“Mau bikin kopi?”
Bahtiar menoleh dan mendapati Melia sudah berdiri di sebelahnya yang hendak menyeduh kopi di dalam pantry. “Iya, nih, agak ngantuk. Semalam video call- an sama Risa sampe larut.” “Oh ….” Melia mengangguk-angguk paham. “Ya udah, sini aku buatin.” Ia lantas merebut kopi kemasan dari tangan Bahtiar. “Serius?” tanya Bahtiar, sedikit tak enak hati. “Serius lah. Kopi doang, kecil ini sih. Lagian aku kasihan sama kamu. Sejak Risa resign, kamu jadi apa-apa sendiri.” “Yah … gak apa-apa lah. Lagian abis ini dia bakal layanin aku sepenuhnya kalau lagi di rumah.” Melia melirik, melihat ekspresi Bahtiar yang tampak bahagia. “Loh, emang Risa gak nyari kerja lagi?” “Ya, enggak lah. Buat apa? Kan nanti ada aku yang nafkahin dia. Dia cukup di rumah, ngurus aku sama anak-anak kami nanti.” Setiap kata yang keluar dari mulut Bahtiar terdengar sangat menyenangkan. Bahkan ia juga tampak seperti sedang membayangkan kebahagiaan sempurna itu bersama Arisa. “Beruntung sekali ya, Arisa. Punya calon suami kayak kamu.” “Iya, dong.” Bahtiar segera menyahut dengan bangga. Sembari melanjutkan niatnya menyeduhkan kopi untuk Bahtiar, hati Melia mulai diliputi rasa iri. Hidup temannya yang satu itu begitu sempurna. Meski terlahir sebagai anak yatim, nyatanya kasih sayang yang ia dapat jauh lebih melimpah dari yang Melia miliki. Pernah beberapa kali dipertemukan dengan saudara Arisa, Melia bisa melihat bagaimana mereka memperlakukan Arisa. Kini, setelah mendapatkan banyak cinta dari keluarga, tak lama lagi Arisa juga akan memiliki suami yang juga akan menghujaninya dengan kasih sayang tak terbatas. ***** Malam kian larut, namun netra itu tak jua merasakan kantuk. Berulang kali Bahtiar berusaha terpejam, tetapi bayangan Arisa yang semakin menghilang tak ubahnya teror yang amat mencekam. Terlena dibuai perhatian yang diberikan Melia, membuat Bahtiar lupa dengan mimpi indah bersama Arisa. Padahal, kalaupun harus dibandingkan, tentu Arisa lah jauh lebih banyak mencurahkan segalanya. Andaikan tak terbentur suatu peraturan, sudah pasti Arisa akan terus berada di sisinya sampai kapanpun.“Ris, kamu mau gak jadi pacar saya?” “Dih, apaan sih, Pak? Bercanda aja, deh.” “Masa bercanda? Saya serius, Ris. Kamu itu lucu dan manis.” “Emang saya gulali?” “Ya, mirip-mirip lah. Dan saya juga suka makan gulali.” “Berarti, Bapak juga mau makan saya, dong?” “Kalau kamu ijinin, sih.” Masih teringat jelas ekspresi Arisa yang kala itu baru beberapa hari bekerja sebagai bawahannya. Dia yang belum lama lulus kuliah, tampak selalu ceria dan bersemangat. Dalam waktu singkat, mudah sekali bagi Arisa untuk dekat dan membaur dengan rekan kerja termasuk para senior. Hingga pada suatu hari, Bahtiar pun berhasil merebut hati Arisa. Diawali dari candaan yang kerap terlontar setiap hari, kemudian meningkat pada banyak perhatian yang ia berikan. Bahtiar sering kali mengantar Arisa pulang, dengan alasan perjalanan mereka yang searah. Saat-saat itu lah Bahtiar terus menunjukkan keseriusan niat untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekadar rekan kerja. Namun, usaha yang tak sebentar itu malah terancam kandas hanya karena jarak yang membentang dalam beberapa bulan ke belakang. ***** Arisa memandangi deretan panggilan tak terjawab dari sang kekasih. Sudah ratusan kali pria itu mencoba menghubungi, namun Arisa sengaja tak mau peduli. Dalam diamnya, Arisa merutuki diri yang terlalu naif selama ini. Sejak awal mengetahui kebohongan demi kebohongan yang Bahtiar lakukan, ia masih berusaha berpikir positif. Seperti yang Melia bilang, bahwa semua hanya salah paham. Seperti itulah Arisa sempat mengafirmasi diri. Lagi pula, bukankah dirinya lah yang nyatanya dipilih sebagai istri? Namun, semakin mendekati hari pernikahan, Arisa melihat Bahtiar semakin acuh tak acuh. Jangankan untuk bertemu seintens dulu, komunikasi lewat udara pun sudah jarang terjadi. Setiap Arisa bertanya, jawabannya selalu sama, sibuk. Tapi, lihat sekarang. Ketika pada akhirnya Arisa berada pada puncak kesabaran, Bahtiar justru kian gencar berusaha untuk kembali bisa berkomunikasi. “Apa gak sebaiknya kalian bicara dulu?” Sang Mama yang baru selesai memasak datang menghampiri. Ia tahu putrinya tengah melamun, memikirkan sang calon suami.“Bicara apa, Ma?” cicit Arisa, masih setia menunduk menatapi layar ponsel yang menyala. “Ya, semuanya. Bahtiar juga berhak diberi kesempatan bicara. Biarkan dia menjelaskan semuanya.” Kening Arisa sedikit terlipat. Dia tak paham maksud dari usulan yang mamanya berikan. “Memangnya, Mama pikir dia mau jelasin apa? Mau jelasin kalau Risa cuma salah paham? Mau bilang kalau mereka cuma temenan? Ma … please, Risa bukan anak kecil lagi.” Sang ibu pun menghela napas panjang. Arisa memang bukan tipe perempuan yang meledak-ledak. Tetapi, bila sudah marah apalagi ia berada di posisi yang benar, tentu tak mudah untuk bisa membujuknya lagi. “Ya … apapun nanti yang Bahtiar katakan, kamu sendiri yang bisa menilai. Yang pasti, biar bagaimanapun, kalian tetap harus bicara. Kalian juga perlu memutuskan langkah kalian ke depannya akan seperti apa. Kau tidak lupa kan kalau undangan kalian sedang dalam proses cetak?” Kini, gantian arisa yang menghela napas. Ia melupakan satu hal penting lagi. Undangan pernikahan mereka tak lama lagi pasti selesai dibuat. Hanya tersisa waktu kurang dari satu bulan, kertas berdesain indah itu harus segera disebar. “Apapun keputusan kamu nanti, Mama akan tetap mendukung. Hanya saja, kalau seandainya keputusan itu jadi yang terburuk, setidaknya kau harus bisa memberitahu rang tua Bahtiar dengan cara yang tepat. Jujur Mama khawatir permasalahan kalian ini berdampak buruk pada kesehatan ayahnya.” Gadis beralis tebal itu memijat pelipis yang berdenyut nyeri. Bahtiar yang lakukan kesalahan, tapi Arisa lah yang justru harus berpikir keras dalam mengambil keputusan. ***** Bolak-balik Arisa memikirkan saran sang Mama. Sebetulnya ia malas bertatap muka dengan Bahtiar. Tetapi, dia juga sadar kalau masalah tidak akan pernah selesai jika terus dibiarkan begitu saja. Meskipun berat hati, Arisa akhirnya terpaksa menghubungi Bahtiar. Ia akan mengajak lelaki itu bertemu dan bicara di luar. “Hallo, Risa.” Sedikit terkejut saat mendengar yang menyahut rupanya bukan Bahtiar. “Loh kok, Mama?” balas Arisa, spontan. “Iya, sayang. Bahtiarnya lagi tidur. Barusan minum obat.” “Minum obat? Emang Mas Tiar sakit?” “Iya, tadi pagi dia demam. Sekarang baru pulang dari dokter. Emang Tiar gak bilang?” Arisa menggeleng seolah Mama Bahtiar bisa melihat dirinya. “Em … enggak, Ma. Ya udah, Risa ke sana sekarang.” Gegas Risa pun bersiap menjenguk Bahtiar. Begitu mendengar lelaki itu tengah terbaring sakit, Arisa pun mengesampingkan dulu persoalan yang ada. Setidaknya ia perlu memastikan dulu kondisi calon suami yang terancam batal tersebut. ***** Begitu sampai di rumah Bahtiar, Arisa langsung disambut hangat oleh kedua orang tua lelaki itu. Ayah Bahtiar yang sudah berumur memang cenderung lemah secara fisik. Namun demikian, beliau selalu antusias apabila Arisa datang. “Papa sehat?” sapa Arisa, menyalami pria baya tersebut. “Ya, beginilah. Namanya juga sudah tua,” kekeh Papa Bahtiar, menyahuti sapaan calon menantu kesayangan. “Ayo, masuk,” ajak Mama Bahtiar, menyela interaksi suaminya dengan Arisa. Wanita yang terlihat jauh lebih bugar dari suaminya tersebut, kemudian menuntun Arisa masuk bersama. Tak mau berlama-lama, Arisa pun memilih langsung ke kamar Bahtiar. “Risa,” gumam Bahtiar, begitu sosok yang dirindukan muncul di hadapan. Pria itu berusaha bangkit dari berbaring. Matanya tampak berbinar senang dengan kehadiran Arisa. “Gak usah bangun, Mas. Tidur aja, gak apa-apa,” cegah Arisa, agak mempercepat langkah. “Enggak. Aku takut kamu pergi lagi.” Mengingat kedua orang tua Bahtiar yang mengikuti dari belakang, Arisa pun mulai merasa khawatir. “Kamu gak akan pergi lagi kan? Kita gak batal nikah kan?” Bahtiar terus mengoceh seperti orang mabuk. “Batal nikah? Maksudnya apa?” Pertanyaan dari ayah Bahtiar seketika menyentak perasaan Arisa. Gadis itu segera menoleh dan mendapati lelaki tua itu tengah memegangi dada. *****Bersambung“Terus gimana?” Yanu menelengkan kepala, bersiap mendengar jawaban Arisa yang sejak tadi tampak lahap menikmati setiap potong pizza yang yang dipenuhi lelehan mozarella.“Ya gitu deh. Aku kira si Papa kena serangan jantung, ternyata kancing kemejanya lepas. Huh ….” Arisa mengusap dahi seraya membuang napas. “Langsung aja deh aku bilang, Mas Tiar kayaknya lagi ngigau. Biasanya kalau orang sakit emang kadang ngigau gitu kan?”Setelah beberapa hari lalu memilih bungkam, hari ini Arisa sudah tak keberatan bercerita panjang lebar. Dia memberitahu Yanu hal apa yang menyebabkan keretakan hubungannya dengan Bahtiar. Tak sampai di situ, Arisa juga memaparkan kejadian beberapa jam lalu di rumah Bahtiar.“Sayang aku gak lihat langsung. Kalau lihat, pasti aku ketawa ngakak,” balas Yanu, terkekeh geli.“Boro-boro pengen ketawa, Kak. Yang ada aku deg-degan setengah mati. Untungnya si Papa percaya.”“Oh ya, Bahtiar sendiri gimana? Dia sakit beneran atau cuma cari perhatian?”Arisa menaikan kedua bah
Lembaran kertas bermotif dengan dominasi warna marun, diusap dengan lembut penuh penghayatan. Goresan tinta perak bertuliskan nama dua insan yang memiliki niat suci itu pun menjadi fokus utama dalam sudut pandang Arisa. Ada getar harus menelusup hingga ke dasar kalbu. Di mana bayangan indah kala merangkai rencana bahagia itu terukir di pelupuk mata. Suka duka yang dilalui tak mungkin mudah terhapus begitu saja. Meski luka itu nyatanya telah sukses mencabik rasa percaya yang tercurah terhadap pria yang ia kira akan setia melambungkan segala asa bersama.Kilat bening yang berasal dari genangan cairan asin itu terpancar kala ingatannya terhempas pada kenyataan yang terpaksa harus ia telan. Sebesar apapun rasa cinta yang pernah keduanya agung-agungkan, tetap tak mampu menutupi cela yang terlanjur menganga.“Mama tahu Risa masih cinta sama Bahtiar. Tapi, Mama juga tahu kalau Risa juga membenci Bahtiar dalam waktu bersamaan. Mama mungkin gak tahu bagaimana rasanya dikhianati, tapi Mama san
“Ayahku pergi dengan wanita lain. Aku gak tahu mereka menikah atau enggak. Yang jelas sejak saat itu, dia sudah tidak lagi menafkahi kami. Ibuku harus banting tulang, kerja jadi buruh cuci sambil gendong adik yang paling kecil.” Melia mendongak ke atas, menahan laju air mata yang mendesak ingin segera tumpah.Di sampingnya, Bahtiar menyimak segala penuturan Melia dengan perasaan iba yang seketika menelusup ke dalam dada.“Hari itu, aku bilang ingin berhenti sekolah saja. Aku mau bantu Ibu cari uang. Tapi, Ibuku sangat marah. Katanya, kalau aku gak sekolah, aku gak akan jadi apa-apa. Tapi, diam-diam aku kerja setelah pulang sekolah. Aku bantu-bantu di cafe punya orang tua temanku. Sesekali aku juga nyanyi di sana. Nyerep kalau penyanyinya berhalangan datang. Hasilnya lumayan, selain honor dari yang punya cafe, kadang pengunjung juga kasih saweran.” Seulas senyum menjeda kisah panjang yang tengah diurai saat ia duduk berdua dengan Bahtiar.“Aku gak tahu kalau hidupmu serumit itu,” ujar
Desas-desus keretakan hubungan Bahtiar dengan Arisa merebak di dalam lingkungan kantor. Entah siapa yang menjadi bibit isu tersebut, yang pasti dalam beberapa kesempatan Bahtiar kerap mendapati para staf tengah menggunjing dirinya. Tak cukup sampai di situ, Bahtiar pun memerhatikan ada beberapa orang yang tanpa ragu menyindir Melia dengan suara lantang. Namun begitu, ia enggan memberi teguran. Ia tak mau segala tudingan itu dianggap benar, ketika dirinya pasang badan membela Melia.Ada perasaan tak tega kala menangkap mata Melia tengah menyantap bekal makan siangnya sendiri. Semenjak gosip miring itu tersebar, perempuan yang gemar mengenakan celana panjang itu seperti tak bernyali untuk berkumpul di dalam kantin. Dia memilih bertahan di kubikel miliknya hingga jam istirahat berakhir.“Tiar, kita harus bicara.” Bahtiar tersentak kala suara Melia menghentikan langkahnya yang hendak beranjak pulang.Manik tajam lelaki bersetelan jas itu awas mengamati sekitar. Ia khawatir ada orang yang
Satu kali, dua kali, tiga kali, sampai berkali-kali pukulan kembali mendarat di pipi. Kemudian tubuh Bahtiar bangkit terangkat oleh tarikan kerah baju yang dilakukan Yanu. Kali ini, dengkul lelaki itu yang menghantam perut Bahtiar hingga terkulai tak berdaya. Bahtiar meringkuk di atas aspal. Menahan sakit di sekujur badan. Sedangkan Yanu, sekali lagi menendang sebelum akhirnya menghampiri Arisa, yang tampak terguncang dengan segala kejadian. Lelaki yang mengenakan jaket merah itu merogoh saku, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.“Antarkan mobilku sekarang. Nanti kau pulang bawa motorku.” Sesingkat itu pembicaraan Yanu. Ia lantas merengkuh pundak Arisa dan menuntunnya dari tempat terkutuk yang nyaris menorehkan cela di tubuh wanita itu.Namun, sebelum mereka betul-betul pergi, Yanu masih sempat menoleh. Ia perlu memastikan kalau Bahtiar tidak sampai mati akibat bogem mentah yang ia layangkan secara berulang-ulang. Walaupun sangat ingin membunuh Bahtiar yang baru saja melakuka
Memar biru yang belum sembuh kian ngilu kala tangan lemah Linda mendarat sempurna dengan begitu kerasnya. Selain mengusap pipi yang terasa perih, tak ada yang bisa Bahtiar lakukan. Ia tertunduk tak berdaya ketika Linda menatapnya nyalang. Dengan napas yang naik turun cepat, Linda mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Bahtiar.“Kurang ajar kamu! Beraninya melecehkan putriku!” Linda berteriak memaki pria yang seyogyanya menjadi calon menantu.“Tante, saya minta maaf. Saya khilaf.” Bahtiar menjatuhkan tubuh berlutut di hadapan Linda.Semua orang yang hadir di ruangan itu tak ada yang berani bersuara. Ibunda Bahtiar pun terbungkam dengan apa yang sudah dilakukan putranya terhadap Arisa. Ia hanya bisa menangis menyesali diri yang telah gagal mendidik Bahtiar menjadi seorang pria yang baik.“Kamu ingat baik-baik. Kalau sampai terjadi sesuatu pada anak saya, saya pastikan akan memenjarakanmu.” Linda beranjak pergi dari rumah calon besan yang sepertinya memang benar-benar akan jadi manta
“Kamu hamil?” Arisa sampai harus memicingkan mata saat bertanya.Selama berteman dengan Melia, tak sekalipun ia mengetahui gadis itu dekat dengan pria. Dia juga tak pernah bercerita kalau memiliki kekasih.“Apa itu anaknya ….” Lidah Arisa mendadak kelu. Rasa tak sanggup menyebut nama lelaki yang ia curigai sebagai ayah dari bayi yang Melia kandung, jika benar dia hamil.Tak ada satu kata pun keluar dari mulut mantan sahabatnya. Namun, Arisa bisa melihat kristal-kristal bening tengah menggenang di mata Melia.“Kembalikan!” Tangan Arisa mengambang di udara, ketika Melia merampas kembali kantong belanjanya.Perempuan yang menyandang tas di bahunya itu melenggang pergi tanpa permisi. Sedangkan Arisa hanya mematung dalam keadaan setengah tak percaya. Mungkinkah Bahtiar merupakan pelakunya?“Risa, jadi beli obat gak?” Suara Yanu mengagetkan Arisa dari keterpakuan.Ia menoleh sebentar, kemudian beralih mencari-cari keberadaan Melia yang entah ke mana.“Kak Yanu aja yang beli. Aku tunggu di l
“Ini gak bener kan, Mel? Kamu lagi bercanda kan?” Bahtiar melempar alat uji kehamilan yang baru saja diberikan Melia.“Aku juga maunya kayak gitu. Tapi, nyatanya ini benar-benar terjadi. Aku hamil dan ini anakmu.” Berderai air mata, Melia menunduk tak sanggup bersitatap dengan Bahtiar.Setelah mencoba berulang kali, akhirnya Bahtiar mau diajak bicara berdua. Walaupun semua dilakukan secara terpaksa, tapi bagi Melia itu merupakan kesempatan yang sangat berharga.Lelaki berkemeja biru pudar itu meraup wajah dengan gusar. Belum usai satu persoalan, kini masalah baru sudah datang. Kemarahan orang tuanya atas pembatalan pernikahan dengan Arisa belum sempat teredam, sekarang di hadapannya seorang perempuan tengah meminta pertanggung jawaban.“Mel, aku bener-bener gak bisa percaya ini. Aku yakin sekali kita gak lakuin apa-apa malam itu. Bagaimana mungkin kamu bisa hamil?” Diputar berulang kali pun, Bahtiar sama sekali tak bisa mengingat kalau dirinya pernah menggagahi Melia.“Tiar, kamu itu
Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti
Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p
Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l
Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur
Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo
“Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n
Waktu bergulir sangat cepat. Nyatanya mengurus kebebasan Bahtiar tak cukup sebentar. Mulai dari berembuk dengan tim kuasa hukum, hingga proses pencabutan laporan di kantor pihak berwajib, semua berlangsung cukup pelik.Namun, setelah semua selesai Arisa merasa sangat lega. Ia berharap setelah ini dirinya bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Dengan jaminan Bahtiar tak akan lagi mengusik, setidaknya itu cukup untuk membuat suaminya tenang. Tak lagi dihantui rasa khawatir dan takut kalau suatu saat lelaki itu berusaha membawanya kabur.Sebelum pulang, ibunya Bahtiar datang menghampiri. Wanita tua itu berulang kali menggaungkan kata terima kasih. Selain rasa sayangnya terhadap Arisa yang teramat sangat besar, ia juga mengapresiasi segala kebaikan wanita muda tersebut. Terlepas dari surat perjanjian yang harus disepakati putranya, ibu Bahtiar sungguh merasa berhutang banyak pada Arisa. Dengan segala kesalahan yang dibuat sang anak, Arisa mau membe
“Saya mohon, Bu Linda. Beritahu saya, dimana Arisa dan suaminya sekarang?” Serba salah sekali Linda saat itu.Di satu sisi ia tak ingin mengganggu bulan madu anak dan menantunya. Baru saja menikah mereka sudah dihantam permasalahan yang cukup serius. Bahkan mungkin hingga saat ini Arisa belum mengetahui apa yang sudah dilakukan Yanu terhadap Bahtiar usai kejadian malam itu.Di sisi yang lain, ada seorang ibu yang mengiba mengharap pengampunan bagi sang putra. Persoalannya tak sesederhana itu, sehingga membuat Linda semakin tak tega,Belum lama ia ditinggal pergi suaminya. anak sulungnya pun harus mengalami depresi pasca dijatuhi talak. Kini ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa, karena keluarga sangat kewalahan menghadapinya. Sementara anak yang satu lagi, berada di luar kota mengikuti suaminya.Kini, satu-satunya anak yang paling dekat, yang paling diharapkan bisa menemani di sisa usia, harus ditahan pihak berwajib atas laporan yang Yanu
Bias cahaya matahari merangsek masuk melalui celah jendela. Udara hangat pun perlahan masuk melewati tirai transparan yang melambai tertiup angin. Sebuah pertanda bahwa pintu di depan sana telah terbuka.Dalam keremangan pandangan yang belum terbuka sempurna, sayup-sayup Arisa mendengar suara tak asing sedang berbicara panjang lebar di luar sana.Entah berapa lama Arisa tak sadarkan pasca perbuatan Bahtiar yang menyesakkan pernapasannya. Yang pasti sebelum ini ia sempat terbangun dan mengetahui dirinya dikerumuni banyak orang. Tak ketinggalan pula sebuah alat bantu pernapasan melekat menutupi hidung serta mulutnya.Namun, kala itu semua orang segera melarangnya untuk bangkit. Bahkan sekadar bicara pun tak boleh. Mau tak mau Arisa tetap berbaring dan memejamkan mata. Hingga saat ini dirinya kembali terbangun, Arisa tak mengetahui sudah berapa lama ia tertidur.“Hai, sudah bangun?” Tirai tersingkap dan memunculkan sosok pria yang kini ia sebut suami