Home / Romansa / Menjelang Pernikahan / Bab 05 Salah Paham Lagi

Share

Bab 05 Salah Paham Lagi

last update Last Updated: 2023-08-01 05:34:19

“Terus gimana?” Yanu menelengkan kepala, bersiap mendengar jawaban Arisa yang sejak tadi tampak lahap menikmati setiap potong pizza yang yang dipenuhi lelehan mozarella.

 

“Ya gitu deh. Aku kira si Papa kena serangan jantung, ternyata kancing kemejanya lepas. Huh ….” Arisa mengusap dahi seraya membuang napas. “Langsung aja deh aku bilang, Mas Tiar kayaknya lagi ngigau. Biasanya kalau orang sakit emang kadang ngigau gitu kan?”

 

Setelah beberapa hari lalu memilih bungkam, hari ini Arisa sudah tak keberatan bercerita panjang lebar. Dia memberitahu Yanu hal apa yang menyebabkan keretakan hubungannya dengan Bahtiar. Tak sampai di situ, Arisa juga memaparkan kejadian beberapa jam lalu di rumah Bahtiar.

 

“Sayang aku gak lihat langsung. Kalau lihat, pasti aku ketawa ngakak,” balas Yanu, terkekeh geli.

 

“Boro-boro pengen ketawa, Kak. Yang ada aku deg-degan setengah mati. Untungnya si Papa percaya.”

 

“Oh ya, Bahtiar sendiri gimana? Dia sakit beneran atau cuma cari perhatian?”

 

Arisa menaikan kedua bahu. “Entahlah. Kayaknya sih betulan. Tapi, aku tidak terlalu peduli. Aku ke sana cuma mau memastikan. Lagian aku gak mau kalau orang tuanya nganggap aku gimana-gimana. Biar gimana juga, sampai saat ini aku masih dianggap calon istrinya. Masa iya, aku tahu dia sakit, terus gak jenguk sama sekali.”

 

“Tapi, pastinya Bahtiar seneng banget kan kamu datang?”

 

“Mungkin. Aku gak terlalu mikirin itu. Di sana juga sebentar. Malas juga nanti dia banyak maunya. Dia kan manja banget.”

 

“Masa sih? Kemaren waktu marahin aku, kayaknya garang banget,” ujar Yanu, tak begitu percaya dengan penuturan Arisa.

 

“Dia tuh anak bungsu. Udah gitu, dia juga anak laki-laki satu-satunya. Intinya dia tuh anak kesayangan. Makanya suka semaunya. Soalnya emang terbiasa apa-apa selalu diturutin.”

 

“Terus, sekarang rencananya kamu mau gimana? Lanjut nikah atau nyerah?”

 

Kali ini fokus Arisa teralihkan. Kunyahan di mulut pun berhenti saat itu juga. Ia mengangkat wajah melihat ke arah Yanu. “Aku gak tahu. Aku bingung.”

 

“Kok gak tahu?”

 

“Ya emang gak tahu, Kak. Udah deh, jangan bahas ini terus. Capek tahu?”

 

Bila sudah begitu, maka tak ada yang dapat memaksanya. Yanu memilih berhenti bertanya. Dari pada membuat mood perempuan itu memburuk, akan lebih baik diam saja.

 

Keduanya lantas melanjutkan kegiatan menonton film sembari menikmati sekotak pizza dan minuman bersoda.

 

“Kamu bosan gak?” Saat tayangan film hampir selesai, Yanu kembali mengajak Arisa bicara.

 

“Kenapa emang?”

 

“Jalan, yuk!”

 

“Asal ditraktir.”

 

“Oke.”

 

*****

 

Meski bukan akhir pekan, suasana Mall di sore hari terbilang cukup ramai. Arisa tampak antusias berkeliling. Sembari menggandeng tangan Yanu, ia sesekali menunjuk ke arah gerai produk-produk kenamaan.

 

Tak cukup satu atau dua butik ia kunjungi. Namun, belum ada satu pun yang cocok di hati. Yanu yang memang berniat menghibur sang adik, sama sekali tak keberatan walau harus memutari seluruh area pusat perbelanjaan.

 

“Kak, kita lihat sepatu, ya?” Lagi-lagi Arisa menunjuk salah satu outlet, kali ini ia ingin mencari sepatu.

 

“Kamu masuk duluan gih. Aku mau ke toilet dulu.” 

 

Bibir merah muda itu mengerucut tak senang. Ia pikir Yanu mulai lelah mengajaknya berkeliling.

 

“Ya udah, gak jadi aja deh,” tandasnya.

 

“Kenapa gak jadi?” tanya Yanu, heran.

 

“Kakak pasti capek kan? Makanya alasan mau ke tolilet.”

 

Lelaki yang mengenakan celana di atas lutut itu pun terkekeh seketika. “Ya ampun, kamu ini berprasangka buruk aja. Aku seriusan kebelet. Kalau gak percaya, ya ayo ikut.”

 

“Hiih ….” Arisa bergidik mendengar ajakan kakak sepupunya tersebut. “Ya udah, sana. Jangan lama. Nanti kuborong semua sepatu di dalam sana,” ancam Arisa.

 

“Sekalian sama tokonya juga. Biar besok kamu ada kerjaan,” tantang Yanu, membalas ancaman Arisa.

 

“Ish, apaan sih. Udah buruan sana.” Arisa mendorong Yanu agar segera pergi. Sedangkan ia sendiri segera angkat kaki dan melangkah memasuki outlet sepatu tersebut.

 

Dari satu rak ke rak yang lain, Arisa meneliti setiap sepatu yang terpajang apik. Semua tampak indah, dan tentunya dengan harga yang tidak murah. Bukan masalah baginya meminta Yanu membelikan apa saja. Lelaki itu memiliki banyak uang. Membayar sepasang sepatu tak akan membuatnya mendadak miskin.

 

Sedang asyik menjajal sepatu, Arisa pun terusik dengan suara sumbang yang tiba-tiba saja terdengar. 

 

“Bukannya Bahtiar lagi sakit, ya? Kok bisa sih kamu malah asyik jalan di Mall?”

 

Arisa menoleh ke arah sumber suara. Sedikit terkejut melihat kehadiran Utami, kakak sulung Bahtiar.

 

Dari awal, wanita beranak dua itu memang kerap menunjukkan rasa tak sukanya terhadap Arisa. Akan tetapi, Arisa selalu berusaha menghormatinya sebagai orang yang lebih tua.

 

“Kak.” Arisa mengulas senyum ramah pada wanita yang menyandang tas berbahan kulit buaya tersebut.

 

Utami urung menyahut ketika mendengar seruan seorang pria yang memanggil calon adik iparnya.

 

“Udah dapat sepatunya?” Yanu yang tak mengetahui situasi saat itu, mendekati Arisa yang tengah berdiri kaku.

 

Kedua bola mata Utami meneliti penampilan Yanu dari ujung ke ujung.

 

“B-belum. Lain kali aja.” Arisa menjawab kaku, sebab tak nyaman dengan cara Utami memandang.

 

“Dia siapa, Risa?” 

 

Bukan hanya yang ditanya yang menoleh, tetapi Yanu pun melakukan hal yang sama. 

 

“Kau tidak sedang bermain api kan?” Tersirat suatu tuduhan dalam pertanyaan Utami.

 

“Kak, dia—” Jawaban Arisa terpotong oleh dering ponsel milik Utami.

 

Perempuan yang bersuamikan seorang pejabat itu pun bergerak menjauh untuk menerima panggilan.

 

Sementara itu, Arisa hanya bisa menggigit bibir dengan perasaan gusar. Bisa dipastikan Utami akan salah paham jika sampai Arisa tak mendapat kesempatan untuk menjelaskan.

 

Hingga menit berlalu, nyatanya Utami tak datang kembali. Tampaknya wanita itu memang sudah pergi. 

 

“Gimana ini, Kak?” Arisa bertanya pada Yanu yang sedari tadi berdiri di belakangnya.

“Memangnya dia siapa?” Yanu balik bertanya.

 

“Dia kakaknya Bahtiar. Dia pasti salah paham,” tutur Arisa, dengan kedua pundak yang tampak lemas.

 

“Ya udah, ah. Gak usah terlalu dipikirin. Belum tentu yang kami pikirin itu benar,” hibur Yanu, agar Arisa lebih tenang.

 

“Tapi—”

 

“Udah, ayo pulang aja. Udah malem.”

 

Dengan sangat terpaksa Arisa mengikuti kata-kata Yanu. Lagi pula mood belanjanya sudah menguap entah ke mana.

 

Arisa mengekori Yanu yang berjalan lebih dulu menuju area parkir kendaraan roda empat. Sambil berjalan, pikiran gadis berambut hitam pekat itu berkelana ke mana-mana. Hal tersebut menyebabkan ia akhirnya menabrak punggung Yanu yang berhenti secara tiba-tiba.

 

“Aw,” keluh Arisa, mengusap kening yang sedikit ngilu akibat membentur tulang punggung kokoh milik kakak sepupunya. 

 

“Ris, bukannya itu Melia?”

 

Arisa mengikuti telunjuk Yanu yang tertuju pada satu arah.

 

Di belakang sebuah SUV hitam metalik terlihat dua orang tengah berbincang serius. Entah apapun yang sedang dibicarakan, yang pasti Arisa cukup terkejut dengan pemandangan tersebut. Ia baru tahu kalau ternyata Melia dan Utami mengenal satu sama lain.

*****

 

Bersambung

 

Related chapters

  • Menjelang Pernikahan   Bab 06 Pecat Dia

    Lembaran kertas bermotif dengan dominasi warna marun, diusap dengan lembut penuh penghayatan. Goresan tinta perak bertuliskan nama dua insan yang memiliki niat suci itu pun menjadi fokus utama dalam sudut pandang Arisa. Ada getar harus menelusup hingga ke dasar kalbu. Di mana bayangan indah kala merangkai rencana bahagia itu terukir di pelupuk mata. Suka duka yang dilalui tak mungkin mudah terhapus begitu saja. Meski luka itu nyatanya telah sukses mencabik rasa percaya yang tercurah terhadap pria yang ia kira akan setia melambungkan segala asa bersama.Kilat bening yang berasal dari genangan cairan asin itu terpancar kala ingatannya terhempas pada kenyataan yang terpaksa harus ia telan. Sebesar apapun rasa cinta yang pernah keduanya agung-agungkan, tetap tak mampu menutupi cela yang terlanjur menganga.“Mama tahu Risa masih cinta sama Bahtiar. Tapi, Mama juga tahu kalau Risa juga membenci Bahtiar dalam waktu bersamaan. Mama mungkin gak tahu bagaimana rasanya dikhianati, tapi Mama san

    Last Updated : 2023-08-03
  • Menjelang Pernikahan   Bab 07 Membakar Surat Undangan

    “Ayahku pergi dengan wanita lain. Aku gak tahu mereka menikah atau enggak. Yang jelas sejak saat itu, dia sudah tidak lagi menafkahi kami. Ibuku harus banting tulang, kerja jadi buruh cuci sambil gendong adik yang paling kecil.” Melia mendongak ke atas, menahan laju air mata yang mendesak ingin segera tumpah.Di sampingnya, Bahtiar menyimak segala penuturan Melia dengan perasaan iba yang seketika menelusup ke dalam dada.“Hari itu, aku bilang ingin berhenti sekolah saja. Aku mau bantu Ibu cari uang. Tapi, Ibuku sangat marah. Katanya, kalau aku gak sekolah, aku gak akan jadi apa-apa. Tapi, diam-diam aku kerja setelah pulang sekolah. Aku bantu-bantu di cafe punya orang tua temanku. Sesekali aku juga nyanyi di sana. Nyerep kalau penyanyinya berhalangan datang. Hasilnya lumayan, selain honor dari yang punya cafe, kadang pengunjung juga kasih saweran.” Seulas senyum menjeda kisah panjang yang tengah diurai saat ia duduk berdua dengan Bahtiar.“Aku gak tahu kalau hidupmu serumit itu,” ujar

    Last Updated : 2023-08-04
  • Menjelang Pernikahan   Bab 08 Jijik Bersentuhan

    Desas-desus keretakan hubungan Bahtiar dengan Arisa merebak di dalam lingkungan kantor. Entah siapa yang menjadi bibit isu tersebut, yang pasti dalam beberapa kesempatan Bahtiar kerap mendapati para staf tengah menggunjing dirinya. Tak cukup sampai di situ, Bahtiar pun memerhatikan ada beberapa orang yang tanpa ragu menyindir Melia dengan suara lantang. Namun begitu, ia enggan memberi teguran. Ia tak mau segala tudingan itu dianggap benar, ketika dirinya pasang badan membela Melia.Ada perasaan tak tega kala menangkap mata Melia tengah menyantap bekal makan siangnya sendiri. Semenjak gosip miring itu tersebar, perempuan yang gemar mengenakan celana panjang itu seperti tak bernyali untuk berkumpul di dalam kantin. Dia memilih bertahan di kubikel miliknya hingga jam istirahat berakhir.“Tiar, kita harus bicara.” Bahtiar tersentak kala suara Melia menghentikan langkahnya yang hendak beranjak pulang.Manik tajam lelaki bersetelan jas itu awas mengamati sekitar. Ia khawatir ada orang yang

    Last Updated : 2023-08-05
  • Menjelang Pernikahan   Bab 09 Hukuman Untuk Bahtiar

    Satu kali, dua kali, tiga kali, sampai berkali-kali pukulan kembali mendarat di pipi. Kemudian tubuh Bahtiar bangkit terangkat oleh tarikan kerah baju yang dilakukan Yanu. Kali ini, dengkul lelaki itu yang menghantam perut Bahtiar hingga terkulai tak berdaya. Bahtiar meringkuk di atas aspal. Menahan sakit di sekujur badan. Sedangkan Yanu, sekali lagi menendang sebelum akhirnya menghampiri Arisa, yang tampak terguncang dengan segala kejadian. Lelaki yang mengenakan jaket merah itu merogoh saku, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.“Antarkan mobilku sekarang. Nanti kau pulang bawa motorku.” Sesingkat itu pembicaraan Yanu. Ia lantas merengkuh pundak Arisa dan menuntunnya dari tempat terkutuk yang nyaris menorehkan cela di tubuh wanita itu.Namun, sebelum mereka betul-betul pergi, Yanu masih sempat menoleh. Ia perlu memastikan kalau Bahtiar tidak sampai mati akibat bogem mentah yang ia layangkan secara berulang-ulang. Walaupun sangat ingin membunuh Bahtiar yang baru saja melakuka

    Last Updated : 2023-08-08
  • Menjelang Pernikahan   Bab 10 Kantong Belanja Melia

    Memar biru yang belum sembuh kian ngilu kala tangan lemah Linda mendarat sempurna dengan begitu kerasnya. Selain mengusap pipi yang terasa perih, tak ada yang bisa Bahtiar lakukan. Ia tertunduk tak berdaya ketika Linda menatapnya nyalang. Dengan napas yang naik turun cepat, Linda mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Bahtiar.“Kurang ajar kamu! Beraninya melecehkan putriku!” Linda berteriak memaki pria yang seyogyanya menjadi calon menantu.“Tante, saya minta maaf. Saya khilaf.” Bahtiar menjatuhkan tubuh berlutut di hadapan Linda.Semua orang yang hadir di ruangan itu tak ada yang berani bersuara. Ibunda Bahtiar pun terbungkam dengan apa yang sudah dilakukan putranya terhadap Arisa. Ia hanya bisa menangis menyesali diri yang telah gagal mendidik Bahtiar menjadi seorang pria yang baik.“Kamu ingat baik-baik. Kalau sampai terjadi sesuatu pada anak saya, saya pastikan akan memenjarakanmu.” Linda beranjak pergi dari rumah calon besan yang sepertinya memang benar-benar akan jadi manta

    Last Updated : 2023-08-09
  • Menjelang Pernikahan   Bab 11 Rela Berbuat Apa Saja

    “Kamu hamil?” Arisa sampai harus memicingkan mata saat bertanya.Selama berteman dengan Melia, tak sekalipun ia mengetahui gadis itu dekat dengan pria. Dia juga tak pernah bercerita kalau memiliki kekasih.“Apa itu anaknya ….” Lidah Arisa mendadak kelu. Rasa tak sanggup menyebut nama lelaki yang ia curigai sebagai ayah dari bayi yang Melia kandung, jika benar dia hamil.Tak ada satu kata pun keluar dari mulut mantan sahabatnya. Namun, Arisa bisa melihat kristal-kristal bening tengah menggenang di mata Melia.“Kembalikan!” Tangan Arisa mengambang di udara, ketika Melia merampas kembali kantong belanjanya.Perempuan yang menyandang tas di bahunya itu melenggang pergi tanpa permisi. Sedangkan Arisa hanya mematung dalam keadaan setengah tak percaya. Mungkinkah Bahtiar merupakan pelakunya?“Risa, jadi beli obat gak?” Suara Yanu mengagetkan Arisa dari keterpakuan.Ia menoleh sebentar, kemudian beralih mencari-cari keberadaan Melia yang entah ke mana.“Kak Yanu aja yang beli. Aku tunggu di l

    Last Updated : 2023-08-09
  • Menjelang Pernikahan   Bab 12 Membalas Perbuatan Jahil

    “Ini gak bener kan, Mel? Kamu lagi bercanda kan?” Bahtiar melempar alat uji kehamilan yang baru saja diberikan Melia.“Aku juga maunya kayak gitu. Tapi, nyatanya ini benar-benar terjadi. Aku hamil dan ini anakmu.” Berderai air mata, Melia menunduk tak sanggup bersitatap dengan Bahtiar.Setelah mencoba berulang kali, akhirnya Bahtiar mau diajak bicara berdua. Walaupun semua dilakukan secara terpaksa, tapi bagi Melia itu merupakan kesempatan yang sangat berharga.Lelaki berkemeja biru pudar itu meraup wajah dengan gusar. Belum usai satu persoalan, kini masalah baru sudah datang. Kemarahan orang tuanya atas pembatalan pernikahan dengan Arisa belum sempat teredam, sekarang di hadapannya seorang perempuan tengah meminta pertanggung jawaban.“Mel, aku bener-bener gak bisa percaya ini. Aku yakin sekali kita gak lakuin apa-apa malam itu. Bagaimana mungkin kamu bisa hamil?” Diputar berulang kali pun, Bahtiar sama sekali tak bisa mengingat kalau dirinya pernah menggagahi Melia.“Tiar, kamu itu

    Last Updated : 2023-08-09
  • Menjelang Pernikahan   Bab 13 Kepergok Mama

    “Iihh … Kak Yanu apaan sih.” Arisa mendorong dada Yanu begitu cekalan tangan lelaki itu terlepas. Makanan yang terlanjur masuk pun menyembur dan berhamburan di lantai. Dengan kedua telapak tangan yang terkepal, Arisa memukuli Yanu hingga terjungkal. Bukan karena kesakitan, melainkan tertawa terpingkal mendapati reaksi perempuan yang ada di depannya.Keributan yang mereka ciptakan, tentu saja mengusik ketenangan Linda yang belum lama terpejam. Ia bangun dan menghampiri sumber kegaduhan.“Ada apa ini?” Pandangan yang masih remang-remang itu seketika terbuka lebar, begitu menangkap bayangan Arisa yang tengah memukuli Yanu yang terbaring di lantai.“Mama?” Sakit terkejutnya, Arisa bergegas mundur dari tubuh Yanu, dan bergeser lebih jauh.“Kalian sedang apa?” Linda pun tak kalah kaget menyaksikan dua anak anak manusia yang sama-sama sudah dewasa berada dalam posisi seperti itu. Posisi yang jika diperhatikan sekilas, tak ubahnya orang yang tengah saling bertindihan. Arisa bangkit dan meng

    Last Updated : 2023-08-09

Latest chapter

  • Menjelang Pernikahan   Bab 54 Tamat

    Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti

  • Menjelang Pernikahan   Bab 53 Apa Mas Tega?

    Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p

  • Menjelang Pernikahan   Bab 52 Kecelakaan

    Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l

  • Menjelang Pernikahan   Bab 51 Bertemu Lagi

    Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur

  • Menjelang Pernikahan   Bab 50 Mulai Suka

    Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo

  • Menjelang Pernikahan   Bab 49 Melihat Sisi Yang Lain

    “Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n

  • Menjelang Pernikahan   Bab 48 Yang Baik Bukan Berarti Yang Terbaik

    Waktu bergulir sangat cepat. Nyatanya mengurus kebebasan Bahtiar tak cukup sebentar. Mulai dari berembuk dengan tim kuasa hukum, hingga proses pencabutan laporan di kantor pihak berwajib, semua berlangsung cukup pelik.Namun, setelah semua selesai Arisa merasa sangat lega. Ia berharap setelah ini dirinya bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Dengan jaminan Bahtiar tak akan lagi mengusik, setidaknya itu cukup untuk membuat suaminya tenang. Tak lagi dihantui rasa khawatir dan takut kalau suatu saat lelaki itu berusaha membawanya kabur.Sebelum pulang, ibunya Bahtiar datang menghampiri. Wanita tua itu berulang kali menggaungkan kata terima kasih. Selain rasa sayangnya terhadap Arisa yang teramat sangat besar, ia juga mengapresiasi segala kebaikan wanita muda tersebut. Terlepas dari surat perjanjian yang harus disepakati putranya, ibu Bahtiar sungguh merasa berhutang banyak pada Arisa. Dengan segala kesalahan yang dibuat sang anak, Arisa mau membe

  • Menjelang Pernikahan   Bab 47 Bebas Bersyarat

    “Saya mohon, Bu Linda. Beritahu saya, dimana Arisa dan suaminya sekarang?” Serba salah sekali Linda saat itu.Di satu sisi ia tak ingin mengganggu bulan madu anak dan menantunya. Baru saja menikah mereka sudah dihantam permasalahan yang cukup serius. Bahkan mungkin hingga saat ini Arisa belum mengetahui apa yang sudah dilakukan Yanu terhadap Bahtiar usai kejadian malam itu.Di sisi yang lain, ada seorang ibu yang mengiba mengharap pengampunan bagi sang putra. Persoalannya tak sesederhana itu, sehingga membuat Linda semakin tak tega,Belum lama ia ditinggal pergi suaminya. anak sulungnya pun harus mengalami depresi pasca dijatuhi talak. Kini ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa, karena keluarga sangat kewalahan menghadapinya. Sementara anak yang satu lagi, berada di luar kota mengikuti suaminya.Kini, satu-satunya anak yang paling dekat, yang paling diharapkan bisa menemani di sisa usia, harus ditahan pihak berwajib atas laporan yang Yanu

  • Menjelang Pernikahan   Bab 46 Dalam Kamar Hotel

    Bias cahaya matahari merangsek masuk melalui celah jendela. Udara hangat pun perlahan masuk melewati tirai transparan yang melambai tertiup angin. Sebuah pertanda bahwa pintu di depan sana telah terbuka.Dalam keremangan pandangan yang belum terbuka sempurna, sayup-sayup Arisa mendengar suara tak asing sedang berbicara panjang lebar di luar sana.Entah berapa lama Arisa tak sadarkan pasca perbuatan Bahtiar yang menyesakkan pernapasannya. Yang pasti sebelum ini ia sempat terbangun dan mengetahui dirinya dikerumuni banyak orang. Tak ketinggalan pula sebuah alat bantu pernapasan melekat menutupi hidung serta mulutnya.Namun, kala itu semua orang segera melarangnya untuk bangkit. Bahkan sekadar bicara pun tak boleh. Mau tak mau Arisa tetap berbaring dan memejamkan mata. Hingga saat ini dirinya kembali terbangun, Arisa tak mengetahui sudah berapa lama ia tertidur.“Hai, sudah bangun?” Tirai tersingkap dan memunculkan sosok pria yang kini ia sebut suami

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status