Setelah dirawat selama dua minggu di rumah sakit, Pak Ariobimo akhirnya pulang ke rumah dan melakukan pemeriksaan berkala. Sejak kejadian itu Nouval jadi kembali dekat dengan kedua orang tuanya. Dia merasa tak mungkin membiarkan mamanya merawat papa sendirian di rumah. Mama juga butuh istirahat.
“Ma, nanti pekerjakan perawat saja untuk membantu mama di rumah,” saran Nouval.
“Apa Kau tak mau mengurus papa dan mama?” tanya mama dengan mata berkaca-kaca.
Pria itu menghela napas. Sejak papa sakit, perasaan mama jadi lebih sensitif. Segala sesuatu bisa saja menjadi berbeda dalam pandangan mama. “Bukan seperti itu, Ma. Nouval kan harus kerja. Saat itu mama butuh bantuan perawat untuk mengurus papa,” jelasnya lembut dan sabar.
“Tapi Kau akan tetap sering nengok ke sini, kan?” Mama meminta kepastian.
“Iya dong. Masa enggak ke sini. Nanti yang gangguin Mama, siapa?” godanya dengan ekspresi polos.
“Terima kasih, Nak.” Wanita itu memeluk putranya dengan perasaan sedih yang tak bisa ditutupinya.
Setelah papa pulang, Nouval bisa kembali bekerja dengan tenang. Hanya saja, waktunya dengan Sassy menjadi lebih sedikit. Dia harus menyempatkan untuk menjenguk mama dan mengecek apakah keadaan di rumah baik-baik saja.
Sebulan setelah itu, Sassy mulai menyuarakan protes atas kesibukan Nouval mengurus orang tuanya. “Waktumu sudah tersita sangat banyak!” katanya tak senang, saat suaminya berniat untuk tidur.
Nouval tak menjawab. Hari ini jadwalnya memang sangat padat. Dia merasa sangat kelelahan. Tadi malam mama mengatakan bahwa pampers papa habis. Jadi sepulang kerja Nouval menyempatkan membeli beberapa keperluan rumah, agar mama tidak lagi kebingungan saat malam hari. Sekarang dia pulang ke rumah tapi istrinya terlihat tidak senang.
Sassy makin merasa jengkel saat mendengar dengkuran halus Nouval yang menjadi jawaban kemarahannya. Dia tidur membelakangi pria itu dengan perasaan tidak puas.
Jadwal Nouval minggu itu sangat padat. Begitu pula dengan istrinya. Mereka bahkan tidak sempat untuk sarapan bersama karena harus segera melakukan tugas masing-masing.
“Sore nanti pulang cepat! Kita harus bicara!” pesan Sassy masuk di ponsel Nouval.
Pria itu tertegun sejenak. Dia memang sangat sibuk akhir-akhir ini dan Sassy sudah tahu itu. Beberapa hari yang lalu Nouval sudah mengatakan bahwa dia akan sangat sibuk karena mendapatkan klien baru dengan kasus yang sedikit lebih berat dari biasanya. Nouval dan timnya harus bekerja ektra untuk memenangkan kasus itu.
“Ada apa?” tegur temannya, melihat Nouval terus memandangi ponsel dengan ekspresi rumit.
“Istriku uring-uringan sejak kemarin,” jawab Nouval. Ponsel diletakkannya tanpa membalas pesan Sassy. Temannya datang untuk mengantarkan berkas yang harus segera diperiksanya.
Pria itu terkekeh. "Istriku juga suka uring-uringan. Terutaman saat PMS atau saat rekeningnya kosong!”
Nouval balas tersenyum. Sassy tak mungkin kekurangan uang di rekeningnya. Berarti dia mungkin sedang PMS. Pemikiran itu membuat hatinya kembali ringan. Dia akan membelikan sesuatu nanti, saat pulang, agar perasaan Sassy kembali bahagia.
“Sayang, ayo tebak apa yang kubawa!” Nouval menyembunyikan hadiahnya di belakang punggung.
Sassy yang sedang nonton televisi, hanya menoleh dan merespon tanpa minat. “Paling juga coklat!” ujarnya cuek.
Mendapat penerimaan dingin, tak membuat Nouval kecil hati. Sassy sedang PMS, jadi dia memang akan bersikap sedikit tak biasa untuk beberapa hari. “Salah. Ayo tebak dong. Kalau benar, bisa minta hadiah lain hlo,” rayunya lagi.
“Enggak ada main-tebak-tebakan. Kita harus bicara serius!” Mata Sassy menatap suaminya tajam.
Nouval melonggarkan dasi di leher. Dia merasa tercekik melihat sikap Sassy. Ada sedikit rasa tidak suka di hatinya. Nouval sendiri tidak tahu, sejak kapan dia memandang sikap otoriter Sassy tidak lagi menggemaskan.
“Ada apa?” Suaranya dibuat selelmbut mungkin, untuk mendinginkan suasana hati Sassy yang sedang panas. Hadiah yang tadi dibawanya, diletakkan di meja begitu saja.
“Mau sampai kapan bolak-balik ke tempat mama?”
Pertanyaan Sassy membuat suaminya melihat dengan bingung. “Maksudmu apa?”
“Sudah sebulan kau masih bolak-balik ke sana. Sampai hubungan kita jadi renggang begini! Jadi, mau sampai kapan kamu ke sana terus?” Mata Sassy berapi-api.
Nouval terkejut melihat api amarah di mata Sassy yang biasanya sangat cantik itu.
“Mereka orang tuaku. Selama mereka masih hidup, aku akan tetap ke sana!” tegas Nouval. Pria itu berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Dia harus mendinginkan kepala agar emosinya reda.
“Bagaimana Sassy bisa berkata seperti itu? Melarangku pergi ke rumah mama?” kesalnya dalam hati.
“Hei, aku belum selesai bicara!” teriak Sassy dari balik pintu. Nouval menyalakan keran air untuk mengusir suara Sassy dari gendang telinganya. Diputuskannya untuk berendam di bathtub dan berlama-lama di kamar mandi.
Saat keluar dari kamar mandi, dilihatnya hadiah yang tadi dibawa sudah berantakan di lantai dan Sassy tak ada. Nouval keluar, mencari di kamar lain. Didengarnya suara sayup musik dari dalam. Meskipun sedikit sedih tapi hatinya lega karena Sassy ada di situ. Dia kembali ke kamar dan tidur.
Minggu, Nouval mengosongkan waktu untuk membawa Sassy jalan. Meskipun tidak mudah tapi langkahnya berhasil memadamkan api dari mata istrinya. Keduanya kembali mesra sore itu.
Malam itu, setelah Sassy tidur. Nouval baru membuka pesan-pesan di ponsel. Termasuk beberapa miscall dari mama. “Besok jadwal papa periksa ke rumah sakit. Apa bisa ikut?”
Dengan cepat dia membalas pesan. “Bisa, Ma. Pagi-pagi Nouval antarin. Hanya saja, enggak bisa ikut ketemu dokter. Ada jadwal sidang pagi besok.”
Nouval membayangkan wajah tua mama yang kecewa dan kerepotannya mendaftar dan mengantri periksa. Kembali jarinya mengetik. “Besok. Embak perawatnya dibawa saja, buat bantu mama,” sarannya.
Tak ada balasan pesan. Artinya mama sudah tidur. Namun, dirinya justru jadi tidak bisa tidur. Hatinya jadi gelisah membayangkan kerepotan mamanya besok pagi di rumah sakit. Belum lagi harus menghadapi kerewelan papa yang sekarang selalu tidak senang dan tidak sabar terhadap apapun.
Pesan baru kembali dikirim. “Besok, tolong gantikan jadwal sidang pertamaku. Aku harus mengantar papa periksa ke rumah sakit!”
Minggu berikutnya, Nouval mengajak Sassy berkunjung ke rumah mama. Meskipun enggan, Sassy tak bisa menolak. Nouval menunjukkan pesan dari mama. “Besok mama dan papa mau mengatakan sesuatu yang penting. Bawa istrimu.” Bagi Nouval, itu sebuah perintah!
Setelah berbasa-basi, mama membuka percakapan. Di samping mama, duduk papa dengan disangga bantal. Mama berdehem sebentar, untuk meminta perhatian Nouval dan Sassy. Keduanya duduk diam dan siap mendengarkan apa yang ingin dikatakan mama.
“Sekarang jelaskan pada mama dan papa, kenapa kalian tidak mau punya anak. Apakah ada salah satu dari kalian yang mandul?” Pertanyaan mama tegas dan benar-benar memaksa untuk mendapat penjelasan masuk akal atas pernyataan Nouval sebelumnya.
Suami istri itu saling pandang dengan ekspresi rumit. Sassy mengangguk Dia menggenggam tangan Nouval, melarang pria itu bicara. Tampaknya kali ini dia memilih untuk mengambil alaih tanggung jawab, agar Nouval tidak terpojok lagi.
“Ma, kami memutuskan untuk tidak punya anak dan fokus pada pekerjaan. Banyak impian yang ingin kami capai. Rasanyanya, memiliki anak itu hanya akan merepotkan dan mengganggu pekerjaan saja.” Sassy menjawab tanpa ragu, tak peduli jika kedua mertuanya melotot mendengarkan penjelasan absurd itu.
Setelah menghela napas panjang dan menyabarkan papa yang tersulut emosi, mama mengalihkan pandangan pada Nouval. “Apa kau juga tidak ingin punya anak?” Mama menatap Nouval tajam.
“Mama tahu bagaimana Sassy bisa punya ide gila itu. Karena keluarganya membuat dia kecewa. Lalu bagaimana denganmu. Apa pernah mama dan papa membuatmu kecewa, hingga kau membuat keputusan seperti itu?”
Nouval menggeleng. “Bukan seperti itu, Ma. Ingin punya anak atau tidak itu, butuh kesepakatan dua orang. Jika Sassy keberatan, bagaimana Nouval bisa punya anak?” Akhirnya kata-kata itu meluncur juga. Dia juga sudah lelah terus disudutkan, padahal telah berulang kali merayu Sassy agar bersedia hamil.
Mama dan papa menatap Sassy tajam. Sekarang mereka tahu siapa dalang yang meracuni pikiran putra kesayangan mereka.
Merasa tersudut, Sassy akhirnya melontarkan ide baru. “Jika mama dan papa sangat ingin punya cucu dari kami, kupikir aku punya ide bagus.”
“Apa?” kejar mama.
“Kita cari ibu pengganti yang bersedia hamil anak kami,” katanya lancar.
Ibu dan bapak sangat terkejut mendengarnya. “Nonsens!”Nouval sendiri tak menyangka akan melihat kemarahan yang begitu besar di mata mamanya. Wanita paruh baya itu melotot ke arah menantu cantiknya. “Kamu pikir akan ada wanita yang mau jadi ibu dari entah siapa?”“Selalu ada orang yang butuh uang, Ma,” kata Sassy enteng.“Apa? Kalau kamu saja tidak bersedia mengandung benih dari suamimu sendiri dengan berbagai alasan absurd, bagaimana orang lain mau mengandung anakmu!” Nada suara mama makin naik karena Sassy menjawab kata-katanya.“Itu sesimpel orang menjual jasa, Ma. Kita---”“Kalau memang sesimpel itu, kenapa bukan kamu sendiri yang hamil!” potong mama dengan nada tinggi.“Karena Sassy mau utamain kerja! Enggak mau pusing urusin hamil dan punya bayi! Karena Sassy enggak suka bayi!” jerit Sassy akhirnya. Dia kesal terus dipaksa hamil dan punya anak oleh kedua mertuanya yang kolot.“Apa!”Kali ini Nouval yang terkejut. Ditatapnya wanita yang sangat dicintainya itu tak percaya. Kedua p
Sassy ikut berbaring di samping Nouval dan memeluknya. “Bagus! Sekarang aku tenang. Kau akan selalu mendukung dan ada di sisiku. Terima kasih, Sayangku. Kau suami ter-the best!” Tujuh hari berturut-turut, mama selalu menanyakan hal yang sama. Tentang ide mencari istri baru untuk Nouval. Pria itu akhirnya menyerah. Sassy juga tetap teguh dengan keputusannya tak mau punya anak.“Terserah mama saja,” katanya menyerah.Nouval membayangkan mamanya bergerilya, mencari calon istri baru untuknya. Mungkin semua kerabat jauh dan kenalannya akan ditanyai. Pria itu menggeleng pasrah.Tak diduga, hanya dalam satu bulan, mama berhasil menemukan seorang gadis polos dari kampung halaman. Putri teman baiknya semasa sekolah. Nouval sangat yakin bahwa setiap hari mamanya mencari dan menyaring begitu banyak kandidat.“Bagaimana, apa menurutmu dia cantik?” tanya mama setelah menyodorkan foto seorang gadis muda pada Nouval.Pria itu memperhatikan dengan seksama. Tak ada cacat cela di wajahnya. “Gadis seca
Pagi itu Sassy masih terlihat ceria saat memasak telur ceplok untuk Nouval. Dia menggumamkan senandung sembari tersenyum dan kadang berputar di depan kompor. Nouval yang sudah rapi dan baru turun dari lantai atas, tertegun melihat istrinya.“Senang sekali pagi ini? Apa ada project baru?” Nouval duduk di kursinya dan menyesap kopi yang sudah hampir dingin di meja.“Bukan.”Sassy meraih piring, mengangkat telur goreng dan membawa makanan itu ke meja. Diletakkannya satu di depan Nouval, satu lagi di depannya. Dia menuang juice dari pitcher dan menawarkan pada Nouval yang segera menolaknya.“Lalu kenapa happy banget pagi-pagi?” Nouval mulai menyuap sarapannya ke mulut. Selembar roti yang sudah dipanggang, dan telur ceplok setengah matang. Serta beberapa iris buah pir di pinggir piring.“Karena aaat bangun tadi, Irene mengajakku untuk membangun bisnis baru,” jawab Sassy masih dengan wajah berseri-seri.“Bisnis apa?” Nouval ingat bahwa Irene adalah teman yang kemarin ditemui istrinya dan ba
Nouval masih menunggu respon istrinya. Namun, Sassy tak menjawab apapun. “Apa kau masih mendengarkanku?”Suara dengkuran halus, menjadi jawaban pertanyaan Nouval. Dia ikut memejamkan mata juga karena lelah. Besok masih ada waktu untuk bicara.“Sassy, bisa kita bicara sebentar?” tanya Nouval pagi itu saat mereka sarapan.“Kau tahu aku sedang dikejar deadline. Sementara client minta iklannya diperbarui. Banyak hal yang harus kukerjakan di kantor.”“Tapi ini penting, Sas,” kata Nouval lagi.Sassy mengangkat mukanya dari piring sarapan kosong. “Apa kau sakit keras?” tanyanya sambil mengangkat piring dan langsung mencucinya.“Bukan ….”“Kalau begitu, nanti saja kita bicara. Pagi ini aku buru-buru.” Sassy menyambar blazer yang disampirkan di sandaran sofa dan mengenakannya.“Tap---”“Aku harus pergi, Sayang. Atau aku harus begadang di kantor malam ini,” potong Sassy. Dikecupnya pipi Nouval sebelum keluar pintu depan menuju garasi.Nouval terdiam di kursinya. Kemudian dikerjarnya Sassy saat
Mama menatap Nouval tak sabar. “Niat baik jangan ditunda-tunda,” ujar Mama, diikuti anggukan kepala Papa.“Bagaimana pendapat keluarganya? Jangan sampai Mama yang terlalu mendesak. Ada baiknya juga kalau dia berpikir dulu,” kata Nouval.“Mereka udah setuju kok,” bantah Mama lagi.Nouval mengangguk. “Trus, persiapannya bagaimana?”“Tenang aja. Mama dan keluarga mereka yang siapin. Kamu kerja seperti biasa aja. Ambil libur sejak Jumat bisa?”“Kenapa bukan Sabtu saja aku libur? Kan acaranya Minggu,” tawar Nouval.“Kan kita mesti pulang kampung dulu. Nanti kamu lelah. Pengantin baru kok lelah itu bagaimana?”Papa tertawa mendengarnya. Nouval terdiam kikuk. Dia paham arah pembicaraan mamanya. Melihat Nouval diam, Mama berpikir lain.“Kalau memang ada jadwal sidang Jumat yang enggak bisa ditunda, ya udah, gapapa hari Sabtu pagi kita berangkat.”“Artinya, Jumat malam kamu tidur di sini. Sabtu pagi kita langsung meluncur ke sana,” tambah Mama lagi.Nouval mengangguk. Itu adalah jalan tengah
Pagi hari Sassy bersikap manis. Dia sudah rapi dan siap ke kantor. Tapi masih menyempatkan membuat sarapan ala kadarnya dan menunggu Nouval turun dari kamar.“Pagi, Sayang …,” sapanya riang.“Pagi.” Nouval mencium kening Sassy yang dengan sigap sudah berdiri di depan tangga menyambutnya.“Sarapan dulu.” Sassy mengambil alih tas Nouval dan diletakkan di atas meja ruang tamu. Nouval patuh. Dia berjalan ke meja makan dan duduk menunggu piringnya disajikan.Sepiring roti diolesi selai dan secangkir kopi segera sampai di hadapannya. Nouval segera menghirup minumannya. Kopi itu mulai mendingin. Sepertinya Sassy menyiapkan sarapan lebih cepat dari biasa. Dan dari gigitan roti pertamanya, Nouval bisa meyakinkan itu.Sassy ingin bicara dengannya sejak pagi, tapi Nouval turun terlalu lama. Maka semua sarapan yang dibuat istrinya jadi dingin. Meskipun begitu, Nouval tetap menikmati roti dan kopinya. Mereka berdua sarapan dalam diam. Seakan, kepingan roti dingin itu terlalu menarik untuk dilewatk
Di luar, seorang wanita menunduk ke dekat jendela mobilnya, wajah seseorang yang dulu pernah akrab. Wanita itu tersenyum ramah padanya.“Widya!” Sassy ikut mengembangkan senyum melihat wanita yang dikenalnya di parkiran kampus. Jendela mobil diturunkan.“Lagi ngapain di sini?” tanya Sassy.“Aku biasa ke sini, tapi baru kali ini ketemu kamu. Lagi ada urusan apa?” Widy ganti bertanya tanpa menjawab pertanyaan Sassy. Wajahnya masih penuh dengan senyuman hangat dan ramah.“Lagi mengenang masa kita kuliah.” Sassy membuka pintu mobil dan keluar.“Eh, mumpung ketemu, kita duduk di cafetaria yuk. Nostalgia dulu,” ajak Sassy.“Wah … aku enggak bisa. Anakku nunggu di rumah, jadi harus langsung pulang. Widya berjalan ke mobilnya yang berselang satu mobil dari Sassy.“Tapi kalau kamu luang dan pingin ngobrol, ayo ikut ke rumahku,” tawarnya.Sassy menimbang dengan ragu. Hari sudah siang dan dia belum ke kantor sejak pagi. Pikirannya yang sedang sumpek dan buntu, tidak akan maksimal untuk diajak me
Sassy melihat temannya dengan ekspresi tak mengerti yang nyata. Tapi sebelum sempat bertanya, Widya kembali mencondongkan tubuh ke arah Sassy, yang membuat Sassy ikut mendekat tanpa sadar.“Dan setelah anak ini lahir, rasanya cintaku pada suamiku sudah berpindah semua ke dua anakku! Aku lebih mencintai makhluk-makhluk mungil ini ketimbang ayahnya!” Widya mengangguk meyakinkan.Sassy hanya bisa terbengong tak mengerti. “Bagaimana Widya yang cerdas dan cantik itu bisa jatuh cinta pada dua makhluk kecil super jorok dan berisik ini?” batinnya.Melihat Sassy terdiam, Widya merasa bersalah. “Maafkan aku. Kau mungkin belum mengerti sekarang. Tapi nanti, setelah punya anakmu sendiri, naluri keibuan akan muncul dan membimbingmu untuk mencintai mereka tanpa syarat! Jenis cinta yang sangat berbeda dengan cinta pada pasangan kita.”Ponsel Sassy bergetar. Diangkatnya telepon. “Ibu di mana? Apakah bisa ke kantor sekarang? Ada client yang ingin bertemu,” kata suara di seberang telepon.“Ya!” sahut S