jengkel.
“Apa orang tuamu tidak bosan dengan kata-kata yang sama bertahun-tahun?” ketus Sassy. Dia tengah asik dengan pekerjaannya di depan laptop.
Noval tak mengacuhkan sikap dingin dan sindiran istrinya. “Sekarang bisnismu bagus. Pekerjaanku juga bagus. Kita hanya perlu memberi mereka bayi untuk menyenangkan hari tua mereka. Kita sudah mampu membiayai anak itu sampai besar. Apa susahnya membahagiakan mereka?”
Hari ini ulang tahun pernikahan mama dan papa. Sassy tak mungkin mengelak untuk datang. Seperti biasa, hal yang sama kembali diulang. Kali ini bahkan di depan seluruh keluarga besar Ariobimo. Mereka bahkan menuduh Sassy mandul dan Nouval terus menutupinya.Nouval merasa telinganya lama-lama panas. Emosinya memuncak saat istrinya disudutkan. Pria itu tak bisa lagi menahan diri. “Bukan Sassy yang salah. Aku yang tak ingin punya anak! Lalu kalian mau apa?” tantang Nouval kehilangan kesabaran. Keluarga besarnya sangat terkejut.“Ap-apa mak-sud-muh!”Papa terkejut mendengar kata-kata yang diucapkan putranya. Dia benar-benar tak menyangka jika ternyata putranya yang tak ingin memiliki anak keturunan. Nouval terdiam dengan wajah beku. Dia tahu, kata-kata pembelaannya telah menyakiti kedua orang tua itu. Dia diam membeku di tempatnya, tak mampu mengatakan apapun lagi.“Ha--bis su--dah!” Pria tua itu ambruk di lantai sambil memegang dada. Wajahnya yang kesakitan membuat mama menghambur dan mem
Setelah dirawat selama dua minggu di rumah sakit, Pak Ariobimo akhirnya pulang ke rumah dan melakukan pemeriksaan berkala. Sejak kejadian itu Nouval jadi kembali dekat dengan kedua orang tuanya. Dia merasa tak mungkin membiarkan mamanya merawat papa sendirian di rumah. Mama juga butuh istirahat.“Ma, nanti pekerjakan perawat saja untuk membantu mama di rumah,” saran Nouval. “Apa Kau tak mau mengurus papa dan mama?” tanya mama dengan mata berkaca-kaca. Pria itu menghela napas. Sejak papa sakit, perasaan mama jadi lebih sensitif. Segala sesuatu bisa saja menjadi berbeda dalam pandangan mama. “Bukan seperti itu, Ma. Nouval kan harus kerja. Saat itu mama butuh bantuan perawat untuk mengurus papa,” jelasnya lembut dan sabar.“Tapi Kau akan tetap sering nengok ke sini, kan?” Mama meminta kepastian. “Iya dong. Masa enggak ke sini. Nanti yang gangguin Mama, siapa?” godanya dengan ekspresi polos. “Terima kasih, Nak.” Wanita itu memeluk putranya dengan perasaan sedih yang tak bisa ditutupi
Ibu dan bapak sangat terkejut mendengarnya. “Nonsens!”Nouval sendiri tak menyangka akan melihat kemarahan yang begitu besar di mata mamanya. Wanita paruh baya itu melotot ke arah menantu cantiknya. “Kamu pikir akan ada wanita yang mau jadi ibu dari entah siapa?”“Selalu ada orang yang butuh uang, Ma,” kata Sassy enteng.“Apa? Kalau kamu saja tidak bersedia mengandung benih dari suamimu sendiri dengan berbagai alasan absurd, bagaimana orang lain mau mengandung anakmu!” Nada suara mama makin naik karena Sassy menjawab kata-katanya.“Itu sesimpel orang menjual jasa, Ma. Kita---”“Kalau memang sesimpel itu, kenapa bukan kamu sendiri yang hamil!” potong mama dengan nada tinggi.“Karena Sassy mau utamain kerja! Enggak mau pusing urusin hamil dan punya bayi! Karena Sassy enggak suka bayi!” jerit Sassy akhirnya. Dia kesal terus dipaksa hamil dan punya anak oleh kedua mertuanya yang kolot.“Apa!”Kali ini Nouval yang terkejut. Ditatapnya wanita yang sangat dicintainya itu tak percaya. Kedua p
Sassy ikut berbaring di samping Nouval dan memeluknya. “Bagus! Sekarang aku tenang. Kau akan selalu mendukung dan ada di sisiku. Terima kasih, Sayangku. Kau suami ter-the best!” Tujuh hari berturut-turut, mama selalu menanyakan hal yang sama. Tentang ide mencari istri baru untuk Nouval. Pria itu akhirnya menyerah. Sassy juga tetap teguh dengan keputusannya tak mau punya anak.“Terserah mama saja,” katanya menyerah.Nouval membayangkan mamanya bergerilya, mencari calon istri baru untuknya. Mungkin semua kerabat jauh dan kenalannya akan ditanyai. Pria itu menggeleng pasrah.Tak diduga, hanya dalam satu bulan, mama berhasil menemukan seorang gadis polos dari kampung halaman. Putri teman baiknya semasa sekolah. Nouval sangat yakin bahwa setiap hari mamanya mencari dan menyaring begitu banyak kandidat.“Bagaimana, apa menurutmu dia cantik?” tanya mama setelah menyodorkan foto seorang gadis muda pada Nouval.Pria itu memperhatikan dengan seksama. Tak ada cacat cela di wajahnya. “Gadis seca
Pagi itu Sassy masih terlihat ceria saat memasak telur ceplok untuk Nouval. Dia menggumamkan senandung sembari tersenyum dan kadang berputar di depan kompor. Nouval yang sudah rapi dan baru turun dari lantai atas, tertegun melihat istrinya.“Senang sekali pagi ini? Apa ada project baru?” Nouval duduk di kursinya dan menyesap kopi yang sudah hampir dingin di meja.“Bukan.”Sassy meraih piring, mengangkat telur goreng dan membawa makanan itu ke meja. Diletakkannya satu di depan Nouval, satu lagi di depannya. Dia menuang juice dari pitcher dan menawarkan pada Nouval yang segera menolaknya.“Lalu kenapa happy banget pagi-pagi?” Nouval mulai menyuap sarapannya ke mulut. Selembar roti yang sudah dipanggang, dan telur ceplok setengah matang. Serta beberapa iris buah pir di pinggir piring.“Karena aaat bangun tadi, Irene mengajakku untuk membangun bisnis baru,” jawab Sassy masih dengan wajah berseri-seri.“Bisnis apa?” Nouval ingat bahwa Irene adalah teman yang kemarin ditemui istrinya dan ba
Nouval masih menunggu respon istrinya. Namun, Sassy tak menjawab apapun. “Apa kau masih mendengarkanku?”Suara dengkuran halus, menjadi jawaban pertanyaan Nouval. Dia ikut memejamkan mata juga karena lelah. Besok masih ada waktu untuk bicara.“Sassy, bisa kita bicara sebentar?” tanya Nouval pagi itu saat mereka sarapan.“Kau tahu aku sedang dikejar deadline. Sementara client minta iklannya diperbarui. Banyak hal yang harus kukerjakan di kantor.”“Tapi ini penting, Sas,” kata Nouval lagi.Sassy mengangkat mukanya dari piring sarapan kosong. “Apa kau sakit keras?” tanyanya sambil mengangkat piring dan langsung mencucinya.“Bukan ….”“Kalau begitu, nanti saja kita bicara. Pagi ini aku buru-buru.” Sassy menyambar blazer yang disampirkan di sandaran sofa dan mengenakannya.“Tap---”“Aku harus pergi, Sayang. Atau aku harus begadang di kantor malam ini,” potong Sassy. Dikecupnya pipi Nouval sebelum keluar pintu depan menuju garasi.Nouval terdiam di kursinya. Kemudian dikerjarnya Sassy saat
Mama menatap Nouval tak sabar. “Niat baik jangan ditunda-tunda,” ujar Mama, diikuti anggukan kepala Papa.“Bagaimana pendapat keluarganya? Jangan sampai Mama yang terlalu mendesak. Ada baiknya juga kalau dia berpikir dulu,” kata Nouval.“Mereka udah setuju kok,” bantah Mama lagi.Nouval mengangguk. “Trus, persiapannya bagaimana?”“Tenang aja. Mama dan keluarga mereka yang siapin. Kamu kerja seperti biasa aja. Ambil libur sejak Jumat bisa?”“Kenapa bukan Sabtu saja aku libur? Kan acaranya Minggu,” tawar Nouval.“Kan kita mesti pulang kampung dulu. Nanti kamu lelah. Pengantin baru kok lelah itu bagaimana?”Papa tertawa mendengarnya. Nouval terdiam kikuk. Dia paham arah pembicaraan mamanya. Melihat Nouval diam, Mama berpikir lain.“Kalau memang ada jadwal sidang Jumat yang enggak bisa ditunda, ya udah, gapapa hari Sabtu pagi kita berangkat.”“Artinya, Jumat malam kamu tidur di sini. Sabtu pagi kita langsung meluncur ke sana,” tambah Mama lagi.Nouval mengangguk. Itu adalah jalan tengah
Pagi hari Sassy bersikap manis. Dia sudah rapi dan siap ke kantor. Tapi masih menyempatkan membuat sarapan ala kadarnya dan menunggu Nouval turun dari kamar.“Pagi, Sayang …,” sapanya riang.“Pagi.” Nouval mencium kening Sassy yang dengan sigap sudah berdiri di depan tangga menyambutnya.“Sarapan dulu.” Sassy mengambil alih tas Nouval dan diletakkan di atas meja ruang tamu. Nouval patuh. Dia berjalan ke meja makan dan duduk menunggu piringnya disajikan.Sepiring roti diolesi selai dan secangkir kopi segera sampai di hadapannya. Nouval segera menghirup minumannya. Kopi itu mulai mendingin. Sepertinya Sassy menyiapkan sarapan lebih cepat dari biasa. Dan dari gigitan roti pertamanya, Nouval bisa meyakinkan itu.Sassy ingin bicara dengannya sejak pagi, tapi Nouval turun terlalu lama. Maka semua sarapan yang dibuat istrinya jadi dingin. Meskipun begitu, Nouval tetap menikmati roti dan kopinya. Mereka berdua sarapan dalam diam. Seakan, kepingan roti dingin itu terlalu menarik untuk dilewatk