"Raccel, kenapa manyun saja? Ayo belajar, cepat ini dibaca!" Cassel menunjukkan sebuah buku dan menatap kembarannya dengan ekspresi manyun seperti biasa. Tiba-tiba saja Raccel menghempaskan tubuhnya di atas kasur di kamar Cassel. Anak perempuan itu memeluk bantal dan diam tidak menanggapi Kakak kembarannya. "Emm, kau marah karena kita mau punya adik, ya?" tanya Cassel menebak. "Heem. Raccel tidak suka punya adik! Mommy nanti tidak sayang sama Raccel," jawab anak perempuan itu mencebikkan bibirnya. Mendengar jawaban Raccel, lantas Cassel menoleh ke belakang. Ia menatap wajah kesal Raccel, namun tetap saja dia tidak bisa melakukan apapun. "Mami dan Papi nanti tetap sayang kok sama kita," bujuk Cassel dengan sabarnya. "Raccel tidak percaya. Daddy itu sayang dan bangga sama Cassel, terus kalau nanti adik lahir, pasti Mommy akan terus sama Adik, terus Raccel Sendirian." "Kan ada Cassel!" "Cassel belajar terus, supaya nanti jadi dokter." Raccel masih menatap jendela kamar Cassel d
"Mommy... Mommy di mana?!" Suara Raccel menggema di dalam rumah pukul dua dini hari. Anak perempuan itu terbangun dari tidurnya membawa botol minum di pelukannya. "Mommy," lirih Raccel berjalan mendekati kamar Dalena. "Mom buka! Raccel mau dibuatin susu cokelat!" teriak anak itu menggebraki pintu kamar Dalena. Sampai akhirnya pintu kamar itu terbuka, Dalena berdiri di depannya dan juga Damien berdiri di belakang sang istri. "Kenapa Sayang?" Dalena membungkukkan badannya mengusap pucuk kepala Raccel. "Raccel mau minum susu cokelat," jawabnya menyerahkan botol yang ia bawa pada Dalena. "Ya sudah, biar Mommy buatkan." "Raccel mau gendong, Mom..." "Tidak boleh!" sahut Damien dengan cepat. Saat itu juga Raccel menoleh pada Papanya. Damien menyahut botol minum di tangan Dalena dan berjalan cepat. "Duduk dan istirahatlah, biar aku yang buatkan susu cokelatnya. Jangan menggendongi anak-anak, Sayang. Ingat anak kita yang masih di dalam perutmu," ujar Damien mengecup pelipis Dalena.
Setelah menyinggung Kara dengan terang-terangan, kini Dalena masih berada di sana dengan Damien, Thom, bahkan Kara yang tengah duduk di tempat kerjanya. "Sayang, aku ada meeting sebentar. Tunggu sampai aku menyelesaikan pembahasannya," ujar Damien mendekati Dalena dan mengecup pelipisnya. Wanita cantik itu mengangguk. "Heem, kau akan pergi dengan Thom?" "Ya, aku akan segera kembali..." "Iya. Aku tunggu di sini dengan Kara," jawab Dalena menoleh pada Kara. Gadis itu langsung mengangkat wajahnya menatap Damien dan Dalena di tempat. "Tapi saya ikut Pak Presdir meeting—""Tidak usah, Kara. Temani istriku saja di sini," sela Damien. "Oh, baik Pak." Damien menatap Thom dan mereka berjalan keluar dari dalam ruangan itu menyisakan Dalena dan Kara di dalam sana. Kara terlihat sangat gugup saat hanya tinggal dirinya dan Dalena di dalam ruangan itu. Apalagi sekarang Dalena menatapnya dengan tatapan dingin. "Mulai sekarang aku akan ikut ke kantor bersama suamiku setiap hari, biar aku ta
Bersama si kembar, Thom mendatangi kediaman Lizi yang berada di tengah-tengah perumahan di kota London. Padahal sebelumnya Thom sama sekali tidak berharap bisa bertemu dengan gadis ini lagi. "Kak... Kak Lizi!" teriak Cassel mengetuk pintu rumah kuno itu. Thom menekan bell berkali-kali hingga pintu rumah itu terbuka. Nampak gadis cantik dengan balutan baju panjang yang membuka pintunya. Sontak Cassel dan Raccel tersenyum, termasuk Cassel yang langsung memeluk Lizi saat itu juga. "Kak Lizi-ku!" teriak Cassel memeluknya dengan sangat erat. Si kembar pun bersama-sama memeluk Lizi hingga gadis itu kini menatap sosok Thom yang berdiri di depan pintu sembari memperhatikan isi rumah Lizi yang gelap dan berisi barang-barang kuno. "Ayo, masuk..." Lizi beralih menatap Thom. Laki-laki itu berjalan masuk, dia menatap seisi rumah Lizi yang benar-benar sangat unik. "Nyonya Dalena memintamu untuk ikut denganku ke rumahnya," ujar Thom tiba-tiba. "Iya, beliau sudah menelfonku," jawab Lizi ter
Hari ini berbeda dengan hari-hari lainnya, saat Dalena bangun dari tidurnya, dia tidak mendapati si kembar yang mengacaukan paginya. Rumah nampak sepi dan hanya ada Damien yang duduk di ruang tamu sendirian. "Pagi," sapa Dalena berjalan mendekati suaminya. "Pagi, Sayang... Kenapa sudah bangun? Kalau masih mengantuk tidur lagi," ujar laki-laki itu memperhatikan Dalena yang kini duduk di sampingnya. Dalena mengusap wajahnya pelan dan memeluk bantalan sofa. "Anak-anak ke mana?" tanya wanita itu."Mereka ke sekolah dengan Lizi dan Thom," jawab Damien menatap laptop yang ada di pangkuannya. Dalena menyelipkan tubuh kecilnya dalam rangkulan Damien, wanita muda itu menatap apa yang tengah suaminya kerjakan sekarang ini. Melihat tingkah Dalena yang tidak seperti biasanya membuat Damien merasa nyaman, karena biasanya Dalena malu-malu untuk lebih sedekat ini. "Kau tidak libur ya? Aku ingin jalan-jalan minum teh di cafe rumah kaca, yang baru buka itu... Ayo Sayang," ajak Dalena mendongak
Dalena dan Lizi pergi berdua, seperti yang Dalena inginkan kalau wanita muda itu ingin pergi minum teh sebuah taman rumah kaca yang baru saja dibuka pusat kota. Mereka berdua kini berjalan masuk ke dalam tempat luar tersebut. Seperti yang Dalena lihat kalau tempat itu memang sangat cantik dan sejuk. "Wahh... Tempat ini sangat cantik, Lizi," ujar Dalena mengaguminya. "Iya Nyonya. Tapi, eh—"Lizi menghentikan langkahnya, gadis itu menyipitkan kedua mata indahnya yang beriris abu-abu tersebut. "Ayo kita duduk di dekat kolam ikan itu, ayo Lizi..." "Nyonya tunggu, itu bukannya Tuan, ya?" Jari telunjuk Lizi menunjuk ke arah seorang laki-laki yang tengah duduk berdua dengan seorang gadis yang kini asik memotret beberapa tanaman di sana. Mulanya Dalena sangat menyukai tempat ini dan bersemangat, tapi saat melihat Damien di sana dan lagi-lagi bersama Kara. Kekesalan meradang di dada Dalena. "Nyonya—""Diam dulu, ayo kita duduk di kejauhan," ajak Dalena menarik lengan Lizi. Mereka dudu
Taruhan yang si kembar lakukan masih berjalan. Pagi ini mereka melihat Mama dan Papanya yang saling diam. Terutama Dalena yang tidak memperdulikan Damien sama sekali, meskipun laki-laki itu tampak membujuknya. Raccel berjalan mendekati Mamanya, anak itu membawa tas sekolahnya di dalam pelukan tangannya yang mungil. "Mommy..." "Iya Sayang, kenapa?" tanya Dalena menunduk menatap wajah Raccel. "Raccel mau sekolah sama Mommy, mau jalan-jalan," ujar Raccel cemberut memeluk perut Dalena dan mendongak manja. Mendengar hal itu, Damien yang duduk di ruang tamu lantas menoleh dengan cepat. "Kan sudah ada Kak Lizi yang mengantarkan Raccel ke sekolah, Sayang... Mommy biar istirahat di rumah," sahut Damien. Dalena menatap Raccel yang menanti-nanti jawaban langsung dari Mamanya. "Mom," cicit anak itu melas. "Iya Sayang, nanti Mommy antarkan dengan Kak Lizi juga, okay?!" Dalena mengusap lembut kedua pipi gembil Raccel. Damien berdecak dan beranjak dari duduknya segera. Ia mendekati Dalena
Siang ini cuaca sangat mendung, hujan turun dan cukup deras. Raccel yang baru saja keluar dari dalam kelas beberapa menit yang lalu, harus menunggu Cassel cukup lama. Cassel yang aktif mengikuti berbagai kegiatan di sekolahnya. Raccel sudah terbiasa menunggu kembarannya hingga berjam-jam. "Twingkel-twingkel Little Star... Lalalala..." Raccel bernyanyi sembari bermain air hujan ke sana dan ke mari di sebuah halte. "Raccel, kenapa belum pulang?!" Suara itu membuat Raccel menoleh, anak perempuan cantik itu langsung tersenyum menyadari siapa yang datang. "Nicho, ayo main air!" seru Raccel mengangkat kedua tangan yang basah. "Ck, ya ampun Raccel... Kau ini sudah besar, jangan main air seperti itu dong! Airnya kotor!" seru Nicholas menarik lengan Raccel dengan pelan. Raccel pun langsung berdiri, dia menatap kedua tangan Nicholas yang kini menggulung lengan panjang seragam merah muda yang Raccel pakai. "Basah kan, dasar nakal!" omel Nicholas menarik pipi Raccel dengan kuat. "Aduhhh