Share

Menolak Childfree, Suami Pilih Poligami
Menolak Childfree, Suami Pilih Poligami
Penulis: Seruling Emas

Bab 1. Anak

Nouval dan Sassy adalah pasangan suami istri yang saling mencintai sejak mereka masih kuliah. Pria tampan itu mampu mengobati rasa kecewa pada keluarga yang mencampakkannya. Terlebih, penerimaan tulus orang tua Nouval, membuat dirinya menjadi semakin mencintai pria itu.

Kehidupan rumah tangga keduanya penuh dengan kebahagiaan, kecuali satu hal. Perhatian besar mereka pada pekerjaan, terbukti membuat karier keduanya melesat naik dengan cepat.

Sassy memutuskan keluar dari perusahaan periklananan yang ditekuninya setahun terakhir. Dia merasa percaya diri dan ingin membuat perusahaan periklanan sendiri berdasarkan pengalaman kerjanya selama ini. Nouval mendukung penuh rencana dan keinginan istrinya itu. Sebab, selama ini terbukti mengejar karier tidak membuat rumah tangga mereka jadi hambar. Mereka justru semakin saling mencintai dari waktu ke waktu.

Hanya saja, suara-suara keluhan mulai dilontarkan oleh mama dan papa Nouval, setiap kali mereka berdua menyambangi rumah besar itu.

“Bude Retno sudah punya cucu lagi, hlo. Kalian kapan nyusul?” sindir mama.

Pertanyaan yang selalu terdengar setiap kali keduanya datang bertandang dan membuat panas telinga Sassy. Meskipun mertuanya tidak pernah secara spesifik menyebut nama tapi dia selalu saja merasa sebagai tertuduh.

Baik Nouval maupun Sassy tidak ingin menanggapi hal itu. Mereka berdua sudah berkomitmen untuk mengejar karier yang cemerlang, ketimbang memikirkan tentang hamil dan punya bayi yang menurut Sassy sangat merepotkan dan hanya akan mengganggu pekerjaan mereka berdua.

Diamnya pasangan itu membuat mama dan papa Nouval tidak bahagia. Keduanya sama sekali tidak diberi penjelasan, apa sebab anak dan menantu mereka tidak kunjung memberikan cucu yang diimpikan.

Dua tahun berlalu, bisnis Sassy sudah menunjukkan kemajuan. Karier Nouval juga sangat bagus. Mereka sangat bahagia dengan pencapaian itu. Mereka sudah punya dua mobil dan rumah bagus milik sendiri. Semua adalah hasil kerja keras selama tiga tahun. Perjuangan berat dan penuh tantangan tak terlupakan.

“Kalian sudah sukses. Apakah sudah bisa merencanakan untuk punya bayi?” Pertanyaan basi itu kembali diulang mama tanpa bosan.

“Usia Sassy sudah hampir tiga puluh. Nanti malah benar-benar sulit punya bayi hlo!” papa mengingatkan.

Nouval dan terutama Sassy, mulai merasa risih dengan pertanyaan yang sama berulang kali, setiap mereka datang menjenguk. Pria itu dapat melihat bagaimana wajah Sassy yang mulai tak enak dipandang dan merasa terpojok.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Nouval mengalihkan pembicaraan.

“Aku sedikit pusing,” jawab Sassy yang mengerti maksud suaminya.

“Kalau begitu, mari kita pulang dan istirahat di rumah. Kau terlalu lelah!”

Sassy mengangguk dengan sedikit lemah, untuk mendukung kata-kata Nouval dan menunjukkan bahwa dia memang sedikit tidak enak badan. Keduanya berhasil pergi tanpa harus bertengkar ataupun membalas kata-kata papa dan mama.

Hanya saja, Nouval tahu bahwa papa dan mamanya sudah terlihat tidak senang, tidak sabar dan entah apa yang mungkin tersimpan di pikiran kedua orang tua itu. Dia merasa tak berdaya berada di antara istri dan orang tuanya sendiri. Dia tahu, orang tuanya tak akan bisa menerima ide jika mereka katakan tak ingin punya anak karena ingin mencapai puncak karier selagi muda.

“Menurumu, bagaimana jika kita punya satu anak? Itu tidak akan merepotkanmu. Satu, saja. Kita akan sewa baby sitter untuk mengasuhnya.” Nouval kembali mengajuk hati Sassy.

 Dan seperti yang diduganya, Sassy mendengus, mematikan televisi dan langsung tidur membelakangi.

“Sayang, mungkin mama dan papa sangat kesepian. Itu makanya mereka terus mendesak kita segera memberi cucu.” Nouval berusaha memberi pengertian pada Sassy dan membela orang tuanya.

Sassy diam seribu bahasa. Dia memejamkan mata. Tak ingin memulai perdebatan yang dia tahu, tidak akan ada titik temu. Itu hanya akan merenggangkan hubungan mereka saja.

“Sayang … tolong mengertilah. Kau sangat tahu kalau aku adalah putra papa satu-satunya!” bujuk Nouval.

“Kalau begitu, kenapa bukan mamamu saja yang melahirkan satu anak lagi, biar bisa menjadi penerus keluarga!” teriak Sassy emosi. Dia sudah tak tahan mendengar kecerewetan Nouval.

Plakk!

Tanpa sadar, Nouval menampar pipi Sassy. Keduanya sama-sama terkejut. Sassy langsung menangis kencang sambil memegang pipinya yang terasa panas. Dia pergi ke kamar yang lain dan meninggalkan Nouval yang masih terkejut. Pria itu termangu menatap telapak tangannya yang terasa panas. Hatinya sangat sakit mendengar ucapan Sassy tadi, hingga tak kuasa menahan tangannya sendiri.

“Sassy ….”

Nouval berlari keluar kamar dan mengetuk pintu kamar lain yang ada di rumah itu. Dari balik pintu, dia dapat mendengar tangisan pilu istrinya. Hatinya ikut terluka dan berdarah mendengarnya.

“Sayang, maafkan aku. Aku khilaf,” ujarnya penuh penyesalan.

“Sayang ….”

Tak ada jawaban meski Nouval memanggil dan mengetuk pintu berkali-kali. Hingga pagi menjelang, pria itu masih duduk meringkuk di lantai, di depan pintu kamar yang terkunci.

Sassy bangun dan membuka pintu. Nouval yang tidur sambil duduk di lantai dan menyandar daun pintu, langsung jatuh terjengkang ke belakang.

Mata Sassy berkaca-kaca melihat suaminya menghabiskan malam di lantai yang dingin. Dilihatnya mata Nauval yang sembab bekas menangis dan lingkaran hitam tampak jelas di bawah mata.

Nouval terbangun. “Maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi. Hanya saja, tolong … jangan berkata seperti itu lagi." Nouval memohon.

“Aku mungkin lupa mengatakan padamu, bahwa tak lama setelah aku lahir, rahim mama diangkat untuk mengatasi kankernya. Dan Mas Pradipta justru berpulang lebih dulu saat dia SMA. Sekarang akulah satu-satunya tumpuan harapan mama dan papa.”

Nouval bicara tanpa henti. Dia tak ingin Sassy salah memahami dirinya sebagai pria kejam dan ringan tangan. Selama pernikahan mereka, belum pernah sekalipun Nouval berkata kasar, apa lagi main tangan. Dia selalu memanjakan dan menuruti apapun keinginan istrinya.

Sassy berjongkok dan memeluk suaminya. Keduanya berpelukan. “Maafkan aku. Aku yang keterlaluan. Aku tak akan menyakiti hatimu lagi. Tolong, maafkan aku,” bisik Sassy penuh penyesalan.

Air matanya menetes. Kemarahannya semalam langsung sirna melihat pria yang sangat dicintainya itu setia menunggu di depan pintu. Mereka berdamai dan Nouval mencoba untuk terus membela istrinya jika kedua orang tuanya bertanya.

Di tahun pernikahan keempat, desakan mama dan papa Nouval telah membuat Sassy enggan datang ke rumah itu lagi. Dia membiarkan suaminya pergi sendiri ke sana, untuk menghindari pertengkaran dengan kedua mertuanya.

Sebagai putra satu-satunya, Nouval tetap datang saat dipanggil orang tuanya. Dia hanya perlu lebih bersabar dan menebalkan telinga saja. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

“Sayang, bagaimana kalau kita merencanakan punya bayi, sekarang?” tanya Nouval sepulang dari rumah orang tuanya.

Sassy melengos. Dia sudah hafal apa yang akan dikatakan suaminya setiap kali pulang dari sana. Nouval seperti dicuci otak oleh mama dan papanya, kemudian membawa lagi ide basi itu ke rumah mereka dan membuatnya jengkel.

“Apa orang tuamu tidak bosan dengan kata-kata yang sama bertahun-tahun?” ketus Sassy. Dia tengah asik dengan pekerjaannya di depan laptop.

Noval tak mengacuhkan sikap dingin dan sindiran istrinya. “Sekarang bisnismu bagus. Pekerjaanku juga bagus. Kita hanya perlu memberi mereka bayi untuk menyenangkan hari tua mereka. Kita sudah mampu membiayai anak itu sampai besar. Apa susahnya membahagiakan mereka?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Seruling Emas
Terima kasih ulasannya, kak
goodnovel comment avatar
Alya Feliz
Jaman sekarang banyak yg kayak sassy. Malah banyak yg takut menikah. Meski karier bagus, tetap takut. Nggak tahu aja, kalau kaya raya buat apa coba kalau nggak punya anak? Yg ada nanti jadi rebutan paman bibi sama keponakan ketika nggak ada. Kayak tetangga depan rumah.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status