Aku gegas berlari menuju tubuh Andin, tanganku meraba keningnya. Badannya terasa sangat dingin, aku menjadi sangat khawatir. Dengan lantang kupanggil salah satu karyawan lelaki yang aku miliki."Damaar!" panggilku.Orang yang aku panggil Damar kebetulan sedang bersiap untuk jualan keliling. Iya aku memang mempekerjakan satu orang laki-laki putra Pak Komar tetangga sebelah yang belum mendapat kerja setelah lulus dari SMK Negeri 4 Madiun dengan jurusan tata boga. Meskipun dia seorang pria, Damar sangat cekatan dalam bekerja. Ketika mendengar namanya aku panggil dengan segera dia meletakkan keranjang roti begitu saja dan berlari menuju ke arahku."Iya, Mbak!" jawabnya setelah sudah ada di depanku dengan napas ngos-ngosan."Tolong angkat tubuh Andin ke dalam kamar itu, Ya. Dan ini hari ini kamu beli bahan dulu, jika selesai boleh kirim roti juga boleh nunggu toko. Utamakan beli bahan dulu, ya!" ucapku."Siap, Mbak," balasnya.Kemudian dengan sekali hentak, tubuh Andin sudah ada dalam gend
Kulihat Frans sudah berjalan menuju ke ruamahku kemballi. Rumah yang belum lunas masa pembelianku itu sudah mampu menghasilkan sebuah ekonomi yang lancar. Aku sangat bersyukur, tetapi sekarang tubuh Andin terlihat lemah, untuk itulah aku beranikan diri memgajak Frans masuk rumah agar dia bisa memeriksa kondisi Andin."Aku sudah siap, Ann. Di mana pasien pertamaku?" tanya Frans.Tanpa bicara aku langsung balik kanan dan Frans mengikuti langkahku dari balakang. Sampai depan kamar dimana Andin terbaring aku berhenti. Frans menatapku sambil memberi kode agar aku lebih dulu masuk. Aku pun melangkah memasuki kamar yang sudah terbuka."Nah ini adalah karyawanku, tadi dia pingsan, suhu tubuhnya masih dingin," ujarku.Frans segera membuka tas prakteknya, lelaki itu terlihat serius dalam memeriksa keadaan Andin. Wajahnya yang tampan akan semakin terlihat tampan bila sedang serius memeriksa pasien. Hal ini sudah aku akui sejak pertama kali melihatnya memeriksa Amel.Aku masih memandang wajah ted
Aku termangu dengan ucapan Frans, dalam hati merutuki sikapku selama ini yang seakan memberi jalan masuk bagi lelaki di depanku ini. Sungguh aku tidak bermaksud menariknya dalam harapan yang aku sendiri sudah tidak mampu. Aku hanya seorang janda, sedangkan Frans seorang pria lajang dengan segala kenikmatan dunia. Frans seorang dokter muda yang tampan dan memiliki finansial yang cukup matang, hal ini membuat aku tidak berani melangkah bersama dengannya. Saat bersama Jasen hidupku cukup tersiksa oleh pergaulan keluarganya, sedangkan Frans yang memiliki segalanya semakin membuatku gentar."Jangan terlalu dipikirkan, Ann. Kita jalanibsaja dulu. Kamu hanya perlu kembangkan usaha ini agar bisa merebut hak asuh putra putri kamu," papar Frans."Jujur aku sangat ragu untuk melangkah bersama kamu, Frans. Bisakah kita untuk sementara hanya teman saja?" tanyaku. Frans kulihat sedih dan tanpa banyak kata lelaki itu melangkah meninggalkan aku yang masih memandang kepergiannya. Hingga tubuh lelaki
"Hallo!" Sapa Andin sopan."Benar dengan Mbak Andin?" tanya dari seberang yang aku perkirakan seorang perempuan. Aku bisa mendengar percakapan Andin di telepon karena oleh gadis itu ponselnya diloudspeker sehingga aku bisa mendengar semua. Hal ini dilakukan oleh Andin karena dia tidak ingin jika si penelepon adalah salah orang. Aku meyakinkan bahwa si penelepon sepertinya membawa berita penting, dengan alasan itu akhirnya Andin mau menerima telepon tanpa nama."Maaf, Mbak. Ini di jalan Ahmad Yani terjadi kecelakaan yang mengakibatkan semua penumpang meninggal dan salah satunya bernama Sardi dengan alamat di jalan Mliwis no 40. Apakah Mbak Andin mengenal beliau?" ucap si penelepon dari seberang."Maaf, jika tidak merepotkan bisa foto wajah dari beliau!" pinta Andin masih dengan nada datar.Aku masih diam mendengar semua pembicaraan penelepon yang terdengar terbata dalam pendengaranku. Kemudian beberapa saat teleponku juga berdering. Gegas aku berjalan mendekati asal suara tersebut d
Akhirnya aku memutuskan untuk langsung datang ke rumah sakit untuk memastikan jenazah keluarga Andin. Kulihat wajah Andin datar dan dingin, entah apa yang dia pikirkan. Aku hanya mengembuskan napas kasar berulang kali untuk meluangkan dada yang terasa sesak."Mbak, mungkinkah ini semua?" tanya Andin."Semua bisa saja terjadi, Din. Kamu harus iklas," ucapku.Kulihat Andin menunduk, kedua tangannya saling bertaut dan meremat erat. Sangat terlihat bila gadis itu sedang berusaha untuk iklas. Namun, Andin masih mau berbicara meski hanya sepatan dua patah kata. Mungkin bila hal itu terjadi padaku, entah apa yang aku perbuat. Sungguh gadis yang kuat."Mbak, jika semua memang seperti info apakah boleh Dahlia tinggal bersama kita? Aku janji dia akan nurut," ucap Andin dengan nada rendah."Aku justru sangat senang, dia bisa aku anggap sebagai anakku sendiri. Tidak apakah?" tanyaku.Andin termangu mendengar kalimatku. Gadis itu seperti bahagia bercampur terharu hingga kulihat bulir bening jatuh
Akhirnya selesai juga proses pemakaman keduaborang tua Andin dan adik lelakinya. Aku selallu mendampingi gadis itu agar mentalnya kuat menghadapi kejamnya dunia"Terima kasih, Mbak!" ucap Andin padaku kala kami menunggu di kamar inap Dahlia."Iya, aku sangat senang kamu mau menerima semua bantyanku, Din," balasku sambil kupandangi wajah lebut Dahlia.Andin mengikuti arah pandangku, kulihat bulir bening mulai membentuk telaga sunyi. Aku makin mersakan nyeri pada kondisi Dahlia. Sudah terbaring di ranjang pesakitan si rumah sakit setempat.Dahlia, gadis mungil nan cantik terpaksa segera di rawat di instalansi gawat darurat. Saat itu kondisi kesehatan Dahlia turin drastis. Dahlia gadis kecil yabg sangat beruntung karena hanya dia yang selamat dari kecelakaan tersebut. Aku masih berdiri di samping ranjang kecil tempat Dahlia berada.Kini waktu yang digunakan oleh Dahlia hampir sampai pada limit akhir infus yang diperhitungkan. Alhamdulillah dengan sedikit usaha terlihat pergerakan Dahlia
."Mas Jasen!" lirihku seketika kala melihat sosok Mas Jasen yang sudah ada di depanku.Aku merasa sedikit takut dan resah ketiga tatapan netranya menghujam dalam relung hati. Aku sungguh jengah melihat wajah busuknya, hingga tanpa sadar tanganku memeluk lengan Frans. Melihat sikapku yang seperti itu semakin tajam tatapan Mas Jasen."Kau terlihat murahan, Ann. Apa kau lupa akan hijab yang kau kenakan?" ucap Mas Kasen padaku dengan nada kasar.Frans menarikku ke belakang badannya sambil menggenggam pergelangan tanganku dengan kencang. Aku sedikit merintih kesakitan. Secara reflek Frans meleoas pergelangan tanganku dengan halus, kemudian lelaki itu berjalan mendekat oada Jasen."Apa mau kamu, Tuan Jasen terhormat?" kata Frans dengan sedikit penekanan pada kalimatnya."Kau yang kurang ajar, Frans. Istri abang kau lirik juga!" geram Jasen."Istri!? Bukankah sudah Abang talak wanita itu? Bahkan kau sudah usir dari hidupmu," ungkap Frans."Tetapi tidak juga segera kau pungut bekas wanitaku.
Jasen terhenyak, netranya tampak memerah saat aku membentaknya. Lelaki itu bahkan sudah mengangkat tangannya setelah selesai kalimatku. Namun, ketika tapak tangan itu hampir mendarat di ujung kepalaku sebuah tangan berotot berhasil menangkap dan menariknya ke belakang. Rupanya sosok tangan tersebut adalah milik Frans. Aku bernapas lega, sungguh tidak pernah kuduga jika Mas Jasen masih berani melayangkan tangannya padaku. Semua diluar nalar."Kau sudah jauh melangkah, Jasen! Keluar dari rumahku!" usirku dengan lantang.Jasen bergeming, kulihat matanya semakin memerah dan tapak tangannya mengepal kuat. Sangat terlihat jika dia sedang menahan emosinya. Perbeda dengan Frans, lelaki itu kulihat masih bisa bersabar menghadapi sikap kakak tirinya. "Aku akan kembali, ingat urusan kita belum selesai!" ancam Jasen sambil menuding wajah Frans.Aku hanya bisa geleng kepala melihat Jasen melangkah keluar dari rumahku. Kemudian kupandangi Frans mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Frans ter