Tak terasa, sudah satu bulan lamanya gadis cilikku bersekolah. Selama masa itu, tidak sedikit pun aku mendengar cerita macam- macam dari guru maupun diri dia sendiri. Malah dia selalu mengatakan bahwa dia sangat suka bersekolah di tempat dia belajar saat ini.Sejak putriku bersekolah, kesibukkanku di pagi hari pun bertambah, tetapi tidak sedikit pun aku menyesali hal itu, malah aku merasa sangat menyukainya. Bagiku kesibukkan mengurus dan mengantar kedua putri kecilku bersekolah adalah momen paling menyenangkan. Meskipun setiap hari aku terbantukan sejak adanya Bi Ijah.Hari ini, seperti biasa aku tengah mempersiapkan meja makan untuk acara makan pagi yang memang aku wajibkan setiap hari di rumah ini. Aku baru saja bersiap memanggil Amel dan yang lain untuk sarapan, saat aku mendengar telepon genggamku berteriak memanggil. Dengan sedikit tergesa, aku berjalan menghampiri lemari buku di ruang santai yang berada tidak jauh dari ruang makan"Halo, Assalamualaikum," sapaku saat panggilan v
"Tidak, Bunda. Yoga sedang berada di sekolah ketika peristiwa itu terjadi, Yoga baru saja sampai di sekolah, Bun. Saat melihat Yoga, ibu wali kelas Yoga langsung memanggil ke ruang guru. Waktu di ruang guru, Yoga melihat ada dua bapak polisi. Dari bapak- bapak itu Yoga tahu kalau ayah mengalami kecelakaan." Yoga menjelaskan padaku dengan suara sedikit terputus- putus.Mencelos rasanya saat mendengar berita dari Yoga, karena dengan adanya polisi itu berarti kecelakaan yang dialami oleh Jasen bisa dikategorikan lumayan berat. Perasaanku berkecamuk tidak karuan. Namun, di satu sisi aku merasa sangat beruntung karena Yoga tidak ikut menjadi korban dalam peristwa tersebut."Yoga diantar ayah ke sekolah?" tanyaku pada Yoga ingin memastikan waktu terjadinya kecelakaan.Terlihat wajah sedih Yoga mengangguk perlahan, seketika itu juga jantungku terasa luruh ke tanah. Aku benar- benar merasa bersyukur karena Allah telah menyelamatkan buah hatiku dari musibah kecelakaan."Kapan peristiwa itu ter
Akhirnya aku pun mengantarkan kedua gadis kecilku, tanpa terasa akhirnya perjalananku sampai di depan sekolah mereka berdua. Setelah berpamitan denganku keduanya masuk ke dalam sekolah penuh dengan senyum bahagia. Aku menatap mereka berdua hingga tidak lagi kulihat punggungnya. "Semoga hari kalian selalu indah, Sayang!" doaku untuk kedua putri kecil itu.Hari terus berlalu, akhirnya sore kembali bersua. Dengan langkah gontai akupun masuk dalam rumah. Kulihat Amel sudah bermain dengan Dahlia. Keduanya terlihat asyik bermain hingga tidak menyadari kedatanganku. Bibi yang melihatku segera menyambutku dengan senyum."Capek sekali ya, Nak Ann?" tanya bibi dengan nada lembut."Lumayan, Bi. Apakah Andin sudah pulang juga?" tanyaku."Nah itu, Nak Andin baru nongol!" ucap Bibi saat melihat Andin membuka pagar rumah.Aku pun berbalik badan melihat arah jari bibi yang menunjuk kedatangan Andin. Gadis itu terlihat lelah tetapi senyumnya mengembang kala melihatku sedang menunggunya di teras ruma
Aku menunggu dua putri kecilku pulang dari mushola di teras rumah. Kulihat beberapa orang sudah keluar dari mushola, dari jauh tampak dua anak perempuan berjalan bergandengan tangan sambil mendekap mukena. Senyum dan saling canda menghias setiap langkah keduanya."Assalamualaikum, Bund!" sapa keduanya."Waalaikumsalam, Sayangnya Bunda," balasku.Lalu kuraih bahu kedua putri kecilku agar segera masuk ke dalam rumah. Setelah mengembalikan mukenanya mereka segera berjalan menuju meja makan. Aku dan yang lainnya sudah menunggu di meja. Amel segera duduk pada tempatnya begitu juga dengan Dahlia."Wah menunya sangat menggugah selera," ucap Amel."Amel suka?" tanya Andin."Suka, aku suka banget bila cha kangkung dengan lauk bakwan seperti ini, Mbak," balas Amel dengan binar bahagia.Aku segera mengambilkan menu yang disukai oleh Amel, setelah mengambilkan makanan untuk Amel ganti makanan untuk Dahlian. Andin hanya melihatku sedikit iri karena hanya kedua gadis kecil itu yang aku layani maka
Wajah Amel seketika itu juga semringah, dia merasa gembira karena dengan begitu dia bisa bertemu dengan Yoga, kakak tercintanya tanpa harus bertandang ke rumah ayahnya dan bertemu dengan Rowena, si Tante Monster.Berhubung waktu pernikahan sudah tidak terlalu lama, maka kami pun melakukan berbagai persiapan, diantaranya mempersiapkan kado untuk Irene dan Frans, mempersiapkan kejutan untuk Yoga, putra sulungku dan mempersiapkan beberapa tanda mata yang akan kami jadikan oleh- oleh dan hadiah.Tak lupa aku pun memberitahukan pada Jupri perihal undangan pernikahan Frans dan Irene. Rupanya Jupri tak kalah antusias dengan Amel, mereka berdua bahkan bertingkah seperti layaknya anak kecil yang baru saja mendapatkan sebuah mainan baru."Permisi, Mas Jupri, ini ada paket untuk Nak Annasta. Baru saja datang, tukang paketnya saja masih di halaman depan." Bi Ijah mengejutkan kami karena secara tiba- tiba sudah berada di ambang pintu dekat tempat kami berdiri."Astaga, Bi Ijah! Mengagetkan saja, u
Aku menowel pipi temben putriku yang cantik dan begitu menggemaskan itu, membuat wajah ayunya menjadi semakin cemberut karena merasa kesal padaku yang dianggapnya terlalu lama membuka paket dari om kesayangannya."Bundaaa. Lama, deh! Cepetan, dong, Bunda. Amel sudah penasaran ini dengan isi paket kiriman Om Frans," rajuknya."Sabarlah sedikit lagi, Amel!" ucap Dahlia mencoba ikut menenangkan Amel, kalimatnya membuatku tersenyum."Iya, iya, Sayang. Sabar, jangan marah atau cemberut gitu, dong. Kalau ngambek jadi hilang cantiknya anak Bunda. Iya, 'kan," kataku seraya memalingkan wajahku bergantian ke arah semua yang ada di ruangan itu."Haaa, betul itu. Amel, Sayang jangan cemberut. Nanti kalau cemberut, Om Jupri jadi sedih, lo," timpal Jupri kepada Amel.Amel terlihat mengerutkan dahinya karena tidak mengerti arah pembicaraan Jupri yang seperti tidak nyambung dengan pembicaraan sebelumnya. "Om Jupri ngomong apa, sih? Amel bingung, tidak paham."Melihat reaksi Amel, Jupri menepuk dahiny
Aku langsung berbalik badam kala inderaku mendengar suara itu, suara yang masih sangat aku kenal. Jasen! Rupanya dia bisa mengenaliku meski dari belakang. Sungguh aku tidak menyangka bahwa perubahanku belum bisa membuat dia lupa.Kupaksakan bibir ini melengkung meski tipis. Namun. Berbeda dengan Amel. Putriku itu justru semakin erat memeluk lenganku sambil jemarinya mencengkeramnya. Kulihat sorot mata penuh ketakutan dan kebencian terpancar pada bola mata yang indah itu.Jupri yang melihat sikap Amel mencoba meredam gejolak rasa pada putriku dengan mengelus lembut ujung kepalanya. Amel tengadah menatap wajah Jupri yang mengulas senyum lebar."Om!" lirihnya"Jangan takut, Sayang!" balas Jupri.Sekarang tangan Amel kulihat berpindah memeluk lengan Jupri, sepertinya gadis kecilku mulai nyaman dengan Jupri. Aku ikut tersenyum tipis."Benar apa yang diucapkan Om Jupri, Amel jangan takut," kataku."Tetapi wanita itu jahat dan seperti rubah, Bunda," balas Amel."Rubah?" tanyaku.Namun, belum
Aku berhenti saat seseorang memanggilku dengan Mbak. Suara itu sangat aku kenal, tetapi mungkinkah? Perlahan kuputar badanku untuk memenuhi rasa penasaranku. Dan benar, gadis itu berdiri dengan anggun mengenakan pamkaian kebaya modern dengan rambut sedikit di sanggul memakai riasan yang natural tampak elegan dan cantik alami."Mbak!" panggilnya membuyarkan lamunanku."Gendhis!" tebakku yang masih tidak menyangka akan melihat wajah cantiknya.Seketika Gadis cantik itu berlari menghambur ke pelukanku. Gendis, sosok gadis dewasa kini telah menjelma menjadi seorang wanita muda yang cantik dan elegan sungguh berbeda saat aku tinggalkan dua tahun yang lalu."Apa kabar kamu, Sayang?" tanyaku sambil mengusap air mata yang mulai mengalir pada pipinya yang mulus."Aku baik, Mbak. Bagaimana dengan Mbak Ann sendiri? Tega kamu, Mbak," keluhnya yang masih enggan mengurai pelukanku."Maafkan mbak, Sayang. Ini harus berjalan, apa kamu ingin melihat mbak selalu terpuruk?" tanyaku.Kulihat Gendhis meng
"Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau
Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan
Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam
Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se
"Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi
Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba
Akhirnya aku mendapatkan bis tepat di jam empat sore. Kali ini aku naik bis cepat antar kota jurusan Jogyakarta. Bis yang terkenal dengan kecepatannya melebihi bis yang lain. Bis ini paling banyak peminatnya. Aku pun merasa bahwa pelayanan kondektur bis juga sangat ramah dan sopan.Bis melaju dengan kecepatan rata-rata. Mungkin bila dilihat dari kuar kecepatan bis itu tinggi. Tetapi bagi kami para penumpang terasa nyaman, hal ini terbukti para penumpang bisa tidur dengan lelap termasuk aku. Tanpa tetasa waktu terus berjalan hingga terdengar suara kondektur memberitahukan pada kami bahwa sebentar lagi bis akan memasuki kawasan Madiun."Madiun terakhir, terminal Madiun terakhir." Terdengar wakil kondektur berteriak memberitahukan pada para penumpang agar bersiap-siap. Aku pun segera terbangun dari tidurku. Perjalanan Surabaya - Madiun hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam dengan bis antar kota."Bunda pulang, Sayang!" batinku.Sungguh aku sangat rindu dengan putriku itu. Hampir
"Andin, apakah kamu masih di sana?" tanyaku.Hening, lambat laun kudengar isak tangis lirih. Mendengar suaranya aku semakin bingung dan resah. Memangnya sedang ada apa hingga membuat Andin sampai terisak. Aku semakin penasaran."Andin, katakan pada Mbak. Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku."Selamat ya, Mbak Ann. Semua sudah selesai hingga sesuai dengan angannya Mbak. Dan satu lagi semua keperluan toko aman dan terkendali, Kok!" balas Andin."Lalu mengenai gaji? Dan apa yang menyebabkan kamu tadi terisak, Lho?" tanyaku beruntun."Nanti lah, tunggu Mbak pulang," balas Andin.Lama aku berbincang dengan Andin. Meski aku berusaha mengorek keterangan mengenai gaji karyawan, Andin tidak mau cerita. Dia masih kekeh menunggu kepulanganku. Karena ini aku menjadi tidak nyaman dan ingin segera pulang. Kemudian aku mendengar suara klakson sebuah mobil yang berhenti. Seketika aku tersadar dan pamit pada Andin menyudahi panggilan."Lagi asyik menelepon siapa lho, Ann?" tanya Irene saat aku sudah
Aku menoleh pada sosok itu, mataku seketika membelalak. Sebuah nama yang aku ingat pada sosok itu, Jupri. Iya dia adalah Jupri. Tetapi siapakah dua sosok itu? "Ibu Ann, maaf bisakah kita mulai sekarang?" "oh, ya. Silahkan, Pak!" jawabku."Ini surat janda dan ini semua yang menyangkut persidangan kemarin, Ibu Ann. Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Anda," kata pengacaraku."Saya juga berterim kasih atas bantuan Bapak. Untuk fee sudah saya transfer ke rekening Anda, Pak. Saya terima kasih," kataku sambil menjabat tangan si pengacara.Akhirnya kami melanjutkan makan siang bersama. Saat di sela makan siang kulihat sekeliling mencari sosok yang tadi sempat aku lihat. Rupanya Jupri ada di sudut kanan ruangan ini pada meja nomer lima puluh. Di sana dia sedang bersama seorang Kyai dan seorang gadis yang cantik. "Apakah dia istrinya?" lirihku."Siapa yang Anda maksud, Ibu Ann?" tanya Pengacaraku."Seorang sahabat lama, Pak. Eeh, maaf, silahkan dilanjut!" ucapku.Beberapa saat kemud