"Kabar yang beredar, kau akan menikah dengan putraku dalam waktu-waktu dekat ini, Dalena?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Lora sembari duduk menyilangkan kakinya menatap Dalena. Wanita licik ini datang setelah Damien berangkat ke kantor. Namun nada bicara yang Lora lontarkan, tidak menunjukkan kemarahan sama sekali, santai, tenang, dan tetap dengan ekspresi dingin."Iya Nyonya," jawab Dalena singkat dan gugup. Lora menyergah napasnya kasar. Ia tidak menduga kalau Damien sungguh-sungguh menentangnya demi wanita ini. "Aku akui kau hebat bisa mendapatkan Damien. Putraku sampai mengkhianati keluarganya sendiri hanya karena dirimu. Bahkan aku dan suamiku tidak punya pilihan lain selain merestui pernikahan konyol kalian nanti." Dalena semakin tertunduk, ia begitu takut saat menghadapi Lora. Berapa rendahnya dia dipandang oleh Nyonya besar Escalante. "Kapan pernikahan kalian diadakan?" tanya Lora lagi. "Saya tidak tahu. Damien yang mengatur semuanya, saya... Saya sudah sempat per
Saat Dalena terbangun, wanita itu melihat sosok Damien yang duduk di sebuah kursi tunggal di samping ranjang. "Damien..." Suara Dalena membuat Damien melangkah mendekat. Ia mencekal kedua lengan Dalena dan melarangnya untuk bangun. "Tetaplah berbaring," bisiknya dengan lembut. "Aku tadi pusing, tidak terasa sama sekali kalau aku sampai pingsan seperti ini, pasti aku sangat merepotkanmu, ya?" Dalena bersikukuh untuk duduk, ia berhadapan dengan Damien yang kini menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Dokter memintamu untuk banyak istirahat dan tidak jangan banyak berpikir yang berat-berat," ujar Damien menggenggam satu tangan Dalena. "Heem," jawab wanita itu mengangguk. Ekspresi yang murung, lelah, dan sedih membuat Damien ikut merasakan beban berat di pundak Dalena. Termasuk, keluarga Escalante yang sangat keji dan licik. "Sayang," panggil Damien lirih. "Hem?" "Siapa yang memberikan cek ini padamu? Dari mana kau dapatkan cek dari bank milik keluarga Escalante?" tany
Hari sudah gelap, Dalena tidak bisa tidur malam ini. Tak biasanya ia insomnia bahkan saat Damien sudah benar-benar terlelap. Dalena beranjak duduk dan berjalan mendekati meja riasnya. Wanita itu membuka laci dan mengambil sebuah botol obat di sana, ekor matanya melirik Damien dan memastikan kalau laki-laki itu tidak terbangun. "Mungkin ini bisa mengurangi sakit kepalaku, semakin hari semakin sering sakit saja. Padahal dulu-dulu tidak sesering ini..." Dalena menggerutu lirih seraya membuka pintu dan berjalan keluar.Setelah ia pergi, Damien membuka kedua matanya. Laki-laki itu ikut beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari dalam kamar mengikuti Dalena di dapur. Dari ujung bawah anak tangga Damien melihat Dalena meminum obat, lagi setelah sore tadi dia juga sembunyi-sembunyi meminum obatnya. 'Apa yang terjadi dengannya?' batin Damien cemas. Dalena membalikkan badannya, wanita itu terkejut saat melihat Damien berdiri di tempatnya. "Sedang apa?" tanya Damien mendekat. "Tidak
Setelah mengantarkan Dalena ke rumah sakit untuk mengecek kondisi kesehatannya, kini Damien kembali pulang. Pria itu duduk di ruangan kerjanya bersama beberapa orang pentingnya, mereka tengah berkumpul di sana, tak luput juga dengan si kembar yang diasuhnya saat ini karena Dalena harus beristirahat. "Bagaimana dengan proyek yang ada di Madrid? Aku rasa harus selesai dalam tahun ini, semakin cepat semakin baik!" Damien menatap Tuan Lore yang diam mengangguk. "Saya sudah membahas ini Tuan, dan semuanya akan berjalan seperti yang sudah kita semua rencanakan." "Baguslah, aku juga menginginkan hal ini sejak dulu." Damien mengangguk dan kembali membuka berkasnya. Dua rekan Damien lainnya asik mengejek dan berbicang dengan si kembar. Anak-anak yang pintar dan manis. "Ngomong-ngomong kenapa si kembar ada di sini? Di mana Mamanya?" tanya Robert menatap Damien. "Dalena sedang tidak enak badan. Jadi aku yang akan menjaga mereka hari ini, lagipula anak-anakku adalah anak yang pintar, dia t
Damien masuk ke dalam kamarnya yang tumben gelap. Ia memperhatikan Dalena yang berbaring di atas ranjang menatap ke jendela, diam memperhatikan salju yang turun.Seharian ia sibuk, ingin rasanya Damien menghabiskan malamnya dengan Dalena sebentar saja. "Kenapa belum tidur, Sayang?" tanya Damien mengecup pipi Dalena. "Aku tidak mengantuk sama sekali," jawab wanita itu mengeratkan selimutnya. "Oh ya? Mungkinkah kau menunggu aku memelukmu?" Damien mengecupi wajah Dalena. Namun ia merasa sesuatu yang janggal tengah terjadi. Dalena berusaha memalingkan muka saat Damien mengecupnya. Laki-laki itu terdiam sejenak dan memeluk Dalena dengan erat. Mengetahui kalau wanita ini sedang buruk suasana hatinya. "Kenapa? Apa kau marah denganku?" tanya Damien menatap wajah cantik Dalena dari samping. Jemarinya menyilakkan anak rambut panjang Dalena. "Maaf seharian ini aku tidak bisa memperhatikanmu," imbuhnya. Dalena menggeleng kecil dan menarik selimutnya tinggi-tinggi. Perasaan tak nyaman dir
Pukul empat sore Dalena pulang, itu pun Damien sudah kembali dari kantor beberapa menit yang lalu. Dalena membawa beberapa mainan baru untuk si kembar. Kepulangannya pun disambut oleh Damien yang kini duduk di sofa ruang tamu. "Sampai jam segini, ke mana saja?" tanya laki-laki itu menatap Dalena. "Hanya ke tempat Melinda, aku tidak pergi ke mana-mana kok." "Aku tadi ke rumah Melinda sepi tidak ada orang sama sekali." Laki-laki itu menajamkan tatapannya pada Dalena. "Melinda sekarang punya rumah makan, jadi aku ke sana dengan anak-anak. Aku tidak ke rumahnya." Dalena langsung duduk di hadapan Damien sembari memangku Cassel. Anak laki-laki itu asik dengan mainan barunya, di sampingnya ada Raccel yang juga asik sendiri. "Daddy mana teman-temannya? Tidak ke sini lagi?" tanya Cassel menatap Damien. "Tidak Sayang." "Bagus deh kalau tidak ke sini. Ganggu saja, buat Mamiku sedih tahu!" seru Cassel tiba-tiba. Dalena langsung menunduk dan menarik pelan pundak Cassel. "Sedih kenapa? M
"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Damien! Tidak ada, semuanya sudah berjalan sesuai dengan yang Mamamu inginkan!" Dalena menyentak tangan Damien yang mencekal lengannya. Wanita itu menangis dan berteriak marah-marah. "Dalena dengar! Kita tidak akan selamanya di sini, aku akan mencari tempat agar kita hidup tenang bersama an-""Tidak perlu!" teriak Dalena mendorong dada bidang Damien dan menatapnya penuh permusuhan. "Tidak perlu kau lakukan itu!" "Dalena..." Damien dengan sabar berusaha untuk tidak marah pada wanita ini. Dalena mengusap air matanya dan menangis keras-keras menepis tangan Damien. "Jangan bicara lagi denganku, jangan temui aku, aku tidak mau mendengarkanmu lagi!" pekik Dalena. Ia melangkah meninggalkan Damien dan masuk ke dalam kamar si kembar. Satu anaknya terlihat duduk di atas ranjang dengan ekspresi bingung atas apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya saat ini. Termasuk Cassel yang langsung turun dari atas ranjang saat melihat Dalena menangis. "Mami.
Tepat pukul lima lebih seperempat, mobil Zarch tiba di sebuah stasiun. Laki-laki itu menggendong Cassel, bersama Dalena dan juga Raccel mereka masuk ke dalam stasiun. Zarch langsung membelikan tiket untuk Dalena dan anak-anaknya. "Dalena, ini tiketnya." Zarch menyerahkan tiga tiket tersebut. Laki-laki itu pun menurunkan Cassel, segera Dalena menggenggam tangan Cassel dengan hangat. Tanpa aba-aba, tiba-tiba saja Zarch langsung memeluk Dalena dengan sangat erat. "Berjanjilah untuk baik-baik saja sampai kau tiba di London. Aku akan segera menyusulmu," ujar Zarch berbisik.Pelukan itu dibalas oleh Dalena, ia tahu sahabatnya ini pasti sangat khawatir. "Iya Zarch, terima kasih banyak sudah mengantarku sejauh ini." Zarch mengangguk, laki-laki itu mengecupi pipi Cassel dan Raccel, meminta kedua anak itu untuk berhati-hati. Barulah Dalena kembali menarik kopernya, ia dan si kembar melambaikan tangan pada Zarch. "Byeee Om!" pekik si kembar sangat ceria. Dalena dan kedua anaknya masuk