Akhirnya aku pun mengantarkan kedua gadis kecilku, tanpa terasa akhirnya perjalananku sampai di depan sekolah mereka berdua. Setelah berpamitan denganku keduanya masuk ke dalam sekolah penuh dengan senyum bahagia. Aku menatap mereka berdua hingga tidak lagi kulihat punggungnya. "Semoga hari kalian selalu indah, Sayang!" doaku untuk kedua putri kecil itu.Hari terus berlalu, akhirnya sore kembali bersua. Dengan langkah gontai akupun masuk dalam rumah. Kulihat Amel sudah bermain dengan Dahlia. Keduanya terlihat asyik bermain hingga tidak menyadari kedatanganku. Bibi yang melihatku segera menyambutku dengan senyum."Capek sekali ya, Nak Ann?" tanya bibi dengan nada lembut."Lumayan, Bi. Apakah Andin sudah pulang juga?" tanyaku."Nah itu, Nak Andin baru nongol!" ucap Bibi saat melihat Andin membuka pagar rumah.Aku pun berbalik badan melihat arah jari bibi yang menunjuk kedatangan Andin. Gadis itu terlihat lelah tetapi senyumnya mengembang kala melihatku sedang menunggunya di teras ruma
Aku menunggu dua putri kecilku pulang dari mushola di teras rumah. Kulihat beberapa orang sudah keluar dari mushola, dari jauh tampak dua anak perempuan berjalan bergandengan tangan sambil mendekap mukena. Senyum dan saling canda menghias setiap langkah keduanya."Assalamualaikum, Bund!" sapa keduanya."Waalaikumsalam, Sayangnya Bunda," balasku.Lalu kuraih bahu kedua putri kecilku agar segera masuk ke dalam rumah. Setelah mengembalikan mukenanya mereka segera berjalan menuju meja makan. Aku dan yang lainnya sudah menunggu di meja. Amel segera duduk pada tempatnya begitu juga dengan Dahlia."Wah menunya sangat menggugah selera," ucap Amel."Amel suka?" tanya Andin."Suka, aku suka banget bila cha kangkung dengan lauk bakwan seperti ini, Mbak," balas Amel dengan binar bahagia.Aku segera mengambilkan menu yang disukai oleh Amel, setelah mengambilkan makanan untuk Amel ganti makanan untuk Dahlian. Andin hanya melihatku sedikit iri karena hanya kedua gadis kecil itu yang aku layani maka
Wajah Amel seketika itu juga semringah, dia merasa gembira karena dengan begitu dia bisa bertemu dengan Yoga, kakak tercintanya tanpa harus bertandang ke rumah ayahnya dan bertemu dengan Rowena, si Tante Monster.Berhubung waktu pernikahan sudah tidak terlalu lama, maka kami pun melakukan berbagai persiapan, diantaranya mempersiapkan kado untuk Irene dan Frans, mempersiapkan kejutan untuk Yoga, putra sulungku dan mempersiapkan beberapa tanda mata yang akan kami jadikan oleh- oleh dan hadiah.Tak lupa aku pun memberitahukan pada Jupri perihal undangan pernikahan Frans dan Irene. Rupanya Jupri tak kalah antusias dengan Amel, mereka berdua bahkan bertingkah seperti layaknya anak kecil yang baru saja mendapatkan sebuah mainan baru."Permisi, Mas Jupri, ini ada paket untuk Nak Annasta. Baru saja datang, tukang paketnya saja masih di halaman depan." Bi Ijah mengejutkan kami karena secara tiba- tiba sudah berada di ambang pintu dekat tempat kami berdiri."Astaga, Bi Ijah! Mengagetkan saja, u
Aku menowel pipi temben putriku yang cantik dan begitu menggemaskan itu, membuat wajah ayunya menjadi semakin cemberut karena merasa kesal padaku yang dianggapnya terlalu lama membuka paket dari om kesayangannya."Bundaaa. Lama, deh! Cepetan, dong, Bunda. Amel sudah penasaran ini dengan isi paket kiriman Om Frans," rajuknya."Sabarlah sedikit lagi, Amel!" ucap Dahlia mencoba ikut menenangkan Amel, kalimatnya membuatku tersenyum."Iya, iya, Sayang. Sabar, jangan marah atau cemberut gitu, dong. Kalau ngambek jadi hilang cantiknya anak Bunda. Iya, 'kan," kataku seraya memalingkan wajahku bergantian ke arah semua yang ada di ruangan itu."Haaa, betul itu. Amel, Sayang jangan cemberut. Nanti kalau cemberut, Om Jupri jadi sedih, lo," timpal Jupri kepada Amel.Amel terlihat mengerutkan dahinya karena tidak mengerti arah pembicaraan Jupri yang seperti tidak nyambung dengan pembicaraan sebelumnya. "Om Jupri ngomong apa, sih? Amel bingung, tidak paham."Melihat reaksi Amel, Jupri menepuk dahiny
Aku langsung berbalik badam kala inderaku mendengar suara itu, suara yang masih sangat aku kenal. Jasen! Rupanya dia bisa mengenaliku meski dari belakang. Sungguh aku tidak menyangka bahwa perubahanku belum bisa membuat dia lupa.Kupaksakan bibir ini melengkung meski tipis. Namun. Berbeda dengan Amel. Putriku itu justru semakin erat memeluk lenganku sambil jemarinya mencengkeramnya. Kulihat sorot mata penuh ketakutan dan kebencian terpancar pada bola mata yang indah itu.Jupri yang melihat sikap Amel mencoba meredam gejolak rasa pada putriku dengan mengelus lembut ujung kepalanya. Amel tengadah menatap wajah Jupri yang mengulas senyum lebar."Om!" lirihnya"Jangan takut, Sayang!" balas Jupri.Sekarang tangan Amel kulihat berpindah memeluk lengan Jupri, sepertinya gadis kecilku mulai nyaman dengan Jupri. Aku ikut tersenyum tipis."Benar apa yang diucapkan Om Jupri, Amel jangan takut," kataku."Tetapi wanita itu jahat dan seperti rubah, Bunda," balas Amel."Rubah?" tanyaku.Namun, belum
Aku berhenti saat seseorang memanggilku dengan Mbak. Suara itu sangat aku kenal, tetapi mungkinkah? Perlahan kuputar badanku untuk memenuhi rasa penasaranku. Dan benar, gadis itu berdiri dengan anggun mengenakan pamkaian kebaya modern dengan rambut sedikit di sanggul memakai riasan yang natural tampak elegan dan cantik alami."Mbak!" panggilnya membuyarkan lamunanku."Gendhis!" tebakku yang masih tidak menyangka akan melihat wajah cantiknya.Seketika Gadis cantik itu berlari menghambur ke pelukanku. Gendis, sosok gadis dewasa kini telah menjelma menjadi seorang wanita muda yang cantik dan elegan sungguh berbeda saat aku tinggalkan dua tahun yang lalu."Apa kabar kamu, Sayang?" tanyaku sambil mengusap air mata yang mulai mengalir pada pipinya yang mulus."Aku baik, Mbak. Bagaimana dengan Mbak Ann sendiri? Tega kamu, Mbak," keluhnya yang masih enggan mengurai pelukanku."Maafkan mbak, Sayang. Ini harus berjalan, apa kamu ingin melihat mbak selalu terpuruk?" tanyaku.Kulihat Gendhis meng
Aku masih bertahan di pelaminan menanti untuk berfoto bersama dua mempelai. Setelah beberapa saat kami berfoto akhirnya aku mengajak Jupri dan Amel untuk segera turun. Namun, tiba-tiba kudengar sebuah suara yang tidak asing bagiku.Perlahan Jasen berjalan tertatih menggunakan alat bantu kruk. Lelaki itu seakan belum menyerah untuk mengejarku. Amel yang awalnya sudah turun dari gendongan mama Zakia kini merapat memeluk kaki neneknya kembali."Nek, Amel takut!" lirihnya sambil memeluk sang nenek."Tenang, Sayang. Ada nenek di sini," ucap Mama Zakia mencoba meredam ketakutan Amel.Aku hanya memandang sendu pada Amel yang sedang ketakutan. Lalu putri kecilku itu akhirnya mengajak aku untuk bertemu dengan Abangnya-- Yoga. Akupun menyetujuinya. Namun, Jupri enggan untuk ikut denganku. Dia lebih memilih tinggal bersama Mama Zakia. Sepertinya masih ada yang ingin dibahas bersama beliau.Aku melangkah seiring dengan Amel mencari keberadaan Yoga. Amel yang memahami lokasi pesta tersebut segera
Pria kecilku terus menyerang Jasen tanpa perhitungan. Tidak melihat sebesar apa perawakan yang tengah dihadapinya. Satu gerakan Jasen tentu mampu membuat tubuh Yoga terpelanting. Namun, nyatanya tidak seperti itu. Jasen tampak terkekeh menahan geram, sesekali meringis menahan sakit saat serangan lelaki kecil itu mengenai luka bekas jahitan pada tulang keringnya.Amel yang melihat kebrutalan sang abang kini beringsut berjalan perlahan ke arahku dan memelukku erat. Sangat terasa jika tubuhnya bergetar. Kupeluk putri kecilku sambil mengusap punggungnya agar reda ketakutannya."Bunda, Amel masuk saja mencari nenek dan Om Jupri." Amel berkata sambil melangkah mundur meninggalkan aku bersama perkelahian Yoga dan Jasen.Yoga masih meluapkan emosi yang terpendam lama, mungkin menurutnya ini lah saat yang tepat buat ungkap semua sakitnya penderitaanku masa silam. Putraku terlihat sangat emosi hingga sulit untuk aku cegah. Tetapi sepertinya, bukan itu yang menjadi hal paling menyakitkan di hati