Keadaan kamar dan beberapa ruangan hasil amukan Rona masih terlihat berantakan. Hanya pecahan kaca yang tidak lagi berserakan di lantai dan sebagian barang yang diacak tadi sudah kembali ke tempat semula.
Rona berdiri melekat di dinding ruang tengah, tak sudi duduk di sofa setelah tahu fakta menjijikan yang diutarakan Jeff. Sementara Wena menempati ujung sofa, wajahnya was-was sekali atas kehadirannya.
“Lain kali Kak Rona bisa hubungi pengacara Kak Jeff, daripada datang ke sini malam-malam.” Wena mendengkus hati-hati. “Nggak sopan banget dilihat cewek bertamu ke apartemen mantan.”
“Lebih nggak beradab mana cewek yang gampang menyerahkan diri ke cowok orang?” balas Rona tak kalah menyindir. “Udah nggak beradab, gampangan, murahan lagi.”
“Selama bukan suami orang itu nggak masalah,” timpal Jeff yang baru keluar dari kamar dengan pakaian lengkap. Bukan sebatas handuk yang membalut setengah tubuhnya. “Kalau kamu datang mau cari perkara sama Wena, lebih baik kamu pulang sekarang. Aku nggak terima aksi protes kamu lagi, Na. Kita jelas-jelas udah putus dan—“
“Ck. Sepenting itu lo dalam hidup gue?” Rona menggelengkan kepala heran sambil menatap Jeff dari atas hingga bawah. “Gue datang ke sini minta lo bayar semua pinalti dari brand dan klien yang minta jasa endorse kita. Gue nggak mau bayar sepeserpun karena di sini, pihak yang batalin kontrak itu lo, Jeffrian.”
Jeff menatapnya serius. “Nggak bisa, dong.”
“Ternyata lo masih nggak paham juga ya?” kekeh Rona menyadari betapa bodohnya pria itu selama ini.
Ia melangkah maju mendekati Jeff yang berdiri tegak di samping sofa. Sebelum ia angkat suara untuk menambahkan pernyataan, Jeff lebih dulu melontarkan kata-kata.
“Kita udah nggak ada hubungan apa-apa dan kontrak itu minta jasa kita sebagai pasangan.” Sorot mata Jeff berubah dingin begitu dilihat dari jarak dekat. “Bulan depan aku dan Wena menikah, jadi untuk melanjutkan kontrak brand bakal jadi masalah besar untuk kehidupan kami.”
“Emang gue peduli?” dengkus Rona sambil menyelipkan seringai. “Kan, lo sendiri yang bikin masalah. Ya tanggung resikonya lah.”
Alih-alih jengkel diberi sindiran, Jeff malah terkekeh geli. “Oh ya? Kamu pikir aku selingkuh dan hamilin cewek lain bukan karena kamu?”
Rona mendelik galak. “Jangan lempar masalah ini ke orang lain, Jeff.” Ia memperingati.
“Kalau lo nggak egois dan semena-mena, mungkin gue nggak akan melakukan ini. Lo yang buat gue jadi begini, Na.”
Mendadak Jeff melepaskan kebiasaan panggilan aku-kamu pada Rona. Rahang tegasnya pun tampak mengeras disertai tatapan tajam penuh kebencian. Sisi lain dari Jeff yang belum pernah Rona saksikan langsung.
“Lo yang kelewat ambis buat konten, asal acc kontrak tanpa diskusi dulu. Emang lo pernah nanya kondisi gue? Kita pernah nge-date tanpa ngonten?”
Telunjuk Jeff menimpa pundak Rona, membuat wanita itu bergerak mundur dengan tubuh tegang hingga menabrak dinding. Situasi kini berbalik, Jeff menjadikannya sebagai pihak terpojok dan sulit membalas.
Rona meremas celana kuat-kuat demi menahan reaksi dari dalam dada. Dari sekian banyak momen bersama, baru kali ini ia mendengarkan keluh kesah Jeff. Hal itu membuat lidahnya kelu dan sukar mengeluarkan pembelaan.
Sampai kemudian, “Jeff ... aku melakukan itu semua demi kita. Masa depan kita—“
“Egois!” potong Jeff lantang. “Sekali aja lo nggak pernah mikirin gue dan hubungan kita selama tiga tahun. Lo selalu sibuk dan nggak ada waktu buat dengerin keluh kesah gue. Dan sekarang, gue harus diskusi dulu buat batalin kontrak? Enak aja.”
“Jeff.” Rona menggigit bibir bawahnya. Remasan dari kedua tangannya mengendur. Ia meraih kaus Jeff dan mencengkeramnya. “Ini lo lagi balas dendam ke gue, hah?”
Air mata yang ditahan Rona akhirnya mengucur seperti air bah yang menghancurkan bendungan.
“Lebih baik lo pergi sekarang,” gumam Jeff seraya menjauhkan tangan Rona dari kausnya.
Bukan hanya reaksi kasar, seperti tepisan tangan yang Rona terima, melainkan dorongan kuat. Akibatnya tubuh Rona tersungkur di dekat pintu dan menimpulkan suara lumayan keras.
“Pergi!”
Jeff melakukannya lagi hingga Rona benar-benar keluar dari unit. Tidak peduli seberapa kencang tangisan yang meluncur di sana.
Sebelum Jeff masuk ke dalam unit dan menutup pintu, Rona memeluk sebelah kaki pria itu kuat-kuat. Kepalanya menggeleng kencang, menolak diusir untuk kesekian kali.
“Kenapa lo nggak terus terang ke gue dari awal?” ujar Rona di sela isakan. “Kita bisa bicarakan semua baik-baik kalau komunikasi kita seburuk ini, Jeff. Dan lo nggak perlu cari cewek lain, apalagi sampai bikin dia hamil.”
“Asal lo tahu, Wena lebih mengerti gue daripada lo, Na. Gue sama sekali nggak menyesal melakukan ini, jadi stop memohon kayak pengemis begini.”
“Nggak!” Rona mengerang. “Tiga tahun, Jeff. Kita udah melalui semua ini sama-sama. Kita bangun karir kita bareng sampai sebesar ini, kok lo bisa setega ini sama gue?”
Dalam sekejap, Jeff menjauhkan tubuh Rona dengan mendorongnya. Sebelah kakinya digerakkan seperti menendang hingga Rona kembali tersungkur ke lantai.
“Terima aja nasib lo, Rona.”
Pintu unit kontan dibanting dan sukses menghantam kesadaran Rona.
Bak adegan di sinetron yang pernah ditontonnya, Rona menyadari betapa miris nasibnya sekarang. Ia memungut tas seraya bangkit dan masih mencoba meredakan tangis, tapi sulit.
Sampai tidak sadar ada dua pasang mata yang memerhatikan sejak tadi seakan terhibur dengan tontonan malam hari.
“Headline berita gosip besok pagi pasti seru banget. ‘Jeffrian Malik Tinggalkan Kekasih Demi Selingkuhan’. ‘Jeffrian Malik dan Kekasih Bertengkar Hebat Karena Ketahuan Selingkuh!’. Wow ... wow ....”
Rona terhenyak mendapati perkataan seseorang yang disusul tepuk tangan puas. Lekas ia menoleh ke sumber suara dan menemukan dua orang pria berdiri di depan pintu unit sebelah.
Belum sempat bibirnya terbuka dan melontarkan tanya, Rona sudah dihadapkan oleh pria yang entah datang dari mana. Namun ingatannya yang samar-samar itu menyala saat melihat dengan saksama bagaimana pria itu membuang jarak.
“Long time no see, Janish Merona.” Pria tinggi besar yang tampilannya lebih elegan dan menunjukkan kekayaan melimpah itu berjalan mendekatinya. “Masih ingat saya?”
Nama lengkapnya disebut dengan cara tak biasa. Rona membeliakkan mata usai menyeka wajah basahnya yang dipenuhi jejak air mata.
“Lo dengar semuanya?” todong Rona seraya mendekatkan diri untuk mengantisipasi orang lain mendengarnya.
Pria yang berdiri menjulang di hadapannya itu menyunggingkan senyum. “Hampir,” balasnya sedikit sengak.
Bak disiram air es dari ujung kepala hingga kaki, Rona membeku di tempat sejenak. Kebanyakan orang bisa memanfaatkan kisah orang lain untuk dijadikan ladang cuan. Dari raut pria itu, ia mampu menangkap niat busuk di balik senyuman.
“Dan lo berniat sebarin itu ke semua media?”
“Kalau menguntungkan bagi saya, why not?”
“Nggak ada bukti valid yang lo punya, jadi jangan terlalu percaya diri,” sahut Rona berusaha tetap tenang meladeni lawannya.Senyum tipis masih tercetak baik di bibir sang pria. Lalu pria itu menoleh ke samping dan berkata, “Imron, kamu sudah rekam semua kejadian tadi, ‘kan?”“Sudah, Mas. Dari angle terbaik malahan,” jawab pria bernama Imron.“Sialan,” maki Rona, nyaris tak peduli lagi pencitraan yang dibangunnya selama ini.“O-ow!” seru Dov. “Ternyata ini karakter asli Janish Merona, ya.”Persetan dengan komentar yang datang, Rona lekas mendekati Imron dan menuntut. “Hapus video itu sekarang juga!” serunya sambil mendekati Imron dan berusaha menggapai-gapai benda pipih yang berisikan bukti kejadian tadi. “Jangan macam-macam sama gue! Siniin HP-nya! Hapus video itu sekarang juga!”Rona tidak tahu sejak kapan bahunya dipegang kuat-kuat oleh Dov dan membuat jarak mereka begitu dekat. Dari pasang mata yang bisa ia lihat, pemandangan itu terasa familier seolah pernah ada momen seperti in
Rona masih menatap lekat Dov yang kini sibuk menunjuk satu botol minuman keras agar bartender mengerti keingiannya. Saat white wine itu sudah di tangan, Dov menyerahkannya pada Rona.“Sori.” Suara berat itu terdengar sopan sekali di telinga hingga Rona tercenung sesaat. “Sebagai permintaan maaf, tolong terima pemberian saya.”“Lo minta maaf itu sama aja lo mengakui omongan gue?” Pening di kepala mulai menyerang, Rona berusaha menyusun kata-kata hingga tercipta kalimat yang runut. “Jadi bener, lo ngikutin gue ke sini? Terus soal rekaman video tadi gimana?”Sejauh ini baik dirinya dan Yuyun belum berkomunikasi lagi. Boleh jadi Yuyun sengaja memberikan ruang untuknya istirahat dan tidak menghubunginya sama sekali.Stool yang ditempati Dov memutar hingga pria itu menghadapnya dengan sempurna.“Permintaan maaf saya bukan untuk itu. Saya nggak mengikuti kamu sama sekali, Rona. Ini semua pure kebetulan,” terang Dov. “Saya minta maaf karena udah buat kamu merasa nggak nyaman. Sebetulnya saya
Rona menggeliat karena dering ponsel yang memekakan telinga tiada henti. Satu tangannya keluar dari balik selimut tebal dan sibuk meraba-raba area sekitar sesuai arah sumber suara.Tepat di bawah bantal benda pipih itu ditemukan. Segera ia mengangkat panggilan tanpa memastikan dulu identitas si penelepon.“Lo di mana?!”Dari suaranya Rona langsung mengenalinya. Sembari mengucek mata sebelum membuka sepenuhnya, ia lantas mengerjap perlahan. “Gue di kamar,” jawab Rona asal dengan rambut berantakan.Pandangannya memendar ke sekeliling. Langit-langit putih yang senada dengan dinding. Ruangan yang ditempatinya terbilang megah, arsitektur bukan kaleng-kaleng hingga furniture terbaik.Rona hendak bangkit duduk, tapi kepalanya masih cukup berat untuk diajak bergerak banyak.“Kamar mana?” Yuyun makin mengomel. “Lo nggak balik ke apartemen gue, atau kasih gue kabar sama sekali ya!”Rona mengambil napas dalam. “Bentar, gue masih pusing,” jawabnya sambil menahan sisa nyeri di kepala akibat minum
Rona baru saja memasuki kamar mandi apartemen dan berniat membasuh wajah, begitu mendatangi apartemen yang dihuninya bersama sang kekasih. Niatnya terjeda lantaran perhatiannya terpaku pada benda kecil yang mencolok.Ia meraihnya perlahan dengan tangan gemetar. Hatinya gelisah, tapi tetap berusaha berpikir positif di tengah kegilaan momen itu.Testpack. Garis dua tebal. Rona menelan ludah. Seumur-umur ia baru melihat benda itu dengan hasil positif. Sebelumnya ia hanya melihatnya di layar televisi atau tontonan drama kesukaan.“Jeff!” teriaknya langsung, memanggil nama kekasihnya sambil melangkah keluar dari kamar mandi. “Jeffrian!”Rona seperti kesetanan, memindai seluruh ruangan agar cepat menemukan Jeff. Ketika mendapati ruang tengah kosong, ia melangkah ke kamar utama. Tepat saat ia akan meraih kenop, sosok yang dicari muncul dengan wajah tanpa dosa.“Kenapa, sih, pakai teriak segala? Aku di sini, nggak budeg!” dengkus pria itu. “Baru sampai apartemen bukannya salam, malah asal ter
“Minum.”Sebotol air mineral disodorkan ke arahnya. Namun Rona masih terdiam, menatap telapak tangan dan beberapa luka karena kecerobohannya sendiri.Kalau saja ia bisa menahan diri untuk tidak mengamuk dan menghancurkan barang-barang di unit apartemennya tadi, mungkin ia tidak kesakitan seperti ini.“Abis diselingkuhi brondong nggak buat lo jadi budek kan, Na?” Yuyun, manager yang kini merangkap sebagai asistennya juga melempar sindiran.Rona berdecak. Bukan karena pedih di telapak tangannya, melainkan kejengkelan yang belum reda. “Lo nggak ada wine atau minuman yang lebih enak dari ini?” Ia menatap botol pemberian Yuyun dengan malas.Daripada air mineral, Rona lebih membutuhkan minuman yang menyegarkan. Setidaknya wine atau vodka lebih berguna melegakan pikirannya yang semrawut ini.Yuyun menoyor kepalanya pelan. “Udah bagus lo nggak dituntut karena rusak properti orang, masih aja mau buat masalah?”“Gue?” Rona mendelik tak terima. “Jelas-jelas lo tahu, apartemen itu punya gue, ata
Rona menggeliat karena dering ponsel yang memekakan telinga tiada henti. Satu tangannya keluar dari balik selimut tebal dan sibuk meraba-raba area sekitar sesuai arah sumber suara.Tepat di bawah bantal benda pipih itu ditemukan. Segera ia mengangkat panggilan tanpa memastikan dulu identitas si penelepon.“Lo di mana?!”Dari suaranya Rona langsung mengenalinya. Sembari mengucek mata sebelum membuka sepenuhnya, ia lantas mengerjap perlahan. “Gue di kamar,” jawab Rona asal dengan rambut berantakan.Pandangannya memendar ke sekeliling. Langit-langit putih yang senada dengan dinding. Ruangan yang ditempatinya terbilang megah, arsitektur bukan kaleng-kaleng hingga furniture terbaik.Rona hendak bangkit duduk, tapi kepalanya masih cukup berat untuk diajak bergerak banyak.“Kamar mana?” Yuyun makin mengomel. “Lo nggak balik ke apartemen gue, atau kasih gue kabar sama sekali ya!”Rona mengambil napas dalam. “Bentar, gue masih pusing,” jawabnya sambil menahan sisa nyeri di kepala akibat minum
Rona masih menatap lekat Dov yang kini sibuk menunjuk satu botol minuman keras agar bartender mengerti keingiannya. Saat white wine itu sudah di tangan, Dov menyerahkannya pada Rona.“Sori.” Suara berat itu terdengar sopan sekali di telinga hingga Rona tercenung sesaat. “Sebagai permintaan maaf, tolong terima pemberian saya.”“Lo minta maaf itu sama aja lo mengakui omongan gue?” Pening di kepala mulai menyerang, Rona berusaha menyusun kata-kata hingga tercipta kalimat yang runut. “Jadi bener, lo ngikutin gue ke sini? Terus soal rekaman video tadi gimana?”Sejauh ini baik dirinya dan Yuyun belum berkomunikasi lagi. Boleh jadi Yuyun sengaja memberikan ruang untuknya istirahat dan tidak menghubunginya sama sekali.Stool yang ditempati Dov memutar hingga pria itu menghadapnya dengan sempurna.“Permintaan maaf saya bukan untuk itu. Saya nggak mengikuti kamu sama sekali, Rona. Ini semua pure kebetulan,” terang Dov. “Saya minta maaf karena udah buat kamu merasa nggak nyaman. Sebetulnya saya
“Nggak ada bukti valid yang lo punya, jadi jangan terlalu percaya diri,” sahut Rona berusaha tetap tenang meladeni lawannya.Senyum tipis masih tercetak baik di bibir sang pria. Lalu pria itu menoleh ke samping dan berkata, “Imron, kamu sudah rekam semua kejadian tadi, ‘kan?”“Sudah, Mas. Dari angle terbaik malahan,” jawab pria bernama Imron.“Sialan,” maki Rona, nyaris tak peduli lagi pencitraan yang dibangunnya selama ini.“O-ow!” seru Dov. “Ternyata ini karakter asli Janish Merona, ya.”Persetan dengan komentar yang datang, Rona lekas mendekati Imron dan menuntut. “Hapus video itu sekarang juga!” serunya sambil mendekati Imron dan berusaha menggapai-gapai benda pipih yang berisikan bukti kejadian tadi. “Jangan macam-macam sama gue! Siniin HP-nya! Hapus video itu sekarang juga!”Rona tidak tahu sejak kapan bahunya dipegang kuat-kuat oleh Dov dan membuat jarak mereka begitu dekat. Dari pasang mata yang bisa ia lihat, pemandangan itu terasa familier seolah pernah ada momen seperti in
Keadaan kamar dan beberapa ruangan hasil amukan Rona masih terlihat berantakan. Hanya pecahan kaca yang tidak lagi berserakan di lantai dan sebagian barang yang diacak tadi sudah kembali ke tempat semula.Rona berdiri melekat di dinding ruang tengah, tak sudi duduk di sofa setelah tahu fakta menjijikan yang diutarakan Jeff. Sementara Wena menempati ujung sofa, wajahnya was-was sekali atas kehadirannya.“Lain kali Kak Rona bisa hubungi pengacara Kak Jeff, daripada datang ke sini malam-malam.” Wena mendengkus hati-hati. “Nggak sopan banget dilihat cewek bertamu ke apartemen mantan.”“Lebih nggak beradab mana cewek yang gampang menyerahkan diri ke cowok orang?” balas Rona tak kalah menyindir. “Udah nggak beradab, gampangan, murahan lagi.”“Selama bukan suami orang itu nggak masalah,” timpal Jeff yang baru keluar dari kamar dengan pakaian lengkap. Bukan sebatas handuk yang membalut setengah tubuhnya. “Kalau kamu datang mau cari perkara sama Wena, lebih baik kamu pulang sekarang. Aku nggak
“Minum.”Sebotol air mineral disodorkan ke arahnya. Namun Rona masih terdiam, menatap telapak tangan dan beberapa luka karena kecerobohannya sendiri.Kalau saja ia bisa menahan diri untuk tidak mengamuk dan menghancurkan barang-barang di unit apartemennya tadi, mungkin ia tidak kesakitan seperti ini.“Abis diselingkuhi brondong nggak buat lo jadi budek kan, Na?” Yuyun, manager yang kini merangkap sebagai asistennya juga melempar sindiran.Rona berdecak. Bukan karena pedih di telapak tangannya, melainkan kejengkelan yang belum reda. “Lo nggak ada wine atau minuman yang lebih enak dari ini?” Ia menatap botol pemberian Yuyun dengan malas.Daripada air mineral, Rona lebih membutuhkan minuman yang menyegarkan. Setidaknya wine atau vodka lebih berguna melegakan pikirannya yang semrawut ini.Yuyun menoyor kepalanya pelan. “Udah bagus lo nggak dituntut karena rusak properti orang, masih aja mau buat masalah?”“Gue?” Rona mendelik tak terima. “Jelas-jelas lo tahu, apartemen itu punya gue, ata
Rona baru saja memasuki kamar mandi apartemen dan berniat membasuh wajah, begitu mendatangi apartemen yang dihuninya bersama sang kekasih. Niatnya terjeda lantaran perhatiannya terpaku pada benda kecil yang mencolok.Ia meraihnya perlahan dengan tangan gemetar. Hatinya gelisah, tapi tetap berusaha berpikir positif di tengah kegilaan momen itu.Testpack. Garis dua tebal. Rona menelan ludah. Seumur-umur ia baru melihat benda itu dengan hasil positif. Sebelumnya ia hanya melihatnya di layar televisi atau tontonan drama kesukaan.“Jeff!” teriaknya langsung, memanggil nama kekasihnya sambil melangkah keluar dari kamar mandi. “Jeffrian!”Rona seperti kesetanan, memindai seluruh ruangan agar cepat menemukan Jeff. Ketika mendapati ruang tengah kosong, ia melangkah ke kamar utama. Tepat saat ia akan meraih kenop, sosok yang dicari muncul dengan wajah tanpa dosa.“Kenapa, sih, pakai teriak segala? Aku di sini, nggak budeg!” dengkus pria itu. “Baru sampai apartemen bukannya salam, malah asal ter