“Nggak ada bukti valid yang lo punya, jadi jangan terlalu percaya diri,” sahut Rona berusaha tetap tenang meladeni lawannya.
Senyum tipis masih tercetak baik di bibir sang pria. Lalu pria itu menoleh ke samping dan berkata, “Imron, kamu sudah rekam semua kejadian tadi, ‘kan?”
“Sudah, Mas. Dari angle terbaik malahan,” jawab pria bernama Imron.
“Sialan,” maki Rona, nyaris tak peduli lagi pencitraan yang dibangunnya selama ini.
“O-ow!” seru Dov. “Ternyata ini karakter asli Janish Merona, ya.”
Persetan dengan komentar yang datang, Rona lekas mendekati Imron dan menuntut.
“Hapus video itu sekarang juga!” serunya sambil mendekati Imron dan berusaha menggapai-gapai benda pipih yang berisikan bukti kejadian tadi. “Jangan macam-macam sama gue! Siniin HP-nya! Hapus video itu sekarang juga!”
Rona tidak tahu sejak kapan bahunya dipegang kuat-kuat oleh Dov dan membuat jarak mereka begitu dekat. Dari pasang mata yang bisa ia lihat, pemandangan itu terasa familier seolah pernah ada momen seperti ini sebelumnya.
“Kayaknya kamu beneran lupa siapa saya ya?” Suara Dov mengejutkannya, menariknya dari lamunan singkat hingga akhirnya kembali sadar. “Benar-benar nggak ingat?”
Lekas Rona menepis tangan Dov dari bahu sambil mendengkus jengkel. Langkahnya terdorong mundur hingga punggungnya menabrak dinding.
“Apa pentingnya lo buat gue ingat?” balasnya sengak.
“Lebih baik kita ngobrol di tempat lain, biar kamu agak tenangan dan kita bisa diskusi dengan kepala dingin.”
“Gue–”
Suaranya terbata sampai terjeda tiba-tiba ketika menyadari hanya ia sendiri sebagai wanita dan berhadapan dengan dua pria asing. Bukankah jika nanti terjadi sesuatu kedepannya, ia jelas kalah telak?
Matanya memindai sekeliling. Tak mungkin meminta bantuan Jeff setelah ia dibuang mentah-mentah bak sampah seperti tadi. Perlahan ia mengambil langkah mundur dengan hati-hati.
“Yakin mau menolak? Saya punya bukti pertengkaran kamu dan Jeffrian.” Dov mengingatkan santai, berbanding terbalik dengan sorot mata hitamnya. “Saya juga ada kenalan beberapa jurnalis dan itu memudahkan saya untuk menyebarkan berita panas tentang hubungan kamu.”
Rona menyipitkan mata, masih meragukan tawaran pria asing itu yang entah datang dari mana. Tangannya pun merogoh isi tas dan menemukan ponsel yang kebetulan saat itu sebuah panggilan dari Yuyun datang.
“Kita cukup diskusi, saya nggak akan macam-macam,” imbuh Dov meyakinkan. “Memangnya kamu masih punya muka meminta tolong pada orang yang jelas-jelas menyakiti kamu? Bahkan dia sudah menghancurkan kamu dalam sekejap?”
Kepalanya menggeleng tanpa sadar. Rencananya mengadu pada Jeff yang terbersit sekilas tadi, mudah dibaca oleh pria itu dan makin membuatnya didera ketakutan lebih besar.
“Halo?” sapa Rona begitu ponsel menempel di sebelah telinga. “Lo bisa ke apartemen Jeff sekarang? Please, ada orang jahil yang rekam percakapan gue sama Jeff tadi.”
Muncul kekehan geli yang keluar dari mulut si pria. Sekalipun Rona mengungkapkan keluhannya melalui volume rendah, nyatanya masih bisa didengar orang lain.
“Astaga, lo ngapain ke sana?” sahut Yuyun dari seberang. “Gue udah bilang bakal urus kontrak sama brand itu buat lo!”
“Buruan ke sini. Sekarang. Pokoknya ini lebih urgen dari urusan pembatalan kontrak dan pinalti itu. Please, datang sekarang.”
“Oke. Jangan bikin masalah apa pun, Rona.”
Setelah panggilannya diakhiri, Rona menggenggam erat-erat benda pipih itu sambil menatap si pria menjengkelkan.
“Manajer gue bakal datang ke sini, jadi lo bisa diskusi sama dia soal rekaman yang lo jadikan ancaman itu,” terangnya.
“Ancaman?” Sebelah alis si pria naik dan keningnya berkerut samar. “Saya sama sekali nggak mengancam kamu. Saya justru kasih tawaran menarik.”
“Omong kosong.”
Rona akui dirinya tidak seterkenal itu dan diketahui banyak kalangan, tapi ia bersikeras menjaga diri untuk tidak membongkar aib di tengah hatinya yang tercabik-cabik.
15 menit berdiri menunggu sembari mendengar beragam penawaran manis yang keluar dari dua pria di dekatnya membuat Rona ketar-ketir. Sesekali kakinya bergerak ke sana-sini untuk mengurangi ketegangan.
“Rona!” Suara nyaring Yuyun mengalihkan perhatian semua orang. “Astaga, lo nggak pa-pa?”
Rona mengulum senyum dan mengangguk kecil. Napasnya yang tercekat sejak tadi kini berangsur lega begitu mendapati kehadiran Yuyun. Ia memeluk wanita itu sembari menjelaskan segalanya.
“Please, bantu gue selesaikan semuanya,” bisik Rona memohon. “Gue nggak bisa di sini lama-lama, gue nggak kuat rasanya, Yun.”
Hanya anggukan cepat dari Yuyun yang dilihat Rona setelahnya. Pasalnya setelah Baru kemudian Yuyun mengambil alih dan memasang badan di depannya.
“Saya Yuyun Kusuma, Manajer sekaligus asisten pribadi Janish Merona.” Yuyun mengangsurkan kartu nama pada salah satu pria di sana. “Kalian bisa berdiskusi dengan saya terkait rekaman yang kalian ambil secara diam-diam tadi. Biarkan Rona pergi karena dia perlu istirahat lebih.”
Tangan Rona meremas pinggiran kemeja yang dikenakan Yuyun. Ia khawatir kalau dua pria di sana masih sulit diajak kompromi dan berani menyebarkan rekaman video itu tanpa permisi.
“Jadi nggak bisa ngomong langsung sama artis Anda, ya.”
“Maaf, Rona harus pergi sekarang.” Yuyun masih terlihat sabar menghadapinya.
Pria itu menghela napas panjang dan melirik ke temannya sambil melempar kode yang sulit diartikan. Rona menarik kemeja Yuyun untuk meloloskannya dari situasi tersebut.
“Pergi sekarang,” gumam Yuyun yakin. “Biar gue urus sisanya. Gue jamin aman asal lo nggak macam-macam lagi ke depannya.”
Rona lekas mengangguk dan buru-buru melangkah pergi.
***
Segelas white wine tandas hingga dasar gelas setelah Rona meneguknya tanpa pikir panjang. Ia mengangsurkan gelas kosong itu ke bartender, meminta diisi ulang.
Sebelum ia kembali menghabiskan minuman keras itu, seseorang menempati stool kosong di sampingnya. Tidak hanya duduk, pria dengan perawakan besar yang dibalut setelan hitam itu menelengkan kepala ke arahnya.
“Jaman sekarang artis mainnya ke bar begitu stress, ya.”
Rona mengembuskan napas panjang, ia hanya melirik tanpa menoleh sepenuhnya.
“Lo nyindir gue?” dengkusnya pelan.
“Emang siapa lagi artis yang duduk di sini?”
“Gue bukan artis, by the way.” Rona menyahut ketus dan segera menghabiskan sisa wine di gelasnya.
“Tapi mukamu nggak asing dan suka nampang di mana-mana bareng pacar brondongmu itu.”
Punggung Rona kontan menegak dari sebelumnya. Ia pikir penampilannya sudah jauh berbeda sekarang daripada yang terlihat di media sosial.
Lantas Rona menengok ke arah pria tersebut. “Lo?” Ia menunjuk kaget. Tak menduga akan ada pertemuan selanjutnya dengan pria menyebalkan itu, setelah beberapa jam berlalu dari kejadian tak mengenakan tadi. “Lo ngikutin gue sampai sini, hah?”
“Menurutmu begitu?” Senyum pria itu terlihat mengerikan, seperti karakter psikopat yang biasa Rona tonton di film kesukaan. “Anggap aja ini kebetulan. Kamu patah hati dan butuh mabuk, ‘kan? Sampai memilih bar sejuta umat begini.”
“Sinting.” Rona mengumpat seraya turun dari stool. “Harusnya lo selesaikan urusan itu sama manajer gue, bukan ngikutin gue sampai sini! Mau lo apa, sih?”
Alih-alih langsung menanggapi, pria itu justru mengulurkan sebuah kartu nama. Rona menatapnya sekilas dan seketika membelalak.
“Step Up Entertainment. Presiden Direktur. Dovindra Putra Wijaya.”
“Dovindra? Dov?” ulangnya sembari mengingat nama tak asing di kepala. “Sebentar.”
“Ingat?”
Mata Rona memicing, mencoba mengingat-ingat nama tersebut sambil meneliti paras pria di sana dengan baik. Perlahan telunjuknya terangkat dan mengacung pada wajah di bawah sinar kelap-kelip bar.
“Dovindra ... lo yang dulu tetanggaan sama gue? Dov yang dulu bakar singkong di samping rumah, ‘kan? Yang hampir bakar kandang ayam kakek gue?”
“Yang itu nggak usah diingat.” Senyum mengembang Dov mereda dan digantikan decakan kecewa. “Yang jelas, saya memang pernah bertetangga sama kamu.”
Rona menyengir. “Sori, tapi kalau lo emang Dov, kenapa tadi lo nggak bilang langsung?” Ia berdecak samar. “Kan, gue nggak perlu separno itu sampai minta Yuyun datang. Dan ini ... lo beneran stalking gue sampai ke bar?”
Rona masih menatap lekat Dov yang kini sibuk menunjuk satu botol minuman keras agar bartender mengerti keingiannya. Saat white wine itu sudah di tangan, Dov menyerahkannya pada Rona.“Sori.” Suara berat itu terdengar sopan sekali di telinga hingga Rona tercenung sesaat. “Sebagai permintaan maaf, tolong terima pemberian saya.”“Lo minta maaf itu sama aja lo mengakui omongan gue?” Pening di kepala mulai menyerang, Rona berusaha menyusun kata-kata hingga tercipta kalimat yang runut. “Jadi bener, lo ngikutin gue ke sini? Terus soal rekaman video tadi gimana?”Sejauh ini baik dirinya dan Yuyun belum berkomunikasi lagi. Boleh jadi Yuyun sengaja memberikan ruang untuknya istirahat dan tidak menghubunginya sama sekali.Stool yang ditempati Dov memutar hingga pria itu menghadapnya dengan sempurna.“Permintaan maaf saya bukan untuk itu. Saya nggak mengikuti kamu sama sekali, Rona. Ini semua pure kebetulan,” terang Dov. “Saya minta maaf karena udah buat kamu merasa nggak nyaman. Sebetulnya saya
Rona menggeliat karena dering ponsel yang memekakan telinga tiada henti. Satu tangannya keluar dari balik selimut tebal dan sibuk meraba-raba area sekitar sesuai arah sumber suara.Tepat di bawah bantal benda pipih itu ditemukan. Segera ia mengangkat panggilan tanpa memastikan dulu identitas si penelepon.“Lo di mana?!”Dari suaranya Rona langsung mengenalinya. Sembari mengucek mata sebelum membuka sepenuhnya, ia lantas mengerjap perlahan. “Gue di kamar,” jawab Rona asal dengan rambut berantakan.Pandangannya memendar ke sekeliling. Langit-langit putih yang senada dengan dinding. Ruangan yang ditempatinya terbilang megah, arsitektur bukan kaleng-kaleng hingga furniture terbaik.Rona hendak bangkit duduk, tapi kepalanya masih cukup berat untuk diajak bergerak banyak.“Kamar mana?” Yuyun makin mengomel. “Lo nggak balik ke apartemen gue, atau kasih gue kabar sama sekali ya!”Rona mengambil napas dalam. “Bentar, gue masih pusing,” jawabnya sambil menahan sisa nyeri di kepala akibat minum
Rona baru saja memasuki kamar mandi apartemen dan berniat membasuh wajah, begitu mendatangi apartemen yang dihuninya bersama sang kekasih. Niatnya terjeda lantaran perhatiannya terpaku pada benda kecil yang mencolok.Ia meraihnya perlahan dengan tangan gemetar. Hatinya gelisah, tapi tetap berusaha berpikir positif di tengah kegilaan momen itu.Testpack. Garis dua tebal. Rona menelan ludah. Seumur-umur ia baru melihat benda itu dengan hasil positif. Sebelumnya ia hanya melihatnya di layar televisi atau tontonan drama kesukaan.“Jeff!” teriaknya langsung, memanggil nama kekasihnya sambil melangkah keluar dari kamar mandi. “Jeffrian!”Rona seperti kesetanan, memindai seluruh ruangan agar cepat menemukan Jeff. Ketika mendapati ruang tengah kosong, ia melangkah ke kamar utama. Tepat saat ia akan meraih kenop, sosok yang dicari muncul dengan wajah tanpa dosa.“Kenapa, sih, pakai teriak segala? Aku di sini, nggak budeg!” dengkus pria itu. “Baru sampai apartemen bukannya salam, malah asal ter
“Minum.”Sebotol air mineral disodorkan ke arahnya. Namun Rona masih terdiam, menatap telapak tangan dan beberapa luka karena kecerobohannya sendiri.Kalau saja ia bisa menahan diri untuk tidak mengamuk dan menghancurkan barang-barang di unit apartemennya tadi, mungkin ia tidak kesakitan seperti ini.“Abis diselingkuhi brondong nggak buat lo jadi budek kan, Na?” Yuyun, manager yang kini merangkap sebagai asistennya juga melempar sindiran.Rona berdecak. Bukan karena pedih di telapak tangannya, melainkan kejengkelan yang belum reda. “Lo nggak ada wine atau minuman yang lebih enak dari ini?” Ia menatap botol pemberian Yuyun dengan malas.Daripada air mineral, Rona lebih membutuhkan minuman yang menyegarkan. Setidaknya wine atau vodka lebih berguna melegakan pikirannya yang semrawut ini.Yuyun menoyor kepalanya pelan. “Udah bagus lo nggak dituntut karena rusak properti orang, masih aja mau buat masalah?”“Gue?” Rona mendelik tak terima. “Jelas-jelas lo tahu, apartemen itu punya gue, ata
Keadaan kamar dan beberapa ruangan hasil amukan Rona masih terlihat berantakan. Hanya pecahan kaca yang tidak lagi berserakan di lantai dan sebagian barang yang diacak tadi sudah kembali ke tempat semula.Rona berdiri melekat di dinding ruang tengah, tak sudi duduk di sofa setelah tahu fakta menjijikan yang diutarakan Jeff. Sementara Wena menempati ujung sofa, wajahnya was-was sekali atas kehadirannya.“Lain kali Kak Rona bisa hubungi pengacara Kak Jeff, daripada datang ke sini malam-malam.” Wena mendengkus hati-hati. “Nggak sopan banget dilihat cewek bertamu ke apartemen mantan.”“Lebih nggak beradab mana cewek yang gampang menyerahkan diri ke cowok orang?” balas Rona tak kalah menyindir. “Udah nggak beradab, gampangan, murahan lagi.”“Selama bukan suami orang itu nggak masalah,” timpal Jeff yang baru keluar dari kamar dengan pakaian lengkap. Bukan sebatas handuk yang membalut setengah tubuhnya. “Kalau kamu datang mau cari perkara sama Wena, lebih baik kamu pulang sekarang. Aku nggak
Rona menggeliat karena dering ponsel yang memekakan telinga tiada henti. Satu tangannya keluar dari balik selimut tebal dan sibuk meraba-raba area sekitar sesuai arah sumber suara.Tepat di bawah bantal benda pipih itu ditemukan. Segera ia mengangkat panggilan tanpa memastikan dulu identitas si penelepon.“Lo di mana?!”Dari suaranya Rona langsung mengenalinya. Sembari mengucek mata sebelum membuka sepenuhnya, ia lantas mengerjap perlahan. “Gue di kamar,” jawab Rona asal dengan rambut berantakan.Pandangannya memendar ke sekeliling. Langit-langit putih yang senada dengan dinding. Ruangan yang ditempatinya terbilang megah, arsitektur bukan kaleng-kaleng hingga furniture terbaik.Rona hendak bangkit duduk, tapi kepalanya masih cukup berat untuk diajak bergerak banyak.“Kamar mana?” Yuyun makin mengomel. “Lo nggak balik ke apartemen gue, atau kasih gue kabar sama sekali ya!”Rona mengambil napas dalam. “Bentar, gue masih pusing,” jawabnya sambil menahan sisa nyeri di kepala akibat minum
Rona masih menatap lekat Dov yang kini sibuk menunjuk satu botol minuman keras agar bartender mengerti keingiannya. Saat white wine itu sudah di tangan, Dov menyerahkannya pada Rona.“Sori.” Suara berat itu terdengar sopan sekali di telinga hingga Rona tercenung sesaat. “Sebagai permintaan maaf, tolong terima pemberian saya.”“Lo minta maaf itu sama aja lo mengakui omongan gue?” Pening di kepala mulai menyerang, Rona berusaha menyusun kata-kata hingga tercipta kalimat yang runut. “Jadi bener, lo ngikutin gue ke sini? Terus soal rekaman video tadi gimana?”Sejauh ini baik dirinya dan Yuyun belum berkomunikasi lagi. Boleh jadi Yuyun sengaja memberikan ruang untuknya istirahat dan tidak menghubunginya sama sekali.Stool yang ditempati Dov memutar hingga pria itu menghadapnya dengan sempurna.“Permintaan maaf saya bukan untuk itu. Saya nggak mengikuti kamu sama sekali, Rona. Ini semua pure kebetulan,” terang Dov. “Saya minta maaf karena udah buat kamu merasa nggak nyaman. Sebetulnya saya
“Nggak ada bukti valid yang lo punya, jadi jangan terlalu percaya diri,” sahut Rona berusaha tetap tenang meladeni lawannya.Senyum tipis masih tercetak baik di bibir sang pria. Lalu pria itu menoleh ke samping dan berkata, “Imron, kamu sudah rekam semua kejadian tadi, ‘kan?”“Sudah, Mas. Dari angle terbaik malahan,” jawab pria bernama Imron.“Sialan,” maki Rona, nyaris tak peduli lagi pencitraan yang dibangunnya selama ini.“O-ow!” seru Dov. “Ternyata ini karakter asli Janish Merona, ya.”Persetan dengan komentar yang datang, Rona lekas mendekati Imron dan menuntut. “Hapus video itu sekarang juga!” serunya sambil mendekati Imron dan berusaha menggapai-gapai benda pipih yang berisikan bukti kejadian tadi. “Jangan macam-macam sama gue! Siniin HP-nya! Hapus video itu sekarang juga!”Rona tidak tahu sejak kapan bahunya dipegang kuat-kuat oleh Dov dan membuat jarak mereka begitu dekat. Dari pasang mata yang bisa ia lihat, pemandangan itu terasa familier seolah pernah ada momen seperti in
Keadaan kamar dan beberapa ruangan hasil amukan Rona masih terlihat berantakan. Hanya pecahan kaca yang tidak lagi berserakan di lantai dan sebagian barang yang diacak tadi sudah kembali ke tempat semula.Rona berdiri melekat di dinding ruang tengah, tak sudi duduk di sofa setelah tahu fakta menjijikan yang diutarakan Jeff. Sementara Wena menempati ujung sofa, wajahnya was-was sekali atas kehadirannya.“Lain kali Kak Rona bisa hubungi pengacara Kak Jeff, daripada datang ke sini malam-malam.” Wena mendengkus hati-hati. “Nggak sopan banget dilihat cewek bertamu ke apartemen mantan.”“Lebih nggak beradab mana cewek yang gampang menyerahkan diri ke cowok orang?” balas Rona tak kalah menyindir. “Udah nggak beradab, gampangan, murahan lagi.”“Selama bukan suami orang itu nggak masalah,” timpal Jeff yang baru keluar dari kamar dengan pakaian lengkap. Bukan sebatas handuk yang membalut setengah tubuhnya. “Kalau kamu datang mau cari perkara sama Wena, lebih baik kamu pulang sekarang. Aku nggak
“Minum.”Sebotol air mineral disodorkan ke arahnya. Namun Rona masih terdiam, menatap telapak tangan dan beberapa luka karena kecerobohannya sendiri.Kalau saja ia bisa menahan diri untuk tidak mengamuk dan menghancurkan barang-barang di unit apartemennya tadi, mungkin ia tidak kesakitan seperti ini.“Abis diselingkuhi brondong nggak buat lo jadi budek kan, Na?” Yuyun, manager yang kini merangkap sebagai asistennya juga melempar sindiran.Rona berdecak. Bukan karena pedih di telapak tangannya, melainkan kejengkelan yang belum reda. “Lo nggak ada wine atau minuman yang lebih enak dari ini?” Ia menatap botol pemberian Yuyun dengan malas.Daripada air mineral, Rona lebih membutuhkan minuman yang menyegarkan. Setidaknya wine atau vodka lebih berguna melegakan pikirannya yang semrawut ini.Yuyun menoyor kepalanya pelan. “Udah bagus lo nggak dituntut karena rusak properti orang, masih aja mau buat masalah?”“Gue?” Rona mendelik tak terima. “Jelas-jelas lo tahu, apartemen itu punya gue, ata
Rona baru saja memasuki kamar mandi apartemen dan berniat membasuh wajah, begitu mendatangi apartemen yang dihuninya bersama sang kekasih. Niatnya terjeda lantaran perhatiannya terpaku pada benda kecil yang mencolok.Ia meraihnya perlahan dengan tangan gemetar. Hatinya gelisah, tapi tetap berusaha berpikir positif di tengah kegilaan momen itu.Testpack. Garis dua tebal. Rona menelan ludah. Seumur-umur ia baru melihat benda itu dengan hasil positif. Sebelumnya ia hanya melihatnya di layar televisi atau tontonan drama kesukaan.“Jeff!” teriaknya langsung, memanggil nama kekasihnya sambil melangkah keluar dari kamar mandi. “Jeffrian!”Rona seperti kesetanan, memindai seluruh ruangan agar cepat menemukan Jeff. Ketika mendapati ruang tengah kosong, ia melangkah ke kamar utama. Tepat saat ia akan meraih kenop, sosok yang dicari muncul dengan wajah tanpa dosa.“Kenapa, sih, pakai teriak segala? Aku di sini, nggak budeg!” dengkus pria itu. “Baru sampai apartemen bukannya salam, malah asal ter