Bab 40.“Mas ... aku haus,” ujarku lirih saat kesadaranku telah kembali. Kali ini, aku sudah berada di ranjang rumah sakit. Mendengar suaraku Mas Azzam langsung tersentak.“Ya Allah, Sayang. Akhirnya kamu sadar juga.”Suamiku ini sontak memeluk tubuh ini hingga tak sadar mengenai lenganku yang sempat terluka, dan aku masih ingat karena perbuatan siapa.“Aww ... sakit, Mas,” ujarku sambil meringis.“Maaf. Mas terlalu bahagia saat kamu siuman. Kamu bener-bener bikin Mas ini jantungan tahu. Bisa-bisanya kamu membahayakan keselamatan dirimu seperti tadi!” sembur suamiku ini dengan tatapan tajam.Dia meraih botol air putih di atas nakas, lalu membuka tutup dan memasukkan sedotan ke dalamnya. Setelah itu, ia arahkan benda tersebut ke arahku, lalu aku minum beberapa tegukan demi melegakan tenggorokan yang mengering.“Tapi, kalau aku tak nekat seperti tadi, Nindy bakalan celaka. Aku enggak mau Mas juga bakalan sedih karena Nindy terluka,” ujarku. Mas Azzam memandangku dengan intens. Entah a
“Kamu tega sekali, Mas.”Aku tergugu di sudut gedung mewah, di mana dekorasi pernikahan berwarna serba putih menghiasi setiap penjuru ruangan. Dia suamiku telah mengucap janji suci pernikahan terhadap wanita lain, hingga membuat hati ini remuk redam seakan hancur tak tersisa.Suamiku menikahi perempuan yang sangat dicintainya. Kekasih masa lalu sebelum aku menjadi istri seorang Dirga. Wanita yang teramat dia dambakan untuk menjadi seorang pendamping hidup bukan seperti diriku.Ya, aku dan dia memang menikah karena dijodohkan ayah mertua dua tahun yang lalu, tanpa cinta di antara kami.Bukan, hanya dia yang tak pernah mencintaiku. Bahkan awal pernikahan tak pernah sekalipun dia menyentuh istrinya ini. Jangankan untuk itu, menatapku saja sepertinya Mas Dirga enggan. Meski kami tidur dalam satu kamar yang sama. Malam-malamku itu selalu dingin, tak pernah ada kehangatan yang ditunjukkan suamiku.Aku sadar siapa diri ini untuknya. Hanya anak seorang pembantu dalam keluarga Adiwiyata. Karen
Aku tak sengaja menyenggol guci yang ada di sebelah tanganku, membuat benda itu tergolek dan pecah. Mas Dirga dan wanita itu menghentikan aktivitas mereka.Saat berbalik dan mendapatiku ada di ruangannya, keduanya yang baru sadar akan kedatanganku terkejut lalu melepaskan satu sama lain. Keadaan Mas Dirga dan wanita itu sama-sama terbuka. Baju suamiku sudah teronggok di lantai, sedang wanita itu ... ah sungguh tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Remuk sudah hati ini.Aku sudah tahu Mas Dirga mempunyai kekasih, tetapi untuk menyaksikan kelakuan bejat mereka dengan mata kepala sendiri sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya.Mas Dirga berdiri dan membereskan penampilannya sambil menatap tajam ke arahku. Sedang wanita bernama Anita itu cepat-cepat pergi ke toilet yang ada di dalam ruangan.Aku masih syok dengan semua yang terjadi hanya bergeming , sampai suara Mas Dirga membuyarkan segala lamunanku.“Sedang apa kamu di sini?” tekannya kepadaku sambil menggebrak meja.Aku mendongak,
Tak ada yang bisa kulakukan untuk membantah ucapan Mas Dirga. Kuambil selimut yang Mas Dirga bawa dari lemari serta bantal yang biasa kupakai. Dinginnya lantai tak membuatku menggigil, bahkan yang kurasakan sebaliknya, hawa panas panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Bagaimana pun, aku manusia normal yang bisa merasa marah serta kecewa atas segala perlakuan suamiku saat ini. Kucoba untuk menahannya walau hatiku benar-benar merasakan perih luar biasa.Terpaksa, malam ini aku tidur tanpa alas. Bahkan, saat pagi tiba, tubuhku terasa menggigil. Aku mencoba bangkit berniat ke kamar mandi untuk mengambil wudu, tetapi kini kepalaku berdenyut begitu hebat. Segalanya kulihat seakan berputar-putar dan pandangan mulai mengabur, hingga tak berapa lama kurasakan tubuh ini terjatuh, kemudian gelap menyelimuti kesadaranku.Kubuka mata serta melirik ke segala penjuru kamar. Aku mengernyit dengan posisiku saat ini yang sudah ada di atas ranjang. Mungkinkah Mas Dirga yang memindahkanku?Sampai ketika
Setelah seharian berpikir ulang, mungkin aku harus lebih berjuang mengambil hati suamiku daripada hanya diam dan pasrah dengan apa yang terjadi. Orang bilang, jika seorang suami sudah terbiasa dengan masakan sang istri, secara tak langsung dia akan ketergantungan dengan kita. Aku percaya itu, jadi akan kucoba mengambil hati Mas Dirga dengan segala perhatian yang aku berikan.Kulihat suamiku turun ke bawah dengan penampilan yang lebih segar setelah mandi. Dia masuk ke ruangan kerja ayah mertua, sesuai yang diperintahkan tadi. Kulirik masakan yang kubuat sudah matang, lalu menyiapkannya ke meja makan.Setelah itu aku pergi ke kamar untuk memperbaiki penampilan agar lebih segar dan menarik di mata Mas Dirga. Tak berapa lama suamiku itu datang dengan wajah yang tidak bersahabat. Aku yang khawatir menghampiri dia.“Ada apa, Mas? Kenapa Mas terlihat marah?” tanyaku dengan raut wajah penasaran.“Diam kamu! Gara-gara menikahimu aku mendapatkan kesialan bertubi-tubi. Dasar wanita tak berguna!”
“Beraninya kau ....” Mas Dirga mengepalkan tangannya menahan amarah. Maafkan aku, Mas. Hanya ini satu-satunya cara untukku mempertahankan pernikahan kita. Biarkan aku merasakan menjadi istri yang sesungguhnya meski hanya sebentar saja.Saat ini, aku begitu berharap Mas Dirga akan mengabulkan syarat dariku. Kulirik suamiku yang menghela napas dalam dan tersenyum meremehkan. Namun, pernyataan dia selanjutnya membuatku akhirnya bisa bernapas lega. “Oke. Aku akan memenuhi segala persyaratan yang kamu ajukan tadi. Hanya enam bulan saja kamu akan menjadi istriku yang sesungguhnya. Segala yang kau mau akan kupenuhi semuanya. Setelah aku menikahi Anita, segalanya akan berakhir. Sandiwara kita tak perlu ditutupi lagi,” terangnya.Aku tersenyum kaku mendengarkan kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Mas Dirga. Sambil tertawa di dalam hati, merasa miris dengan nasib sendiri. Menjadi seorang istri yang mendapatkan haknya setelah meminta syarat kepada sang suami, lalu setelahnya harus m
Tidak! Aku tak kan menyerah sekarang. Mungkin menghilangkan kebiasaan Mas Dirga itu sulit, tapi aku yakin suatu saat dia akan berubah. Akan kucari cara agar suamiku itu tak bisa melanggar lagi janjinya padaku.Sudah dua jam aku menunggu kepulangan Mas Dirga. Rasa kantuk ini menguap begitu saja, jadi kuputuskan mengambil wudu dan melaksanakan salat malam sembari menunggu suamiku datang. Benar saja, ketika aku sedang melaksanakan sembahyang, Mas Dirga pulang dengan keadaan sempoyongan. Matanya memerah, bau alkohol menyengat di sekujur badannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Dari mana suamiku tadi sampai pulang dalam keadaan mabuk seperti ini? Benarkah dia baru saja menemui Anita? Kuhampiri Mas Dirga yang sudah tersungkur di atas ranjang, laku membantu membuka sepatu dan membenarkan posisi tidurnya. Kucium baju suamiku yang juga terdapat tumpahan alkohol di sana. Mungkin aku harus mengganti pakaian Mas Dirga dan menyeka badannya dengan air hangat.Kulipat mukena yang masih melekat di ba
Aku pergi ke dapur untuk membuat sarapan seperti biasa dengan ibu. Meski kata-kata Mas Dirga masih terngiang di telinga, tetapi tak mungkin aku terus meratapi nasib. Aku harus kuat! Perjuanganku untuk mendapatkan hati Mas Dirga memang takkan mudah. Aku harus banyak-banyak bersabar menghadapi sifat angkuhnya.Sepanjang aku memasak bersama ibu, sedari tadi kulihat beliau memperhatikanku terus menerus, apa ada yang salah? “Ibu ada apa? Kenapa terus melihatku, Bu? Apa ada yang aneh padaku?” tanyaku heran melihat sikap ibu yang menurutku tak biasa.“Bukan ... Ibu hanya heran. Kenapa jalanmu tak biasa, ya, Nak?” jawab ibu meluapkan apa yang ada di pikirannya.“Oh, ehmm ... i-itu enggak apa-apa kok, Bu. Aku baik-baik saja.” Aku gugup dengan kata-kata ibu.Mana mungkin aku bilang kalau semalam habis melakukan malam pertama dengan Mas Dirga. Bisa-bisa ibu terkejut. Satu setengah tahun kami menjalani pernikahan tapi baru kali ini Mas Dirga menyentuhku, itu pun karena dia sedang mabuk sambil me
Bab 40.“Mas ... aku haus,” ujarku lirih saat kesadaranku telah kembali. Kali ini, aku sudah berada di ranjang rumah sakit. Mendengar suaraku Mas Azzam langsung tersentak.“Ya Allah, Sayang. Akhirnya kamu sadar juga.”Suamiku ini sontak memeluk tubuh ini hingga tak sadar mengenai lenganku yang sempat terluka, dan aku masih ingat karena perbuatan siapa.“Aww ... sakit, Mas,” ujarku sambil meringis.“Maaf. Mas terlalu bahagia saat kamu siuman. Kamu bener-bener bikin Mas ini jantungan tahu. Bisa-bisanya kamu membahayakan keselamatan dirimu seperti tadi!” sembur suamiku ini dengan tatapan tajam.Dia meraih botol air putih di atas nakas, lalu membuka tutup dan memasukkan sedotan ke dalamnya. Setelah itu, ia arahkan benda tersebut ke arahku, lalu aku minum beberapa tegukan demi melegakan tenggorokan yang mengering.“Tapi, kalau aku tak nekat seperti tadi, Nindy bakalan celaka. Aku enggak mau Mas juga bakalan sedih karena Nindy terluka,” ujarku. Mas Azzam memandangku dengan intens. Entah a
Bab 39.“Apa kata Boby?” tanya Nindy. Aku menggeleng lalu berkata, “ Tidak apa-apa, Nin. Dia cuma bilang belum menemukan Danang,” ujarku tanpa menceritakan yang sebenarnya. Aku tak ingin, Nindy yang belum terlalu pulih harus terbebani karena masalah ini. Aku hanya berharap, polisi segera selesai melakukan penyelidikan dan penyidikan agar secepatnya pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tak lama, Riri dan Mas Azzam akhirnya datang juga. Kutahu, suamiku pasti baru pulang dari perusahaan dan sekalian menjemput Riri, itu yang dia katakan tadi di pesan yang dirinya kirim.Aku menyambut kedatangan Riri dan Mas Azzam. Riri mencium tangan dan kedua pipiku, lalu beralih ke ranjang kakaknya untuk melepas rindu. Meski pun hubungan mereka sempat merenggang sebelumnya, tetapi bagaimana pun mereka memiliki hubungan saudara. Pasti, akan sama-sama merasakan sedih jika salah satunya terkena masalah atau musibah. Itu pun yang terjadi antara Riri dan Nindy sekarang.Sedangkan Mas Azzam, di
Bab 38. “Maafkan aku ....” ujar Nindy dengan lirih.Aku masih mematung di tempat, begitu tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Nindy meminta maaf? Apa pendengaranku tak salah?Jari Nindy yang meremas pergelangan tangan ini membuatku sontak tersadar dari lamunan.“Apa kamu mau memaafkan aku? Aku tahu, aku sudah salah menilaimu selama ini. Bahkan, aku sudah berbuat dzolim kepadamu hanya untuk merebut serta mendapatkan Mas Danang kembali. Tapi, apa yang kudapat sekarang? A-aku ... kehilangan segalanya ...,” ujarnya dengan begitu pilu. Terdapat luka di setiap kata-kata Nindy yang terucap.Kualihkan pandangan agar kami saling menatap satu sama lain. Supaya bisa menyelami perasaan putri suamiku tersebut lewat mata. Konon, jika ingin melihat ketulusan dari seseorang, yang pertama tak bisa berbohong ialah mata. Dari anggota tubuh yang bening tersebut, dapat menjelaskan beribu perasaan yang terpendam, termasuk kebohongan.Namun, aku sama sekali tak melihat keburukan apa pun dari N
Bab 37.“Ada apa, Bob?” cecarku. “Kak Nindy masuk rumah sakit. Ditubuhnya penuh luka lebam dan cekikan. Kata seseorang yang menolongnya, Kakak sudah tak sadarkan diri di teras rumah yang sepi karena syok,” papar Boby hingga membuatku membulatkan mata.“Terus? Gimana keadaan dia sekarang?” tanyaku kembali.“Kak Nindy harus dirawat karena ada sendi di bagian lengan dan tulang bahunya yang bergeser. Dan yang paling parah dari semua itu, dia mengalami keguguran,” terangnya semakin membuatku terkejut luar biasa.Kuputuskan untuk ikut bersama Boby untuk melihat kondisi Nindy. Sebelumnya, kuminta Riri untuk diam di rumah saja. Saat di perjalanan, aku mengabari Mas Azzam tentang kondisi putri sulungnya tersebut. Suamiku begitu terkejut, dia terdengar marah ketika mendapat penjelasan dariku. Katanya, setelah pulang dari kantor polisi nanti, Mas Azzam akan menyusul ke rumah sakit di mana Nindy dirawat.Aku dan Boby bergegas mencari kamar berapa Nindy berada. Kemudian, menghubungi wanita yang
Bab 36.“Maaf saya tidak bisa memenuhi tuntutan anda. Saya menolak menikahi putri kalian sampai kapan pun,” tekan Mas Azzam. Wajah suamiku ini telah merah padam penuh dengan amarah dengan rahang yang mulai membesi. “Lho, tidak bisa. Anda jangan membuat saya murka, ya. Saya tidak mau tahu, anda harus bertanggung jawab terhadap putri saya! Enak saja! Sudah berani tidur dengannya tapi tak mau menikahi dia!” ujar orang yang mengaku sebagai Papa dari Marta.“Tuan Hendrik. Perlu saya tekankan sekali lagi. Kalau saya sama sekali tak pernah melakukan apa pun terhadap putri anda. Dan video yang tersebar, itu semua hanya fitnah. Ingat! Hanya fitnah. Putri anda memang mengarang semuanya dan berakting dengan sempurna. Maaf. Apa kalian berdua tak tahu kalau Marta berhubungan badan dengan pria lain? Bahkan, bukan hanya satu saja. Itu hanya salah satunya karena ingin menjebakku,” papar Mas Azzam.Mendengar hinaan yang terlontar dari suamiku, Ibu dari Marta langsung berdiri dan menggebrak meja di ha
Bab 35.“Bi. Di mana si Kartika?”Terdengar suara teriakan Nindy dari ruang keluarga. Saat ini, aku tengah menyiram tanaman serta bunga koleksi suamiku di taman belakang rumah.Namun begitu, aku masih dapat mendengar suara putri sulung Mas Azzam dari sini. Bagaimana tidak, teriakkan Nindy begitu menggema saat dia mencariku dan sepertinya sedang tersulut amarah. Ada apa dengan Nindy?Beberapa menit kemudian, muncullah Bi Sukma dan Nindy di belakangnya. Dia merangsek maju dan melayangkan tamparan ke pipiku tanpa Tedeng aling-aling hingga terasa perih dan sedikit kebas.“Hei ... kau ini apa-apaan? Main tampar orang sembarangan!” teriakku dengan mata yang melotot.Aku syok juga tak terima dengan perlakuan kasar Nindy, tetapi sekaligus penasaran kenapa wanita ini datang-datang langsung melayangkan hadiah ke pipiku.“Berani kamu menggoda suamiku hah? Apa kau masih belum cukup punya suami seperti papiku? Apa kau benar-benar belum move on dari Mas Danang sampai -sampai berani menggodanya!” pe
Bab 34. [“Gimana? Kamu sudah lihat video yang tersebar? Sudah percaya kalau suamimu itu tak sebaik yang kamu kira? Lebih bagus aku ke mana-mana.”]Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal kemarin. Siapa lagi kalau bukan dari Mas Danang. Dia benar-benar berusaha membuat rumah tanggaku hancur dengan hasutannya. Ada apa dengannya? Kenapa dia begitu gigih membuatku menyerah dengan Mas Azzam?[“Suamiku itu mertuamu juga. Papinya Nindy, istri tercintamu. Apa kamu lupa?”] balasku dengan kesal.[“Justru karena dia mertuaku. Jadi, aku bisa tahu belang laki-laki tua bangka itu.”]Kembali satu pesan balasan dari mantan suamiku masuk. Membaca kalimatnya saja membuatku semakin geram. [“Sebenarnya apa maumu, hah? Jangan kau pikir aku bisa terpengaruh dengan omonganmu yang ngawur itu. Aku percaya dengan kesetiaan suamiku. Dia bukan pria kurang ajar sepertimu!”]Hilang sudah kesabaranku untuk Mas Danang. Lalu, beberapa menit kemudian, notifikasi kembali berbunyi. Sebuah link dari situs yang a
Aku mengerjap, mencoba menormalkan pandangan yang sempat mengabur, menghirup dalam-dalam aroma obat yang menguar di setiap penjuru ruangan bercat putih ini. Perlahan, kesadaranku kembali. Terdapat jarum infus yang sudah terpasang di tangan sebelah kiriku. “Sayang. Kamu sudah sadar. Alhamdulillah,” pekik suara yang sangat kukenal, siapa lagi kalau bukan suamiku.“Iya, Pi. Akhirnya, Mami sadar juga. Pingsannya lama banget,” seru Riri. Gadis itu seketika mendekat ketika mendengar papinya mengatakan aku telah sadar.Mas Azzam kemudian menggenggam tangan kananku, tetapi segera kutepis. Bayangan rekaman CCTV dan foto mesra itu sekelebat kembali muncul, hingga membuat dadaku kembali sesak.“Ri. Bisa panggilkan dokter? Katakan, Mami Tika sudah sadar,” perintah suamiku, kemudian dibalas anggukan oleh putrinya. Tak lama, Riri keluar dari ruangan ini, meninggalkan aku dan Mas Azzam berdua.“Soal video itu ....” Mas Azzam kemudian menghela napas, sedangkan aku menoleh mencoba menatap ekspresi
Bab 32.“Mas, apa aku hamil, ya? Makanya, Mas Azzam yang ngidamnya?”“Hah? Maksudnya?”Mas Azzam membuka mulutnya sambil menganga. Dia bahkan hampir saja menjatuhkan botol parfum ditangannya. Apa-apaan reaksi Mas Azzam ini? Apa dia tak ingin aku mengandung anaknya?“Mas ini kenapa sih kok reaksinya gitu amat. Apa Mas enggak mau punya anak dari aku?” tanyaku dengan bibir cemberut serta mata yang mulai memanas.“Bukan gitu, Sayang. Mas hanya kaget. Mana ada sih suami yang istrinya kalau bener hamil enggak seneng. Beneran kamu hamil?” tanya suamiku meyakinkan.“Au ah ....” Aku merajuk, masih kesal dengan reaksi Mas Azzam yang menyebalkan.“Tapi sepertinya memang hamil. Kamu lebih sensitif sekarang. Gampang ngambek, cemburu dan lebih berisi sepertinya,” goda suamiku sambil menjawil daguku. Apa benar aku memang hamil? Namun, yang Mas Azzam katakan memang benar. Akhir-akhir ini aku memang lebih sensitif. Suasana hatiku sering berubah-ubah juga. Terkadang, aku manja, suatu waktu juga mudah