Suara keributan dari luar mengusik kenyamanan ibunda Arisa yang baru saja hendak beristirahat. Sebelumnya, setelah dibuat cemas oleh Bahtiar yang mempertanyakan putrinya, Linda kembali bisa bernapas lega. Sebab tak lama sesudah itu Yanu mengabari kalau Arisa berada di kediamannya.
Langkah Linda terhenti kala mendapati sang putri bersandar pada daun pintu yang tertutup rapat. Sedangkan bunyi gedoran terdengar gaduh disertai teriakan Bahtiar yang memanggil-manggil nama Arisa. “Ada apa, Nak?” tanya Linda, menjatuhkan lutut di hadapan Arisa yang semula tampak tertunduk. Wajah sendu itu mendongak menatap sang bunda. Genangan di pelupuk mata, pertanda bahwa ada hal yang telah membuat sang belahan jiwa terluka. “Mama.” Seucap itu Arisa mampu bersuara. Batinnya perih teriris mendapati sang kekasih membawa serta penyebab prahara. Sungguh Arisa enggan sekali menyaksikan kehadiran mereka bersama dengan kedua bola mata. Andai Bahtiar tahu, bahwa menghadirkan Melia tak ubahnya menggerus kalbu yang bentuknya sudah tak lagi utuh. Dihadiahi pelukan erat, Arisa pun tergugu di antara ceruk leher sang ibu. Rasa sakit dan kecewa yang ia simpan sekian lama, tak kuasa lagi untuk dipendam dalam dada. Kini, dalam dekap penuh kasih Linda, Arisa pun meluapkan segala sesak yang menghimpit jiwa. ***** Sementara itu, Bahtiar belum juga jera meminta Arisa agar mau mendengar penjelasan darinya. Berkali-kali ia berteriak dan memohon, yang dipanggil masih tak tergerak hati. Jengah dengan situasi tersebut, Yanu mencoba menghampiri Bahtiar. Kegilaan lelaki itu harus segera dihentikan. Jika tidak, maka bisa dipastikan tak lama lagi warga akan seketika berkerumun mencari tahu apa yang sedang terjadi. “Bahtiar, sebaiknya sekarang kau pulang. Jangan sampai teriakanmu mengundang perhatian banyak orang.” Yanu menepuk bahu, calon suami arisa itu agar lekas menoleh. “Diam kau! Aku tidak ada urusan denganmu.” Telunjuk Bahtiar mengacung di depan muka Yanu. “Aku tidak tahu kalian ada masalah apa. Tapi, kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk bicara. Setidaknya, beri Arisa ruang untuk menenangkan pikiran terlebih dahulu.” Putra dari kakak perempuan ayah Arisa itu pun masih bisa berucap tenang, meski Bahtiar tak memperlakukan dirinya dengan sopan. Dengan sikap yang ditunjukkan Yanu, emosi Bahtiar seolah kian bergejolak. Selain persoalan yang belum menemukan jalan keluar, mengingat bagaimana Arisa memeluk lelaki itu beberapa saat lalu, sungguh sukses membuat Bahtiar terbakar rasa cemburu. Walaupun dia jelas mengetahui kalau Arisa dan pria di hadapannya itu berstatus sebagai sepupu, tapi dalam pandangan seorang laki-laki, Bahtiar justru melihat hal tak biasa di antara mereka. “Tiga tahun aku menjaganya. Membatasi diri untuk tidak menyentuhnya. Tapi, hari ini mataku dengan jelas melihat kalian berpelukan. BERANI-BERANINYA KAU MENYENTUH CALON ISTRIKU!” Suara Bahtiar menggelegar melontarkan kalimat makian. Namun, alih-alih membuat Yanu tunduk, lelaki itu justru semakin bernyali untuk menajamkan pandangan. “Kau mungkin pandai menjaga tubuhnya. Tapi, kau lupa menjaga hatinya.” Yanu menekankan satu jari di dada Bahtiar. Sebelum kemudian berbalik meninggalkan pria itu dengan sedikit dorongan hingga pundaknya tergerak ke belakang. Sepeda motor seharga sepuluh unit mobil milik Bahtiar itu pun melesat pergi dari halaman rumah Arisa. Menyisakan sepasang insan yang hanya bisa merenungi kesalahan. Kata-kata Yanu yang tidak begitu panjang, nyatanya berhasil menghempaskan Bahtiar dari kukuhnya dinding pembenaran diri. Meskipun pikiran enggan mengakui, tapi batin menyetujui. ***** Dua hari terlewati tanpa saling bertukar kabar seperti dulu lagi. Bahtiar pun dihantui rasa takut akan datangnya ragam tanya dari kedua orang tua. Pasalnya, sejak kegiatan fitting baju pengantin, Bahtiar sama sekali tak mengatakan apapun pada mereka. Entah jawaban apa yang akan ia berikan, jika kekhawatirannya benar-benar terwujud. Tak terbayang bagaimana wajah murka mereka, ketika mengetahui bahwa hari itu yang terjadi hanyalah sebuah tragedi. Tak masalah semakin berlarut, Bahtiar memutuskan untuk kembali mendatangi Arisa di kediamannya. Dua hari dirasa cukup untuk gadis itu menyendiri. Sekarang sudah saatnya untuk saling bicara dan mencari solusi. “Tiar, Tante juga bingung harus bicara apa. Tapi, kau tahu sendiri bagaimana Arisa. Tidak mudah membujuknya.” Linda hanya bisa mengajak Bahtiar bicara di teras rumah, karena Arisa bersikeras belum ingin berjumpa dengan lelaki yang usianya dua tahun lebih tua darinya tersebut. “Tapi, Tante … Arisa gak bilang mau batalin pernikahan kan?” Melihat kekhawatiran di mata Bahtiar, Linda pun sedikit terenyuh. Yang dilakukan calon menantunya itu memang tak bisa dibenarkan. Tetapi, menikahi Arisa adalah permohonan Bahtiar sejak lama. Linda pun tak mengerti atas dasar apa Bahtiar tiba-tiba berdekatan dengan Melia. Tidakkah mimpi indah itu sudah berada di depan mata? “Tiar, Tante gak bisa banyak bicara sama kamu. Sekarang sebaiknya kamu pulang saja dulu. Nanti Tante kabari kalau arisa sudah mau bertemu.” Begitu terburu-burunya Linda ingin mengakhiri pembicaraan. Ketakutan itu terasa semakin nyata. Dengan segala penuturan Linda yang terkesan penuh rahasia, angan Bahtiar kian mengerdil untuk mempersunting Arisa. ***** Tatapan Arisa yang datar nyatanya cukup mampu membuat jantung Melia berdebar-debar. Dia yang mengawali permintaan untuk berjumpa, kini justru ciut ketika Arisa sudah hadir di depan mata. “Ayo, bicara,” kata Arisa, tenang namun terkesan menantang. “Ris, aku ….” Rangkaian kata yang terancang sedemikian rupa, menguap sudah terhisap oleh rasa gugup yang serta merta melanda. Dengan santai tanpa beban, Arisa menyesap Cold Brew Coffee miliknya. Sesekali melirik Melia yang selalu menyembunyikan tangan di bawah meja. Ia baru tahu, kalau mantan rekan seprofesinya itu memiliki kebiasaan seperti itu. Apakah ini merupakan hobi baru? Rasanya Arisa ingin sekali tertawa melihat sikap Melia. “Ayolah, Mel, aku masih banyak urusan lain. Kau jangan membuang waktuku seperti ini.” Berlagak sebagai orang sibuk, Arisa menatap jam yang melingkari pergelangan tangan. Jika bukan karena Bahtiar yang setiap saat meneror hidupnya, Melia pun enggan bertemu dengan Arisa. “Ris, aku sama Bahtiar tuh gak ada apa-apa. Kami cuma temen biasa. Masih sama kayak dulu, kok. Gak ada yang berubah. Kamu cuma salah paham aja.” Tampak pipi Melia menggembung, menghembuskan udara keluar. Sepertinya dia merasa lega, karena akhirnya bisa bicara juga. Arisa terkekeh melihat ekspresi yang ditampilkan Melia. Sedikit pun tak tampak rasa bersalah tersirat dari sorot matanya. Dia seperti tak sadar bahwa saat ini sedang menciptakan sebuah kehancuran. “Mel, Mel … kalau kamu ngomongnya sama anak SD, ya pasti langsung percaya. Kalau memang gak ada apa-apa, lalu buat apa Bahtiar pake acara bohong segala?” Gadis itu menyangga dagu, seraya menatap Melia lebih lekat dari semula.Yang ditatap pun kian tergagap. Dulu mereka berteman cukup akrab. Tapi, sekarang keduanya seperti musuh yang sewaktu-waktu bisa saling menyergap. “Kamu lihat ini.” Arisa menghadapkan layar ponsel ke depan mata Melia. Tidak hanya satu atau dua orang yang berhasil mengabadikan momen kebersamaan mereka yang dianggap tidak biasa. Sekali waktu ada pula yang menautkan akun Arisa dengan sengaja. “Kau pikir orang-orang di kantor itu semuanya baik? Mereka teman yang solid?” Arisa bertanya, ketika Melia menutup mulut tak percaya. “Mereka itu sama sepertimu. Cuma baik di muka, di punggung mereka pun menikung.” Kalimat itu pun langsung menampar Melia secara tak kasat mata. Nyatanya memang sudah sejak lama ia ingin merampas Bahtiar dari genggaman cinta Arisa.***** Bersambung“Mau bikin kopi?”Bahtiar menoleh dan mendapati Melia sudah berdiri di sebelahnya yang hendak menyeduh kopi di dalam pantry. “Iya, nih, agak ngantuk. Semalam video call- an sama Risa sampe larut.”“Oh ….” Melia mengangguk-angguk paham. “Ya udah, sini aku buatin.” Ia lantas merebut kopi kemasan dari tangan Bahtiar.“Serius?” tanya Bahtiar, sedikit tak enak hati.“Serius lah. Kopi doang, kecil ini sih. Lagian aku kasihan sama kamu. Sejak Risa resign, kamu jadi apa-apa sendiri.”“Yah … gak apa-apa lah. Lagian abis ini dia bakal layanin aku sepenuhnya kalau lagi di rumah.” Melia melirik, melihat ekspresi Bahtiar yang tampak bahagia. “Loh, emang Risa gak nyari kerja lagi?”“Ya, enggak lah. Buat apa? Kan nanti ada aku yang nafkahin dia. Dia cukup di rumah, ngurus aku sama anak-anak kami nanti.” Setiap kata yang keluar dari mulut Bahtiar terdengar sangat menyenangkan. Bahkan ia juga tampak seperti sedang membayangkan kebahagiaan sempurna itu bersama Arisa.“Beruntung sekali ya, Arisa. Punya
“Terus gimana?” Yanu menelengkan kepala, bersiap mendengar jawaban Arisa yang sejak tadi tampak lahap menikmati setiap potong pizza yang yang dipenuhi lelehan mozarella.“Ya gitu deh. Aku kira si Papa kena serangan jantung, ternyata kancing kemejanya lepas. Huh ….” Arisa mengusap dahi seraya membuang napas. “Langsung aja deh aku bilang, Mas Tiar kayaknya lagi ngigau. Biasanya kalau orang sakit emang kadang ngigau gitu kan?”Setelah beberapa hari lalu memilih bungkam, hari ini Arisa sudah tak keberatan bercerita panjang lebar. Dia memberitahu Yanu hal apa yang menyebabkan keretakan hubungannya dengan Bahtiar. Tak sampai di situ, Arisa juga memaparkan kejadian beberapa jam lalu di rumah Bahtiar.“Sayang aku gak lihat langsung. Kalau lihat, pasti aku ketawa ngakak,” balas Yanu, terkekeh geli.“Boro-boro pengen ketawa, Kak. Yang ada aku deg-degan setengah mati. Untungnya si Papa percaya.”“Oh ya, Bahtiar sendiri gimana? Dia sakit beneran atau cuma cari perhatian?”Arisa menaikan kedua bah
Lembaran kertas bermotif dengan dominasi warna marun, diusap dengan lembut penuh penghayatan. Goresan tinta perak bertuliskan nama dua insan yang memiliki niat suci itu pun menjadi fokus utama dalam sudut pandang Arisa. Ada getar harus menelusup hingga ke dasar kalbu. Di mana bayangan indah kala merangkai rencana bahagia itu terukir di pelupuk mata. Suka duka yang dilalui tak mungkin mudah terhapus begitu saja. Meski luka itu nyatanya telah sukses mencabik rasa percaya yang tercurah terhadap pria yang ia kira akan setia melambungkan segala asa bersama.Kilat bening yang berasal dari genangan cairan asin itu terpancar kala ingatannya terhempas pada kenyataan yang terpaksa harus ia telan. Sebesar apapun rasa cinta yang pernah keduanya agung-agungkan, tetap tak mampu menutupi cela yang terlanjur menganga.“Mama tahu Risa masih cinta sama Bahtiar. Tapi, Mama juga tahu kalau Risa juga membenci Bahtiar dalam waktu bersamaan. Mama mungkin gak tahu bagaimana rasanya dikhianati, tapi Mama san
“Ayahku pergi dengan wanita lain. Aku gak tahu mereka menikah atau enggak. Yang jelas sejak saat itu, dia sudah tidak lagi menafkahi kami. Ibuku harus banting tulang, kerja jadi buruh cuci sambil gendong adik yang paling kecil.” Melia mendongak ke atas, menahan laju air mata yang mendesak ingin segera tumpah.Di sampingnya, Bahtiar menyimak segala penuturan Melia dengan perasaan iba yang seketika menelusup ke dalam dada.“Hari itu, aku bilang ingin berhenti sekolah saja. Aku mau bantu Ibu cari uang. Tapi, Ibuku sangat marah. Katanya, kalau aku gak sekolah, aku gak akan jadi apa-apa. Tapi, diam-diam aku kerja setelah pulang sekolah. Aku bantu-bantu di cafe punya orang tua temanku. Sesekali aku juga nyanyi di sana. Nyerep kalau penyanyinya berhalangan datang. Hasilnya lumayan, selain honor dari yang punya cafe, kadang pengunjung juga kasih saweran.” Seulas senyum menjeda kisah panjang yang tengah diurai saat ia duduk berdua dengan Bahtiar.“Aku gak tahu kalau hidupmu serumit itu,” ujar
Desas-desus keretakan hubungan Bahtiar dengan Arisa merebak di dalam lingkungan kantor. Entah siapa yang menjadi bibit isu tersebut, yang pasti dalam beberapa kesempatan Bahtiar kerap mendapati para staf tengah menggunjing dirinya. Tak cukup sampai di situ, Bahtiar pun memerhatikan ada beberapa orang yang tanpa ragu menyindir Melia dengan suara lantang. Namun begitu, ia enggan memberi teguran. Ia tak mau segala tudingan itu dianggap benar, ketika dirinya pasang badan membela Melia.Ada perasaan tak tega kala menangkap mata Melia tengah menyantap bekal makan siangnya sendiri. Semenjak gosip miring itu tersebar, perempuan yang gemar mengenakan celana panjang itu seperti tak bernyali untuk berkumpul di dalam kantin. Dia memilih bertahan di kubikel miliknya hingga jam istirahat berakhir.“Tiar, kita harus bicara.” Bahtiar tersentak kala suara Melia menghentikan langkahnya yang hendak beranjak pulang.Manik tajam lelaki bersetelan jas itu awas mengamati sekitar. Ia khawatir ada orang yang
Satu kali, dua kali, tiga kali, sampai berkali-kali pukulan kembali mendarat di pipi. Kemudian tubuh Bahtiar bangkit terangkat oleh tarikan kerah baju yang dilakukan Yanu. Kali ini, dengkul lelaki itu yang menghantam perut Bahtiar hingga terkulai tak berdaya. Bahtiar meringkuk di atas aspal. Menahan sakit di sekujur badan. Sedangkan Yanu, sekali lagi menendang sebelum akhirnya menghampiri Arisa, yang tampak terguncang dengan segala kejadian. Lelaki yang mengenakan jaket merah itu merogoh saku, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.“Antarkan mobilku sekarang. Nanti kau pulang bawa motorku.” Sesingkat itu pembicaraan Yanu. Ia lantas merengkuh pundak Arisa dan menuntunnya dari tempat terkutuk yang nyaris menorehkan cela di tubuh wanita itu.Namun, sebelum mereka betul-betul pergi, Yanu masih sempat menoleh. Ia perlu memastikan kalau Bahtiar tidak sampai mati akibat bogem mentah yang ia layangkan secara berulang-ulang. Walaupun sangat ingin membunuh Bahtiar yang baru saja melakuka
Memar biru yang belum sembuh kian ngilu kala tangan lemah Linda mendarat sempurna dengan begitu kerasnya. Selain mengusap pipi yang terasa perih, tak ada yang bisa Bahtiar lakukan. Ia tertunduk tak berdaya ketika Linda menatapnya nyalang. Dengan napas yang naik turun cepat, Linda mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Bahtiar.“Kurang ajar kamu! Beraninya melecehkan putriku!” Linda berteriak memaki pria yang seyogyanya menjadi calon menantu.“Tante, saya minta maaf. Saya khilaf.” Bahtiar menjatuhkan tubuh berlutut di hadapan Linda.Semua orang yang hadir di ruangan itu tak ada yang berani bersuara. Ibunda Bahtiar pun terbungkam dengan apa yang sudah dilakukan putranya terhadap Arisa. Ia hanya bisa menangis menyesali diri yang telah gagal mendidik Bahtiar menjadi seorang pria yang baik.“Kamu ingat baik-baik. Kalau sampai terjadi sesuatu pada anak saya, saya pastikan akan memenjarakanmu.” Linda beranjak pergi dari rumah calon besan yang sepertinya memang benar-benar akan jadi manta
“Kamu hamil?” Arisa sampai harus memicingkan mata saat bertanya.Selama berteman dengan Melia, tak sekalipun ia mengetahui gadis itu dekat dengan pria. Dia juga tak pernah bercerita kalau memiliki kekasih.“Apa itu anaknya ….” Lidah Arisa mendadak kelu. Rasa tak sanggup menyebut nama lelaki yang ia curigai sebagai ayah dari bayi yang Melia kandung, jika benar dia hamil.Tak ada satu kata pun keluar dari mulut mantan sahabatnya. Namun, Arisa bisa melihat kristal-kristal bening tengah menggenang di mata Melia.“Kembalikan!” Tangan Arisa mengambang di udara, ketika Melia merampas kembali kantong belanjanya.Perempuan yang menyandang tas di bahunya itu melenggang pergi tanpa permisi. Sedangkan Arisa hanya mematung dalam keadaan setengah tak percaya. Mungkinkah Bahtiar merupakan pelakunya?“Risa, jadi beli obat gak?” Suara Yanu mengagetkan Arisa dari keterpakuan.Ia menoleh sebentar, kemudian beralih mencari-cari keberadaan Melia yang entah ke mana.“Kak Yanu aja yang beli. Aku tunggu di l
Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti
Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p
Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l
Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur
Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo
“Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n
Waktu bergulir sangat cepat. Nyatanya mengurus kebebasan Bahtiar tak cukup sebentar. Mulai dari berembuk dengan tim kuasa hukum, hingga proses pencabutan laporan di kantor pihak berwajib, semua berlangsung cukup pelik.Namun, setelah semua selesai Arisa merasa sangat lega. Ia berharap setelah ini dirinya bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Dengan jaminan Bahtiar tak akan lagi mengusik, setidaknya itu cukup untuk membuat suaminya tenang. Tak lagi dihantui rasa khawatir dan takut kalau suatu saat lelaki itu berusaha membawanya kabur.Sebelum pulang, ibunya Bahtiar datang menghampiri. Wanita tua itu berulang kali menggaungkan kata terima kasih. Selain rasa sayangnya terhadap Arisa yang teramat sangat besar, ia juga mengapresiasi segala kebaikan wanita muda tersebut. Terlepas dari surat perjanjian yang harus disepakati putranya, ibu Bahtiar sungguh merasa berhutang banyak pada Arisa. Dengan segala kesalahan yang dibuat sang anak, Arisa mau membe
“Saya mohon, Bu Linda. Beritahu saya, dimana Arisa dan suaminya sekarang?” Serba salah sekali Linda saat itu.Di satu sisi ia tak ingin mengganggu bulan madu anak dan menantunya. Baru saja menikah mereka sudah dihantam permasalahan yang cukup serius. Bahkan mungkin hingga saat ini Arisa belum mengetahui apa yang sudah dilakukan Yanu terhadap Bahtiar usai kejadian malam itu.Di sisi yang lain, ada seorang ibu yang mengiba mengharap pengampunan bagi sang putra. Persoalannya tak sesederhana itu, sehingga membuat Linda semakin tak tega,Belum lama ia ditinggal pergi suaminya. anak sulungnya pun harus mengalami depresi pasca dijatuhi talak. Kini ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa, karena keluarga sangat kewalahan menghadapinya. Sementara anak yang satu lagi, berada di luar kota mengikuti suaminya.Kini, satu-satunya anak yang paling dekat, yang paling diharapkan bisa menemani di sisa usia, harus ditahan pihak berwajib atas laporan yang Yanu
Bias cahaya matahari merangsek masuk melalui celah jendela. Udara hangat pun perlahan masuk melewati tirai transparan yang melambai tertiup angin. Sebuah pertanda bahwa pintu di depan sana telah terbuka.Dalam keremangan pandangan yang belum terbuka sempurna, sayup-sayup Arisa mendengar suara tak asing sedang berbicara panjang lebar di luar sana.Entah berapa lama Arisa tak sadarkan pasca perbuatan Bahtiar yang menyesakkan pernapasannya. Yang pasti sebelum ini ia sempat terbangun dan mengetahui dirinya dikerumuni banyak orang. Tak ketinggalan pula sebuah alat bantu pernapasan melekat menutupi hidung serta mulutnya.Namun, kala itu semua orang segera melarangnya untuk bangkit. Bahkan sekadar bicara pun tak boleh. Mau tak mau Arisa tetap berbaring dan memejamkan mata. Hingga saat ini dirinya kembali terbangun, Arisa tak mengetahui sudah berapa lama ia tertidur.“Hai, sudah bangun?” Tirai tersingkap dan memunculkan sosok pria yang kini ia sebut suami