"Mas, kamu lagi dimana?"
"Ini lagi makan siang sama temen-temen."Arisa mengelus dada yang mendadak ngilu, setelah mengetahui kebohongan calon suaminya, Bahtiar.Di ujung sana, di dalam sebuah resto tak jauh dari gedung kantor tempat Bahtiar bekerja, lelaki itu tengah menikmati santap siang dengan seorang gadis cantik yang sebelumnya Arisa sebut teman.Tiga tahun bekerja di tempat yang sama. Melakukan berbagai aktifitas bersama, membuat Arisa berpikir telah mengenal Melia. Nyatanya, setelah Arisa memutuskan resign mengikuti peraturan perusahaan, ia justru mendapati sang calon suami tengah menjalin kedekatan dengan mantan rekan satu timnya."Ya sudah, lanjutkan saja. Aku gak mau ganggu." Arisa mengakhiri panggilan tanpa menunggu Bahtiar memberi jawaban.Arisa membalik badan, pergi meninggalkan bangunan resto sembari menahan nyeri yang serta merta menggerogoti.Andai saja Bahtiar mau berkata jujur bahwa dirinya tengah berdua dengan Melia, tentu Arisa pun tak lantas menaruh curiga. Bukankah selama ini ia sudah menganggap gadis itu sebagai orang terdekat?Akan dianggap wajar jika mereka makan siang bersama. Mereka bekerja dalam satu gedung dan dalam naungan perusahaan yang tidak berbeda. Selain itu, pertemanan yang terjalin sekian lama, tak mungkin Arisa cederai dengan tuduhan yang tak berdasar.Namun, dusta yang terlanjur dimuntahkan dari mulut Bahtiar, sungguh telah sukses mencacati sudut hati Arisa yang sebelumnya menaruh rasa percaya.*****Sesampainya di rumah, Arisa harus sesegera mungkin memasang wajah cerianya. Sebab, di dalam ruang tamu, calon ibu mertua tengah berbincang hangat dengan sang bunda.Meski putranya baru saja mencipta segores luka, tetapi wanita paruh baya itu bisa dipastikan tak mengetahui apapun juga."Risa, gimana? Jadi ketemu Bahtiarnya?" tanya Fatma, ibunda Bahtiar yang kini telah Arisa sebut 'Mama'.Sedikit tersentak, namun gadis itu segera berusaha menguasai diri untuk tidak menunjukan kegagalan menyakitkan yang baru saja terjadi."Enggak, Ma. Risa pikir Mas Tiar pasti sibuk kerja. Risa gak mau ganggu. Nanti dia kena marah atasan," ujar Risa, dengan dibumbui dusta untuk menutupi segala kegundahan hati yang saat ini masih butuh kejelasan pasti."Nak, ini Mama Bahtiar ke sini mau nunjukin katalog cincin untuk pernikahan kalian nanti." Linda, sang bunda lantas menimpali, seraya melempar seraut wajah bahagia.Tak ingin merusak suasana, Arisa kemudian turut mendaratkan bokong di dekat Fatma. Maniknya mulai menyoroti satu demi satu lembaran yang ditunjuk Fatma, tanpa tahu harus memberi keputusan apa.Sampai akhirnya Arisa memilih secara acak, agar urusan tersebut segera usai. Karena, sungguh ia merasa sangat lelah hari ini. Ia ingin bergegas menenggelamkan diri dalam kesendirian. Ingin segera mengadu pada Sang Illahi atas apa yang tengah dialami.Tidakkah hanya Dia yang tahu jawaban dari berbagai tanya yang berkecamuk dalam jiwa? Tidakkah Tuhan lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba- Nya?*****Seiring waktu yang berputar, semua tetap berjalan sebagaimana mesti. Para orang tua sibuk mempersiapkan berbagai hal untuk perhelatan bahagia nan sakral putra-putri mereka.Sementara Bahtiar, kian hari kian jarang menghubungi Arisa dengan alasan sibuk berbagai pekerjaan. Pun dengan Arisa yang tak mau terlalu peduli. Kabar kedekatan calon suaminya dengan Melia pun semakin santer berhembus, melalui unggahan-unggahan teman lewat media sosial yang kadangkala menyiratkan suatu sindiran.Keterdiaman Arisa bukan karena pasrah dengan keadaan. Akan tetapi, ada banyak perasaan yang harus ia lindungi dari kekecewaan. Arisa sendiri belum tahu akan sampai di mana ia sanggup bertahan. Namun, selagi mampu ia akan terus mencoba dan berusaha."Mama perhatikan, kamu jarang bertemu Bahtiar. Apa kalian baik-baik saja?" Naluri seorang ibu memang tak mudah manipulasi. Tetapi, Arisa masih belum siap mengatakan yang sebenarnya."Pekerjaannya sedang banyak. Sebentar lagi dia mau ambil cuti. Jadi harus segera mengurus pekerjaan yang belum selesai." Lipatan halus di kening Linda, menandakan rasa heran atas penuturan sang putri yang terdengar lain dari biasanya. Nada bicaranya tak seantusias dulu. Bahkan cenderung malas membahas tentang calon suaminya tersebut.Namun demikian, Linda tak berhak ikut campur terlalu jauh dalam permasalahan yang mungkin sedang mereka alami. Terkecuali, Arisa sendiri yang meminta saran."Syukurlah kalau memang seperti itu. Mama harap kalian baik-baik saja."Arisa mengangguk tanpa berucap apapun lagi. Ia pun bangkit meninggalkan sang bunda yang tetap melanjutkan pekerjaan menyiangi sayuran untuk memasak makan malam.Sementara itu, Linda menatap kepergian Arisa dengan perasaan penuh kekhawatiran. Dia yakin dengan sangat bahwasannya Arisa dan Bahtiar memang sedang tak baik-baik saja.*****Dari balik tirai bilik ganti, Arisa keluar dengan gaun menjuntai yang menyapu lantai. Sorak sorai orang yang memandangnya berhasil memantik lengkungan indah di bibirnya.Namun, sekilas saja senyum itu luntur kala mendapati pemeran utama dalam kisah ini yang tampak tidak peduli. Bahtiar terlihat sibuk menatap layar gawai, hinggap tak menyadari di depannya seorang bidadari tengah berdiri.Dengan berjuta rasa kecewa yang bercokol dalam dada, Arisa berbalik dan menanggalkan kembali gaun pengantin yang baru saja ia coba paskan di badan."Gak mau foto dulu, Mbak?" tanya pekerja butik yang tengah ia sambangi."Gak perlu, Mbak," jawab Arisa, cepat dan singkat.Pelayan butik itu pun mengangguk saja. Ia lekas membantu Arisa melepas gaun lebar itu untuk kembali diganti dengan pakaian yang ia kenakan sebelumnya.Merasa cukup dengan semuanya, Arisa keluar dari bilik ganti untuk bergegas pulang."Ayo, pulang!" kata Arisa, tanpa menunggu tanggapan Bahtiar, ia pun berjalan mendahului."Loh, udah selesai?" tanya Bahtiar, seraya menyimpan ponsel ke dalam saku celana.Ia melangkah cepat menyusul Arisa yang sudah hampir tiba di depan mobil Bahtiar. Tangan kokoh lelaki itu segera menarik pintu untuk sang calon istri. Namun, Arisa urung memasuki kabin kendaraan miliknya tersebut. Wanita itu menutup kembali dan memilih menatap Bahtiar lebih lama."Ada apa? Kenapa?" tanya lelaki itu, kebingungan."Mumpung semua belum terlanjur, lebih baik bicara dari sekarang," tutur Arisa, tak berkedip barang sedetik pun."Bicara apa?" Lagi-lagi Bahtiar tak mengerti arah pembicaraan Arisa."Sebenarnya, kamu masih punya niat nikahin aku atau enggak?" "Kamu ini bicara apa sih? Kalau aku gak niat, gak mungkin persiapan kita sampai sejauh ini.""Tapi, aku sama sekali gak lihat kesungguhan kamu. Sudah berapa minggu kita gak ketemu. Dan sekarang kamu malah sibuk dengan HP kamu.""Aku sibuk sama kerjaan," kilah Bahtiar."Kamu yakin sibuk sama kerjaan?"Tentu saja Bahtiar mengangguk."Bahkan di hari Minggu?""Iya.""Kamu yakin bukan sibuk chatingan sama Melia?"Seketika Bahtiar pun terkesiap mendengar pertanyaan Arisa yang bisa disebut juga sebagai tuduhan.*****BersambungKegagapan Bahtiar kian menguatkan keyakinan Arisa bahwa apa yang ia sangkakan memang benar adanya. Muak melihat reaksi yang ditunjukkan kekasihnya tersebut, Arisa pun memilih berlalu meninggalkan Bahtiar yang masih setia dalam keterpakuan.Ia tak peduli apapun tanggapan lelaki itu atas sikapnya. Yang Arisa pikir, ia hanya ingin pergi saat itu juga. Pergi dari hadapan pria yang ia kira tak pernah sungguh-sungguh mempersembahkan cinta padanya.Detik waktu menyadarkan Bahtiar kalau saat ini Arisa telah enyah dari hadapan. Secuil pun ia tak pernah sangka kalau Arisa akan melayangkan pertanyaan yang menyatakan bahwa wanita itu mengetahui sesuatu yang belakangan ia sembunyikan.Buru-buru Bahtiar mengemudikan kendaraan miliknya, bermaksud mengejar Arisa yang pergi tak tahu arah tujuan.Sepanjang perputaran roda, berulang kali Bahtiar memukul kemudi. Merasa frustasi sebab jejak Arisa yang tak kunjung ia temui. Satu harapan terakhir Bahtiar, yakni menghubungi Linda."Hallo, Tiar," sambut suara
Suara keributan dari luar mengusik kenyamanan ibunda Arisa yang baru saja hendak beristirahat. Sebelumnya, setelah dibuat cemas oleh Bahtiar yang mempertanyakan putrinya, Linda kembali bisa bernapas lega. Sebab tak lama sesudah itu Yanu mengabari kalau Arisa berada di kediamannya.Langkah Linda terhenti kala mendapati sang putri bersandar pada daun pintu yang tertutup rapat. Sedangkan bunyi gedoran terdengar gaduh disertai teriakan Bahtiar yang memanggil-manggil nama Arisa.“Ada apa, Nak?” tanya Linda, menjatuhkan lutut di hadapan Arisa yang semula tampak tertunduk.Wajah sendu itu mendongak menatap sang bunda. Genangan di pelupuk mata, pertanda bahwa ada hal yang telah membuat sang belahan jiwa terluka.“Mama.” Seucap itu Arisa mampu bersuara.Batinnya perih teriris mendapati sang kekasih membawa serta penyebab prahara. Sungguh Arisa enggan sekali menyaksikan kehadiran mereka bersama dengan kedua bola mata. Andai Bahtiar tahu, bahwa menghadirkan Melia tak ubahnya menggerus kalbu yang
“Mau bikin kopi?”Bahtiar menoleh dan mendapati Melia sudah berdiri di sebelahnya yang hendak menyeduh kopi di dalam pantry. “Iya, nih, agak ngantuk. Semalam video call- an sama Risa sampe larut.”“Oh ….” Melia mengangguk-angguk paham. “Ya udah, sini aku buatin.” Ia lantas merebut kopi kemasan dari tangan Bahtiar.“Serius?” tanya Bahtiar, sedikit tak enak hati.“Serius lah. Kopi doang, kecil ini sih. Lagian aku kasihan sama kamu. Sejak Risa resign, kamu jadi apa-apa sendiri.”“Yah … gak apa-apa lah. Lagian abis ini dia bakal layanin aku sepenuhnya kalau lagi di rumah.” Melia melirik, melihat ekspresi Bahtiar yang tampak bahagia. “Loh, emang Risa gak nyari kerja lagi?”“Ya, enggak lah. Buat apa? Kan nanti ada aku yang nafkahin dia. Dia cukup di rumah, ngurus aku sama anak-anak kami nanti.” Setiap kata yang keluar dari mulut Bahtiar terdengar sangat menyenangkan. Bahkan ia juga tampak seperti sedang membayangkan kebahagiaan sempurna itu bersama Arisa.“Beruntung sekali ya, Arisa. Punya
“Terus gimana?” Yanu menelengkan kepala, bersiap mendengar jawaban Arisa yang sejak tadi tampak lahap menikmati setiap potong pizza yang yang dipenuhi lelehan mozarella.“Ya gitu deh. Aku kira si Papa kena serangan jantung, ternyata kancing kemejanya lepas. Huh ….” Arisa mengusap dahi seraya membuang napas. “Langsung aja deh aku bilang, Mas Tiar kayaknya lagi ngigau. Biasanya kalau orang sakit emang kadang ngigau gitu kan?”Setelah beberapa hari lalu memilih bungkam, hari ini Arisa sudah tak keberatan bercerita panjang lebar. Dia memberitahu Yanu hal apa yang menyebabkan keretakan hubungannya dengan Bahtiar. Tak sampai di situ, Arisa juga memaparkan kejadian beberapa jam lalu di rumah Bahtiar.“Sayang aku gak lihat langsung. Kalau lihat, pasti aku ketawa ngakak,” balas Yanu, terkekeh geli.“Boro-boro pengen ketawa, Kak. Yang ada aku deg-degan setengah mati. Untungnya si Papa percaya.”“Oh ya, Bahtiar sendiri gimana? Dia sakit beneran atau cuma cari perhatian?”Arisa menaikan kedua bah
Lembaran kertas bermotif dengan dominasi warna marun, diusap dengan lembut penuh penghayatan. Goresan tinta perak bertuliskan nama dua insan yang memiliki niat suci itu pun menjadi fokus utama dalam sudut pandang Arisa. Ada getar harus menelusup hingga ke dasar kalbu. Di mana bayangan indah kala merangkai rencana bahagia itu terukir di pelupuk mata. Suka duka yang dilalui tak mungkin mudah terhapus begitu saja. Meski luka itu nyatanya telah sukses mencabik rasa percaya yang tercurah terhadap pria yang ia kira akan setia melambungkan segala asa bersama.Kilat bening yang berasal dari genangan cairan asin itu terpancar kala ingatannya terhempas pada kenyataan yang terpaksa harus ia telan. Sebesar apapun rasa cinta yang pernah keduanya agung-agungkan, tetap tak mampu menutupi cela yang terlanjur menganga.“Mama tahu Risa masih cinta sama Bahtiar. Tapi, Mama juga tahu kalau Risa juga membenci Bahtiar dalam waktu bersamaan. Mama mungkin gak tahu bagaimana rasanya dikhianati, tapi Mama san
“Ayahku pergi dengan wanita lain. Aku gak tahu mereka menikah atau enggak. Yang jelas sejak saat itu, dia sudah tidak lagi menafkahi kami. Ibuku harus banting tulang, kerja jadi buruh cuci sambil gendong adik yang paling kecil.” Melia mendongak ke atas, menahan laju air mata yang mendesak ingin segera tumpah.Di sampingnya, Bahtiar menyimak segala penuturan Melia dengan perasaan iba yang seketika menelusup ke dalam dada.“Hari itu, aku bilang ingin berhenti sekolah saja. Aku mau bantu Ibu cari uang. Tapi, Ibuku sangat marah. Katanya, kalau aku gak sekolah, aku gak akan jadi apa-apa. Tapi, diam-diam aku kerja setelah pulang sekolah. Aku bantu-bantu di cafe punya orang tua temanku. Sesekali aku juga nyanyi di sana. Nyerep kalau penyanyinya berhalangan datang. Hasilnya lumayan, selain honor dari yang punya cafe, kadang pengunjung juga kasih saweran.” Seulas senyum menjeda kisah panjang yang tengah diurai saat ia duduk berdua dengan Bahtiar.“Aku gak tahu kalau hidupmu serumit itu,” ujar
Desas-desus keretakan hubungan Bahtiar dengan Arisa merebak di dalam lingkungan kantor. Entah siapa yang menjadi bibit isu tersebut, yang pasti dalam beberapa kesempatan Bahtiar kerap mendapati para staf tengah menggunjing dirinya. Tak cukup sampai di situ, Bahtiar pun memerhatikan ada beberapa orang yang tanpa ragu menyindir Melia dengan suara lantang. Namun begitu, ia enggan memberi teguran. Ia tak mau segala tudingan itu dianggap benar, ketika dirinya pasang badan membela Melia.Ada perasaan tak tega kala menangkap mata Melia tengah menyantap bekal makan siangnya sendiri. Semenjak gosip miring itu tersebar, perempuan yang gemar mengenakan celana panjang itu seperti tak bernyali untuk berkumpul di dalam kantin. Dia memilih bertahan di kubikel miliknya hingga jam istirahat berakhir.“Tiar, kita harus bicara.” Bahtiar tersentak kala suara Melia menghentikan langkahnya yang hendak beranjak pulang.Manik tajam lelaki bersetelan jas itu awas mengamati sekitar. Ia khawatir ada orang yang
Satu kali, dua kali, tiga kali, sampai berkali-kali pukulan kembali mendarat di pipi. Kemudian tubuh Bahtiar bangkit terangkat oleh tarikan kerah baju yang dilakukan Yanu. Kali ini, dengkul lelaki itu yang menghantam perut Bahtiar hingga terkulai tak berdaya. Bahtiar meringkuk di atas aspal. Menahan sakit di sekujur badan. Sedangkan Yanu, sekali lagi menendang sebelum akhirnya menghampiri Arisa, yang tampak terguncang dengan segala kejadian. Lelaki yang mengenakan jaket merah itu merogoh saku, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.“Antarkan mobilku sekarang. Nanti kau pulang bawa motorku.” Sesingkat itu pembicaraan Yanu. Ia lantas merengkuh pundak Arisa dan menuntunnya dari tempat terkutuk yang nyaris menorehkan cela di tubuh wanita itu.Namun, sebelum mereka betul-betul pergi, Yanu masih sempat menoleh. Ia perlu memastikan kalau Bahtiar tidak sampai mati akibat bogem mentah yang ia layangkan secara berulang-ulang. Walaupun sangat ingin membunuh Bahtiar yang baru saja melakuka
Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti
Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p
Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l
Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur
Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo
“Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n
Waktu bergulir sangat cepat. Nyatanya mengurus kebebasan Bahtiar tak cukup sebentar. Mulai dari berembuk dengan tim kuasa hukum, hingga proses pencabutan laporan di kantor pihak berwajib, semua berlangsung cukup pelik.Namun, setelah semua selesai Arisa merasa sangat lega. Ia berharap setelah ini dirinya bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Dengan jaminan Bahtiar tak akan lagi mengusik, setidaknya itu cukup untuk membuat suaminya tenang. Tak lagi dihantui rasa khawatir dan takut kalau suatu saat lelaki itu berusaha membawanya kabur.Sebelum pulang, ibunya Bahtiar datang menghampiri. Wanita tua itu berulang kali menggaungkan kata terima kasih. Selain rasa sayangnya terhadap Arisa yang teramat sangat besar, ia juga mengapresiasi segala kebaikan wanita muda tersebut. Terlepas dari surat perjanjian yang harus disepakati putranya, ibu Bahtiar sungguh merasa berhutang banyak pada Arisa. Dengan segala kesalahan yang dibuat sang anak, Arisa mau membe
“Saya mohon, Bu Linda. Beritahu saya, dimana Arisa dan suaminya sekarang?” Serba salah sekali Linda saat itu.Di satu sisi ia tak ingin mengganggu bulan madu anak dan menantunya. Baru saja menikah mereka sudah dihantam permasalahan yang cukup serius. Bahkan mungkin hingga saat ini Arisa belum mengetahui apa yang sudah dilakukan Yanu terhadap Bahtiar usai kejadian malam itu.Di sisi yang lain, ada seorang ibu yang mengiba mengharap pengampunan bagi sang putra. Persoalannya tak sesederhana itu, sehingga membuat Linda semakin tak tega,Belum lama ia ditinggal pergi suaminya. anak sulungnya pun harus mengalami depresi pasca dijatuhi talak. Kini ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa, karena keluarga sangat kewalahan menghadapinya. Sementara anak yang satu lagi, berada di luar kota mengikuti suaminya.Kini, satu-satunya anak yang paling dekat, yang paling diharapkan bisa menemani di sisa usia, harus ditahan pihak berwajib atas laporan yang Yanu
Bias cahaya matahari merangsek masuk melalui celah jendela. Udara hangat pun perlahan masuk melewati tirai transparan yang melambai tertiup angin. Sebuah pertanda bahwa pintu di depan sana telah terbuka.Dalam keremangan pandangan yang belum terbuka sempurna, sayup-sayup Arisa mendengar suara tak asing sedang berbicara panjang lebar di luar sana.Entah berapa lama Arisa tak sadarkan pasca perbuatan Bahtiar yang menyesakkan pernapasannya. Yang pasti sebelum ini ia sempat terbangun dan mengetahui dirinya dikerumuni banyak orang. Tak ketinggalan pula sebuah alat bantu pernapasan melekat menutupi hidung serta mulutnya.Namun, kala itu semua orang segera melarangnya untuk bangkit. Bahkan sekadar bicara pun tak boleh. Mau tak mau Arisa tetap berbaring dan memejamkan mata. Hingga saat ini dirinya kembali terbangun, Arisa tak mengetahui sudah berapa lama ia tertidur.“Hai, sudah bangun?” Tirai tersingkap dan memunculkan sosok pria yang kini ia sebut suami