"Aku pulang dulu, pembahasannya bisa dilanjutkan besok!" Damien meringkas beberapa berkasnya di atas meja. Laki-laki itu beranjak dari duduknya dan menyahut mentel hangatnya yang ia letakkan di sandaran kursi. Empat orang sisanya mengangguk, namun tidak dengan asisten Damien yang kini ikut berdiri. "Bapak mau ke mana? Mau pulang setelah dapat telfon tadi ya, Pak?" tanya Kara meraih berkas di tangan Damien. "Ya, sepertinya orang tuaku datang ke sini. Aku bisa mengajak mereka makan malam nanti dengan istriku," jawab Damien sembari berjalan keluar dari dalam ruangan itu. "Untuk beberapa berkas meeting besok, siapkan besok pagi-pagi sekali, Kara." Kara mengangguk kecil, gadis itu masih berjalan di samping Damien. "Pak, boleh saya minta tolong, bisa Bapak antarkan saya pulang?" pinta gadis itu dengan nada manja. Langkah Damien langsung terhenti. Laki-laki itu membalikkan badannya menatap gadis cantik di sampingnya kini. Tatapan Damien membuat Kara diam tak berkutik. "Aku tahu kala
"Mama dan Papa kenapa tidak menginap saja?" Dalena berdiri menatap Mama dan Papa mertuanya yang malam ini akan pergi. Sedangkan Damien hanya duduk diam memperhatikan kedua orang tuanya. "Mama kan ke sini ikut Papa, katanya Papamu ini ada pertemuan dengan temannya di London, jadi Mama ikut," jawab Lora menjelaskan. "Heemm, begitu ya..." Dalena menunjukkan wajah berat untuk ditinggal. Lora menatap Dalena dan tersenyum. "Nanti, kalau sudah libur akhir tahun, Mama akan ke sini dan menginap beberapa hari." "Iya Ma, aku tunggu ya," balas Dalena. Wanita tua cantik itu mengangguk dan tersenyum. Kelvan dan Lora pun berpamitan pulang saat itu juga. Damien dan Dalena mengantarkan hingga ke depan. Sampai akhirnya gerbang depan ditutup oleh penjaga. Dalena kembali merasakan perasaan resah, dua menoleh pada Damien yang masih berdiri di belakangnya. "Apa, kenapa melihatku begitu?" tanya laki-laki itu mengelus gemas pucuk kepala Dalena. "Kau tidak akan ke mana-mana kan, malam ini?" tanya w
Damien baru saja keluar dari dalam renungan meeting bersama Thom asistennya, dan juga Evander Collin–sahabatnya dari Prancis.Mereka baru saja membahas hal penting yang berkaitan dengan perkembangan bisnis mereka. "Aku akan kembali ke sini minggu depan," ucap Evan menepuk pundak Damien. "Ya, terima kasih untuk kerja sama dan junjunganmu, kawan!" Damien tersenyum menjabat tangan Evander. Keduanya berbincang sembari berjalan ke depan, sampai tiba-tiba ponsel milik Damien berdering. Laki-laki itu menghentikan langkahnya seketika setelah melihat panggilan dari istrinya. "Van, kau duluan saja dengan Thom dan Dante di depan, aku akan menyusul!" ujar Damien. Evander mengangguk, laki-laki tampan itu langsung meninggalkan Damien dan pergi dengan Thom. Di sana, Damien menjawab panggilan dari Dalena seketika. "Halo Sayang, ada apa?" tanya Damien, dia terdengar sangat panik. "Sayang, bisa kau jemput aku? Aku... Aku di rumah sakit sekarang," ujar Dalena. "Di rumah sakit?! Apa yang terjad
"Raccel, kenapa manyun saja? Ayo belajar, cepat ini dibaca!" Cassel menunjukkan sebuah buku dan menatap kembarannya dengan ekspresi manyun seperti biasa. Tiba-tiba saja Raccel menghempaskan tubuhnya di atas kasur di kamar Cassel. Anak perempuan itu memeluk bantal dan diam tidak menanggapi Kakak kembarannya. "Emm, kau marah karena kita mau punya adik, ya?" tanya Cassel menebak. "Heem. Raccel tidak suka punya adik! Mommy nanti tidak sayang sama Raccel," jawab anak perempuan itu mencebikkan bibirnya. Mendengar jawaban Raccel, lantas Cassel menoleh ke belakang. Ia menatap wajah kesal Raccel, namun tetap saja dia tidak bisa melakukan apapun. "Mami dan Papi nanti tetap sayang kok sama kita," bujuk Cassel dengan sabarnya. "Raccel tidak percaya. Daddy itu sayang dan bangga sama Cassel, terus kalau nanti adik lahir, pasti Mommy akan terus sama Adik, terus Raccel Sendirian." "Kan ada Cassel!" "Cassel belajar terus, supaya nanti jadi dokter." Raccel masih menatap jendela kamar Cassel d
"Mommy... Mommy di mana?!" Suara Raccel menggema di dalam rumah pukul dua dini hari. Anak perempuan itu terbangun dari tidurnya membawa botol minum di pelukannya. "Mommy," lirih Raccel berjalan mendekati kamar Dalena. "Mom buka! Raccel mau dibuatin susu cokelat!" teriak anak itu menggebraki pintu kamar Dalena. Sampai akhirnya pintu kamar itu terbuka, Dalena berdiri di depannya dan juga Damien berdiri di belakang sang istri. "Kenapa Sayang?" Dalena membungkukkan badannya mengusap pucuk kepala Raccel. "Raccel mau minum susu cokelat," jawabnya menyerahkan botol yang ia bawa pada Dalena. "Ya sudah, biar Mommy buatkan." "Raccel mau gendong, Mom..." "Tidak boleh!" sahut Damien dengan cepat. Saat itu juga Raccel menoleh pada Papanya. Damien menyahut botol minum di tangan Dalena dan berjalan cepat. "Duduk dan istirahatlah, biar aku yang buatkan susu cokelatnya. Jangan menggendongi anak-anak, Sayang. Ingat anak kita yang masih di dalam perutmu," ujar Damien mengecup pelipis Dalena.
Setelah menyinggung Kara dengan terang-terangan, kini Dalena masih berada di sana dengan Damien, Thom, bahkan Kara yang tengah duduk di tempat kerjanya. "Sayang, aku ada meeting sebentar. Tunggu sampai aku menyelesaikan pembahasannya," ujar Damien mendekati Dalena dan mengecup pelipisnya. Wanita cantik itu mengangguk. "Heem, kau akan pergi dengan Thom?" "Ya, aku akan segera kembali..." "Iya. Aku tunggu di sini dengan Kara," jawab Dalena menoleh pada Kara. Gadis itu langsung mengangkat wajahnya menatap Damien dan Dalena di tempat. "Tapi saya ikut Pak Presdir meeting—""Tidak usah, Kara. Temani istriku saja di sini," sela Damien. "Oh, baik Pak." Damien menatap Thom dan mereka berjalan keluar dari dalam ruangan itu menyisakan Dalena dan Kara di dalam sana. Kara terlihat sangat gugup saat hanya tinggal dirinya dan Dalena di dalam ruangan itu. Apalagi sekarang Dalena menatapnya dengan tatapan dingin. "Mulai sekarang aku akan ikut ke kantor bersama suamiku setiap hari, biar aku ta
Bersama si kembar, Thom mendatangi kediaman Lizi yang berada di tengah-tengah perumahan di kota London. Padahal sebelumnya Thom sama sekali tidak berharap bisa bertemu dengan gadis ini lagi. "Kak... Kak Lizi!" teriak Cassel mengetuk pintu rumah kuno itu. Thom menekan bell berkali-kali hingga pintu rumah itu terbuka. Nampak gadis cantik dengan balutan baju panjang yang membuka pintunya. Sontak Cassel dan Raccel tersenyum, termasuk Cassel yang langsung memeluk Lizi saat itu juga. "Kak Lizi-ku!" teriak Cassel memeluknya dengan sangat erat. Si kembar pun bersama-sama memeluk Lizi hingga gadis itu kini menatap sosok Thom yang berdiri di depan pintu sembari memperhatikan isi rumah Lizi yang gelap dan berisi barang-barang kuno. "Ayo, masuk..." Lizi beralih menatap Thom. Laki-laki itu berjalan masuk, dia menatap seisi rumah Lizi yang benar-benar sangat unik. "Nyonya Dalena memintamu untuk ikut denganku ke rumahnya," ujar Thom tiba-tiba. "Iya, beliau sudah menelfonku," jawab Lizi ter
Hari ini berbeda dengan hari-hari lainnya, saat Dalena bangun dari tidurnya, dia tidak mendapati si kembar yang mengacaukan paginya. Rumah nampak sepi dan hanya ada Damien yang duduk di ruang tamu sendirian. "Pagi," sapa Dalena berjalan mendekati suaminya. "Pagi, Sayang... Kenapa sudah bangun? Kalau masih mengantuk tidur lagi," ujar laki-laki itu memperhatikan Dalena yang kini duduk di sampingnya. Dalena mengusap wajahnya pelan dan memeluk bantalan sofa. "Anak-anak ke mana?" tanya wanita itu."Mereka ke sekolah dengan Lizi dan Thom," jawab Damien menatap laptop yang ada di pangkuannya. Dalena menyelipkan tubuh kecilnya dalam rangkulan Damien, wanita muda itu menatap apa yang tengah suaminya kerjakan sekarang ini. Melihat tingkah Dalena yang tidak seperti biasanya membuat Damien merasa nyaman, karena biasanya Dalena malu-malu untuk lebih sedekat ini. "Kau tidak libur ya? Aku ingin jalan-jalan minum teh di cafe rumah kaca, yang baru buka itu... Ayo Sayang," ajak Dalena mendongak