Hari ini ulang tahun pernikahan mama dan papa. Sassy tak mungkin mengelak untuk datang. Seperti biasa, hal yang sama kembali diulang. Kali ini bahkan di depan seluruh keluarga besar Ariobimo. Mereka bahkan menuduh Sassy mandul dan Nouval terus menutupinya.
Nouval merasa telinganya lama-lama panas. Emosinya memuncak saat istrinya disudutkan. Pria itu tak bisa lagi menahan diri. “Bukan Sassy yang salah. Aku yang tak ingin punya anak! Lalu kalian mau apa?” tantang Nouval kehilangan kesabaran. Keluarga besarnya sangat terkejut.
“Ap-apa mak-sud-muh!”
Papa terkejut mendengar kata-kata yang diucapkan putranya. Dia benar-benar tak menyangka jika ternyata putranya yang tak ingin memiliki anak keturunan. Nouval terdiam dengan wajah beku. Dia tahu, kata-kata pembelaannya telah menyakiti kedua orang tua itu. Dia diam membeku di tempatnya, tak mampu mengatakan apapun lagi.
“Ha--bis su--dah!” Pria tua itu ambruk di lantai sambil memegang dada. Wajahnya yang kesakitan membuat mama menghambur dan memeluknya.
“Panggilkan ambulans, cepat!” teriak mama dalam kepanikannya.
“Pa, mama di sini, sabar … tarik napas pelan-pelan, bisa tidak?”
Perlahan wajah Pak Ariobimo memucat. Nouval tertegun di tempatnya. Tangannya dicengkeram Sassy erat. Istrinya itu ketakutan melihat apa yang terjadi. Getaran tubuh Sassy menyadarkan Nouval dari keterkejutannya. Dia segera menghambur mencoba memeluk tubuh papanya.
“Papa, maafkan Nouval. Noval tidak bermaksud seperti itu. Papa ….”
Mama menyingkirkan tangan Nouval dari menyentuh papanya sendiri. Pria muda itu terhenyak melihat api kemarahan dalam mata mama yang biasanya selalu teduh.
“Mama, Nouval hanya---”
“Beri papamu ruang, jangan dikerubuti. Panggilkan ambulans dan jadilah anak berguna, sekali saja!” kata mamanya pedas. Nouval terdiam mendengar kata-kata pedas mama. Sebagai anak satu-satunya, tak sekalipun kedua orang tuanya melontarkan ucapan kasar yang bisa menyakiti hatinya, kecuali hari ini.
“Aku sudah menelepon ambulans. Kita tunggu saja,” kata salah satu kerabat dengan ekspresi sangat khawatir.
“Terlalu lama. Sebaiknya kita antarkan saja ke UGD terdekat!” saran keluarga lain.
“Biar saya keluarkan mobil!”
Nouval bergerak cepat. Mama mengangguk setuju. Dengan berlari, pria muda itu mengeluarkan mobil dari garasi dan siap menunggu di depan rumah. Mama masuk dan duduk di jok belakang. Beberapa orang menggotong Pak Ariobimo ke halaman dan membaringkannya di jok belakang sambil dipeluk oleh istrinya. Pria itu sudah kehilangan kesadaran sama sekali.
Nouval langsung menyalakan mobil dan keluar. Dia bahkan lupa jika Sassy istrinya tidak ikut di mobil. Yang ada di pikirannya hanya membawa papa secepatnya ke UGD agar nyawanya selamat.
Di rumah besar, Sassy mendapatkan tatapan tajam menusuk dari seluruh anggota keluarga besar Ariobimo. Meskipun tak ada yang mengucapkan kata-kata tuduhan. Namun, Sassy yakin pandangan tajam itu seperti melontarkan kalimat. “Kamulah penyebab semua ini!”
Dia ingin pulang, akan tetapi segera ingat bahwa sebelumnya dirinya dan Nouval datang dengan satu mobi yang dibawa Nouval untuk mengantar papa mertuanya. Tak ada yang peduli saat wanita itu pergi diam-diam. Mereka hanya melihat tanpa menegur sama sekali. Bahkan saat Sassy menunggu taksi di depan rumah terlalu lama, tak ada juga yang peduli. Semua sibuk membenahi pesta yang gagal. Merapikan rumah dan menyimpan makanan yang tersisa. Kemudian pergi beramai-ramai menuju rumah sakit, untuk mengetahui apa yang terjadi.
Sassy berdiri di depan pagar dengan termangu dan merasa dirinya tak dihargai. Ada rasa marah di hatinya melihat sikap tak bersahabat dari keluarga itu. Ada pula rasa sedih, melihat kedua mertuanya.
“Sassy, kau pulang naik taksi saja. Aku menunggui papa di rumah sakit.” Wanita itu membaca pesan dari suaminya dengan beragam rasa. Nouval tak menanyakan sedikitpun kabarnya. Dia hanya menyuruh pulang.
“Ternyata … dibandingkan aku, perhatian utamamu tetaplah kedua orang tua itu.” Hati Sassy terluka. Entah bagaimana asal mulanya tapi hari ini dia merasa seperti anak terbuang dan tidak diinginkan. Persis seperti yang dilakukan oleh ayah kandungnya dulu.
Nouval tak pulang selama dua hari. Belum pernah Sassy ditinggalkan seperti itu. Dia merasa sangat kesepian dan sedikit marah. Pesan yang dikirimkan Nouval hanya pesan satu arah. Suaminya hanya mengatakan apa yang akan dilakukannya tanpa meminta pendapat ataupun persetujuan Sassy lagi. Hal itu membuatnya menyimpan kejengkelan di hati.
Hari ketiga, Nouval pulang tepat saat Sassy baru saja berangkat kerja. Dia punya janji dengan klien yang tak bisa ditunda. Jadi dia hanya melambaikan tangan pada Nouval saat mobil mereka berpapasan di jalan kompleks.
Nouval yang selama dua hari kerepotan mengurus kebutuhan rumah sakit dan menjaga mamanya yang juga ikut drop, menjadi kecewa melihat istrinya sama sekali tidak menaruh perhatian pada apa yang menimpa keluarganya. Dia pulang dengan sedih dan merasa patah hati. Tadi dia berharap Sassy akan menghiburnya dengan pelukan hangat yang sangat dirindukannya.
Sesampai di rumah, Nouval menghempaskan diri di tempat tidur. Tempat rapi dan wangi yang menjadi ruang favorit mereka berdua. Nouval masih dapat menemukan aroma parfum yang biasa dipakai Sassy dari selimut yang dipasang rapi.
“Aku sangat merindukanmu. Aku membutuhkanmu saat ini. Apa kau tak bisa meluangkan waktu sebentar saja?” keluhnya tanpa sadar. Dipeluknya guling dan meresapi aroma Sassy di sana. Matanya terpejam. Setetes air mata jatuh dan membasahi guling. Hatinya terluka.
Dering ponsel di saku, membangunkan Nouval yang tertidur di kamar. “Nak, bisakah membawakan mama makan siang? Hari ini jadwal pemeriksaan papa sangat padat. Mama tak sempat keluar untuk membeli makan siang,” ujar mamanya di ujung telepon.
“Iya, Ma. Sebentar Nouval beli dan antar ke sana. Mama jangan ke mana-mana, nanti jatuh,” jawab pria muda itu cepat. Dia segera bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
Sore itu, Nouval mendengarkan penjelasan dokter tentang kondisi papa. Pria paroh baya itu terkena strook dan sebelah tubuhnya lumpuh, tak bisa digerakkan. Hatinya merasa terpukul. Bingung bagaimana mengatakan hal itu pada mamanya. Dan yang diduganya terjadi. Mama tak henti menangis dan menyesali kata-kata kejam yang dilontarkan Nouval beberapa hari lalu.
“Apakah kami pernah meminta lebih padamu, Nak? Apakah kami pernah menolak keinginanmu? Kenapa kau sampai hati bicara seperti itu? Mama tidak tahu bagaimana mengatakannya. Hanya saja, semenjak menikahi Sassy, kau semakin terlihat seperti orang lain yang tidak lagi kami kenali.”
Nouval hanya bisa memeluk mama dan terus mengatakan, “Maafin Nouval, Ma. Nouval sudah sadar sekarang. Tolong maafin sikap egois Nouval,” ujarnya lirih.
“Yang sudah terucap tak bisa ditarik lagi. Yang terjadi sudah terjadi. Kalau kau tak juga menyesali diri, maka Mama tak bisa lagi menjangkaumu!” sesal wanita itu. Nouval memandang mamanya dengan perasaan campur aduk. Hanya butuh waktu tiga hari, untuk membuat mamanya jadi tampak sangat tua dari biasanya.
“Mulai sekarang, Nouval akan patuh pada kata-kata Mama,” janjinya.
Dua anak beranak itu kembali berpelukan dan menangis. Tangis penyesalan yang dalam. Selama dua hari terakhir, Nouval mendengarkan semua kata-kata mama. Dari yang pedas, hingga hal sedih dan kecewa yang disimpan kedua orang tuanya. Hal itu membuat hatinya melembut dan membuka pikiran yang selama ini hanya terpaku pada istrinya.
Sassy yang selama ini dinilainya sebagai istri tak tercela, mulai dikoreksinya. Tak perlu melihat terlalu jauh ke belakang. Bahkan sejak papanya masuk rumah sakit, istrinya itu tak ada menanyakan kabar ataupun menjenguk ke rumah sakit.
Nouval menggeleng sedih. “Kenapa selama ini aku tak melihat sisi dirinya yang ini?”
Setelah dirawat selama dua minggu di rumah sakit, Pak Ariobimo akhirnya pulang ke rumah dan melakukan pemeriksaan berkala. Sejak kejadian itu Nouval jadi kembali dekat dengan kedua orang tuanya. Dia merasa tak mungkin membiarkan mamanya merawat papa sendirian di rumah. Mama juga butuh istirahat.“Ma, nanti pekerjakan perawat saja untuk membantu mama di rumah,” saran Nouval. “Apa Kau tak mau mengurus papa dan mama?” tanya mama dengan mata berkaca-kaca. Pria itu menghela napas. Sejak papa sakit, perasaan mama jadi lebih sensitif. Segala sesuatu bisa saja menjadi berbeda dalam pandangan mama. “Bukan seperti itu, Ma. Nouval kan harus kerja. Saat itu mama butuh bantuan perawat untuk mengurus papa,” jelasnya lembut dan sabar.“Tapi Kau akan tetap sering nengok ke sini, kan?” Mama meminta kepastian. “Iya dong. Masa enggak ke sini. Nanti yang gangguin Mama, siapa?” godanya dengan ekspresi polos. “Terima kasih, Nak.” Wanita itu memeluk putranya dengan perasaan sedih yang tak bisa ditutupi
Ibu dan bapak sangat terkejut mendengarnya. “Nonsens!”Nouval sendiri tak menyangka akan melihat kemarahan yang begitu besar di mata mamanya. Wanita paruh baya itu melotot ke arah menantu cantiknya. “Kamu pikir akan ada wanita yang mau jadi ibu dari entah siapa?”“Selalu ada orang yang butuh uang, Ma,” kata Sassy enteng.“Apa? Kalau kamu saja tidak bersedia mengandung benih dari suamimu sendiri dengan berbagai alasan absurd, bagaimana orang lain mau mengandung anakmu!” Nada suara mama makin naik karena Sassy menjawab kata-katanya.“Itu sesimpel orang menjual jasa, Ma. Kita---”“Kalau memang sesimpel itu, kenapa bukan kamu sendiri yang hamil!” potong mama dengan nada tinggi.“Karena Sassy mau utamain kerja! Enggak mau pusing urusin hamil dan punya bayi! Karena Sassy enggak suka bayi!” jerit Sassy akhirnya. Dia kesal terus dipaksa hamil dan punya anak oleh kedua mertuanya yang kolot.“Apa!”Kali ini Nouval yang terkejut. Ditatapnya wanita yang sangat dicintainya itu tak percaya. Kedua p
Sassy ikut berbaring di samping Nouval dan memeluknya. “Bagus! Sekarang aku tenang. Kau akan selalu mendukung dan ada di sisiku. Terima kasih, Sayangku. Kau suami ter-the best!” Tujuh hari berturut-turut, mama selalu menanyakan hal yang sama. Tentang ide mencari istri baru untuk Nouval. Pria itu akhirnya menyerah. Sassy juga tetap teguh dengan keputusannya tak mau punya anak.“Terserah mama saja,” katanya menyerah.Nouval membayangkan mamanya bergerilya, mencari calon istri baru untuknya. Mungkin semua kerabat jauh dan kenalannya akan ditanyai. Pria itu menggeleng pasrah.Tak diduga, hanya dalam satu bulan, mama berhasil menemukan seorang gadis polos dari kampung halaman. Putri teman baiknya semasa sekolah. Nouval sangat yakin bahwa setiap hari mamanya mencari dan menyaring begitu banyak kandidat.“Bagaimana, apa menurutmu dia cantik?” tanya mama setelah menyodorkan foto seorang gadis muda pada Nouval.Pria itu memperhatikan dengan seksama. Tak ada cacat cela di wajahnya. “Gadis seca
Pagi itu Sassy masih terlihat ceria saat memasak telur ceplok untuk Nouval. Dia menggumamkan senandung sembari tersenyum dan kadang berputar di depan kompor. Nouval yang sudah rapi dan baru turun dari lantai atas, tertegun melihat istrinya.“Senang sekali pagi ini? Apa ada project baru?” Nouval duduk di kursinya dan menyesap kopi yang sudah hampir dingin di meja.“Bukan.”Sassy meraih piring, mengangkat telur goreng dan membawa makanan itu ke meja. Diletakkannya satu di depan Nouval, satu lagi di depannya. Dia menuang juice dari pitcher dan menawarkan pada Nouval yang segera menolaknya.“Lalu kenapa happy banget pagi-pagi?” Nouval mulai menyuap sarapannya ke mulut. Selembar roti yang sudah dipanggang, dan telur ceplok setengah matang. Serta beberapa iris buah pir di pinggir piring.“Karena aaat bangun tadi, Irene mengajakku untuk membangun bisnis baru,” jawab Sassy masih dengan wajah berseri-seri.“Bisnis apa?” Nouval ingat bahwa Irene adalah teman yang kemarin ditemui istrinya dan ba
Nouval masih menunggu respon istrinya. Namun, Sassy tak menjawab apapun. “Apa kau masih mendengarkanku?”Suara dengkuran halus, menjadi jawaban pertanyaan Nouval. Dia ikut memejamkan mata juga karena lelah. Besok masih ada waktu untuk bicara.“Sassy, bisa kita bicara sebentar?” tanya Nouval pagi itu saat mereka sarapan.“Kau tahu aku sedang dikejar deadline. Sementara client minta iklannya diperbarui. Banyak hal yang harus kukerjakan di kantor.”“Tapi ini penting, Sas,” kata Nouval lagi.Sassy mengangkat mukanya dari piring sarapan kosong. “Apa kau sakit keras?” tanyanya sambil mengangkat piring dan langsung mencucinya.“Bukan ….”“Kalau begitu, nanti saja kita bicara. Pagi ini aku buru-buru.” Sassy menyambar blazer yang disampirkan di sandaran sofa dan mengenakannya.“Tap---”“Aku harus pergi, Sayang. Atau aku harus begadang di kantor malam ini,” potong Sassy. Dikecupnya pipi Nouval sebelum keluar pintu depan menuju garasi.Nouval terdiam di kursinya. Kemudian dikerjarnya Sassy saat
Mama menatap Nouval tak sabar. “Niat baik jangan ditunda-tunda,” ujar Mama, diikuti anggukan kepala Papa.“Bagaimana pendapat keluarganya? Jangan sampai Mama yang terlalu mendesak. Ada baiknya juga kalau dia berpikir dulu,” kata Nouval.“Mereka udah setuju kok,” bantah Mama lagi.Nouval mengangguk. “Trus, persiapannya bagaimana?”“Tenang aja. Mama dan keluarga mereka yang siapin. Kamu kerja seperti biasa aja. Ambil libur sejak Jumat bisa?”“Kenapa bukan Sabtu saja aku libur? Kan acaranya Minggu,” tawar Nouval.“Kan kita mesti pulang kampung dulu. Nanti kamu lelah. Pengantin baru kok lelah itu bagaimana?”Papa tertawa mendengarnya. Nouval terdiam kikuk. Dia paham arah pembicaraan mamanya. Melihat Nouval diam, Mama berpikir lain.“Kalau memang ada jadwal sidang Jumat yang enggak bisa ditunda, ya udah, gapapa hari Sabtu pagi kita berangkat.”“Artinya, Jumat malam kamu tidur di sini. Sabtu pagi kita langsung meluncur ke sana,” tambah Mama lagi.Nouval mengangguk. Itu adalah jalan tengah
Pagi hari Sassy bersikap manis. Dia sudah rapi dan siap ke kantor. Tapi masih menyempatkan membuat sarapan ala kadarnya dan menunggu Nouval turun dari kamar.“Pagi, Sayang …,” sapanya riang.“Pagi.” Nouval mencium kening Sassy yang dengan sigap sudah berdiri di depan tangga menyambutnya.“Sarapan dulu.” Sassy mengambil alih tas Nouval dan diletakkan di atas meja ruang tamu. Nouval patuh. Dia berjalan ke meja makan dan duduk menunggu piringnya disajikan.Sepiring roti diolesi selai dan secangkir kopi segera sampai di hadapannya. Nouval segera menghirup minumannya. Kopi itu mulai mendingin. Sepertinya Sassy menyiapkan sarapan lebih cepat dari biasa. Dan dari gigitan roti pertamanya, Nouval bisa meyakinkan itu.Sassy ingin bicara dengannya sejak pagi, tapi Nouval turun terlalu lama. Maka semua sarapan yang dibuat istrinya jadi dingin. Meskipun begitu, Nouval tetap menikmati roti dan kopinya. Mereka berdua sarapan dalam diam. Seakan, kepingan roti dingin itu terlalu menarik untuk dilewatk
Di luar, seorang wanita menunduk ke dekat jendela mobilnya, wajah seseorang yang dulu pernah akrab. Wanita itu tersenyum ramah padanya.“Widya!” Sassy ikut mengembangkan senyum melihat wanita yang dikenalnya di parkiran kampus. Jendela mobil diturunkan.“Lagi ngapain di sini?” tanya Sassy.“Aku biasa ke sini, tapi baru kali ini ketemu kamu. Lagi ada urusan apa?” Widy ganti bertanya tanpa menjawab pertanyaan Sassy. Wajahnya masih penuh dengan senyuman hangat dan ramah.“Lagi mengenang masa kita kuliah.” Sassy membuka pintu mobil dan keluar.“Eh, mumpung ketemu, kita duduk di cafetaria yuk. Nostalgia dulu,” ajak Sassy.“Wah … aku enggak bisa. Anakku nunggu di rumah, jadi harus langsung pulang. Widya berjalan ke mobilnya yang berselang satu mobil dari Sassy.“Tapi kalau kamu luang dan pingin ngobrol, ayo ikut ke rumahku,” tawarnya.Sassy menimbang dengan ragu. Hari sudah siang dan dia belum ke kantor sejak pagi. Pikirannya yang sedang sumpek dan buntu, tidak akan maksimal untuk diajak me